Selasa, 01 Juli 2014

INDONESIA DALAM DARURAT PENGELOLAAN MIGAS

Debat Cawapres beberapa malam lalu semakin menegaskan keberadaan mafia Migas, dan ketidakmampuan kita sebagai bangsa mengatasi masalah itu. Putusan perkara korupsi Rudy Rubiandini (RR) telah menjadi putusan tetap (in kracht van gewijsde) menyusul sikap hokum Jaksa Penuntut Umum KPK yang tidak mengajukan banding terhadap putusan tersebut, setelah melewati masa pikir pikir 7 (tujuh) hari sejak diputuskan sebagaimana diatur oleh undang-undang. Tanggapan RR terhadap putusan tersebut terucap dalam kalimat singkat bahwa dirinya “Tidak puas tapi ikhlas”. Ungkapan itu adalah ungkapan yang paling tepat untuk disampaikan oleh RR mantan kepala SKK Migas yang tertangkap tangan menerima titipan gratifikasi di rumahnya. Mengapa iklas dan mengapa tidak puas? Tentu terdapat alasan yang menyertainya. Iklas karena disadari dalam peristiwa ini tangan Tuhanlah yang sedang bekerja, karena pada faktanya dan sulit ditolak kebenarannya bahwa Deviardi pergi kerumah RR dengan membawa uang gratifikasi dalam jumlah dan bentuk yang tidak normal dan ditinggalkan di rumah RR. Mengapa tidak puas? Karena terlepas dari kenyataan yang harus diterima dengan iklas itu, KPK semestinya lebih mendalami motive apa sehingga RR bersedia menerima hadiah itu?, dari titik itulah maka permaslahan RR ini akan lebih bermakna bagi pemberantasan korupsi karena dapat memasuki wilayah korupsi dalam pengelolaan Minyak dan gas (Migas) yang sesungguhnya, tapi nyatanya masalah utama itu justru kurang mendapatkan perhatian yang serius. Dalam peristiwa ini, RR semestinya diposisikan sebagai korban keganasan korupsi, mafia Migas, di dalam perbisnisan Migas. Karena RR adalah pendatang yang tidak dikehendaki namun berani “berulah” sehingga mengusik ketenangan, kemapanan dan kenyamanan para penikmat Migas saat ini. Karena orang orang itu tidak terlihat nyata, apalagi jika dilihat dari parameter hukum. Namun jika dilihat dari kerusakan yang ditimbulkannya, Mereka bisa jadi terdiri dari oknum-oknum stakeholder kunci dari berbagai kepentingan baik sebagai praktisi maupun politisi yang dalam posisinya menguasai semua fungsi dan peran strategis baik karena posisinya dapat berpengaruh dalam menentukan kebijakan Migas. Dan tidak ketinggalan tentu peran “cukong-cukong” pemburu rente yang menghalalkan segala cara untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari usaha Migas. Bertahun-tahun mereka telah bersatu padu saling menyokong dan membutuhkan dengan perannya masing-masing dalam satu kepentingan dan pantang untuk diganggu gugat. Dari berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh KPK dalam kasus RR, sudah tersurat dan tersirat betapa bisnis Migas ini menjadi magnet yang sanggup menarik nama-nama besar dalam dunia politik dan pemerintahan maupun bisnismen dalam dan luar negeri untuk masuk terlibat bermain di dalamnya. Di dalam konstitusi kita ditegaskan bahwa Migas dikategorikan sebagai harta kekayaan alam yang langsung dikuasai oleh negara yang harus dikelola dan dimanfaatkan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat. Namun sejauh ini harapan tersebut masih sebatas harapan yang tak kunjung menjadi kenyataan. Dalam praktek ternyata Migas masih gagal dimanfaatkan secara maksimal untuk tujuan mensejahterakan rakyat. Hal itu karena ternyata para stakeholder utama tidak berdaya berhadapan dengan system politik dan ekonomi yang menyandera kemandirian mereka, sehingga yang tumbuh subur justru perilaku sebaliknya. Hal itu tercermin dari sikap para pelaku yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok, golongan dan kepentingan partai masing-masing. Akibatnya pengelolaan Migas yang menjadi tulang punggung pendapatan Negara dikelola secara tidak professional dan kurang transparan sehingga kurang memberikan hasil yang maksimal. Pengelolaan Migas bagai terkotak-kotak sesuai kepentingan dan kiblat politik pengelolanya. Padahal Migas merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh Negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat tanpa perbedaan. Saat ini kasus Rudy Rubiandini telah membangunkan kita semua dan memberi kesadaran betapa pengelolaan Migas kita dalam situasi darurat dan jauh dari harapan. Peristiwa RR itu harus diberi garis bawah dan dijadikan pintu masuk (entry point) dalam mengurai silang sengkarut pengelolaan Migas yang tidak kunjung membaik dari waktu ke waktu dan dari rezim ke rezim. Kalau ada sekalangan orang yang mempersempit permasalahan RR dengan pendapat sempit sekedar untuk menghukum RR dengan hukuman yang berat dengan harapan akan berefek jera pada dirinya dan pada yang lain, dan pada ujungnya diharap dapat mengakhiri permasalahan Migas, maka pendapat tersebut adalah sungguh keliru. Pidana penjara berapapun lamanya atau bahkan menimpakan seluruh kesalahan dan kebobrokan dalam pengelolaan Migas yang terjadi sejak dahulu dari rezim ke rezim hanya kepundak RR, yang baru menjabat kepala SKK Migas selama 7 (tujuh) bulan, tidak akan membawa manfaat bagi penertiban pengelolaan Migas. Karena yang dibutuhkan dan harus segera dilakukan saat ini adalah menutup rapat-rapat peluang korupsi di sektor Migas sejak hulu hingga hilir bahkan sejak pembuatan regulasinya. Mengingat strategisnya Migas, semestinya siapapun yang bermaksud memberantas penyakit yang telah menahun ini, segera membuat sebuah desain penertiban yang sistematis dilakukan secara holistic dan serentak, sehingga menghasilkan manfaat yang besar bagi upaya pemberantasan korupsi di sektor Migas, dan dalam rangka itu orang-orang dengan keahlian khusus dan langka seperti RR dapat dibebani hukuman selaku nara sumber sebagai tambahan hukuman, karena dengan hanya mengurung RR di balik jeruji tidak akan mendatangkan manfaat apa-apa bagi pemberantasan korupsi di sektor Migas ini. Sistem hukuman tambahan ini memang belum memiliki dasar hokum tapi patut kita pikirkan, diilhami oleh film Catch Me If You Can, yang dibintangi Reonaldo DiCaprio, sebuah film drama biograpi kejahatan yang bersumber dari kisah hidup Frank Abagnale. Dimana seorang penjahat bank, dengan keahliannya dihukum untuk membantu membongkar kejahatan sejenis bahkan yang lebih besar, tentu saja dengan kompensasi berupa pengurangan hukuman. Upaya penertiban SKK Migas sebenarnya telah dimulai oleh RR sejak menjabat sebagai kepala SKK Migas, setelah melakukan evaluasi dan konsolidasi internal, pada bulan ke tiga di masa jabatannya RR telah cukup tegas memecat seorang mantan deputy KPK dari SKK Migas dan berani mengirimkan “signal” melalui surat resmi kepada KPK untuk bekerjasama menertibkan SKK Migas, namun rupanya signal itu dipandang sebelah mata dan tidak ditanggapi, karena bagi pihak tertentu signal itu dimaknai sebagai ancaman bagi kepentingan mereka. Upaya awal itu sebenarnya harus segera didalami. Upaya RR sudah pasti tidak berjalan mulus dan bahkan di internalpun mengalami hambatan dan serangan balik yang cukup keras, bahkan disertai berbagai upaya menyingkirkan RR dari SKK Migas, upaya perlawanan itu terus terjadi dan dilakukan oleh pihak-pihak yang terancam kepentingannya. Rencana RR untuk menerapkan e-procurement yang membuat lelang-lelang di dalam pengelolaaan dan pemanfaatan Migas menjadi transparan dan terukur tentu sangat mengkawatirkan semua pemain Migas, karena akan menutup peluang intervensi dalam menentukan pemenang lelang, dll. Belum lagi upaya membongkar kasus-kasus besar korupsi Migas dalam pengelolaan Migas yang pernah terjadi, kasus-kasus ini diindikasikan telah menimbulkan kerugian kepada Negara dalam jumlah yang sangat fantastis namun mangkrak dan tidak terurus. Upaya-upaya RR ini tentu dimaksudkan sebagai trigger kearah pembenahan, namun ternyata banyak disalah pahami dan ditentang oleh berbagai kepentingan yang sudah terlanjur mapan menikmati Migas dalam system pengelolaan yang korup. Membongkar kejahatan-kejahatan besar dalam pengelolaan Migas tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang tidak berani menghadang risiko, dan faktanya sejauh ini dokumen-dokumen itu hanya menjadi onggokan kertas tanpa arti, dan beberapa dokumen itu kini sudah disampaikan oleh RR kepada seluruh komisioner KPK. Saat ini tidak ada manfaatnya seorang RR dengan ilmu dan pengalamannya yang cukup mumpuni di bidang Migas terkurung dibalik jeruji, tapi lebih bermanfaat jika RR dimanfaatkan oleh KPK untuk membongkar lebih jauh gurita korupsi di bidang Migas. Para pelaku kakap korupsi di dunia Migas ini sesungguhnya masih berkeliaran dengan segala status dan kehormatannya dan orang-orang itulah bahkan yang memiliki potensi daya rusak yang dahsyat karena kemampuan financial dan kekuatan politiknya. Inilah kiranya hal-hal utama yang membuat RR tidak puas. Bidang Migas ini telah dikelola dan dipimpin oleh orang-orang besar di pemerintah, nama-nama besar seperti Poernomo Yusgiantoro yang pernah menjabat sebagai menteri Pertambangan dan Energi di beberapa kabinet sejak 2001 sampai dengan 2009 bahkan saat ini masih menjabat dalam jabatan strategis sebagai menteri Pertahanan, kemudian Koentoro Mangkusubroto sekarang Kepala UKP4 (Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) yang berhasil memimpin restorasi Aceh dan Nias dari bencana Tsunami , dan bahkan tidak kurang Presiden RI dalam dua kali masa jabatan sampai sekarang Susilo Bambang Yudoyono (SBY) adalah bekas menteri ESDM. Namun ironisnya hingga sekarang pengelolaan bidang Migas ini gagal menghasilkan orang-orang besar yang mampu menerapkan system pengelolaan yang transparan, accountable dan berorientasi kepada penghasilan Migas yang maksimal bagi Negara demi kemaslahatan seluruh rakyat. Bahkan ditengarai sistem yang dipakai saat ini masih menimbulkan potensi koruptif karena mudah diintervensi dari luar dan mudah disalahgunakan untuk kepentingan segelintir para pelaku pengelola dan pembisnis minyak. Jika tidak dilakukan pembenahan dan pemberantasan secara terpadu dan massif maka sampai kapanpun permasalahan korupsi dalam pemanfaatan Migas ini akan terus terjadi dan berulang bagai “kutukan” bagi bangsa ini. Inilah beberapa titik rawan yang perlu diwaspadai dalam pengelolaan Migas, yakni pada penunjukan wilayah kerja dan kontrak kerja sama, pengawasan proses produksi, perpanjangan kontrak kerjasama, manipulasi data cost recovery, pipeline, transportasi terutama sewa tanker (shiping), lelang pengadaan dan lelang penunjukan penjual Migas bagian Negara, penjualan di luar Kontrak production sharing di laut lepas, dll. Saat ini kendali atas semua urusan itu ada ditangan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (disingkat: SKK Migas), adalah institusi yang dibentuk oleh Pemerintah RI melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Badan ini menggantikan BP.MIGAS yang dibubarkan Mahkamah Konstitusi pada 13 November 2012 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. SKK Migas bertugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama. Pembentukan lembaga ini dimaksudkan supaya pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam tugasanya SKK Migas menyelenggarakan fungsi sebagai kepanjangan tangan Negara, sebagai pemilik, pengatur, pelaku dan pengawas di bawah koordinasi kementerian ESDM , menyangkut hal-hal sebagai berikut; 1. Penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama; 2. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; 3. Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan untuk mendapatkan persetujuan; memberikan persetujuan rencana pengembangan selain sebagaimana dimaksud dalam poin sebelumnya; memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; 4. Melaksanakan monitoring dan melaporkan pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; dan 5. Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. Fungsi ini sangat strategis dan menjadi pusat daya tarik bagi para pelaku bisnis Migas. Seseorang atapun badan lembaga yang dipercaya untuk mengelola Migas diibaratkan seperti gula. Seorang kepala SKK Migas misalnya, hanya dengan duduk di kantor tanpa harus berbuat sesuatu, orang akan datang tanpa diminta, menghampiri dan menawarkan berbagai hadiah dan fasilitas dengan motivenya masing-masing. Dengan situasi dan kondisi itu pula maka selama ini SKK Migas dianggap sebagai lahan basah yang mendatangkan uang melimpah jika ukurannya hanya sekedar kepentingan pribadi dan sekelompok organisasi. Sehingga pengelola Migas termasuk SKK Migas kerap diposisikan sebagai “sapi perah” sumber pelicin untuk memuluskan kepentingan bisnis, politis maupun kepentingan hubungan lintas pemerintahan. Pernah diawal RR menjabat sebagai kepala SKK Migas, RR dikagetkan oleh tagihan hutang sebesar 1 juta US dollar yang konon diwarisi dari pendahulunya. Seorang Kepala SKK Migas dalam posisinya, dipaksa oleh keadaan untuk mengakomodir kepentingan itu, lebih tidak berdaya lagi jika “tekanan” itu dilakukan dengan meminjam tangan oknum penguasa atau oknum-oknum dalam lingkaran kekuasaan. Dan pada akhirnya, jalan keluar untuk menghindar dari tekanan itu pilihannya hanya dua, yakni mundur dari jabatan atau melawan yang berarti siap mati. Hal itu sama artinya bahwa penguasa Migas yang sesungguhnya saat ini bukanlah Negara dalam artian teoritis ketatanegaraan, namun gabungan dari kekuatan politik dalam maupun luar negeri, termasuk didalamnya oknum-oknum yang dekat ataupun memiliki akses kepada penguasa dan kekuatan bisnis yang dikuasai oleh beberapa gelintir orang dari dalam negeri maupun asing. Hal ini tidak mengherankan karena Migas merupakan komoditas yang sangat menghasilkan keuntungan dan dinilai penting tidak saja pada masa lalu dan saat ini, tetapi masih akan berperan sebagai penyumbang terbesar energi dunia beberapa decade ke depan. Tanpa kerja besar berupa penataan ulang pengelolaan Migas secara lebih berperi kerakyatan, modern dan terbuka maka permasalahan Migas ini tidak akan pernah selesai. Migas berperan stategis dalam menopang ekonomi dan menggerakkan pembangunan Indonesia karena posisinya sebagai sumber pendapatan terbesar diluar pajak, Migas bukanlah komoditi biasa, selain nilai ekonomisnya yang tinggi Migas juga dikenal sebagai alat politik, bahkan dikenal adagium “siapa menguasai Migas dialah penguasa yang sesungguhnya”. Sekalipun konstitusi kita sudah menggariskan dengan sangat tegas bahwa sebagai penguasa tunggal Migas adalah negara, namun ternyata kekuasaan Negara itu masih dengan mudah dibelokkan, disalah gunakan dan disalah tafsirkan. Cukuplah kiranya peristiwa RR ini menjadi pengingat bagi kita bahwa Indonesia berada dalam situasi “darurat pengelolaan Migas” dan membutuhkan segera perhatian dan penanganan serius dari segenap anggota bangsa untuk membenahinya.