Sabtu, 09 Oktober 2010

Saksi Yang Meringankan (a de 9harge)

Saksi Yang Meringankan (a de charge)
Seorang mantan Menteri Hukum dan HAM, yang telah ditetapkan oleh Kejaksaan sebagai tersangka dalam perkara biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (SISMINBAKUM) kembali mengajak kita untuk berpolemik (KOMPAS 9/10) dengan meminta agar Megawati, Jusuf Kalla dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat ini menjabat sebagai presiden, untuk menjadi saksi yang meringankan (a de charge) bagi dirinya. Menurutnya SBY sangat relevan untuk didengar keterangannya sebagai saksi dalam perkara yang dihadapinya.
Namun dalam berbagai publikasi digambarkan bahwa Kejaksaan tidak atau belum bersedia meluluskan keingingan Yusril dengan alasan bahwa seorang saksi haruslah orang yang menyaksikan, mendengar dan mengalami secara langsung suatu tindak pidana. Sementara saat ini Kejaksaan masih “menganggap” SBY tidak tahu menahu dengan masalah ini sehingga tidak relevan untuk dihadirkan sebagai saksi. Segaris dengan pendapat itu, juru bicara Presiden mengatakan “yang berhak meminta Presiden SBY menjadi saksi dalam kasus (SISMINBAKUM) adalah Kejaksaan bukan Yusril” (Tempointeraktif.com).
Saat ini keduanya masih bersikukuh dalam posisinya dan karenanya bagi sebagian masyarakat hal ini tentu membingungkan, terutama jika dikaitkan dengan hak-hak Tersangka saat berhadapan dengan Penyidik yang sangat kuat dan dominan. Dalam suatu perkara pidana, penyidik memiliki seperangkat hak pemaksa dalam menjalankan tugasnya. Hak itu meliputi membawa paksa dan menahan Tersangka, menggeledah, menyita, memeriksa 1 kali 24 jam pada tahap awal, bahkan bisa ditingkatkan dengan hak menahan jika dinilai cukup bukti dan memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai Tersangka.
Ujung dari proses pemeriksaan pidana adalah penjatuhan pidana bagi Tersangka yang berdasarkan alat bukti yang cukup “terbukti” melakukan tindak pidana. seorang Tersangka akan menjadi Terpidana yang dapat dikenakan hukuman berupa perenggutan secara paksa sebagian Hak-haknya sebagai manusia makhluk Tuhan maupun sebagai warga Negara. Hukuman bisa berupa hukuman percobaan, hukuman penjara waktu tertentu (bulan, tahun, seumur hidup) bahkan sampai hukuman mati.
Inti dari pemeriksaan perkara pidana di semua tingkatan adalah pada “pembuktian”. Syarat pembuktian dan konsekwensi adanya hukuman itulah yang mengharuskan para penyidik untuk menghormati Tersangka karena kemanusiaannya, bukan semata-mata karena kesalahannya. Setiap manusia dianugrahi oleh Tuhan Hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya. Karenanya seorang Penyidik wajib melakukan penyidikan perkara pidana terhadap seseorang secara hati-hati dan adil, hal ini mengingat dampak yang dapat ditimbulkannya tidak main main bagi nasib, harkat daan martabat manusia. Sehingga dalam perkara pidana berlaku asas dan aturan dalam penegakan hukum pidana yakni asas praduga tidak bersalah terhadap Tersangka (presumption of innocence), asas kesetaraan dimuka hukum (equality before the law) dan perkara pidana harus melewati proses pemeriksaan yang dilakukan secara fair, berimbang dan adil (due process of law).


Penyidik vs Tersangka
Dalam Perkara Pidana, berhadapan antara jaksa yang mewakili Negara yang bertugas untuk menegakkan hukum, melawan Tersangka pelanggar hukum yang berdasarkan bukti permulaan cukup, patut diduga sebagai pelaku kejahatan. Jika seseorang telah ditetapkan sebagai tersangka maka sudah barang tentu Penyidik telah mengumpulkan dan akhirnya memiliki bukti bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan status itu pada seseorang.
Untuk mengumpulkan bukti-bukti, Kejaksaan dibekali hak-hak istimewa untuk “memaksa” seseorang. Hak hak itulah yang menjadikan Penyidik kuat dan dominan. Sehingga proses pembuktian dalam penyidikan masih menjadi monopoli penyidik. Penyidik biasanya resisten dengan upaya pembelaan dan tangkisan dari Tersangka dalam rangka untuk membela diri, apalagi jika upaya itu akan mengancam upaya Penyidik dalam membuktikan kejahatan Tersangka, karena asumsinya “tidak akan ada maling yang mengaku”. Tersangka sebagai pihak yang terancam nasibnya kurang memiliki ruang gerak yang cukup untuk mengambil inisiatif dalam melakukan pembelaan, terlebih lagi jika seorang Tersangka awam hokum dan telah ditahan.
Keleluasaan Penyidik terhadap Tersangka ini menjadi tidak berimbang jika sebelum persidangan Tersangka kurang diberikan ruang dan kesempatan untuk melakukan sanggahan, jawaban standar yang biasa muncul dari pihak penyidik kepada Tersangka adalah “simpan saja argument anda sampai nanti di depan hakim”, namun disaat yang sama Penyidik boleh memilih saksi-saksi dan memasukkan argument yang menurutnya relevan untuk mencari kesalahan, menahan dan selanjutnya berharap dapat menjebloskan Tersangka menjadi Terpidana, hal yang saat ini dipandang sebagai prestasi seorang Penyidik.
Karena merasa jerih payahnya dalam menemukan kesalahan Tersangka telah maksimal, Penyidik menjadi lupa bahwa sejatinya yang dicari bukanlah kesalahan Tersangka, namun misi utama penyidikan adalah untuk mencari kebenaran sejati berdasarkan aturan hukum. Sehingga selagi Tersangka belum menjadi terpidana maka kepadanya wajib diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan di semua tahapan. Sekalipun upaya pembelaan itu dimaksudkan untuk melemahkan hasil penyidikan dan meringankan Tersangka namun tidak jarang upaya itu justru menguatkan hasil penyidikan. Namun kalaulah pembelaan itu pada akhirnya akan melemahkan hasil penyidikan, maka sesungguhnya yang terjadi bukanlah “aib” bagi penyidik, seperti yang dianggap selama ini. Penyidik justru telah berprestasi menghindarkan pengadilan menjadi peradilan sesat.
Tujuan penyidikan perkara pidana bukanlah untuk mencari-cari kesalahan, mempermalukan apalagi menyengsarakan atau bahkan memberangus potensi seseorang, tapi penyidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia. Maka benar rasanya adagium “lebih baik melepaskan seribu orang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Dari sini tersirat betapa tingginya nilai kebenaran sejati yang sama-sama sedang dicari oleh Penyidik dan Tersangka itu.
Saksi a de charge
Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana, secara definitive menurut Pasal 1 ayat 1, UU 13/206, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengatahuannya. Keterangan saksi ini adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana.
Saksi a de charge adalah saksi yang menurut Tersangka akan memberikan keterangan yang meringankan bagi dirinya, pengajuan saksi adalah hak Tersangka yang dijamin oleh undang-undang (pasal 65/116 KUHAP). Dan jika dilihat dari definisi saksi menurut undang undang di atas, seorang saksi dapat diajukan kapan saja pada saat dan untuk kepentingan penyidikan maupun persidangan. Harus diingat bahwa saksi a decharge ini jika disampaikan dalam proses penyidikan akan semakin membantu Penyidik dalam mengungkap kebenaran. Fungsi saksi dalam perkara pidana bukan semata mata untuk mencari kesalahan namun juga untuk mengungkap kebenaran. Pemahaman fungsi saksi ini harus dimasyarakatkan untuk mengubah cara pandang yang salah dari sementara penyidik tentang fungsi saksi dalam perkara pidana.
Maka sebelum terlanjur basah karena dipublikasi sebagai tersangka, dicekal, ditahan, dll yang merugikan martabat dan kredibilitas seseorang maka kepada Tersangka wajib diberikan keleluasaan untuk menyanggah sangkaan dengan mengajukan saksi yang meringankan. Penyidik seharusnya tidak buru-buru membuat penilaian dini (premature) apakah saksi yang diajukan oleh Tersangka ini relavan ataukah tidak. Siapapun saksi yang diajukan oleh Tersangka haruslah dicermati urgensinya tapi jangan sekali-sekali hanya ditimbang dari status sosialnya, karena siapapun warga Negara Indonesia, baik pejabat maupun jelata sekalipun, semua setara di depan hukum. Di era Pasca orde baru ini, Presiden Gus Dur, Presiden Megawati dan bahkan Presiden SBY pernah mencontohkan keteladanan dalam menegakkan hokum dengan bersedia diperiksa sebagai saksi. Fakta itu menjadi prasasti indah dalam penegakan hukum di Indonesia, karena setidaknya langkah itu mampu membuat nyaman segenap rakyat dan menjadi pertanda masih adanya kesetaraan di depan hukum bagi siapapun di negeri ini.
Mengingat proses pidana akan berdampak fatal bagi nasib manusia yang terkena, maka semestinya harus mengedepankan Due Process of Law, yakni “An orderly proceeding wherein a person is served with notice, actual or constructive, and has an opportunity to be heard and to enforce and protect his right before a court having power to hear and determine the case (Black Law Dictionary, 6th edition, page 500). Sebelum hakim melalui kekuasaannya untuk memutus perkara, maka kepada Tersangka harus diberikan hak dan kesempatan yang kontrukstif, teratur untuk mengungkapkan segala sanggahannya. Sehingga data-data dan uraian kasus yang diajukan oleh Penyidik ke depan pengadilan kelak adalah berimbang dan adil dari kedua kepentingan baik kepentingan Terdakwa maupun Penuntut. Jika pada akhirnya Tersangka terbukti bersalah dan akhirnya dipidana maka yang bersangkutan telah diadili melalui saluran yang benar tanpa sedikitpun menutup hak-haknya untuk membela diri.
Tidak Tabu
Maka mengapa permintaan Yusril agar SBY menjadi saksi yang meringankan baginya harus dikesankan sebagai hal yang tabu. Karena jika tujuannya adalah penegakkan hukum, maka tokoh-tokoh yang diminta Yusril untuk bersaksi semestinya bersedia memenuhi permintaan itu, terlebih jika perkara ini menyangkut suatu “kebijakan”. Sedang kita tahu kebijakan adalah domain dari seorang pemimpin oleh karena Undang-undang, bukan milik sembarang orang. Sehingga wajar jika Yusril yang adalah mantan Menteri, apalagi dalam perkara yang menyangkut jabatannya kali itu, menggunaan haknya untuk meminta nama-nama besar seperti Megawati, Yusuf Kalla, Kwik Kian Gie dan SBY untuk menjadi saksi yang meringankan bagi dirinya dan demi hokum Kejaksaan berkewajiban untuk memanggilnya. Maka tinggalah kini rakyat menunggu dan berharap dapat kesempatan untuk belajar hukum dari para tokoh di negara yang memproklamirkan diri sebagai Negara hukum ini.
OPINI INI DITULIS OLEH : JUNAIDI ALBAB SETIAWAN, Pemerhati Hukum

Jumat, 20 Agustus 2010

SINYALEMEN SUAP DI MK ?

Tidak mudah memang membangun demokrasi. Sinyalemen adanya upaya suap di MK tentu sangat mengkhawatirkan banyak pihak, hal ini mengingat rakyat Indonesia sudah terlanjur menaruh harapan banyak kepada lembaga ini. Seperti yang kita tahu, salah satu tiang penyangga utama pembangunan demokrasi adalah aturan hukum yang pasti dan adil. dan MK adalah lembaga yanag diharapakan menjadi penopang utama pengakan hukum itu.  

MK memang memiliki kewenangan untuk menafsirkan Konstitusi dan Undang-undang berdasarkan konstitusi juga. Sedang kita tahu aturan aturan dalam konstitusi masih sangat bersifat umum, sehingga wilayah kerja MK juga menjadi sangat luas dan terbuka. Namun kecenderungan yang terjadi di MK belakangan ini menurut pandangan subjektif saya justru sering melahirkan ketidak pastian hukum. Dengan dalih sebagai pengawal konsitusi, MK justru mendeklair dan mengajari kita untuk tidak terpasung pada bunyi pasal-pasal dalam undang undang dan karenanya MK boleh membuat "ïmprovisasi hukum" atas nama kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan ala  MK. Nampaknya MK merasa diberi wewenang mutlak oleh undang-undang untuk membuat improvisasi itu berdasar konstitusi. Sebagai contoh adalah dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU),   sekalipun dalam hal itu undang-undang bahkan  MK sendiri telah  membuat aturan rinci kriteria  PHPU yang dapat diadili  oleh MK di PMK Nomor 15 tahun 2008, namun sering kali MK sendiri yang justru melanggarnya dan tidak konsisten menarapkannya.  Sehingga ada perkara-perkara yang tidak masuk dalam kategori PHPU berdasarkan ketentuan itu tetap lolos dari pemeriksaan awal dan diakomodir oleh majelis hakim MK.

Dalam beberapa pertimbangan putusan PHPU, MK tidak konsiten menggunakan aturan di atas, kadang lantang dan tegas aturan itu di pakai dasar sehingga perkara dinyatakan tidak dapat diterima, namun juga kadang seolah lupa bahwa PHPU memiliki kriterian tertentu, saya menilai terjadi ambivalensi di sini. Maka saking bebasnya MK membuat dan menggunakan tafsiran hukum ala MK, Media Indonesia menggambarkan hanya TUHAN yang bisa mengontrol MK. Singkat kata, terlepas dari segala capaian MK yang spektakuler dan patut kita hargai, namun sekedar tambahan menurut saya, kalaulah dalam menerapkan peraturan, MK boleh diibaratkan sebagai kendaraan bajai, maka hanya sopir bajai dan Tuhan lah yang tahu kapan bajai belok dan berhenti, maka berhati hatilah kalau kita berjalan di belakangnya. Berbayakah situasi ini ?, mengingat MK adalah milik kita, mari kita renungkan bersama dan beri masukan untk kemajuan MK kedepan.