Kamis, 23 Oktober 2014

MAFIA MIGAS, PENGUASA, LEMAHNYA REGULASI

Memberantas Mafia Migas bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun mafia migas sudah menjadi isu sejak lama, namun tidak satupun rezim yang mampu mengatasinya. Pengelolaan Migas untuk mewujudkan kedaulatan energi masih sebatas wacana. Hingga kini Migas masih dikelola secara unprofessional, parsial dan tertutup. Sekalipun disetiap menjelang pergantian rezim yang ditandai dengan perebutan kekuasaan isu ini selalu muncul ke permukaan dan menjadi penyedap debat debat politik. Namun setelah kekuasaan didapat, isu inipun akan hilang perlahan. Selanjutnya disetiap rezim baru akan muncul mafia baru atau mafia baru yang bersinergi dengan mafia lama. Dengan model dan praktek berpolitik transaksional, adalah mustahil berpolitik tanpa dana besar. Sehingga bisnis di sektor migas akan terus menjadi sasaran dan target untuk menopang keberlangsungan rezim. Besarnya pendapatan sector Migas akan terus menjadi daya tarik bagi politisi dan tanpa support penguasa, mafia tidak akan berkembang. Maka sosok menteri ESDM dan jabatan lain terkait migas menjadi penting pada sebuah rezim. Siapa yang menduduki posisi itu akan menjadi penanda keseriusan rezim ini untuk membenahi sector Migas. Jika yang muncul adalah orang lama yang terbukti tidak mampu membawa kebaikan, orang partai yang tidak mempunyai kompetensi yang kuat di bidang Migas, orang dengan track record buruk dalam dunia Migas atau pejabat negara pelindung Mafia Migas yang berafeliasi ke kartel Migas luar negeri, atau lulusan pekerja di seven sisters company industri tambang, seperti Freeport, Newmont, Shell, British Petroleum, Chevron, Exxon Mobil dengan potensi conflict of interest-nya, maka sudah bisa dipastikan bahwa rezim ini tidak serius dalam mewujudkan kedaulatan di bidang energi. Karena semua jargon dan harapan itu hanya akan terwujud jika posisi strategis dalam bidang Migas itu dipegang oleh orang yang berkompeten, jujur dan memiliki keberpihakan yang nyata kepada Bangsa dan Negara. Dari sinilah sesungguhnya upaya perbaikan itu berawal. Belakangan kita sering mendengar berita-berita emosional mengenai mafia Migas. Berita seperti pembekuan anak usaha Pertamina Petral (Pertamina Energy Trading Limited), wacana pembubaran SKK Migas, amandemen total UU Migas 2001, penyatuan usaha hulu dan hilir Migas dll. Usulan itu lebih bersifat politis temporal dan belum menyentuh perbaikan mendasar. Dari kacamata politik, isu-isu tersebut tidak bisa dipegang validitas motivenya sehingga belum perlu ditanggapi dengan serius. Pembekuan Petral misalnya, sering dikaitkan dengan oknum rezim lama yang bersebrangan dengan calon rezim baru. Kenapa hanya Petral yang selalu diangkat ke permukaan?, karena banyak kasus serupa yang merugikan negara, seperti kasus Innospec. Ltd yang dihukum pengadilan Southwark Crown membayar denda US $ 12.7 juta karena menyuap pejabat-pejabat Migas Indonesia, kasus impor minyak oplos Zatapi oleh Gold Minor International Ltd yang sudah diaudit BPK dan tak berkelanjutan, bak ditelan bumi. Mengejar Laba Pembenahan sector Migas harus merujuk kepada konstitusi. Konsistensi dalam merumuskan aturan hukum Migas menjadi sangat penting. Di zaman orde lama, arah dan tujuan pengelolaan Migas lebih konsisten dan jelas dirumuskan dalam berbagai peraturan dibanding sekarang. Namun seiring dengan pergantian rezim, arah dan tujuan ini mengalami pergeseran. Amanat konstitusi gagal dipahami dan dilaksankan dalam praktek nyata. Konstitusi menegaskan bahwa migas yang terkandung di bumi Indonesia adalah kekayaan alam yang langsung dikuasai negara. Penegasan tersebut selain merupakan pernyataan kepemilikan, juga merupakan maklumat bahwa pengupayaan, pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam tersebut hanya dapat dilakukan oleh Negara untuk mencapai kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat yang dikehendaki oleh kostitusi adalah sesuatu yang abstrak. Ukurannya adalah angka-angka besaran pendapatan Negara, yang salah satu sumbernya dari usaha Migas sebagaimana tercermin dari APBN. Semakin tinggi pendapatan maka semakin mudah merealisasikan rencana Negara untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Sehingga pengusahaan migas seharusnya bertujuan untuk mencari laba maksimal untuk mempertinggi pendapatan negara . Oleh Undang-undang Migas 2001, amanat konstitusi itu dimaknai : “minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh Negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat”. Dengan demikian Migas adalah komoditas yang menjadi objek perniagaan. Karena migas adalah komoditas, maka SKK Migas yang memperniagakan hasil usaha migas sesungguhnya sedang mencari laba. Janggal rasanya jika SKK Migas yang diberi tugas menandatangani Kontrak bisnis, namun tidak bertujuan untuk mencari laba. Perihal laba seharusnya menjadi perhatian khusus dalam kegiatan usaha hulu migas agar sejalan dengan kewajiban Negara untuk menggunakan migas bagi kemakuran rakyat yang hanya bisa diwujudkan jika Negara dapat menarik laba maksimal dari kegiatan usaha Migas. Jika tujuan pengusahaan Migas tidak untuk mencari laba, maka idealnya Kuasa Pertambangan diberikan kepada suatu entitas bisnis bentukan Negara yang bertugas mengejar laba, baik PT Persero maupun Perum. Sehingga transaksi yang terjadi adalah Busines to Busines, bukan Government to Busines sebagaimana terjadi sekarang antara SKK Migas dengan KKKS ataupun Trader. Posisi ini berakibat para pihak dalam kontrak menjadi tidak seimbang. Jika Negara sebagai regulator sekaligus menjadi pihak dalam kontrak maka posisi Negara terdegradasi, selain juga membawa konsekwensi Negara menjadi terpapar langsung dengan risiko bisnis dengan pihak swasta. Kuasa Pertambangan Dalam UU Migas lama, No. 44 Prp. Tahun 1960, pernah diatur bahwa pengusahaan minyak dan gas bumi hanya dapat diselenggarakan oleh Negara dan pelaksanaannya dilakukan oleh Perusahaan Negara. Ketentuan ini cukup ideal dan untuk memfasilitasi ketentuan ini dibentuklah Perusahaan Negara P.N. PERMINA dan PN. PERTAMIN yang kemudian oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 digabung menjadi Perusahaan (PERTAMINA), dengan diberikan kuasa pertambangan. Status ini membuat Pertamina fokus bekerja untuk mengejar laba bagi Negara. Hal ini segaris dengan amanat konstitusi, yakni pengusahaan migas hanya dapat dilakukan oleh Negara melalui perusahaan milik Negara, tentu dengan kemungkinan bekerjasama dengan pihak lain. Namun belakangan terjadi perubahan drastis, Undang-Undang Migas 2001 memberi kuasa pertambangan kepada pemerintah. Kuasa tersebut dilaksanakan oleh badan hukum yang bernama BP Migas yang tidak bertujuan mencari laba. Paska putusan MK, tugas-tugas badan itu kini dijalankan oleh SKK Migas bagian khusus di kementerian ESDM. SKK Migas inilah yang kini menjadi pelaksana kuasa pertambangan. Regulasi ini tentu menimbulkan kegamangan posisi, idealnya kuasa pertambangan diberikan kepada Perusahaan Negara yang dibentuk untuk berbisnis Migas dan selanjutnya SKK Migas hanya bertugas mengawasi dan mengatur kegiatan. Sampai sekarang Indonesia tidak mampu merumuskan aturan permanen komprehnsip perihal kuasa pertambangan. Oleh karenanya rezim baru sebaiknya focus pada upaya merumuskan regulasi terbaik kegiatan usaha hulu migas, dibanding melakukan langkah-langkah dramatis emosional, seperti “pembekuan”, “pembubaran”, “penggantian” dll yang tidak dilandasi dengan dasar yang kuat. Junaidi Albab Setiawan, albabsetiawan@gmail.com, Praktisi dan Pengamat Hukum Migas