70 tahun Mengurus Migas
Oleh : Junaidi Albab Setiawan
Setelah 70 tahun Indonesia merdeka, negara
masih lemah dalam menjaga amanah untuk mengurus
migas bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Padahal migas hingga saat ini masih
menjadi penopang utama kebutuhan energi bangsa. Namun ironisnya kebijaksanaan dan
pelaksanaan pengelolaan migas masih banyak meyimpang, kurang efisien bahkan
tidak konsisten dengan cita-cita bernegara.
Dalam mewujudkan migas sebagai
penyokong ketahanan energi, kita dihadapkan kepada tiga Problem klasik yang
terus ada dari waktu ke waktu, sejak Indonesia masih sebagai Negara produsen
migas sampai kini menjadi Negara pengimpor, yakni : 1. Inkonsitensi dan lemahnya pengaturan, 2.
Praktek KKN dalam pengelolaan, 3. Lemahnya mental mandiri.
Penjelasannya adalah sebagai berikut
: Pertama, Hingga kini kita belum memiliki
undang-undang migas yang kuat, lengkap dan stabil. Aturan yang ada justru
sebaliknya, lemah, berubah-ubah dan
tumpang tindih, bahkan tidak segaris (in line) dengan amanah konstitusi.
Keadaan ini semakin diperparah paska reformasi yang melahirkan UU Migas no 22/2001
yang kemudian direvisi oleh putusan Mahkamah Konstitusi 36/puu/20012 dan
akibatnya pengaturan migas kacau balau dan kini lebih didominasi oleh aturan-aturan
pelaksana (UU Migas Merah Putih,
Kompas, 17/6/ 2015).
Di usia 70 tahun merdeka, kita masih
harus memastikan bahwa pengaturan migas seharusnya dijiwai oleh Sila ke 5
Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Kemudian dijabarkan dalam UUD 45, khususnya Pasal 33
UUD 1945 ayat (2) dan ayat (3) yang menegaskan kedaulatan Negara (sovereignty)
sebagai satu-satunya pemegang ‘hak
menguasai’ (mengatur,mengurus dan mengawasi) kekayaan alam di bumi Indonesia untuk memenuhi
hajat hidup rakyat. Doktrin itu menegaskan bahwa tugas Negara adalah mewujudkan
kesejahteraan rakyat dan di sisi lain merupakan hak rakyat untuk mendapatkan
kemakmuran melalui pemanfaatan sumber daya alam.
Kedua, Kolusi Korupsi dan Nepotisme
KKN dalam pengelolaan migas sudah
menjadi tradisi. Kepentingan Negara seperti berada dibawah kepentingan
golongan, partai, kelompok dan elit penguasa. Bisnis migas di Indonesia rawan
kebocoran, korupsi, dan intervensi kekuasaan. Dimulai dari kebijakan yang
bertendensi untuk memaksimalkan profit bagi kelompoknya (mafia). Ditimpali
dengan perilaku Para Pelaku swasta yang
melakukan berbagai macam upaya dalam memanipulasi produksi dengan suap serta
gratifikasi dalam rangka memaksimalkan penerimaan mereka. Sejak dari hulu (upstream) sampai dengan
hilir (downstream) penuh dengan KKN.
Migas juga menjadi sasaran pembiayaan
kegiatan politik. Cara berpolitik sekarang jelas menuntut pendanaan besar. Di
alam “Demokrasi Cleptomania”, orang berlomba-lomba mencari hidup dari politik.
Tanpa didukung subsidi atau korupsi maka partai tidak akan mampu bertahan
hidup, karena hingga kini tidak satu
partaipun yang mampu menyandarkan keberlangsungannya dari iuran anggota.
Akibatnya migas menjadi magnet yang diperebutkan oleh partai-partai politik
dengan cara menempatkan orang-orangnya ke dalam institusi pengelola sebagai direksi,
komisaris, sebagai staf ahli atau bisa juga sebagai menteri bahkan DPR.Sehingga dari rezim ke rezim migas selalu
menjadi sasaran KKN.
Diambil beberapa contoh kasus yang cukup kontroversial sebagai
berikut : Pada masa orde baru, Pertamina menjadi pusat praktik korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN) dan bagian inti dari sistem ekonomi dan politik yang
menunjang kekuasaan Orde Baru. Pertamina sangat dikontrol dan dikuasai rezim.
Dan patut dicatat bahwa kasus-kasus migas yang melibatkan kekuasaan jarang
berujung pada penyelesaian hukum.
Saat Pertamina masih memegang kekuasaan hulu
dan hilir, muncul kontroversi tentang Ibnu Sutowo dari berita di Harian
Indonesia Raya di awal tahun 70an. Pada akhirnya tahun 1975 Pertamina jatuh
krisis dengan hutang mencapai US$ 10,5
miliar. Disusul kasus H. Thahir yang cukup populer di tahun 1975-an. Kala itu H.
Tharir menjabat sebagai Asisten Umum Direktur Utama Pertamina yang memiliki
simpanan di Bank Sumitomo Singapura bernilai Rp 153 milyar rupiah yang diduga
berasal dari hasil komisi perusahaan-perusahaan kontraktor yaitu Siemens, Klockner,
dan Ferrosthal.
Disusul Kasus Innospec Limited, Innospec Limited merupakan perusahaan zat aditif yang berpusat
di Cheshire, Inggris. Induk usahanya adalah Innospec Inc asal Amerika Serikat yang
tercatat di Nasdaq. Innospec menghasilkan produk Tetra Ethyl Lead atau timbal. Investigasi
kasus ini pada Oktober 2007 oleh Serious Fraud Office bersama Departemen Hukum
AS menemukan pelanggaran berupa suap dan gratifikasi kepada oknum pejabat migas
Indonesia dalam pembelian timbal untuk Pertamina.
Saat kekuasaan Hulu dipegang oleh BP. Migas, sebagai
contoh adalah kasus BP. Migas dan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama
(TPPI). Dugaan korupsi Rp. 2 triliun itu karena penjualan pada kurun waktu
2009-2010 itu dilakukan dengan penunjukan langsung yang melanggar ketentuan. Upaya
membongkar kasus ini diyakini akan
mendapatkan perlawanan dengan alibi bahwa penjualan improsedural itu masuk di
ranah “kebijakan”, sehingga tidak bisa dikriminalisasi atau akan dibawa ke
ranah tafsir tentang “kerugian Negara” oleh BPK. Mengingat Negara telah jatuh
rugi maka penanganan kasus ini harus
diawasi.
Setelah kekuasaan Hulu dipegang oleh SKK
Migas, muncul kasus suap SKK Migas, kasus Jero Wacik, Waryono Karyo, Sutan Bhatugana, dll yang terus
menggelinding. Kasus ini jika ditangani secara serius dan detail, kemungkinan akan menyeret nama-nama besar lain di lingkar
kekuasaan.
Ketiga, Lemahnya mental mandiri
Migas tidak bisa dilepaskan dari
konsep ketahanan energi Negara dimana terdapat tiga elemen utama yang
menentukan yaitu (i), akses terhadap energi dan sumberdayanya (accessibility),
(ii), ketersediaan energi dalam bentuk fisik dalam jumlah yang memadai dan
dalam waktu yang tepat (availability), dan (iii), keterjangkauan energi dari
sisi ekonomi/harga (affordability) (ReforMiner, 2011). Untuk mewujudkan
kedaulatan energi dibutuhkan tidak saja kemauan politik yang kuat, tetapi juga
sikap dan tindakan politik yang kongkrit. Namun yang terjadi justru lemah
pengawasan, lemah infrastruktur pendukung dan lemah mental mandiri.
Indikasi lemahnya pengawasan terlihat
dalam kegiatan eksplorasi sampai ekploitasi yang merupakan pangkal kegiatan
penambangan migas. Kepastian jumlah lifting migas dan cost recovery harus
diawasi dan Legeslatif juga mempunyai
peran penting dalam pengawasan. Indikasi lain, hingga kini kita masih memposisikan
diri sebagai bangsa yang lemah dalam
keahlian dan modal sehingga memperburuk nilai tawar sebagai bangsa pemilik
sumberdaya. Anggapan ini hingga kini masih sama dengan anggapan di awal
kemerdekaan dahulu ketika membuka migas
untuk keterlibatan asing (outward looking strategy). Motivasi
Perjanjian perminyakan di Tokyo tahun 1950an antara Pemerintah dengan
perusahaan-perusahaan minyak The Big Three (Stanvac, Caltex, Shell), selain
karena terjadi transisi kekuasaan adalah juga karena lemahnya keahlian dan modal.
Anggapan ini dipertegas di TAP
MPRS XXIII/MPRS/1966 dan hingga kini masih terkonfirmasi dalam perpanjangan Blok
Mahakam dan blok-blok lain yang telah habis masa kontrak.
Mewujudkan
kemandirian dalam pengelolaan migas tidak secara serius diupayakan. Infrastruktur
pendukung seperti tangki penampung dan kilang penyuling minyak mentah (crude
oil) tidak bertambah sejak terakhir dibangun di Balongan. Sebagai bangsa dengan
teritori yang luas meliputi darat dan berorientasi laut (periphery), kita hanya
memiliki 7 kilang pengolah yang tentu tidak
mencukupi, yakni 1. Kilang Pangkalan Brandan, Sejak 2007 Kilang peninggalan kolonial ini sudah tidak lagi difungsikan. 2. Kilang Dumai/ Sei Pakning di Riau, 3. Kilang
Plaju, Sumatera Selatan, 4. Kilang Cilacap, 5. Kilang Balikpapan,
6. Kilang
Kasim, Sorong dan 7. Kilang Balongan, Indramayu yang beroperasi
tahun 1994 dan merupakan kilang terakhir yang pernah dibangun. Penyulingan
BBM seperti sengaja agar dilakukan di luar negeri untuk diimport kembali ke
dalam, sehingga rantai pengolahan menjadi panjang dan mudah terjadi KKN
sebagaimana tergambar dalam kasus Petral, Zapati dan pencurian BBM di laut.
Masalah lain adalah lemahnya kesadaran
krisis yang melahirkan sikap hemat dan tanggap solusi yang berbasis kearifal
lokal. Saat ini kita bukan lagi negara kaya
migas karena cadangan makin menipis. Keadaan itu tidak dapat lagi diperbaiki
karena migas adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Migas bukan
diproduksi tetapi diekstraksi, jadi migas seperti aset, akan habis jika
diektraksi terus menerus. Tahun 2011 Indonesia diperkirakan tinggal memiliki
cadangan minyak hingga 12 tahun sedang pada saat yang bersamaan kebutuhannya justru
semakin meningkat (A. Rinto Pudyantoro, 2014).
Catatan di atas adalah pokok masalah
yang masih dihadapi Indonesia setelah 70 tahun merdeka. Dirgahayu Indonesiaku.