Rabu, 25 November 2015

70 TAHUN MENGURUS MIGAS



70 tahun Mengurus Migas
Oleh : Junaidi Albab Setiawan

Setelah 70 tahun Indonesia merdeka, negara masih  lemah dalam menjaga amanah untuk mengurus migas bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Padahal migas hingga saat ini masih menjadi penopang utama kebutuhan energi bangsa. Namun ironisnya kebijaksanaan dan pelaksanaan pengelolaan migas masih banyak meyimpang, kurang efisien bahkan tidak konsisten dengan cita-cita bernegara. 

Dalam mewujudkan migas sebagai penyokong ketahanan energi, kita dihadapkan kepada tiga Problem klasik yang terus ada dari waktu ke waktu, sejak Indonesia masih sebagai Negara produsen migas sampai kini menjadi Negara pengimpor, yakni  : 1. Inkonsitensi dan lemahnya pengaturan, 2. Praktek KKN dalam pengelolaan, 3. Lemahnya mental mandiri.

Penjelasannya adalah sebagai berikut : Pertama, Hingga kini kita belum memiliki undang-undang migas yang kuat, lengkap dan stabil. Aturan yang ada justru sebaliknya, lemah, berubah-ubah  dan tumpang tindih, bahkan tidak segaris (in line) dengan amanah konstitusi. Keadaan ini semakin diperparah paska  reformasi yang melahirkan UU Migas no 22/2001 yang kemudian direvisi oleh putusan Mahkamah Konstitusi 36/puu/20012 dan akibatnya pengaturan migas kacau balau dan kini lebih didominasi oleh aturan-aturan pelaksana (UU Migas Merah Putih, Kompas, 17/6/ 2015).

Di usia 70 tahun merdeka, kita masih harus memastikan bahwa pengaturan migas seharusnya dijiwai oleh Sila ke 5 Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Kemudian  dijabarkan dalam UUD 45, khususnya Pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan ayat (3) yang menegaskan kedaulatan Negara (sovereignty) sebagai satu-satunya  pemegang ‘hak menguasai’ (mengatur,mengurus dan mengawasi)  kekayaan alam di bumi Indonesia untuk memenuhi hajat hidup rakyat. Doktrin itu menegaskan bahwa tugas Negara adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat dan di sisi lain merupakan hak rakyat untuk mendapatkan kemakmuran melalui pemanfaatan sumber daya alam.

Kedua, Kolusi Korupsi dan Nepotisme
KKN dalam pengelolaan migas sudah menjadi tradisi. Kepentingan Negara seperti berada dibawah kepentingan golongan, partai, kelompok dan elit penguasa. Bisnis migas di Indonesia rawan kebocoran, korupsi, dan intervensi kekuasaan. Dimulai dari kebijakan yang bertendensi untuk memaksimalkan profit bagi kelompoknya (mafia). Ditimpali dengan perilaku Para Pelaku  swasta yang melakukan berbagai macam upaya dalam memanipulasi produksi dengan suap serta gratifikasi dalam rangka memaksimalkan penerimaan mereka.  Sejak dari hulu (upstream) sampai dengan hilir (downstream) penuh dengan KKN.  

Migas juga menjadi sasaran pembiayaan kegiatan politik. Cara berpolitik sekarang jelas menuntut pendanaan besar. Di alam “Demokrasi Cleptomania”, orang berlomba-lomba mencari hidup dari politik. Tanpa didukung subsidi atau korupsi maka partai tidak akan mampu bertahan hidup, karena hingga kini  tidak satu partaipun yang mampu menyandarkan keberlangsungannya dari iuran anggota. Akibatnya migas menjadi magnet yang diperebutkan oleh partai-partai politik dengan cara menempatkan orang-orangnya ke dalam institusi pengelola sebagai direksi, komisaris, sebagai staf ahli atau bisa juga sebagai menteri bahkan DPR.Sehingga dari rezim ke rezim migas selalu menjadi sasaran KKN. 

Diambil beberapa contoh kasus yang cukup kontroversial sebagai berikut : Pada masa orde baru, Pertamina menjadi pusat praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan bagian inti dari sistem ekonomi dan politik yang menunjang kekuasaan Orde Baru. Pertamina sangat dikontrol dan dikuasai rezim. Dan patut dicatat bahwa kasus-kasus migas yang melibatkan kekuasaan jarang berujung pada penyelesaian hukum.

Saat Pertamina masih memegang kekuasaan hulu dan hilir, muncul kontroversi tentang Ibnu Sutowo dari berita di Harian Indonesia Raya di awal tahun 70an. Pada akhirnya tahun 1975 Pertamina jatuh krisis dengan hutang mencapai  US$ 10,5 miliar. Disusul kasus H. Thahir yang cukup populer di tahun 1975-an. Kala itu H. Tharir menjabat sebagai Asisten Umum Direktur Utama Pertamina yang memiliki simpanan di Bank Sumitomo Singapura bernilai Rp 153 milyar rupiah yang diduga berasal dari hasil komisi perusahaan-perusahaan kontraktor yaitu Siemens, Klockner, dan Ferrosthal.

Disusul Kasus Innospec Limited,  Innospec Limited  merupakan perusahaan zat aditif yang berpusat di Cheshire, Inggris. Induk usahanya adalah Innospec Inc asal Amerika Serikat yang tercatat di Nasdaq. Innospec menghasilkan produk Tetra Ethyl Lead atau timbal. Investigasi kasus ini pada Oktober 2007 oleh Serious Fraud Office bersama Departemen Hukum AS menemukan pelanggaran berupa suap dan gratifikasi kepada oknum pejabat migas Indonesia dalam pembelian timbal untuk Pertamina.

Saat kekuasaan Hulu dipegang oleh BP. Migas, sebagai contoh adalah kasus BP. Migas dan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Dugaan korupsi Rp. 2 triliun itu karena penjualan pada kurun waktu 2009-2010 itu dilakukan dengan penunjukan langsung yang melanggar ketentuan. Upaya membongkar  kasus ini diyakini akan mendapatkan perlawanan dengan alibi bahwa penjualan improsedural itu masuk di ranah “kebijakan”, sehingga tidak bisa dikriminalisasi atau akan dibawa ke ranah tafsir tentang “kerugian Negara” oleh BPK. Mengingat Negara telah jatuh rugi maka  penanganan kasus ini harus diawasi.

Setelah kekuasaan Hulu dipegang oleh SKK Migas, muncul kasus suap SKK Migas, kasus Jero Wacik,  Waryono Karyo, Sutan Bhatugana, dll yang terus menggelinding. Kasus ini jika ditangani secara serius dan detail,  kemungkinan akan  menyeret nama-nama besar lain di lingkar kekuasaan.

Ketiga, Lemahnya mental mandiri
Migas tidak bisa dilepaskan dari konsep ketahanan energi Negara dimana terdapat tiga elemen utama yang menentukan yaitu (i), akses terhadap energi dan sumberdayanya (accessibility), (ii), ketersediaan energi dalam bentuk fisik dalam jumlah yang memadai dan dalam waktu yang tepat (availability), dan (iii), keterjangkauan energi dari sisi ekonomi/harga (affordability) (ReforMiner, 2011). Untuk mewujudkan kedaulatan energi dibutuhkan tidak saja kemauan politik yang kuat, tetapi juga sikap dan tindakan politik yang kongkrit. Namun yang terjadi justru lemah pengawasan, lemah infrastruktur pendukung dan lemah mental mandiri.

Indikasi lemahnya pengawasan terlihat dalam kegiatan eksplorasi sampai ekploitasi yang merupakan pangkal kegiatan penambangan migas. Kepastian jumlah lifting migas dan cost recovery harus diawasi dan Legeslatif  juga mempunyai peran penting dalam pengawasan. Indikasi lain, hingga kini kita masih memposisikan diri sebagai bangsa yang  lemah dalam keahlian dan modal sehingga memperburuk nilai tawar sebagai bangsa pemilik sumberdaya. Anggapan ini hingga kini masih sama dengan anggapan di awal kemerdekaan dahulu  ketika membuka migas untuk keterlibatan asing (outward looking strategy). Motivasi Perjanjian perminyakan di Tokyo tahun 1950an antara Pemerintah dengan perusahaan-perusahaan minyak The Big Three (Stanvac, Caltex, Shell), selain karena terjadi transisi kekuasaan adalah juga karena lemahnya keahlian dan  modal.   Anggapan ini dipertegas di TAP MPRS XXIII/MPRS/1966 dan hingga kini  masih terkonfirmasi dalam perpanjangan Blok Mahakam dan blok-blok lain yang telah habis masa kontrak.

Mewujudkan kemandirian dalam pengelolaan migas tidak secara serius diupayakan. Infrastruktur pendukung seperti tangki penampung dan kilang penyuling minyak mentah (crude oil) tidak bertambah sejak terakhir dibangun di Balongan. Sebagai bangsa dengan teritori yang luas meliputi darat dan berorientasi laut (periphery), kita hanya memiliki 7 kilang pengolah yang tentu tidak  mencukupi, yakni 1. Kilang Pangkalan Brandan, Sejak 2007 Kilang peninggalan kolonial ini sudah tidak lagi difungsikan. 2. Kilang Dumai/ Sei Pakning di Riau,    3. Kilang Plaju, Sumatera Selatan, 4. Kilang Cilacap, 5. Kilang Balikpapan,  6. Kilang Kasim, Sorong dan  7. Kilang Balongan, Indramayu yang beroperasi tahun 1994 dan merupakan kilang terakhir yang pernah dibangun. Penyulingan BBM seperti sengaja agar dilakukan di luar negeri untuk diimport kembali ke dalam, sehingga rantai pengolahan menjadi panjang dan mudah terjadi KKN sebagaimana tergambar dalam kasus Petral, Zapati dan pencurian BBM di laut.

Masalah lain adalah lemahnya kesadaran krisis yang melahirkan sikap hemat dan tanggap solusi yang berbasis kearifal lokal. Saat ini kita bukan lagi  negara kaya migas karena cadangan makin menipis. Keadaan itu tidak dapat lagi diperbaiki karena migas adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Migas bukan diproduksi tetapi diekstraksi, jadi migas seperti aset, akan habis jika diektraksi terus menerus. Tahun 2011 Indonesia diperkirakan tinggal memiliki cadangan minyak hingga 12 tahun sedang pada saat yang bersamaan kebutuhannya justru semakin meningkat (A. Rinto Pudyantoro, 2014).

Catatan di atas adalah pokok masalah yang masih dihadapi Indonesia setelah 70 tahun merdeka. Dirgahayu Indonesiaku.

BERBAGI BLOK MAHAKAM DENGAN ASING (KOMPAS)



Berbagi Blok Mahakam Dengan Asing
Oleh : Junaidi Albab Setiawan
Pengamat dan Praktisi Hukum Migas

Keputusan pemerintah untuk memberi  jatah sebesar 30 %  kepada PT. Total E & P Indonesia  dalam pengelolaan Blok Mahakam, patut disayangkan. Sementara Pertamina sebagai perusahaan migas milik negara diberikan porsi 70 % saham yang masih harus dikurangi dengan participating interest kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) setempat sesuai pasal 34, PP No. 35/2004. 

Ditengah optimisme terhadap kemampuan Pertamina sebagai BUMN migas Indonesia yang semakin mendunia serta tekad kuat pemerintah untuk mewujudkan  kedaulatan energi secara berdikari,  “kesempatan mas”  untuk mengelola Blok Mahakam  mandiri 100 % justru telah disia-siakan. KKS Blok Mahakam yang menurut UU seharusnya berakhir pada Oktober 2016 dan dikembalikan sepenuhnya kepada Negara, justru disikapi dengan perasaan “minder”. Akibatnya  potensi penerimaan Negara menjadi  tidak maksimal. Pertamina sebagai BUMN bidang migas masih diragukan kemampuannya untuk meneruskan pengelolaan Blok Mahakam secara penuh.
                                                                                       
Potensi Blok Mahakam
Kontrak Kerja Sama (KKS) atas Wilayah Kerja (WK) Blok Mahakam ditandatangani  oleh negara dengan Kontraktor  join company  PT. Total E & P Indonesia (Perancis) dengan Inpex Corporation (Jepang) atau TEPI, dengan komposisi penyertaan masing-masing 50 %,  untuk jangka waktu 30 tahun  sejak tanggal 6 Oktober 1966 dan berakhir tanggal 30 Maret 1997. Kontrak tersebut telah diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun pada tanggal 11 Januari 1997 dan akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2017. Wilayah Kerja ini memiliki luas 2.738,51 km2 dan terletak di provinsi Kalimantan Timur serta merupakan wilayah kerja onshore dan offshore yang potensiil dan memiliki cadangan gas terbesar di Indonesia.

Berbagai informasi menyebutkan, cadangan awal (gabungan cadangan terbukti dan cadangan potensial atau dikenal dengan istilah 2P) yang ditemukan saat itu sebesar 1,68 miliar barel minyak dan gas bumi sebesar 21,2 triliun kaki kubik (TCF). Blok tersebut mulai berproduksi pada tahun 1974. Rata-rata produksi tahunan WK Mahakam saat ini adalah Gas sebesar 1.747,59 MMSCFD serta Minyak dan Kondensat sebesar 69.186 BOPD.
Menurut SKK Migas, setelah hampir 50 tahun, sisa cadangan 2P minyak saat ini sebesar 185 juta barel dan cadangan 2P gas sebesar 5,7 TCF. Pada akhir masa kontrak tahun 2017 diperkirakan masih menyisakan cadangan 2P minyak sebesar 131 juta barel dan cadangan 2P gas sebanyak 3,8 TCF pada tahun 2017. Dari jumlah tersebut diperkirakan sisa cadangan terbukti (P1) gas kurang dari 2 TCF, namun menurut Indonesian Resources Studies (IRESS), bersumber dari data Pertamina, cadangan blok Mahakam adalah 8-10 Tcf, dari situ negara berpotensi memperoleh pendapatan bersih mencapai US$ 1,47 miliar atau berkisar Rp 16 triliun per tahun. Perbedaan data antara SKK Migas dengan Pertamina ini sesungguhnya tidaklah penting karena faktanya TOTAL masih sangat bernafsu untuk mengelola Blok ini.

Blok Mahakam sesungguhnya masih dapat dikembangkan jika  secara aktif dilakukan eksplorasi di laut dalam sekitar wilayah tersebut dengan investasi baru tambahan. Sehingga Blok Mahakam masih cukup menjanjikan untuk memberikan pemasukan lebih bagi Negara di masa mendatang.

Kesempatan Yang Disiasiakan
Berakhirnya KKS Blok Mahakam membuat Indonesia berkesempatan untuk mengelola sendiri dan mendapatkan hasil produksi yang lebih besar. Peristiwa itu seharusnya menjadi berkah bagi bangsa mengingatkan produksi Blok Mahakam mengcover 25 % kebutuhan migas nasional dan terlebih saat ini Indonesia berada di ambang krisis energi akibat menipisnya cadangan minyak. Maka momentum penguasaan sepenuhnya Blok Mahakam seharusnya dimanfaatkan oleh pemerintah dengan baik.

Dengan berakhirnya KKS maka  Blok Mahakam menjadi hak Negara sepenuhnya. Negara tidak perlu lagi mengeluarkan banyak biaya untuk ekplorasi dan membangun sarana produksi sebagaimana di tahap awal ekploitasi. Karena saat ini Blok Mahakam berada dalam fase produksi ekstraksi (brownfields). Dengan berakhirnya kontrak pula maka kepemilikan data hasil survey umum, eksploitasi dan ekplorasi dan segala alat kelengkapan produksi yang sudah ditutup dengan cost recovery sepenuhnya menjadi milik negara. Yang diperlukan dalam 3 tahun menjelang akhir tahun 2017 adalah transisi secara gradual dari TEPI  kepada  Negara.

Dengan berakhirnya KKS, TEPI harus dipandang sebagai perusahaan baru yang tidak lagi bersangkut paut dengan Blok Mahakam.  Karena setelah tahun 2017, TEPI adalah investor baru yang masuk dalam tahap memanen hasil produksi, bukan lagi sebagai TEPI yang berkewajiban melewati tahap kritis penuh risiko usaha, berupa pencarian cadangan migas (ekplorasi) dengan kewajiban menyediakan teknologi, dana dan menanggung risiko produksi.

Dalam kurun waktu sejak KKS ditandatangani pada tahun 1966 dan  kemudian menyusul penandatanganan Plan of Development (POD) pada tahun 1974 sebagai tanda dimulainya tahap ekploitasi berupa kegiatan  pengembangan dan pembangunan fasilitas produksi, TEPI sudah mendapatkan haknya sesuai KKS, berupa bagian keuntungan (production sharing) yang tidak sedikit. Oleh karenanya jika saat ini TEPI masih tetap diposisikan seolah-olah sebagai Kontraktor lama dan langsung mendapat bagian 30 %, maka bagian tersebut terlalu besar dan patut dipertanyakan atas dasar apa pemerintah memberikan porsi sebesar itu.

Selain itu pemberian porsi 30 %   juga melanggar ketentuan persaingan usaha yang sehat karena menutup peluang investor lain untuk ikut bersaing masuk ditahap “panen” ini. Harus diingat, kebijakan penawaran wilayah kerja tidak semata-mata didasarkan pertimbangan tehnis, ekonomis, tingkat risiko, efisiensi, namun juga harus berdasarkan keterbukaan, keadilan, akuntabilitas dan persaingan usaha yang sehat (pasal 4 PP. 35/2004 dan pasal 5 KepMen ESDM No. 1480 tahun 2004).

Penandatanganan KKS juga akan dilakukan ditengah ketidakpastian hukum karena (i). Didasarkan pada UU Migas yang sudah tidak layak dan telah masuk agenda prolegnas untuk segera diganti, (ii). Posisi kelembagaan SKK migas yang lemah karena SKK Migas hanyalah  Satuan Kerja sementara dibawah kementerian ESDM, bukan badan hukum (recht persoon) mandiri sebagaimana BP Migas, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai pihak (legal standing) dalam KKS, akibatnya (iii). Dalam KKS pemerintah harus turun langsung dan hubungan hukum menjadi Government to Business (G to B) atau pemerintah berbisnis dengan swasta dengan segala risikonya.  Serta (iv). Kuasa pertambangan diberikan oleh Negara kepada  Pemerintah bukan kepada Perusahaan Negara sebagaimana KKS ditandangani 50 tahun lalu. Sehingga penandatanganan KKS sangat berisiko bagi pemerintah dan juga bagi investor.
Oleh karenanya keputusan pemberian porsi 30 % kepada TEPI akan menempatkan pemerintah berisiko menghadapi gugatan uji  materi (Yudicial Review) mengenai (i). Kompetensi pemerintah dalam membagi  hak Negara atas Blok Mahakam kepada asing ditengah carut marutnya peraturan, maupun (ii). Gugatan perdata (class action) mengenai : (ii.b)pemberian besaran saham 30 % milik rakyat kepada TEPI melalui proses yang kurang transparan dan tidak jelas dasar perhitungannya dan (ii.b) adanya pelanggaran azas persaingan usaha yang sehat.

Kesimpulannya, Ditengah menipisnya cadangan minyak, seharusnya Pemerintah berani mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam mengingat kesempatan dan potensinya. Di mata rakyat langkah itu akan dinilai sebagai keseriusan dalam mewujudkan kemandirian energy, karena membangun mental mandiri harus dimulai dengan cara melepaskan “ketergantungan”. 

IKHWAL DIKUASAI OLEH NEGARA (KONTAN)



Ikhwal Dikuasai Oleh Negara
Oleh : Junaidi Albab Setiawan
Praktisi Hukum, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum UGM

Ikhwal “Dikuasai oleh Negara” dan tafsirnya dalam kontek peraturan Migas sesungguhnya sudah selesai dan tidak lagi multi tafsir, jika kita konsisten berpegang teguh kepada maksud yang terkandung dalam pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 45. Karenanya tafsir atas ketentuan “dikuasai oleh Negara” dalam peraturan-peraturan migass harus segera “diluruskan” dan dikembalikan ke khitah awal agar tidak multi tafsir dan  mudah dilaksanakan. Karena tafsir terhadap ketentuan “dikuasai oleh Negara” kedalam UU migas dan aturan pelaksananya justru mengalami “pembelokan” paska reformasi.
Klausul “dikuasai oleh negara tidaklah terlalu  luas dan terlalu abstrak”. Sepanjang menyangkut migas, sebaliknya klausul “dikuasai oleh Negara” dalam pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 45 sudah cukup jelas dan implemantatif, setidaknya jika dilihat dari dua hal yakni : (i). sejarah  perumusan (memorie van toelichting) pasal 33  UUD 45 dan (ii). dinamika pemikiran dan upaya perumusan aturan-aturan pelaksanaannya di masa awal kemerdekaan Indonesia hingga masa reformasi.
Sejarah Perumusan
Menafsirkan suatu ketentuan tidak bisa lepas dari sejarah perumusannya, berupa suasana kebatinan dan kekayaan argumen dalam perdebatan yang mendahuluinya. Pengertian dikuasai oleh Negara dalam kontek migas berawal ketika R. Soepomo melontarkan idenya di sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945, menurutnya : "dalam Negara Indonesia baru, dengan sendirinya menurut keadaan sekarang, perusahaan-perusahaan sebagai lalu lintas, electriciteit, perusahaan alas rimba harus diurus oleh Negara sendiri. Begitupun tentang hal tanah, pada hakekatnya Negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yang penting untuk Negara akan diurus oleh Negara sendiri". Catatan ini lebih memperjelas maksud “dikuasai oleh Negara” adalah memberi tugas kepada Negara untuk memiliki dan dengan caranya mengurus sendiri tambang-tambang yang menguasai hajat hidup rakyat di bumi Indonesia.
Dari pemikiran Supomo tentang bentuk Negara di masa depan (Staatsidee), yang diserap dari teori integralistiknya Spinoza, Adam Muller dan Hegel,  kata “dikuasai oleh Negara” memiliki pengertian tunggal bahwa daulat rakyat yang dirumuskan dalam alinea 4 pembukaan UUD 45 dan pasal 33 ayat 2 dan 3, menunjuk Negara sebagai satu-satunya pihak yang boleh mengelola kekayaan alam yang menguasai hajat hidup rakyat.
Kata “dikuasai” dalam pasal ini selain berarti kepemilikan juga memberi wewenang (bevoegheid) kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk dalam tingkatan tertinggi, mengatur (rechmacht), menyelenggarakan dan mendistribusikan kekayaan alam stategis yang dikuasainya. Dalam paham integralistiknya Supomo, Negara adalah anti individual dan anti liberal (Marsilam Simanjuntak, 2003).
Terlebih jika dilihat dari  sila ke 4 Pancasila, tujuan Negara di alinea ke 4 dan pasal 2 ayat 2 UUD 45, Indonesia adalah penganut teori kedaulatan J.J.Rousseau (1712-1778). Menurut teori ini rakyatlah yang berdaulat dan mewakilkan atau menyerahkan (volonte generale) kekuasaanya kepada Negara untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran bagi seluruh rakyat. Karena migas menjadi hajat hidup rakyat, maka sangat berbahaya jika penguasaan  migas diserahkan kepada selain Negara. Negara memegang monopoli untuk menentukan apa yang benar dan salah mengenai hakekat Negara.
Awal Kerancuan
Perbedaan tafsir terhadap “dikuasai oleh negara” dalam pasal 33 UUD 45 justru terjadi paska reformasi. Akibat para penafsir tidak berpegang kepada amanat konstitusi dan enggan belajar dari sejarah pergerakan dalam membangun kedaulatan Negara atas migas. Maka pergeseran cara pandang terhadap hal-hal yang bersifat fondamental dan filosifis tentang “dikuasai oleh Negara” dalam peraturan migas bukanlah eksperimen hukum, namun merupakan upaya “pembelokan”  karena desakan kepentingan situasional dan temporal dengan motif liberalisasi industri migas. Ada hubungan kondisi dan konsekwensi dari trend globalisasi paska perang dingin yang menggiring bangsa-bangsa untuk membuka diri seluas-luasnya bagi keterlibatan asing. Atas nama liberalisme dan kesetaraan, peran Negara  direduksi sedemikian rupa, akibatnya posisi Negara terdegradasi. Maka wajar jika UU Migas 2001 memilih rezim kontrak untuk memaksa Negara sejajar dengan kontraktor.
Kerancuan tafsir bermula saat ketentuan kedaulatan Negara atas migas dalam UU Migas 1960 dibelokkan dengan membuat UU Migas 2001 dan  melucuti kuasa pertambangan dari Pertamina 1971. Akibatnya justru timbul kerancuan hukum dalam menempatkan posisi Negara. Menurut UU Migas 2001 Kuasa Pertambangan diberikan kepada Pemerintah, kemudian didelegasikan kepada sebuah badan hukum non provit (BP Migas) namun bertugas menandatangani kontrak bisnis. Paska pembubaran BP Migas oleh MK, Kuasa Pertambangan tetap disandang dan dijalankan sendiri oleh pemerintah dengan membentuk  (SKK Migas) yang bersifat sementara untuk mengisi kekosongan hukum sampai terbitnya UU migas baru (ps 2 (1) Perpres 9/2013). Perubahan itu hingga kini justru  menimbulkan komplikasi hukum dalam pengaturan migas.

Upaya Mewujudkan Penguasaan
Di masa kolonial, pertambangan migas diberikan dengan sistem konsesi. Pasal 5A Indische Mijnwet memberi keleluasan kepada penerima konsesi berupa kuasa pertambangan berikut hak atas tanah. Negara tidak ikut mengontrol produksi sehingga negara kehilangan daulat usaha migas. Ketimpangan itu memberi motivasi dan  pelajaran bagi para founding father untuk memastikan perwujudan daulat Negara atas migas.
Setelah merdeka, upaya menegakkan semangat pasal 33 terus berjalan secara konsisten. Dimulai dengan mengganti Indische Mijnwet peninggalan Belanda. Kemudian muncul mosi Tengku Mohammad Hassan (1953), yang dipicu karena Indonesia tidak memperoleh bagian wajar dari hasil produksi akibat manipulasi data oleh pemegang konsesi. Hingga akhirnya pemerintah membentuk Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP) dan  berhasil menasionalisasi beberapa perusahan minyak asing menjadi Permina (1957) dan Pertamin (1961) yang kemudian digabung menjadi Pertamina (1968). Kemudian disusul lahirnya UU Pertambangan 37/Prp/1960 dan kemudian dalam bidang migas lahir UU Migas 1960 dan UU Pertamina 1971. 
Saat itu pengaturan migas berlangsung melewati dinamika yang lebih terarah menuju kedaulatan Negara atas migas. Namun mengingat  pertambangan migas memerlukan keahlian dan dana besar, maka tetap tidak menutup mata terhadap dukungan asing. Untuk itu  UU Migas 1960 memberi keleluasaan kepada Perusahaan Negara dan jika tidak mampu maka dapat bekerjasama dengan Kontraktor (ps 6 (1)). Upaya mewujudkan kadaulatan Negara atas migas juga diinisiasi oleh Mochtar Kusuma Atmaja dengan merumuskan sitem Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract).  Sistem ini  diilhami sistem garap sawah di pedesaan yang tetap mempertahankan daulat usaha kepada pemilik sawah.
Oleh karenanya pembelokan tafsir harus segera diakhiri dengan mengganti UU Migas 2001 dengan UU Migas baru yang  lebih dijiwai oleh semangat daulat Negara atas migas. Perumusan UU Migas baru seyogyanya dilakukan dengan memperhatikan sejarah dan menghargai upaya keras para founding father yang telah dengan susah payah ditengah keterbatasan, mewujudkan kedaulatan Negara atas migas dengan tetap menjunjung tinggi amanat pasal 33 UUD 45.