Kamis, 15 Mei 2014

BOEDIONO BUKAN SAKSI KUNCI

Peradilan terhadap Budi Mulya yang saat ini sedang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta akan bergeser menjadi pengadilan terhadap Boediono jika pengadilan terprovokasi oleh anjuran seorang politisi di KoranSindo 5 Mei 2014, hal 4, agar “Jaksa dan Hakim harus menempatkan Boediono sebagai saksi kunci sekaligus actor intlectual dalam kasus tersebut”. Anjuran tersebut menjadi premature dan dapat memberi pengaruh buruk terhadap proses persidangan yang sedang berlangsung jika diuji dari dua ukuran yang lazim, pertama, benarkan Boediono sebagai saksi kunci?, kedua, benarkan Boediono sebagai actor intlektual?. Padahal kita semua tahu bahwa peradilan dalam perkara BM yang rencananya pada hari Jum’at tanggal 9 Mei 2014 nanti akan dihadiri oleh Boediono sebagai saksi, berlangsung karena adanya dakwaan jaksa KPK terhadap terdakwa BM dengan dugaan telah melakukan tindak pidana korupsi dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penempatan Bank Century sebagai Bank Gagal berdampak Sistemik, yang diduga dilakukan oleh Terdakwa. Namun tulisan ini samasekali tidak akan membahas tentang pemberian FPJP dan penempatan Bank Century sebagai Bank Gagal berdampak sitemik, menurut penulis pembahasan masalah itu kehadapan publik pada saat peradilan perkara tersebut yang sedang berlangsung rasanya tidak etis. Benarkah Boediono saksi kunci?, Boediono sebagai saksi tidak ada istimewanya di banding saksi yang lain, posisinya dalam hal hak dan kewajibannya sebagai saksi sama dengan saksi-saksi yang lain, namun oleh karena kedudukan Boediono saat itu sebagai Gubernur BI, maka menurut persepsi awam yang bersangkutan diposisikan sebagai pemegang otoritas tunggal tertinggi di BI. Asumsi demikian sebenarnya salah kaprah dan bisa dihindari jika saja mereka mau mendalami lebih jauh mekanisme internal di BI serta prosedur dan sifat pengambilan keputusan di BI. Undang-undang bahkan secara tegas mengatur bahwa dalam melaksanakan tugasnya Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Gubernur yang terdiri dari seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior dan sekurang-kurangnya 4 (empat) orang atau sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) Deputi Gubernur dengan Gubernur sebagai pemimpin Dewan Gubernur (pasal 36 jo pasal 37) UU BI. Dewan Gubernur mewakili Bank Indonesia di dalam maupun di luar Pengadilan, dimana kewenangan mewakili tersebut dilaksanakan oleh Gubernur . Posisi ini menjadikan Gubernur menjadi sering muncul di hadapan publik mewakili BI dan tidak salah jika dipersonifikasikan sebagai wakil BI, akan tetapi menjadi salah besar jika dipersepsikan sebagai pelaku kunci (master of mind) pemegang otoritas mutlak atas seluruh kebijakan BI. Berdasarkan anatomi di atas jelas Boediono karena posisinya bukanlah saksi kunci. Selanjutnya lebih jauh kita harus tahu dimanakah posisi Boediono dan posisi Terdakwa BM di BI sewaktu peristiwa Pemberian FPJP dan status Century sebagai bank gagal berdampak sistemik itu terjadi. Berdasarkan keputusan Gubernur Bank Indonesia No. 9/53A/KEP.GBI/INTERN/2007 tanggal 22 November 2007 Jo Keputusan Gubernur Bank Indonesia No. 10/50/KEP.GB/INTERN/2008 tanggal 31 Oktober 2008, tentang pembagian tugas Anggota Dewan Gubernur BI. Boediono bertugas membawahi bidang 1 (satu) yakni pengawasan intern , SDM, Perencanaan Strategis, Humas dan dengan Satuan Kerja Direktorat Pengawasan Intern. Sedang BM adalah Deputi Gubernur Bidang IV yang membawahi Pengelolaan Moneter Devisa dan KPW. Dengan dasar itu, hal-hal apa sajakah yang telah dilakukan oleh Terdakwa BM dalam jabatannya tersebut, tentu yang bersangkutanlah yang lebih tahu dan tidak serta merta semua yang dilakukan oleh Terdakwa maka Boediono pasti tahu, atau sebaliknya. Dengan posisi tersebut sulit untuk menyimpulkan terjadinya persekutuan ide diantara keduanya (teww of meer verenigde personen) karena tugas masing-masing yang sudah terbagi secara definitive di atas. Sehingga opini buru-buru yang menempatkan seolah Boediono sebagai saksi kunci adalah salah. Dan jika sejak dari awal pengadilan terpengaruh oleh pikiran salah di atas, maka pengadilan yang semestinya membuktikan kebenaran dakwaan Jaksa terhadap BM justru akan bergeser menjadi pengadilan bagi Boediono. Anjuran salah tersebut akan berpotensi mengganggu prinsip-prinsip due process of law yang menghendaki pembuktian secara fair, hal itu karena sebelum Boediono bersaksi telah di posisikan sebagai saksi kunci yang diberi label sebagai “actor intlektual”. Maka untuk selanjutnya akan sulit menjadikan proses peradilan ini berjalan netral yang diharapkan bisa menjadi pintu terakhir penyelesaian kasus Bank Century. Selain itu, pelabelan tersebut adalah tuduhan serius yang mendahului proses peradilan, karena tuduhan sebagai actor intlektual dalam suatu peristiwa pidana berarti menuduh Boediono sebagai otak berbagai tindakan yang menyimpang dalam kasus Bank Century (kbbi3) atau perancang suatu tindak pidana kejahatan. Pengadilan demi hukum harus menghindar dari anjuran anjuran yang menyesatkan seperti di atas, karena jika pengaruh dari anjuran salah tersebut merasuki pikiran para penegak keadilan di persidangan, maka fungsi pengadilan pidana yang berasas bebas, jujur dan tidak memihak menjadi tercemar. Padahal mekanisme peradilan harus berlangsung menurut cara yang telah diatur dalam Undang-undang. Artinya jika pengadilan telah terkontaminasi oleh pikiran salah dan menyesatkan semacam itu, maka peradilan tersebut akan menjadi peradilan sesat pula, karena sama artinya Hakim, Jaksa Penuntut dan Penasehat Hukum telah mendahului takdir dan berlaku tidak adil sejak dalam pikirannya. Provokasi semacam itu juga akan menjadikan pengadilan bergeser dari paradikma esensialnya untuk mencari kebenaran bergeser menjadi upaya untuk mencari-cari kesalahan. Modal awal dari suatu pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan adalah Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari seluruh saksi-saksi yang kemudian dengan dukungan alat bukti lain diformulasikan dalam suatu surat dakwaan yang menguraikan peristiwa hukumnya dan menentukan pasal-pasal yang didakwakan telah dilanggar oleh Terdakwa. Itulah pedoman yang harus diikuti oleh semua yang terlibat dalam penegakan hukum dalam persidangan. Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Terdakwa dan Penasehat Hukum akan membuktikan kebenaran dakwaan Jaksa tersebut, dengan mencermati seluruh bukti yang salah satunya adalah dengan menggali informasi sahih dari para saksi yang melihat, mendengar dan mengalami langsung peristiwanya (pasal 1 (26) KUHAP). Seorang saksi tidak bisa ditekan, dipaksa dan dipengaruhi dengan melalui pengaruh opini-opini sesat agar menjadi mendengar, melihat dan apalagi mengalami peristiwa yang tidak didengar, tidak dilihat dan tidak dialami dengan mata kepalanya sendiri. Kehadiran Boediono sebagai saksi adalah untuk digali pengetahuannya menyangkut dan sebatas peristiwa yang diuraikan dalam dakwaan. Boediono bisa tahu dan bisa juga tidak tahu atau bahkan lupa terhadap detail peristiwa yang akan ditanyakan oleh Majelis hakim, Jaksa Penuntut, Penasehat Hukum dan bahkan Terdakwa nanti di depan persidangan. Yang di gali oleh para penegak hukum adalah mencari peristiwa yang benar dan tidak lain dari pada yang sebenarnya bukan peristiwa yang salah apalagi mengada-ada. Namun dengan pelabelan sebagai actor intlektual berarti Boediono telah diposisikan sebagai saksi yang sekaligus adalah otak dari kejahatan yang didakwakan. Bukan Pengadilan Politik Jangan jadikan pengadilan yang sedang berlangsung ini kembali menjadi ajang untuk bersilang sengkarut untuk memuaskan hasrat politik, terlebih dengan menebar opini-opini yang mencoba mempengaruhi pengadilan atau khususnya aparat hukum. Dari riwayat hidupnya dapat diketahui bahwa Sri Mulyani dan Boediono jelas bukan politisi, karenanya mereka tentu tidak pandai bermain main opini untuk tujuan politik. Mereka dipercaya menduduki jabatan itu berdasar kompetensi dan kapasitas keilmuan, bukan meminta-minta mencari kedudukan, sebagaimana lazimnya sekarang. Celakanya opini salah di atas menggiring masyarakat berpikir salah pula, sebagai buah dari provokasi masyarakat menjadi salah dalam menilai karena telah melekat dalam alam bawah sadar pikirannya seolah-olah Boediono adalah sebagai dalang kejahatan Bank Century. Jika nanti dalam sidang ternyata Boediono menjawab tidak tahu karena benar benar ketidak tahuannya, maka seketika masyarakat akan mudah dibawa persepsinya dengan menuduh sebagai berbohong atau menutup nutupi kebenaran. Itulah posisi delematis yang harus dihadapi oleh Boediono akibat penyesatan opini tersebut. Saat ini kasus Century telah memasuki ranah hukum dan ditangani oleh para penegak hukum yang menjalankan tugasnya karena amanat undang-undang. Saat ini ada baiknya para politisi diam sejenak dan memberi kesempatan kepada para penegak hukum untuk bekerja secara bebas. Harus diingat dan disadari bahwa proses penyelesaian kasus Bank Century secara politik telah berlangsung secara hingar bingar selama bertahun-tahun, namun hingga saat ini tidak berujung dan masih saja membingungkan masyarakat. Maka saat ini tibalah gilirannya agar para politisi dengan iklas berani diam dan menanggalkan agenda agenda politiknya dalam masalah ini yang belum tercapai agar penyelesaian kasus Bank Century ini di Pengadilan berjalan semestinya dan tidak lagi membingungkan masyarakat. Selama proses hukum berlangsung ada baiknya kita belajar mendengar, seorang bijak pernah berpesan : “when you talk, you are only repeating what you already know. But if you listen, you may learn something new”. Terlepas dari kebenaran hukum yang sedang diihtiarkan oleh aparat hukum, sebagai warga negara yang sedang membangun demokrasi yang berlandaskan supremasi hukum, kita layak menghargai kesediaan Boediono dengan jabatannya saat ini sebagai Wakil Presiden yang bersedia hadir tanpa syarat untuk bersaksi di depan Pengadilan. Peristiwa itu akan menjadi teladan karena Boediono akan tercatat dalam sejarah sebagai Pejabat tertinggi yang pernah bersaksi di pengadilan karena dilandasi keyakinanya untuk taat hukum dan tunduk pada supremasi hukum bukan karena kekuasaan.