Kamis, 23 Oktober 2014

MAFIA MIGAS, PENGUASA, LEMAHNYA REGULASI

Memberantas Mafia Migas bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun mafia migas sudah menjadi isu sejak lama, namun tidak satupun rezim yang mampu mengatasinya. Pengelolaan Migas untuk mewujudkan kedaulatan energi masih sebatas wacana. Hingga kini Migas masih dikelola secara unprofessional, parsial dan tertutup. Sekalipun disetiap menjelang pergantian rezim yang ditandai dengan perebutan kekuasaan isu ini selalu muncul ke permukaan dan menjadi penyedap debat debat politik. Namun setelah kekuasaan didapat, isu inipun akan hilang perlahan. Selanjutnya disetiap rezim baru akan muncul mafia baru atau mafia baru yang bersinergi dengan mafia lama. Dengan model dan praktek berpolitik transaksional, adalah mustahil berpolitik tanpa dana besar. Sehingga bisnis di sektor migas akan terus menjadi sasaran dan target untuk menopang keberlangsungan rezim. Besarnya pendapatan sector Migas akan terus menjadi daya tarik bagi politisi dan tanpa support penguasa, mafia tidak akan berkembang. Maka sosok menteri ESDM dan jabatan lain terkait migas menjadi penting pada sebuah rezim. Siapa yang menduduki posisi itu akan menjadi penanda keseriusan rezim ini untuk membenahi sector Migas. Jika yang muncul adalah orang lama yang terbukti tidak mampu membawa kebaikan, orang partai yang tidak mempunyai kompetensi yang kuat di bidang Migas, orang dengan track record buruk dalam dunia Migas atau pejabat negara pelindung Mafia Migas yang berafeliasi ke kartel Migas luar negeri, atau lulusan pekerja di seven sisters company industri tambang, seperti Freeport, Newmont, Shell, British Petroleum, Chevron, Exxon Mobil dengan potensi conflict of interest-nya, maka sudah bisa dipastikan bahwa rezim ini tidak serius dalam mewujudkan kedaulatan di bidang energi. Karena semua jargon dan harapan itu hanya akan terwujud jika posisi strategis dalam bidang Migas itu dipegang oleh orang yang berkompeten, jujur dan memiliki keberpihakan yang nyata kepada Bangsa dan Negara. Dari sinilah sesungguhnya upaya perbaikan itu berawal. Belakangan kita sering mendengar berita-berita emosional mengenai mafia Migas. Berita seperti pembekuan anak usaha Pertamina Petral (Pertamina Energy Trading Limited), wacana pembubaran SKK Migas, amandemen total UU Migas 2001, penyatuan usaha hulu dan hilir Migas dll. Usulan itu lebih bersifat politis temporal dan belum menyentuh perbaikan mendasar. Dari kacamata politik, isu-isu tersebut tidak bisa dipegang validitas motivenya sehingga belum perlu ditanggapi dengan serius. Pembekuan Petral misalnya, sering dikaitkan dengan oknum rezim lama yang bersebrangan dengan calon rezim baru. Kenapa hanya Petral yang selalu diangkat ke permukaan?, karena banyak kasus serupa yang merugikan negara, seperti kasus Innospec. Ltd yang dihukum pengadilan Southwark Crown membayar denda US $ 12.7 juta karena menyuap pejabat-pejabat Migas Indonesia, kasus impor minyak oplos Zatapi oleh Gold Minor International Ltd yang sudah diaudit BPK dan tak berkelanjutan, bak ditelan bumi. Mengejar Laba Pembenahan sector Migas harus merujuk kepada konstitusi. Konsistensi dalam merumuskan aturan hukum Migas menjadi sangat penting. Di zaman orde lama, arah dan tujuan pengelolaan Migas lebih konsisten dan jelas dirumuskan dalam berbagai peraturan dibanding sekarang. Namun seiring dengan pergantian rezim, arah dan tujuan ini mengalami pergeseran. Amanat konstitusi gagal dipahami dan dilaksankan dalam praktek nyata. Konstitusi menegaskan bahwa migas yang terkandung di bumi Indonesia adalah kekayaan alam yang langsung dikuasai negara. Penegasan tersebut selain merupakan pernyataan kepemilikan, juga merupakan maklumat bahwa pengupayaan, pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam tersebut hanya dapat dilakukan oleh Negara untuk mencapai kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat yang dikehendaki oleh kostitusi adalah sesuatu yang abstrak. Ukurannya adalah angka-angka besaran pendapatan Negara, yang salah satu sumbernya dari usaha Migas sebagaimana tercermin dari APBN. Semakin tinggi pendapatan maka semakin mudah merealisasikan rencana Negara untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Sehingga pengusahaan migas seharusnya bertujuan untuk mencari laba maksimal untuk mempertinggi pendapatan negara . Oleh Undang-undang Migas 2001, amanat konstitusi itu dimaknai : “minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh Negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat”. Dengan demikian Migas adalah komoditas yang menjadi objek perniagaan. Karena migas adalah komoditas, maka SKK Migas yang memperniagakan hasil usaha migas sesungguhnya sedang mencari laba. Janggal rasanya jika SKK Migas yang diberi tugas menandatangani Kontrak bisnis, namun tidak bertujuan untuk mencari laba. Perihal laba seharusnya menjadi perhatian khusus dalam kegiatan usaha hulu migas agar sejalan dengan kewajiban Negara untuk menggunakan migas bagi kemakuran rakyat yang hanya bisa diwujudkan jika Negara dapat menarik laba maksimal dari kegiatan usaha Migas. Jika tujuan pengusahaan Migas tidak untuk mencari laba, maka idealnya Kuasa Pertambangan diberikan kepada suatu entitas bisnis bentukan Negara yang bertugas mengejar laba, baik PT Persero maupun Perum. Sehingga transaksi yang terjadi adalah Busines to Busines, bukan Government to Busines sebagaimana terjadi sekarang antara SKK Migas dengan KKKS ataupun Trader. Posisi ini berakibat para pihak dalam kontrak menjadi tidak seimbang. Jika Negara sebagai regulator sekaligus menjadi pihak dalam kontrak maka posisi Negara terdegradasi, selain juga membawa konsekwensi Negara menjadi terpapar langsung dengan risiko bisnis dengan pihak swasta. Kuasa Pertambangan Dalam UU Migas lama, No. 44 Prp. Tahun 1960, pernah diatur bahwa pengusahaan minyak dan gas bumi hanya dapat diselenggarakan oleh Negara dan pelaksanaannya dilakukan oleh Perusahaan Negara. Ketentuan ini cukup ideal dan untuk memfasilitasi ketentuan ini dibentuklah Perusahaan Negara P.N. PERMINA dan PN. PERTAMIN yang kemudian oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 digabung menjadi Perusahaan (PERTAMINA), dengan diberikan kuasa pertambangan. Status ini membuat Pertamina fokus bekerja untuk mengejar laba bagi Negara. Hal ini segaris dengan amanat konstitusi, yakni pengusahaan migas hanya dapat dilakukan oleh Negara melalui perusahaan milik Negara, tentu dengan kemungkinan bekerjasama dengan pihak lain. Namun belakangan terjadi perubahan drastis, Undang-Undang Migas 2001 memberi kuasa pertambangan kepada pemerintah. Kuasa tersebut dilaksanakan oleh badan hukum yang bernama BP Migas yang tidak bertujuan mencari laba. Paska putusan MK, tugas-tugas badan itu kini dijalankan oleh SKK Migas bagian khusus di kementerian ESDM. SKK Migas inilah yang kini menjadi pelaksana kuasa pertambangan. Regulasi ini tentu menimbulkan kegamangan posisi, idealnya kuasa pertambangan diberikan kepada Perusahaan Negara yang dibentuk untuk berbisnis Migas dan selanjutnya SKK Migas hanya bertugas mengawasi dan mengatur kegiatan. Sampai sekarang Indonesia tidak mampu merumuskan aturan permanen komprehnsip perihal kuasa pertambangan. Oleh karenanya rezim baru sebaiknya focus pada upaya merumuskan regulasi terbaik kegiatan usaha hulu migas, dibanding melakukan langkah-langkah dramatis emosional, seperti “pembekuan”, “pembubaran”, “penggantian” dll yang tidak dilandasi dengan dasar yang kuat. Junaidi Albab Setiawan, albabsetiawan@gmail.com, Praktisi dan Pengamat Hukum Migas

Selasa, 01 Juli 2014

INDONESIA DALAM DARURAT PENGELOLAAN MIGAS

Debat Cawapres beberapa malam lalu semakin menegaskan keberadaan mafia Migas, dan ketidakmampuan kita sebagai bangsa mengatasi masalah itu. Putusan perkara korupsi Rudy Rubiandini (RR) telah menjadi putusan tetap (in kracht van gewijsde) menyusul sikap hokum Jaksa Penuntut Umum KPK yang tidak mengajukan banding terhadap putusan tersebut, setelah melewati masa pikir pikir 7 (tujuh) hari sejak diputuskan sebagaimana diatur oleh undang-undang. Tanggapan RR terhadap putusan tersebut terucap dalam kalimat singkat bahwa dirinya “Tidak puas tapi ikhlas”. Ungkapan itu adalah ungkapan yang paling tepat untuk disampaikan oleh RR mantan kepala SKK Migas yang tertangkap tangan menerima titipan gratifikasi di rumahnya. Mengapa iklas dan mengapa tidak puas? Tentu terdapat alasan yang menyertainya. Iklas karena disadari dalam peristiwa ini tangan Tuhanlah yang sedang bekerja, karena pada faktanya dan sulit ditolak kebenarannya bahwa Deviardi pergi kerumah RR dengan membawa uang gratifikasi dalam jumlah dan bentuk yang tidak normal dan ditinggalkan di rumah RR. Mengapa tidak puas? Karena terlepas dari kenyataan yang harus diterima dengan iklas itu, KPK semestinya lebih mendalami motive apa sehingga RR bersedia menerima hadiah itu?, dari titik itulah maka permaslahan RR ini akan lebih bermakna bagi pemberantasan korupsi karena dapat memasuki wilayah korupsi dalam pengelolaan Minyak dan gas (Migas) yang sesungguhnya, tapi nyatanya masalah utama itu justru kurang mendapatkan perhatian yang serius. Dalam peristiwa ini, RR semestinya diposisikan sebagai korban keganasan korupsi, mafia Migas, di dalam perbisnisan Migas. Karena RR adalah pendatang yang tidak dikehendaki namun berani “berulah” sehingga mengusik ketenangan, kemapanan dan kenyamanan para penikmat Migas saat ini. Karena orang orang itu tidak terlihat nyata, apalagi jika dilihat dari parameter hukum. Namun jika dilihat dari kerusakan yang ditimbulkannya, Mereka bisa jadi terdiri dari oknum-oknum stakeholder kunci dari berbagai kepentingan baik sebagai praktisi maupun politisi yang dalam posisinya menguasai semua fungsi dan peran strategis baik karena posisinya dapat berpengaruh dalam menentukan kebijakan Migas. Dan tidak ketinggalan tentu peran “cukong-cukong” pemburu rente yang menghalalkan segala cara untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari usaha Migas. Bertahun-tahun mereka telah bersatu padu saling menyokong dan membutuhkan dengan perannya masing-masing dalam satu kepentingan dan pantang untuk diganggu gugat. Dari berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh KPK dalam kasus RR, sudah tersurat dan tersirat betapa bisnis Migas ini menjadi magnet yang sanggup menarik nama-nama besar dalam dunia politik dan pemerintahan maupun bisnismen dalam dan luar negeri untuk masuk terlibat bermain di dalamnya. Di dalam konstitusi kita ditegaskan bahwa Migas dikategorikan sebagai harta kekayaan alam yang langsung dikuasai oleh negara yang harus dikelola dan dimanfaatkan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat. Namun sejauh ini harapan tersebut masih sebatas harapan yang tak kunjung menjadi kenyataan. Dalam praktek ternyata Migas masih gagal dimanfaatkan secara maksimal untuk tujuan mensejahterakan rakyat. Hal itu karena ternyata para stakeholder utama tidak berdaya berhadapan dengan system politik dan ekonomi yang menyandera kemandirian mereka, sehingga yang tumbuh subur justru perilaku sebaliknya. Hal itu tercermin dari sikap para pelaku yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok, golongan dan kepentingan partai masing-masing. Akibatnya pengelolaan Migas yang menjadi tulang punggung pendapatan Negara dikelola secara tidak professional dan kurang transparan sehingga kurang memberikan hasil yang maksimal. Pengelolaan Migas bagai terkotak-kotak sesuai kepentingan dan kiblat politik pengelolanya. Padahal Migas merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh Negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat tanpa perbedaan. Saat ini kasus Rudy Rubiandini telah membangunkan kita semua dan memberi kesadaran betapa pengelolaan Migas kita dalam situasi darurat dan jauh dari harapan. Peristiwa RR itu harus diberi garis bawah dan dijadikan pintu masuk (entry point) dalam mengurai silang sengkarut pengelolaan Migas yang tidak kunjung membaik dari waktu ke waktu dan dari rezim ke rezim. Kalau ada sekalangan orang yang mempersempit permasalahan RR dengan pendapat sempit sekedar untuk menghukum RR dengan hukuman yang berat dengan harapan akan berefek jera pada dirinya dan pada yang lain, dan pada ujungnya diharap dapat mengakhiri permasalahan Migas, maka pendapat tersebut adalah sungguh keliru. Pidana penjara berapapun lamanya atau bahkan menimpakan seluruh kesalahan dan kebobrokan dalam pengelolaan Migas yang terjadi sejak dahulu dari rezim ke rezim hanya kepundak RR, yang baru menjabat kepala SKK Migas selama 7 (tujuh) bulan, tidak akan membawa manfaat bagi penertiban pengelolaan Migas. Karena yang dibutuhkan dan harus segera dilakukan saat ini adalah menutup rapat-rapat peluang korupsi di sektor Migas sejak hulu hingga hilir bahkan sejak pembuatan regulasinya. Mengingat strategisnya Migas, semestinya siapapun yang bermaksud memberantas penyakit yang telah menahun ini, segera membuat sebuah desain penertiban yang sistematis dilakukan secara holistic dan serentak, sehingga menghasilkan manfaat yang besar bagi upaya pemberantasan korupsi di sektor Migas, dan dalam rangka itu orang-orang dengan keahlian khusus dan langka seperti RR dapat dibebani hukuman selaku nara sumber sebagai tambahan hukuman, karena dengan hanya mengurung RR di balik jeruji tidak akan mendatangkan manfaat apa-apa bagi pemberantasan korupsi di sektor Migas ini. Sistem hukuman tambahan ini memang belum memiliki dasar hokum tapi patut kita pikirkan, diilhami oleh film Catch Me If You Can, yang dibintangi Reonaldo DiCaprio, sebuah film drama biograpi kejahatan yang bersumber dari kisah hidup Frank Abagnale. Dimana seorang penjahat bank, dengan keahliannya dihukum untuk membantu membongkar kejahatan sejenis bahkan yang lebih besar, tentu saja dengan kompensasi berupa pengurangan hukuman. Upaya penertiban SKK Migas sebenarnya telah dimulai oleh RR sejak menjabat sebagai kepala SKK Migas, setelah melakukan evaluasi dan konsolidasi internal, pada bulan ke tiga di masa jabatannya RR telah cukup tegas memecat seorang mantan deputy KPK dari SKK Migas dan berani mengirimkan “signal” melalui surat resmi kepada KPK untuk bekerjasama menertibkan SKK Migas, namun rupanya signal itu dipandang sebelah mata dan tidak ditanggapi, karena bagi pihak tertentu signal itu dimaknai sebagai ancaman bagi kepentingan mereka. Upaya awal itu sebenarnya harus segera didalami. Upaya RR sudah pasti tidak berjalan mulus dan bahkan di internalpun mengalami hambatan dan serangan balik yang cukup keras, bahkan disertai berbagai upaya menyingkirkan RR dari SKK Migas, upaya perlawanan itu terus terjadi dan dilakukan oleh pihak-pihak yang terancam kepentingannya. Rencana RR untuk menerapkan e-procurement yang membuat lelang-lelang di dalam pengelolaaan dan pemanfaatan Migas menjadi transparan dan terukur tentu sangat mengkawatirkan semua pemain Migas, karena akan menutup peluang intervensi dalam menentukan pemenang lelang, dll. Belum lagi upaya membongkar kasus-kasus besar korupsi Migas dalam pengelolaan Migas yang pernah terjadi, kasus-kasus ini diindikasikan telah menimbulkan kerugian kepada Negara dalam jumlah yang sangat fantastis namun mangkrak dan tidak terurus. Upaya-upaya RR ini tentu dimaksudkan sebagai trigger kearah pembenahan, namun ternyata banyak disalah pahami dan ditentang oleh berbagai kepentingan yang sudah terlanjur mapan menikmati Migas dalam system pengelolaan yang korup. Membongkar kejahatan-kejahatan besar dalam pengelolaan Migas tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang tidak berani menghadang risiko, dan faktanya sejauh ini dokumen-dokumen itu hanya menjadi onggokan kertas tanpa arti, dan beberapa dokumen itu kini sudah disampaikan oleh RR kepada seluruh komisioner KPK. Saat ini tidak ada manfaatnya seorang RR dengan ilmu dan pengalamannya yang cukup mumpuni di bidang Migas terkurung dibalik jeruji, tapi lebih bermanfaat jika RR dimanfaatkan oleh KPK untuk membongkar lebih jauh gurita korupsi di bidang Migas. Para pelaku kakap korupsi di dunia Migas ini sesungguhnya masih berkeliaran dengan segala status dan kehormatannya dan orang-orang itulah bahkan yang memiliki potensi daya rusak yang dahsyat karena kemampuan financial dan kekuatan politiknya. Inilah kiranya hal-hal utama yang membuat RR tidak puas. Bidang Migas ini telah dikelola dan dipimpin oleh orang-orang besar di pemerintah, nama-nama besar seperti Poernomo Yusgiantoro yang pernah menjabat sebagai menteri Pertambangan dan Energi di beberapa kabinet sejak 2001 sampai dengan 2009 bahkan saat ini masih menjabat dalam jabatan strategis sebagai menteri Pertahanan, kemudian Koentoro Mangkusubroto sekarang Kepala UKP4 (Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) yang berhasil memimpin restorasi Aceh dan Nias dari bencana Tsunami , dan bahkan tidak kurang Presiden RI dalam dua kali masa jabatan sampai sekarang Susilo Bambang Yudoyono (SBY) adalah bekas menteri ESDM. Namun ironisnya hingga sekarang pengelolaan bidang Migas ini gagal menghasilkan orang-orang besar yang mampu menerapkan system pengelolaan yang transparan, accountable dan berorientasi kepada penghasilan Migas yang maksimal bagi Negara demi kemaslahatan seluruh rakyat. Bahkan ditengarai sistem yang dipakai saat ini masih menimbulkan potensi koruptif karena mudah diintervensi dari luar dan mudah disalahgunakan untuk kepentingan segelintir para pelaku pengelola dan pembisnis minyak. Jika tidak dilakukan pembenahan dan pemberantasan secara terpadu dan massif maka sampai kapanpun permasalahan korupsi dalam pemanfaatan Migas ini akan terus terjadi dan berulang bagai “kutukan” bagi bangsa ini. Inilah beberapa titik rawan yang perlu diwaspadai dalam pengelolaan Migas, yakni pada penunjukan wilayah kerja dan kontrak kerja sama, pengawasan proses produksi, perpanjangan kontrak kerjasama, manipulasi data cost recovery, pipeline, transportasi terutama sewa tanker (shiping), lelang pengadaan dan lelang penunjukan penjual Migas bagian Negara, penjualan di luar Kontrak production sharing di laut lepas, dll. Saat ini kendali atas semua urusan itu ada ditangan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (disingkat: SKK Migas), adalah institusi yang dibentuk oleh Pemerintah RI melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Badan ini menggantikan BP.MIGAS yang dibubarkan Mahkamah Konstitusi pada 13 November 2012 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. SKK Migas bertugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama. Pembentukan lembaga ini dimaksudkan supaya pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam tugasanya SKK Migas menyelenggarakan fungsi sebagai kepanjangan tangan Negara, sebagai pemilik, pengatur, pelaku dan pengawas di bawah koordinasi kementerian ESDM , menyangkut hal-hal sebagai berikut; 1. Penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama; 2. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; 3. Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan untuk mendapatkan persetujuan; memberikan persetujuan rencana pengembangan selain sebagaimana dimaksud dalam poin sebelumnya; memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; 4. Melaksanakan monitoring dan melaporkan pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; dan 5. Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. Fungsi ini sangat strategis dan menjadi pusat daya tarik bagi para pelaku bisnis Migas. Seseorang atapun badan lembaga yang dipercaya untuk mengelola Migas diibaratkan seperti gula. Seorang kepala SKK Migas misalnya, hanya dengan duduk di kantor tanpa harus berbuat sesuatu, orang akan datang tanpa diminta, menghampiri dan menawarkan berbagai hadiah dan fasilitas dengan motivenya masing-masing. Dengan situasi dan kondisi itu pula maka selama ini SKK Migas dianggap sebagai lahan basah yang mendatangkan uang melimpah jika ukurannya hanya sekedar kepentingan pribadi dan sekelompok organisasi. Sehingga pengelola Migas termasuk SKK Migas kerap diposisikan sebagai “sapi perah” sumber pelicin untuk memuluskan kepentingan bisnis, politis maupun kepentingan hubungan lintas pemerintahan. Pernah diawal RR menjabat sebagai kepala SKK Migas, RR dikagetkan oleh tagihan hutang sebesar 1 juta US dollar yang konon diwarisi dari pendahulunya. Seorang Kepala SKK Migas dalam posisinya, dipaksa oleh keadaan untuk mengakomodir kepentingan itu, lebih tidak berdaya lagi jika “tekanan” itu dilakukan dengan meminjam tangan oknum penguasa atau oknum-oknum dalam lingkaran kekuasaan. Dan pada akhirnya, jalan keluar untuk menghindar dari tekanan itu pilihannya hanya dua, yakni mundur dari jabatan atau melawan yang berarti siap mati. Hal itu sama artinya bahwa penguasa Migas yang sesungguhnya saat ini bukanlah Negara dalam artian teoritis ketatanegaraan, namun gabungan dari kekuatan politik dalam maupun luar negeri, termasuk didalamnya oknum-oknum yang dekat ataupun memiliki akses kepada penguasa dan kekuatan bisnis yang dikuasai oleh beberapa gelintir orang dari dalam negeri maupun asing. Hal ini tidak mengherankan karena Migas merupakan komoditas yang sangat menghasilkan keuntungan dan dinilai penting tidak saja pada masa lalu dan saat ini, tetapi masih akan berperan sebagai penyumbang terbesar energi dunia beberapa decade ke depan. Tanpa kerja besar berupa penataan ulang pengelolaan Migas secara lebih berperi kerakyatan, modern dan terbuka maka permasalahan Migas ini tidak akan pernah selesai. Migas berperan stategis dalam menopang ekonomi dan menggerakkan pembangunan Indonesia karena posisinya sebagai sumber pendapatan terbesar diluar pajak, Migas bukanlah komoditi biasa, selain nilai ekonomisnya yang tinggi Migas juga dikenal sebagai alat politik, bahkan dikenal adagium “siapa menguasai Migas dialah penguasa yang sesungguhnya”. Sekalipun konstitusi kita sudah menggariskan dengan sangat tegas bahwa sebagai penguasa tunggal Migas adalah negara, namun ternyata kekuasaan Negara itu masih dengan mudah dibelokkan, disalah gunakan dan disalah tafsirkan. Cukuplah kiranya peristiwa RR ini menjadi pengingat bagi kita bahwa Indonesia berada dalam situasi “darurat pengelolaan Migas” dan membutuhkan segera perhatian dan penanganan serius dari segenap anggota bangsa untuk membenahinya.

Kamis, 15 Mei 2014

BOEDIONO BUKAN SAKSI KUNCI

Peradilan terhadap Budi Mulya yang saat ini sedang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta akan bergeser menjadi pengadilan terhadap Boediono jika pengadilan terprovokasi oleh anjuran seorang politisi di KoranSindo 5 Mei 2014, hal 4, agar “Jaksa dan Hakim harus menempatkan Boediono sebagai saksi kunci sekaligus actor intlectual dalam kasus tersebut”. Anjuran tersebut menjadi premature dan dapat memberi pengaruh buruk terhadap proses persidangan yang sedang berlangsung jika diuji dari dua ukuran yang lazim, pertama, benarkan Boediono sebagai saksi kunci?, kedua, benarkan Boediono sebagai actor intlektual?. Padahal kita semua tahu bahwa peradilan dalam perkara BM yang rencananya pada hari Jum’at tanggal 9 Mei 2014 nanti akan dihadiri oleh Boediono sebagai saksi, berlangsung karena adanya dakwaan jaksa KPK terhadap terdakwa BM dengan dugaan telah melakukan tindak pidana korupsi dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penempatan Bank Century sebagai Bank Gagal berdampak Sistemik, yang diduga dilakukan oleh Terdakwa. Namun tulisan ini samasekali tidak akan membahas tentang pemberian FPJP dan penempatan Bank Century sebagai Bank Gagal berdampak sitemik, menurut penulis pembahasan masalah itu kehadapan publik pada saat peradilan perkara tersebut yang sedang berlangsung rasanya tidak etis. Benarkah Boediono saksi kunci?, Boediono sebagai saksi tidak ada istimewanya di banding saksi yang lain, posisinya dalam hal hak dan kewajibannya sebagai saksi sama dengan saksi-saksi yang lain, namun oleh karena kedudukan Boediono saat itu sebagai Gubernur BI, maka menurut persepsi awam yang bersangkutan diposisikan sebagai pemegang otoritas tunggal tertinggi di BI. Asumsi demikian sebenarnya salah kaprah dan bisa dihindari jika saja mereka mau mendalami lebih jauh mekanisme internal di BI serta prosedur dan sifat pengambilan keputusan di BI. Undang-undang bahkan secara tegas mengatur bahwa dalam melaksanakan tugasnya Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Gubernur yang terdiri dari seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior dan sekurang-kurangnya 4 (empat) orang atau sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) Deputi Gubernur dengan Gubernur sebagai pemimpin Dewan Gubernur (pasal 36 jo pasal 37) UU BI. Dewan Gubernur mewakili Bank Indonesia di dalam maupun di luar Pengadilan, dimana kewenangan mewakili tersebut dilaksanakan oleh Gubernur . Posisi ini menjadikan Gubernur menjadi sering muncul di hadapan publik mewakili BI dan tidak salah jika dipersonifikasikan sebagai wakil BI, akan tetapi menjadi salah besar jika dipersepsikan sebagai pelaku kunci (master of mind) pemegang otoritas mutlak atas seluruh kebijakan BI. Berdasarkan anatomi di atas jelas Boediono karena posisinya bukanlah saksi kunci. Selanjutnya lebih jauh kita harus tahu dimanakah posisi Boediono dan posisi Terdakwa BM di BI sewaktu peristiwa Pemberian FPJP dan status Century sebagai bank gagal berdampak sistemik itu terjadi. Berdasarkan keputusan Gubernur Bank Indonesia No. 9/53A/KEP.GBI/INTERN/2007 tanggal 22 November 2007 Jo Keputusan Gubernur Bank Indonesia No. 10/50/KEP.GB/INTERN/2008 tanggal 31 Oktober 2008, tentang pembagian tugas Anggota Dewan Gubernur BI. Boediono bertugas membawahi bidang 1 (satu) yakni pengawasan intern , SDM, Perencanaan Strategis, Humas dan dengan Satuan Kerja Direktorat Pengawasan Intern. Sedang BM adalah Deputi Gubernur Bidang IV yang membawahi Pengelolaan Moneter Devisa dan KPW. Dengan dasar itu, hal-hal apa sajakah yang telah dilakukan oleh Terdakwa BM dalam jabatannya tersebut, tentu yang bersangkutanlah yang lebih tahu dan tidak serta merta semua yang dilakukan oleh Terdakwa maka Boediono pasti tahu, atau sebaliknya. Dengan posisi tersebut sulit untuk menyimpulkan terjadinya persekutuan ide diantara keduanya (teww of meer verenigde personen) karena tugas masing-masing yang sudah terbagi secara definitive di atas. Sehingga opini buru-buru yang menempatkan seolah Boediono sebagai saksi kunci adalah salah. Dan jika sejak dari awal pengadilan terpengaruh oleh pikiran salah di atas, maka pengadilan yang semestinya membuktikan kebenaran dakwaan Jaksa terhadap BM justru akan bergeser menjadi pengadilan bagi Boediono. Anjuran salah tersebut akan berpotensi mengganggu prinsip-prinsip due process of law yang menghendaki pembuktian secara fair, hal itu karena sebelum Boediono bersaksi telah di posisikan sebagai saksi kunci yang diberi label sebagai “actor intlektual”. Maka untuk selanjutnya akan sulit menjadikan proses peradilan ini berjalan netral yang diharapkan bisa menjadi pintu terakhir penyelesaian kasus Bank Century. Selain itu, pelabelan tersebut adalah tuduhan serius yang mendahului proses peradilan, karena tuduhan sebagai actor intlektual dalam suatu peristiwa pidana berarti menuduh Boediono sebagai otak berbagai tindakan yang menyimpang dalam kasus Bank Century (kbbi3) atau perancang suatu tindak pidana kejahatan. Pengadilan demi hukum harus menghindar dari anjuran anjuran yang menyesatkan seperti di atas, karena jika pengaruh dari anjuran salah tersebut merasuki pikiran para penegak keadilan di persidangan, maka fungsi pengadilan pidana yang berasas bebas, jujur dan tidak memihak menjadi tercemar. Padahal mekanisme peradilan harus berlangsung menurut cara yang telah diatur dalam Undang-undang. Artinya jika pengadilan telah terkontaminasi oleh pikiran salah dan menyesatkan semacam itu, maka peradilan tersebut akan menjadi peradilan sesat pula, karena sama artinya Hakim, Jaksa Penuntut dan Penasehat Hukum telah mendahului takdir dan berlaku tidak adil sejak dalam pikirannya. Provokasi semacam itu juga akan menjadikan pengadilan bergeser dari paradikma esensialnya untuk mencari kebenaran bergeser menjadi upaya untuk mencari-cari kesalahan. Modal awal dari suatu pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan adalah Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari seluruh saksi-saksi yang kemudian dengan dukungan alat bukti lain diformulasikan dalam suatu surat dakwaan yang menguraikan peristiwa hukumnya dan menentukan pasal-pasal yang didakwakan telah dilanggar oleh Terdakwa. Itulah pedoman yang harus diikuti oleh semua yang terlibat dalam penegakan hukum dalam persidangan. Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Terdakwa dan Penasehat Hukum akan membuktikan kebenaran dakwaan Jaksa tersebut, dengan mencermati seluruh bukti yang salah satunya adalah dengan menggali informasi sahih dari para saksi yang melihat, mendengar dan mengalami langsung peristiwanya (pasal 1 (26) KUHAP). Seorang saksi tidak bisa ditekan, dipaksa dan dipengaruhi dengan melalui pengaruh opini-opini sesat agar menjadi mendengar, melihat dan apalagi mengalami peristiwa yang tidak didengar, tidak dilihat dan tidak dialami dengan mata kepalanya sendiri. Kehadiran Boediono sebagai saksi adalah untuk digali pengetahuannya menyangkut dan sebatas peristiwa yang diuraikan dalam dakwaan. Boediono bisa tahu dan bisa juga tidak tahu atau bahkan lupa terhadap detail peristiwa yang akan ditanyakan oleh Majelis hakim, Jaksa Penuntut, Penasehat Hukum dan bahkan Terdakwa nanti di depan persidangan. Yang di gali oleh para penegak hukum adalah mencari peristiwa yang benar dan tidak lain dari pada yang sebenarnya bukan peristiwa yang salah apalagi mengada-ada. Namun dengan pelabelan sebagai actor intlektual berarti Boediono telah diposisikan sebagai saksi yang sekaligus adalah otak dari kejahatan yang didakwakan. Bukan Pengadilan Politik Jangan jadikan pengadilan yang sedang berlangsung ini kembali menjadi ajang untuk bersilang sengkarut untuk memuaskan hasrat politik, terlebih dengan menebar opini-opini yang mencoba mempengaruhi pengadilan atau khususnya aparat hukum. Dari riwayat hidupnya dapat diketahui bahwa Sri Mulyani dan Boediono jelas bukan politisi, karenanya mereka tentu tidak pandai bermain main opini untuk tujuan politik. Mereka dipercaya menduduki jabatan itu berdasar kompetensi dan kapasitas keilmuan, bukan meminta-minta mencari kedudukan, sebagaimana lazimnya sekarang. Celakanya opini salah di atas menggiring masyarakat berpikir salah pula, sebagai buah dari provokasi masyarakat menjadi salah dalam menilai karena telah melekat dalam alam bawah sadar pikirannya seolah-olah Boediono adalah sebagai dalang kejahatan Bank Century. Jika nanti dalam sidang ternyata Boediono menjawab tidak tahu karena benar benar ketidak tahuannya, maka seketika masyarakat akan mudah dibawa persepsinya dengan menuduh sebagai berbohong atau menutup nutupi kebenaran. Itulah posisi delematis yang harus dihadapi oleh Boediono akibat penyesatan opini tersebut. Saat ini kasus Century telah memasuki ranah hukum dan ditangani oleh para penegak hukum yang menjalankan tugasnya karena amanat undang-undang. Saat ini ada baiknya para politisi diam sejenak dan memberi kesempatan kepada para penegak hukum untuk bekerja secara bebas. Harus diingat dan disadari bahwa proses penyelesaian kasus Bank Century secara politik telah berlangsung secara hingar bingar selama bertahun-tahun, namun hingga saat ini tidak berujung dan masih saja membingungkan masyarakat. Maka saat ini tibalah gilirannya agar para politisi dengan iklas berani diam dan menanggalkan agenda agenda politiknya dalam masalah ini yang belum tercapai agar penyelesaian kasus Bank Century ini di Pengadilan berjalan semestinya dan tidak lagi membingungkan masyarakat. Selama proses hukum berlangsung ada baiknya kita belajar mendengar, seorang bijak pernah berpesan : “when you talk, you are only repeating what you already know. But if you listen, you may learn something new”. Terlepas dari kebenaran hukum yang sedang diihtiarkan oleh aparat hukum, sebagai warga negara yang sedang membangun demokrasi yang berlandaskan supremasi hukum, kita layak menghargai kesediaan Boediono dengan jabatannya saat ini sebagai Wakil Presiden yang bersedia hadir tanpa syarat untuk bersaksi di depan Pengadilan. Peristiwa itu akan menjadi teladan karena Boediono akan tercatat dalam sejarah sebagai Pejabat tertinggi yang pernah bersaksi di pengadilan karena dilandasi keyakinanya untuk taat hukum dan tunduk pada supremasi hukum bukan karena kekuasaan.