KEDAULATAN
NEGARA
ATAS
MINYAK DAN GAS BUMI (MIGAS)
Oleh : Junaidi Albab Setiawan
Tulisan
ini secara khusus akan membahas tentang kedaulatan Negara Republik Indonesia terhadap minyak bumi dan
gas bumi (migas) yang terkandung di bumi Indonesia. Pembahasan ini bermula dari
suatu pertanyaan mendasar yakni, kekayaan alam yang seperti apa yang mutlak
harus dikuasai atau dibawah kontrol penuh Negara? dan mengapa keterlibatan
Negara menjadi penting? dan dalam bentuk apa
(instrument) penguasaan itu diwujudkan dalam tataran praktis?.
Pembahasan
ini dilandasi oleh asumsi bahwa Negara seharusnya adalah penguasa tunggal
kekayaan alam vital dan strategis karena
menjadi kebutuhan hidup rakyat, yang terkandung di dalam bumi wilayah
Negara. Karenanya Negara wajib menjaga, mengawasi dan mengatur penggunaannya
untuk kepentingan seluruh warga Negara.
Negara dan Peran Negara
sebagai perwujudan Kedaulatan Rakyat
Untuk
mengawali pembahasan maka menjadi penting untuk secara ringkas mendefinisikan
pengertian Negara. Maka kita perlu mencari rujukan dari literatur Ilmu Negara (Staatswetenschap/General Sate Science). Dari para ahli ilmu Negara,
di mana Ilmu Negara
adalah ilmu yang menyelidiki
pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi pokok dari negara dan hukum
negara pada umumnya. Pengertian
menitik beratkan pada suatu pengetahuan,
sedangkan sendi menitik beratkan pada suatu asas atau kebenaran.
Dari
penyelidikan didapat definisi
Negara yang sangat beragam. Berdasarkan catatan sejarah yang
paling awal, manusia dalam mempertahankan hidupnya selalu berkumpul
bersama-sama menghadapi tantangan alam yang hidup maupun yang mati secara
kolektif. Secara singkat, sebelum lahirnya negara, diawali oleh
perkumpulan-perkumpulan yang akhirnya dapat membuka jalan menuju suku-suku,
desa-desa, kota-kota bertembok, kerajaan, kekaisaran dan bagian-bagiannya, dan
yang paling baru adalah negara. Istilah negara sudah digunakan sejak zaman
Yunani kuno. Ini Terlihat dari buku yang ditulis oleh Aristoteles (384-322 SM) "POLITICA" yang sudah
merumuskan pengetian negara.[1] Arti negara menurut Aristoteles adalah
persekutuan dari keluarga dan desa untuk mencapai kehidupan sebaik-baiknya.
Aristoteles menggunakan istilah Polis untuk untuk negara kota (city state)
yang berfungsi sebagai tempat tinggal bersama warga negara dengan pemerintahan
dan benteng untuk menjaga keamanan dan serangan musuh. Menurut Aristoteles,
negara terjadi berkat adanya sifat kodrati setiap individu untuk hidup bersama.
Ini secara tidak langsung telah menjelaskan bahwa manusia bukan semata-mata
makhluk yang hanya ingin survive, melainkan makhluk yang mempunyai rasio
dan berdasarkan itu mampu saling mengerti dan berdiskusi untuk mencapai
kesejahteraan bersama.
Selanjutnya mengikuti perkembangan
zaman modern, pengertian Negara mulai
bergeser, pengertian Negara menurut George Jellinek, adalah
organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah mendiami suatu wilayah
tertentu.
Pengertian
Negara menurut George Wilhelm
Friedrich Hegel,
Negara
merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan
individual dan kemerdekaan universal. Pengertian Negara menurut Roelof Krannenburg adalah suatu
organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
Pengertian Negara Roger H. Soltau, Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau
mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.[2]
Di Indonesia para ahli diantaranya Prof. R.
Djokosoetono
mendefinisikan Negara sebagai suatu organisasi manusia atau kumpulan
manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.[3] Sedang Prof. Mr.
Soenarko mendefinisikan Negara sebagai organisasi masyarakat yang
mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai
sebuah kedaulatan
(sovereingty). Daerah ini batasnya ada ditentukan oleh alam dan ada pula
yang ditentukan dari perjanjian-perjanjian internasional antara para negara.[4] Menurut Prof. Padmo Wahyono, negara adalah kumpulan orang-orang yang bersepakat untuk bersatu berjanji
menundukkan diri dalam suatu organisasi berdasarkan hukum yang disepakati pula,
pada suatu wilayah merdeka yang mendapat pengakuan negara lain serta memiliki
kedaulatan.[5]
Dengan kata lain, secara umum
Negara di artikan sebagai organisasi tertinggi di antara suatu kelompok
masyarakat yang mempunyai cita-cita, untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu bersendikan hukum serta mempunyai
pemerintah yang berdaulat
yang eksistensinya juga diakui oleh Negara lain. Secara fisik,
Negara juga adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik
politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan
yang berada di wilayah tersebut.
Karena secara teoritis, dalam
pengertian yang lebih rinci, sebuah Negara memiliki syarat-syarat negara sebagai negara, yaitu:
1. Syarat Primer
a. Terdapat Rakyat
Tanpa rakyat, negara tidak dapat
berdiri
b. Memiliki
Wilayah
Bagaimanapun unsur negara ini sangat krusial,
karena sebuah
negara
memerlukan sebuah wilayah tempat negara tersebut berdiri dan ditegakkan.
c. Memiliki
Pemerintahan yang Berdaulat
Unsur ini sangat penting, karena tanpa
adanya pemerintaahan yang memiliki kekuasaan dan ditaati oleh rakyatnya sebuah area
atau wilayah yang berpenduduk (rakyat) tidak ubahnya seperti sebuah gerombolan
orang yang tidak teratur sehingga tidak memenuhi syarat untuk disebut
sebagai negara.[6]
2. Syarat Sekunder
Mendapat pengakuan Negara lain.
Sesungguhnya ketiga syarat tersebut tidak dapat
dipisah-pisahkan. Jika satu kriteria tidak ada maka negara menjadi tidak
sempurna.[7]
Dengan terpenuhinya ciri-ciri dan syarat-syarat di atas,
maka Negara adalah sebuah badan hukum dimana eksistensinya dijelmakan dalam
suatu kekuasaan pemerintah yang bersandar kepada hukum. Dari sinilah eksistensi
suatu Negara terbentuk dan memiliki kedaulatan. Karena Negara diakui oleh
warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka. Selain pengakuan juga ada
penundukan diri warga Negara secara bersama-sama. Selain itu keberadaan sebuah
Negara juga harus mendapatkan pengakuan dari Negara lain.
Dari berbagai pendapat
tersebut, secara sosiologis, territoris dan yuridis akhirnya dapat
dirangkum sebagai satu pengertian, bahwa
negara adalah suatu organisasi manusia (rakyat) yang bersepakat membentuk
pemerintahan yang bertanggung jawab sebagai pengurus organisasi, bertujuan
untuk mencapai kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan, berdiri di suatu
wilayah tertentu dan di dalam wilayah mana hukum Negara ditegakkan dan segenap warga Negara (rakyat) menundukkan
diri untuk mentaatinya. Karena pada hakekatnya hukum adalah kesepakatan bersama
dan atau abstraksi nilai-nilai luhur serta pandangan baik buruk yang hidup
ditengah-tengah masyarakat.
Kedaulatan Negara atas Migas
Untuk
memasuki bahasan kedaulatan Negara atas migas secara mendalam dan lebih jauh, perlu
dimulai dari pembahasan tentang definisi “kedaulatan” sebagai titik tolak
bahasan. Definisi ini sendiri bukanlah batasan kaku yang tidak bisa diganggu
gugat dan dikritisi, namun dengan definisi yang disintesa dari berbagai
pendapat dan gagasan para ahli, maka akan memudahkan kita menjawab
pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas.
Setelah memahami eksistensi Negara, tulisan ini akan mencoba
membahas apa sebenarnya kedaulatan
Negara. Kedaulatan dalam tulisan ini lebih difahami sebagai kekuasaan untuk menguasai
dan mengatur. Karena syarat dan sifatnya maka Negara memiliki kedaulatan.
Kedaulatan adalah suatu sifat yang menggambarkan suatu keadaan dimana suatu
badan hukum Negara dengan segala atribut dan kelangkapnnya, memiliki kekuasaan
dan kemerdekaan untuk mengatur dirinya sendiri baik ke dalam dan keluar
berdasarkan hukum yang disepakati oleh warga Negara maupun oleh antar
Negara-negara berupa traktat.
Menurut J.H.A. Logemann, dalam buku A. Hamid S.
Attamimi, Pengertian Kedaulatan Negara adalah kekuasaan mutlak atau
kekuasaaan tertinggi atas penduduk dan wilayah bumi beserta isinya yang
dipunyai oleh suatu sistem negara nasional yang berdaulat.[8]
Lebih jauh diuraikan bahwa Kedaulatan Negara dalam Arti kenegaraan
adalah kekuasaan penuh dan tertinggi dalam suatu negara untuk mengatur seluruh
wilayahnya tanpa campur tangan dari pemerintah negara lain atau bebas dari
intervensi eksternal. Kedaulatan merupakan salah satu syarat berdirinya suatu
negara. Salah satu unsur dari negara ialah pemerintah yang berkedaulatan.
Pemerintah dalam suatu negara harus memiliki kewibawaan (authority) yang
tertinggi (supreme) dan tidak terbatas. Hal ini bertalian erat dengan
asal-usul Negara yang merupakan kesepakatan dan penundukan diri dari seluruh
warga Negara kepada Negara yang akan dibentuk dan asal usul hukum yang
bersumber dari kesepakatan antar warga Negara dan kebiasan-kebiasaan,
adat-istiadat serta nilai-nilai luhur dan ajaran agama yang dianut dan diyakini
oleh warga Negara.
Jean Bodin (1500 – 1596) seorang ahli Prancis, memandang kedaulatan
sebagai kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam suatu negara. Ia
memandang pada hakikatnya kedaulatan memiliki 4 (empat) sifat pokok sebagai
berikut. Kedaulatan negara ini bersifat asli, tertinggi dan tidak terbagi-bagi,
dengan pengertian sebagai berikut :
a. Asli, yang berarti bahwa bukan
berdasarkan kekuasaan lain. Keaslian itu muncul dari dalam diri, keiklasan dan
keyakinan dari seluruh warga Negara.
b. Tertinggi, yang berarti bahwa tidak
ada kekuasaan yang lebih tinggi di atasnya, kekuasaan rakyat adalah kekuasaan
tertinggi, suara rakyat suara Tuhan.
c. Bulat karena tidak dapat
dibagi-bagi, yang berarti bahwa ke dalam maupun ke luar negara itu merupakan
kekuasaan sepenuhnya. Merupakan satu-satunya kekuasaan tertinggi dalam negara
yang tidak diserahkan atau dibagi-bagikan kepada badan lain.
d.
Berdiri
Permanen, sekalipun pemegang kedaulatan sudah berganti, karena Negara berjalan
berdasarkan aturan-aturan yanag berlaku, tidak bergantung kepada manusia yang
dipercaya menjalankan kedaulatan. Manusia boleh mati tapi Negara tidak.
e.
Tidak
Terbatas (absolut), artinya kekuasaan tidak dibatasi oleh kekuasaan
lain. Bila ada kekuasaan lain yang membatasinya, tentu kekuasaaan tertinggi
yang dimilikinya itu akan lenyap.
Adanya kewibawaan yang tertinggi dan tidak terbatas dapat
dilihat pada kekuasaan negara yang dapat memaksa itu. Dengan demikian istilah
"yang tertinggi (supreme)" menimbulkan adanya pemerintahan
yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi dan tidak terbatas, kekuasaan negara
yang mempunyai monopoli dalam menggunakan kekuasaan fisik.[9]
Beberapa teori tentang kedaulatan diantaranya sebagai
berikut
a. Teori Kedaulatan Negara, Menurut teori ini adanya negara
merupakan kodrat alam, demikian pula kekuasaan tertinggi terdapat pada pemimpin
negara. Kodrat alam merupakan sumber kedaulatan. Penerapan hukum mengikat
disebabkan karena dikehendaki oleh negara yang menurut kodrat memiliki
kekuasaan mutlak. Tokoh teori ini adalah Paul Laband dan George Jellinek.
b. Teori Kedaulatan Rakyat, Menurut teori ini negara memiliki
kekuasaan dari rakyatnya yang bukan dari Tuhan atau Raja. Teori ini merupakan
reaksi dari teori kedaulatan Tuhan dan teori kedaulatan raja. Teori ini
memandang kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat dan dipergunakan untuk
kepentingan dan kesejahteraan rakyat (demokrasi). Tokoh teori ini adalah J.J.
Rousseau dan Montesquieu.
c. Teori Kedaulatan Hukum, Menurut teori ini, pemerintah
memperoleh kekuasaannya berdasarkan atas hukum, yang berdaulat adalah hukum.
Hukum merupakan kekuasaan tertinggi dalam negara. Rakyat atau pemerintah harus
tunduk pada aturan hukum yang berlaku. Tokoh teori ini adalah Hugo de Groot,
Krabbe, Immanuel Kant dan Leon Duguit.
Untuk menuju suatu Defenisi perlu dibahas berbagai diskusi
tentang seluk beluk lahirnya kedaulatan dari para ahli Negara. Menurut
Aristoteles, setiap definisi kedaulatan harus terlebih dahulu menetapkan kapan
dan untuk apa tujuan kedaulatan memasuki dunia politik dan menembus wacana
politik. Mengenai asal usul kedaulatan yang sangat penting keberadaannya
pada Hubungan Internasional, terdapat beberapa mazhab pemikiran yang berbeda. Primordialists
percaya bahwa konsep kedaulatan dipelopori oleh para penulis kuno seperti
Aristoteles, Polybius dan Dionysius dari Halicarnassus. Tetapi konsep
kedaulatan juga ditemukan dalam tulisan-tulisan Ulpian, Agustinus, Dante,
Ockham, Marsilius dan Machiavelli (modernis). Modernis percaya
bahwa kedaulatan merupakan fenomena modern yang berhubungan dengan
kelahiran dan pertumbuhan bangsa pada abad ketujuh belas dan pertama
sekali diteorikan oleh Jean Bodin dan Thomas Hobbes.
Tujuan dan Arti Kedaulatan Negara Menurut Jean Bodin dalam
Buku “Soverignty, Knowledge, Law”,[10]
Panu Minkkinen mengatakan, Kedaulatan negara menurut pandangan Bodin adalah
sebagai wahana untuk perekat internal,
ketertiban dan perdamaian yang dibutuhkan untuk mengejar kemakmuran bagi
seluruh rakyat anggota negara.[11]
Sehingga Kedaulatan memiliki sifat mutlak dan abadi dari sebuah negara. Bodin
membedakan antara atribut dan karakteristik dari kekuatan berdaulat. Atribut
utama dari kedaulatan menurut Bodin adalah kekuatan untuk memberikan hukum
tanpa persetujuan dari yang lain, baik yang lebih besar, sama, atau di
bawahnya.[12]
Atribut lainnya adalah kekuatan untuk menyatakan perang dan membuat perdamaian,
kekuasaan untuk menunjuk hakim dan petugas, kekuatan untuk memungut pajak
dan sebagainya, semua ini merupakan konsekuensi dari kedaulatan kepada kepala
Negara.[13]
Karakteristik kedaulatan menurut Bodin adalah : Pertama, kekuasaan yang berdaulat itu
mutlak; dalam bahasa Latin, ab Legibus
solutus (Atau tidak terikat oleh hukum). Bodin menjelaskan kedaulatan yang
tidak dapat dibatasi oleh hukum karena berdaulat adalah sumber hukum.[14]
Kedua, kedaulatan adalah tanpa
syarat: "kedaulatan yang diberikan kepada seorang pangeran agar tunduk
pada kewajibannya, kedaulatan atau kekuasaan absolute. Ketiga, kedaulatan tidak akuntabel seperti raja tidak
bertanggung jawab kepada warga negaranya. Keempat, kedaulatan tidak terpisahkan. Kedaulatan tidak terbatas
baik dalam kekuasaan, fungsi, atau waktu.
Bodin percaya bahwa hanya kekuatan yang tangguh dan
tertinggi yang mampu melindungi negara dari musuh internal dan eksternal untuk
memberikan ketertiban dan perdamaian. Dengan merumuskan teori pertama
kedaulatan negara zaman modern, Bodin mengungkapkan sensitivitas historis yang
besar dan akan menyadarkan betapa pentingnya keberadaan negara atau bangsa.
Tujuan dan Arti Kedaulatan Negara Menurut Thomas Hobbes
hampir sama dengan pandangan Bodin, dimana kedaulatan dijadikan negara sebagai
sarana untuk mengambil keuntungan dari rakyatnya akibat kekurang pahaman rakyat
tentang tujuan dari negara yang berdaulat. Yang seharusnya negara yang
berdaulat berfungsi untuk melindungi warga negara justru menjadi penguras
rakyat yang berdiri kokoh dibalik kedaulatan yang mereka miliki, warga hanya
memiliki hak untuk menolak jika membahayakan hidupnya.[15]
Akan tetapi dari beberapa karakteristik kedaulatan negara yang dibuat oleh
Bodin, mendapat pertentangan dari Hobbes, yaitu karakteristik kedaulatan yang
mengatakan bahwa kedaulatan itu tidak terbatas. Hobbes mencoba untuk menawarkan
penjelasan yang rasional untuk menanggapi kekuasaan tak terbatas bagi kepala
negara. Dia menunjukkan bahwa, dari alam, kami memiliki hak untuk menggunakan
segala cara untuk membuat pertahanan diri karena selamanya bahaya akan terus
ada. Kami memasuki kondisi politik dengan maksud untuk mempercayakan kepala
negara sebagai pertahanan dan keamanan. Sebagai akhir dari kekuasaan berdaulat
adalah perlindungan hidup kita dan pelestarian perdamaian, akan masuk
akal untuk menerapkan pembatasan pada kekuasaan berdaulat karena hal ini
akan membatasi kemampuan untuk melindungi kelangsungan hidup kita. Oleh karena
itu, kekuasaan berdaulat harus dibatasi.
Hobbes juga memberikan argumen bahwa kedaulatan memberikan
perlindungan karena ketaatan dan bahwa perlindungan yang mutlak membutuhkan
ketaatan yang mutlak agar bisa menjadi kekuasaan yang mutlak dan berdaulat.
Bagi Hobbes, sebuah negara yang tidak bisa memberikan perlindungan tidak akan
mendapat ketaatan dari rakyatnya dan negara tersebut bisa dikatakan bukan
negara.
Karennya kedaulatan tetaplah terbatasi oleh empat hal yakni
: pertama, kedaulatan tetap tunduk
kepada hukum Tuhan dan hukum alam dimana secara alamiah seluruh ciptaan Tuhan
dibatasi dan atau membatasi diri dengan ketentuan itu. Kedua, kedaulatan dibatasi oleh hukum yang berlaku di tengah
masyarakat dan diakui keberadaannya sehingga tanpa kecuali semua anggota
masyarakat setempat wajib taat. Ketiga,
kedaulatan dibatasi oleh ketentuan prinsip yang umum sebagaimana konstitusi. Keempat, kedaulatan tidak boleh
melanggar kesepakatan-kesepakatan dengan pihak di luar system kedaulatan yang
telah disetujui.[16]
Pandangan lain sebagai pelengkap di lontarkan oleh Immanuel
Kant, yang selama ini dianggap sebagai salah satu bapak liberalisme dan
kosmopolitanisme. Seperti yang dikatakan oleh Richard Tuck dan Howard Williams,[17]
Kant mencoba untuk menggabungkan gagasan kedaulatan Hobbes dengan teori pemerintahan
konstitusional terbatas. Dalam sebuah esai berjudul
On the Common Saying: ‘This May be
True in Theory, but it does not Apply in Practice’[18]
Kant menantang pandangan Hobbes bahwa negara hanya dapat
melindungi kehidupan warganya. Tidak setuju dengan Hobbes, Kant berpendapat
bahwa sebuah negara yang berdaulat harus melindungi hak-hak dasar manusia
seperti kebebasan, kesetaraan dan independensi individu.[19]
Selain itu, Kant juga menantang klaim Hobbes bahwa sebuah operasi negara dalam
sistem internasional ditandai dengan anarki
(berasal dari bahasa Yunani, kurangnya arche, atau aturan) cukup bisa
melindungi warga negaranya. Sementara Kant menerima prinsip Hobbes bahwa fungsi
dari negara yang berdaulat adalah untuk memberikan perlindungan sebagai
pertukaran ketaatan dari rakyat.[20]
Kepada Siapa Kedaulatan Disematkan? Kedaulatan bisa diberikan kepada
(i). monarki, (ii). kepada sebuah pemerintahan terpilih atau (iii). Kepada
seluruh orang (kedaulatan rakyat). Kedaulatan juga sering dibagi dalam dua
kamar yakni Kedaulatan Internal dan Eksternal. Kedaulatan Internal adalah kekuasaan tertinggi dimana negara memiliki
kekuasaan atas warga negaranya sendiri dalam batas-batas sendiri atau sebagai
lembaga tertinggi dalam pengambilan keputusan dan penegakan kewenangan
dalam spesifik wilayah dan terhadap populasi. Sebaliknya, kedaulatan eksternal mewujudkan prinsip penentuan
nasib sendiri dan menunjukkan bahwa dalam hubungan internasional setiap negara
berada pada posisi kemerdekaan masing-masing negara. Kedaulatan eksternal
mengacu pada tidak adanya otoritas internasional tertinggi. Singkatnya, doktrin
kedaulatan mengatakan bahwa kedaulatan menyiratkan klaim ganda; otonomi dalam
kebijakan luar negeri dan kompetensi eksklusif dalam urusan internal.[21]
Kedaulatan juga sering dibagi dalam dua
perpektif yakni perpektif hukum atau kedaulatan de jure, berbeda dengan kedaulatan politik atau kedaulatan de facto sebagai sebanyak konsep
kewenangan yang berbeda dari konsep kekuasaan. Kedaulatan hukum berdasarkan pada perintah, kedaulatan
politik bukan didasarkan pada daya untuk memastikan kepatuhan. Kebanyakan
pemikir setuju bahwa baik kedaulatan hukum ataupun kedaulatan politik merupakan
suatu bentuk hidup dari kedaulatan mereka sendiri. Seperti yang diamati oleh
Anto-Nio Gramsci, kedaulatan politik yang
didasarkan sepenuhnya pada monopoli kekuasaan koersif tidak akan cukup untuk
menjadi sebuah rezim bertahan. Sebaliknya, kedaulatan hukum tanpa kemampuan
untuk menegakkan perintah akan membawa moral belaka.[22]
Memang, perbedaan kedaulatan politik dan kedaulatan hukum tidaklah hitam putih,
namun seperti menentukan siapakah yang keberadaannya mendahului yang lain dalam
kasus telor dan ayam.[23]
Kedaulatan
adalah suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan,
masyarakat, sumber daya alam atau atas diri sendiri. Terdapat penganut dalam
dua teori yaitu berdasarkan pemberian dari Tuhan atau lahir dari Masyarakat.[24]
Dalam hukum konstitusi dan internasional, konsep kedaulatan terkait dengan
suatu pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam negerinya sendiri
dalam suatu wilayah atau batas teritorial atau geografisnya, dan dalam konteks
tertentu terkait dengan berbagai organisasi atau lembaga yang memiliki
yurisdiksi hukum sendiri. Beberapa
pemikiran mengenai kedaulatan dan pemegang kedaulatan suatu negara setelah
revolusi Perancis dikemukakan oleh Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dalam
karyanya Du Contrat Social Ou Principes Du Droit Politique (Mengenai
Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hak Politik) membagi tingkat kedaulatan
menjadi dua yaitu menurut keadaan yang senyatanya (de facto) dan menurut idealnya
dalam peraturan, harapan dan keinginan (de jure).[25]
Sebagai simpulan, dengan demikian maka kedaulatan negara
adalah sebuah otoritas yang disandang dan dimiliki oleh suatu Negara yang
bersumber dari Tuhan, alam dan masyarakat, untuk menegakkan keberadaan dan
keberlangsungannya berdasarkan hukum, didasari oleh eksistensinya yang didukung
oleh sistem pemerintahan dan pengorganisasian Negara yang mapan dan memiliki
legitimasi yang diakui baik ke dalam oleh rakyatnya sendiri (suara rakyat suara
Tuhan) dan keluar oleh Negara lain.
Kedaulatan
Rakyat Versi Indonesia
Teori kedaulatan rakyat ini lahir dari reaksi pada kedaulatan raja. Menurut Rosseau, bahwa raja memerintah hanya sebagai wakil rakyat,
sedangkan kedaulatan penuh ditangan rakyat dan tidak dapat dibagikan kepada
pemerintah itu. Itu sebabnya Rosseau dianggap sebagai Bapak Kedaulatan Rakyat.
Teori ini menjadi inspirasi banyak negara termasuk Amerika Serikat dan Indonesia,
dan dapat disimpulkan bahwa trend dan simbol abad 20 adalah tentang kedaulatan
rakyat. Menurut teori ini, rakyatlah yang berdaulat dan mewakilkan atau
menyerahkan kekuasaannya kepada negara. Kemudian negara memecah menjadi
beberapa kekuasaan yang diberikan pada pemerintah, ataupun lembaga perwakilan.
Bilamana pemerintah ini melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan kehendak
rakyat, maka rakyat akan bertindak mengganti pemerintah itu. Kedaulatan rakyat
ini, didasarkan pada kehendak umum yang disebut “volonte generale” oleh
Rousseau. Apabila Raja memerintah hanya sebagai wakil, sedangkan kedaulatan
penuh ditangan rakyat dan tidak dapat dibagikan kepada pemerintah itu.
Kedaulatan, “sovereignity” merupakan
salah satu syarat berdirinya suatu negara. Seperti diketahui bahwa salah satu
syarat berdirinya negara adalah adanya pemeritahan yang berdaulat. Dengan
demikian, pemerintah dalam suatu negara harus memiliki kewibawaan (authority)
yang tertinggi (supreme) dan tak terbatas (unlimited).
Arti kenegaraan sebagai
kewibawaan atau kekuasaan tertinggi dan tak terbatas dari negara disebut dengan
sovereignity (kedaulatan). Dengan demikian, kedaulatan adalah kekuasaan penuh dan tertinggi
dalam suatu negara untuk mengatur seluruh wilayahnya tanpa adanya campur tangan
dari negara lain. Pada dasarnya kekuasaan yang dimiliki pemerintah
mempunyai kekuatan yang berlaku ke dalam (interne souvereiniteit) dan ke
luar (externe souvereinoteit), yaitu sebagai berikut.
a.
Kedaulatan
Ke Dalam :
Pemerintah memiliki wewenang tertinggi dalam mengatur dan menjalankan
organisasi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.
Kedaulatan
Ke Luar :
Pemerintah berkuasa bebas, tidak terikat dan tidak tunduk kepada kekuasaan
lain, selain ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, traktat, konvensi dll.
Demikian juga halnya dengan negara lain, harus pula menghormati kekuasaan
negara yang bersangkutan dengan tidak mencampuri urusan dalam negerinya.
Indonesia adalah Negara penganut teori
kedaulatan rakyat, hal ini sangat nyata terlihat di dalam pembukaan konstitusi
negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD 45 sbb :
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil, makmur.
Selanjutnya
di BAB I, tentang Bentuk dan Kedaulatan, pasal 1 di tegaskan :
(1).“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-undang Dasar”
(2). Negara Indonesia adalah negara
hukum.[26]
Dua
ayat di pasal 1 UUD 45 di atas selanjutnya dielaborasi dengan ketentuan lain
menurut hukum, dimana kekuasaan pemerintahan Negara dijalankan dan dipegang
oleh Presiden.[27]
Presiden dengan demikian adalah personifikasi dari implementasi kedaulatan.
Kekuasaan pemerintahan adalah turunan (derivasi) atau bentuk konkrit dari
kedaulatan Negara. Selanjutnya Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Karena dalam system perwakilan,
rakyat dengan suka rela telah mewakilkan atau memberi mandate kepada DPR untuk
membuat peraturan yang terjelma dalam salah satu dari 3 fungsi utama
(Regulating, Budgeting dan Controling) DPR, yakni sebagai fungsi regulasi atau
legeslasi.[28]
Dalam membuat undang-undang DPR lebih dominan karena hakekat undang-undang
adalah kesepakatan rakyat untuk mengatur dirinya sendiri.[29] Namun selanjutnya dalam menjalankan
undang-undang Presiden oleh undang-undang dasar diberi kewenangan untuk
menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana
mestinya.[30]
Dengan
demikian Negara memiliki kedaulatan dan selanjutnya kewenangan (otority) untuk menguasai, mengatur
bahkan menjalankan segala kepentingan yang berkaitan keberlangsungan dan tujuan
Negara, diantaranya yakni untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Batas diskusi
ini adalah dengan mengingat diskusi di atas, dimana kepentingan Negara
sesungguhnya dan tiada lain adalah kepentingan rakyat.
Kedaulatan Negara atas
Migas
Pembahasan
tentang Kedaulatan Negara atas Migas akan dimulai dengan memahami posisi
stategis migas dimata negara. Per definisi, menurut UU Migas No, 44/Prp. Tahun
1960, Migas atau minyak dan gas bumi
adalah bahan-bahan galian minyak bumi, aspal, lilin bumi, semua jenis bitumen
baik yang padat maupun yang cair dan semua gas bumi serta semua hasil-hasil
pemurnian dan pengolahan bahan-bahan galian antrasit dan segala macam batu
bara, baik yang tua maupun yang muda. Sedang menurut UU Migas No. 22 Tahun
2002, Minyak Bumi adalah hasil proses
alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer
berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan
bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara
atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan
yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. Sedangkan Gas
Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan
dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan
Minyak dan Gas Bumi.
Bangsa
Indonesia menyadari bahwa Migas adalah anugerah Tuhan yang berada di dalam bumi
nusantara tempat dimana Negra Indonesia berada. Migas adalah anugerah khusus (exclusive)
dari Tuhan untuk segenap rakyat Indonesia yang wajib disyukuri karena tidak
semua bangsa memiliki cadangan migas. Migas adalah kebutuhan hajat hidup
rakyat. Karena hampir seluruh aktivitas kehidupan di zaman modern ini sangat
bergantung kepada migas, karena kebutuhan energy masih sangat bergantung dari
migas. Migas memiliki fungsi strategis dalam pembangunan demi mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Migas jumlahnya terbatas dan tidak dapat diperbaharui.
Migas sekarang masih menduduki posisi terbesar diluar pajak yang mendatangkan
devisa bagi Negara Indonesia.
Letak
strategis dan kedudukan migas demikian karenanya memiliki fungsi vital di mata
Negara Indonesia, bisa dilihat dari
pertimbangan (konsideran) dari 2 (undang-undang) migas yang pernah dimiliki
Indonesia, yakni UU No. 44/Prp/ tahun 1960 dan UU No. 22 Tahun 2002. Menurut UU
Migas No. 44/Prp/tahun 1960 adalah : Bahwa minyak dan gas bumi mempunyai fungsi
yang amat penting untuk pembangunan masyarakat adil makmur, dibandingkan dengan
bahan-bahan galian yang lain. Bahwa produksi minyak dan gas bumi merupakan
cabang-cabang produksi yang amat penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak baik langsung maupun tidak.
Bahwa minyak dan gas bumi mempunyai arti yang khusus untuk pertahanan
nasional. Bahwa persoalan-persoalan mengenai minyak dan gas bumi mengandung
aspek-aspek internasional.
Sedangkan
menurut UU Migas No.
22 Tahun 2002, Bahwa pembangunan nasional harus diarahkan kepada terwujudnya
kesejahteraan rakyat dengan melakukan reformasi di segala bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan
yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat
hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional
sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Bahwa kegiatan
usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai
tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional yang meningkat dan
berkelanjutan.
Posisi Migas sebagai kekayaan alam strategis
dan vital karena menjadi hajat hidup rakyat dapat juga dilihat dari uraian
berikut. Sejak ekspot migas dilakukan tahun 1969, penerimaan migas berjumlah 65
milyar rupiah. Dalam kurun waktu selama 25 tahun produksi migas (1969-1993),
puncak penerimaan Negara dari migas yakni pada tahun 1990 berjumlah 17,712
triliun rupiah. Sampai tahun anggaran 1987, penerimaan Negara masih mendominasi
penerimaan Negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Baru setelah
tahun anggaran 1988, peran penerimaan perpajakan sudah mengalahkan posisi
dominan penerimaan migas dalam APBN.[31]
Menurut
Kementerian ESDM,[32] realisasi penerimaan Negara dari
sektor migas dalam beberapa tahun terakhir selalu melebihi target yang
ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal yang sama
juga terjadi dalam jumlah produksi gas nasional yang terus menerus mengalami
peningkatan jumlah produksinya dari tahun ke tahun. Realisasi penerimaan Negara
yang pada tahun 2007 sebesar US$23,79 miliar akan melonjak menjadi US$35,79
miliar pada tahun 2011, Hal tersebut menunjukkan signifikansi kontribusi sektor
migas terhadap kemakmuran Rakyat sebab semua uang penerimaan Negara langsung
masuk kedalam APBN dan kemudian digunakan untuk kepentingan seluruh Bangsa
Indonesia.
Produksi gas Indonesia juga terus
mengalami peningkatan sejak pengembangan gas di tahun 1977 hingga saat ini. Pada
periode tahun 1977 hingga 1983 rata-rata produksi gas nasional hanya sebesar
513.000 barel ekuivalen minyak per hari (Barrels Oil Equivalent Per Day/
BOEPD) atau 2.975 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Lebih lanjut kini jumlah
produksi gas nasional telah naik secara signifikan mencapai rata-rata 1,49 juta
barel setara minyak per hari (BOEPD) atau rata-rata 8.120 juta kaki kubik per
hari dalam periode 2007 hingga 2012. Dengan semakin meningkatnya produksi gas
nasional maka kita semakin dapat meningkatkan alokasi gas domestik yang telah
meningkat lebih dari 250% sejak tahun 2003 hingga 2012. Hal tersebut juga
berarti.dapat.terus.meningkatkan.penerimaan.Negara.
Tabel Penerimaan Negara dari Sektor Migas (Miliar Dollar/ billion US$)
Tabel Penerimaan Negara dari Sektor Migas (Miliar Dollar/ billion US$)
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012*
|
|
APBN
|
19,73
|
22,20
|
30,65
|
19,11
|
26,06
|
32,40
|
33,48
|
Realisasi
|
22,6
|
23,79
|
35,02
|
19,95
|
26,49
|
35,79
|
34,62
|
Pencapaian
|
114%
|
107%
|
115%
|
104%
|
102%
|
110%
|
103%
|
Tabel
Produksi Gas Nasional
Periode
|
Rata-rata Produksi Gas Nasional
|
1977 – 1983
|
513.000 (BOEPD)/2.975 (MMSCFD)
|
1983 – 1990
|
864.000 (BOEPD)/5.011 (MMSCFD)
|
1990 – 1997
|
1.315.000 (BOEPD)7.627 (MMSCFD)
|
1997 – 2001
|
1.294.000 (BOEPD)7.505 (MMSCFD)
|
2001 – 2007
|
1.448.000 (BOEPD)8.398 (MMSCFD)
|
2007 – 2012
|
1.497.000 (BOEPD)8.682 (MMSCFD)
|
Dari kedua tabel tersebut nyata terlihat bahwa
Anggaran Pendapatan Belanja Negara, masih sangat bergantung dari pendapatan
Migas.
Dalam
UU Migas No. 22 Tahun
2001, sistem pengelolaan migas dilaksanakan berdasarkan kontrak kerja sama.
Kontrak kerjasama ini antara lain adalah kontrak bagi hasil, Negara akan
memperoleh sejumlah bagian sesuai kesepakatan kontrak. Perolehan Negara dari
hasil migas tersebut merupakan penerimaan Negara dari sektor migas. Selaian itu
Negara juga memperoleh pajak dari migas. Pajak yang dipungut oleh pemerintah
dalam kegiatan penambangan minyak dan gas bumi di Indonesia adalah pajak
penghasilan dari kontraktor. Pada periode 1010-2012, pajak penghasilan migas
mengalami peningkatan tiap tahunnya, namun pada pada tahun 2013 mengalami
penurunan sebesar Rp. 9,282,8 triliun dan dalam APBN 2014 pemerintah
menargetkan penerimaan pajak penghasilan dari sector migas sebesar Rp. 76,073,6
triliun.
Penerimaan
bukan pajak dari SDA migas meningkat dari tahun 2010 hingga 2012 namun untuk
tahun 2013 mengalami penurunan tajam sebesar Rp. 25,213.1 triliun dari Rp. 205,
823.5 triliun pada LKPP 2012 menjadi Rp. 180,610.4 triliun pada APBNP 2013.
Untuk target penerimaan pendapatan Negara bukan pajak (PNBP) dari sector migas
dalam APBN 2014 sebesar Rp. 196,508.3
triliun serta PNBP lainnya dari minyak bumi seperti pendapatan minyak mentah
untuk pasar domestic (domestic market obligation) / DMO sebesar Rp.
13,45 triliun.
Distribusi
penerimaan migas tahun
2009 mengalami penurunan dan relative meningkat untuk tahun berikutnya hingga
tahun 2012. Pada tahun 2013 mengalami
penurunan kembali sebesar Rp. 14,511 miliar. Untuk tahun 2013 distribusi
penerimaan migas terdiri dari atas Indonesia share sebesar Rp 31, 315 miliar,
Cost Recovery sebesar Rp. 5.978 miliar dari net contactor share sebesar Rp.
9.264 miliar. Semakin besar
Sekalipun
penerimaan negara di sector minyak dan gas bumi pada tahun 2014 tidak sesuai
target APBN 2014. Hal tersebut berdasarkan asumsi lifting minyak sebesar 870
ribu barel per hari. Peluang untuk mencapai penerimaan tersebut tidak
memungkinkan karena patokan lifting terkoreksi cukup signifikan dari 870 ribu
barel per hari menjadi 804 ribu barel per hari dalam rata-rata produksi harian.
Dari setiap penurunan lifting 10 ribu barel per hari akan berdampak pada
penurunan penerimaan migas sebasar 2 sd 3 triliun, sehingga penurunan menjadi
sebesar 20 triliun.[33]
Uraian
di atas telah cukup menggambarkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar
dalam pembukaan di atas. Bahwa sampai saat ini migas masih menempati posisi
strategis bagi keberlangsungan bangsa. Hal ini mengingat migas masih menjadi
pemasok utama kebutuhan enegi bagi pembangunan dan aktivitas masyarakat. Sekalipun
secara fluktuatif dari waktu ke`waktu pendapatan dari sektor migas mengalami
penurunan kwantitas di saat sebaliknya permintaan atas migas mengalami
kenaikan, namun posisi strategis migas masih tetap berpengaruh besar terhadap
eksistensi bangsa. Karena posisi vital dan strategis tersebut maka Migas
karenanya masuk dalam kategori sumberdaya
alam yang menguasai hajat hidup rakyat dan maka Negara wajib dan harus
turun langsung untuk menguasai, mengatur dan mengelola secara adil semata-mata
untuk kesejahteraan rakyat dan mempertanggungjawabkan kepada Tuhan dan kepada
rakyat.
Dengan
melihat posisi dan fungsi migas yang sedemikian vital bagi bangsa dan Negara,
maka wajar jika dahulu para bapak pendiri bangsa (founding father),
dengan pandangannya ke depan yang melampaui zaman (visoner). Dengan
perjuangannya yang tanpa pamrih pribadi, kelompok dan golongan untuk
mensejahterakan rakyat, kemudian menjabarkan Pancasila ke dalam pasal 33 ayat 2
dan ayat 3 UUD 45. Undang Undang Dasar 1945 (UUD 45) pada pasal 33 ayat 2 dan
ayat 3 berbunyi.
Ayat (2). Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara.
Ayat (3). Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Uraian
lebih jauh tentang sejarah dan latar belakang lahirnya pasal 33 ayat 2 dan ayat
3 perlu di dalami lebih jauh. Pada ayat 2, terdapat dua penekanan, pertama, negara menguasai, dan yang kedua, cabang-cabang produksi dianggap
penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pada ayat 3
terdapat dua penekanan pula, yang pertama
Negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dan
yang kedua, penguasaan tersebut
dengan maksud untuk dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pilihan
bahasa (semantik) pada kata kata dalam pasal 33 di atas sungguh
bermakna dalam secara vertical maupun horizontal dan berdemensi ke depan. Bahwa
kekayaan alam vital dan strategis (termasuk migas) yang menjadi hajat hidup
masyarakat, adalah kekayaan alam milik seluruh bangsa Indonesia. Karena Migas
merupakan kebutuhan pokok bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali, maka migas
harus dikuasai oleh negara. Semata-mata untuk dipergunakan untuk kepentingan
kolektif berupa kesejahteraan bagi seluruh anggota bangsa. Karenanya migas
harus dikuasai oleh Negara, jika migas dikuasai tidak oleh Negara (diserahkan
kepada pasar) maka kepentingan rakyat akan kalah oleh kepentingan modal dan
akibatnya rakyat dan Negara akan didekte oleh pasar.
Kesimpulan
Migas
adalah anugerah Allah SWT, diberikan secara khusus kepada bangsa-bangsa yang
dikehendaki dan terpilihNya, karena tidak semua Negara memiliki kekayaan migas
di dalam bumi yang ditinggalinya, maka migas harus dimanfaatkan dengan cara
yang bertanggung jawab agar bangsa ini tidak menjadi bangsa yang “kufur nikmat”.
Migas
menjadi kebutuhan hidup bagi manusia (rakyat) dan menjadi penopang utama dalam pembangunan
untuk meraih kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Maka Negara dengan segala
atribut kedaulatan yang disandangnya harus turun langsung dan mengambil
tanggung jawab penuh.
Pemanfaatan
migas tidak untuk diserahkan kepada pasar bebas karena jika migas yang vital
dan strategis ini diserahkan kepada pasar, maka praktis berjalannya Negara dan
kebutuhan rakyat didekte oleh pasar, adagium “Siapa menguasai migas dia
menguasai Negara”, tidaklah salah. Jika Negara gagal mengurus migas maka migas
akan menjadi sumber bencana / kutukan bagi suatu bangsa (curse).
Terdapat
hubungan langsung alamiah dan rasional yang hierarkis antara Tuhan sebagai
penguasa dan pencipta seru sekalian alam, yang kemudian mengkaruniakan
(menghadiahkan) nikmataNya berupa migas kepada seluruh rakyat di Negara
tertentu. Dan kemudian rakyat berikhtiar mengelola anugerah Tuhan tersebut dengan
cara yang bertanggung jawab dan tertib dengan bersepakat melalui suatu organisasi
Negara, lalu kemudian rakyat mempercayakan kepada Negara untuk menguasai,
mengatur, mengelola dan mengawasi pemanfaatan migas secara bertanggung jawab
dan adil.
Maka
pengaturan migas tidak boleh bergeming dari asasnya, dimana pada hakekatnya
migas adalah anugerah Tuhan maka pengaturan harus dijiwai oleh sila 1 dan sila
5 Pancasila dan diturunkan (derivasinya) kepada pasal 33 UUD 45. Dengan tetap
berpegang kepada keyakinan bahwa suara hati nurani rakyat adalah suara Tuhan,
dimana Negara adalah organisasi rakyat, maka kepentingan rakyat harus dilindungi
dan diprioritaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A. Hamid S. Attamimi, Peranan
keputusan presiden Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara: suatu studi analisis mengenai keputusan presiden yang berfungsi
pengaturan dalam kurun waktu Pelita I-Pelita IV, Fakultas Pasca Sarjana UI, 1990.
B. Jowett M.A, The Politics of Aristoteles, Oxford
University Press Warehouse Amen Cormen.
C.S.T. Kansil
dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia. PT Rineka Cipta : Jakarta, 2000.
Ernest K Bankas, The State Immunity Controversy In International
Law, Springer 2005.
Graham Evans- Jeffrey
Newnham, Political Science, Penguin Books, 1998.
Jean-Jacque Rousseau, The Social Contract, Penguin Londong,
1968.
Johan H. Franklin, Bodin On Soeverignty, Cambridge University
Press, New York, 1991.
Miriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1972.
MR. Soenarko, Susunan Negara Kita, Djambatan, Bandung, 1954.
Moh.Mahfud M.D, Politik
Hukum di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012.
Padmo Wahyono, Ilmu Negara, digital version Universitas
Indiana, 1962.
Panu Minkkinen, Soverignty, Knowledge, Law, Routledge, New York, 2009.
T. King, Thomas
Hobbes, Critical
Assessments, Volume 1,
Routledge, London, 1993
Soenarko, Susunan Negara Kita, Sejak Penyerahan Kedaulatan,
Penerbit jambatan, 1953.
S. Reiss, Kant, Political Writings, Cambridge University Press,
1991.
Trevor
C. Salmon and Mark F. Imber, Issues In International Relations, Rouledge, London,
2008.
Theresia Reinold, Soverignty and The Responsibility to Protec
The Power of Norms and The norms of Powerfil, Rouledge, London, 2013.
Undang-Undang
Undang-Undang
Dasar Tahun 1945
Undang-Undang
No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Internet
[1] B. Jowett M.A,
The Politics of Aristoteles, Oxford University Press Warehouse Amen Cormen,
London, hlm 8 sd 10 (diambil dari
http://files.libertyfund.org/files/819/0033-02_Bk_SM.pdf)
[2] Miriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1972,
hlm 9
[3] Inu Kencana
Syefiie, Sistem Administrasi Negara RI, Bumi Aksara, 2003, hlm 10
[5] Padmo Wahyono,
Ilmu Negara 1962/1963, digital version Universitas Indiana, hlm 6
[6] Untuk menjadi
suatu Negara merdeka tidak diperlukan syarat yang neko-neko, yang njlimet
(zwaarwichtig), Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh, ini
sudah cukup untuk internationalrecht. Dikutip dari buku Tjamkan Pantja Sila,
Pantja Sila dasar Falsafah Negara, Panitia Nasional Peringatan Lahirnya pantja
Sila, 1 Djuni 1945 – 1 Djuni 1964, hlm 15
[7] Soenarko,
Susunan Negara Kita I, Sejak Penyerahan Kedaulatan, Penerbit jambatan, 1953,
hlm 12
[8] A. Hamid S.
Attamimi, Peranan keputusan presiden
Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahan negara: suatu studi
analisis mengenai keputusan presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun
waktu Pelita I-Pelita IV, Fakultas Pasca Sarjana UI, 1990, hlm 80
[9] C.S.T. Kansil
dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Yang
Menerbitkan PT Rineka Cipta : Jakarta, 2000. Lihat juga di http://blogsimpleuntukpelajar.blogspot.co.id/2013/03/makalah-kedaulatan-rakyat.html
[10] Panu
Minkkinen, Soverignty, Knowledge, Law,
Routledge, New York, 2009
[11] Johan H.
Franklin, Bodin On Soeverignty, Cambridge University Press, New York, 1991, hlm
3
[13] Ibid,
hlm 67
[14]
Samuel Edward Finer, The History of Government from the Earliest Times:
Empires, monarchies, and the modern state, Oxford University Press, 1997, hlm
1300
[15] Preston T. King, Thomas Hobbes: Critical
Assessments, Volume 1, Routledge, London, 1993, hlm 30
[16] Ernest K
Bankas, The State Immunity Controversy In International Law, Springer 2005, hlm
3
[17] Trevor C.
Salmon and Mark F. Imber, Issues In International Relations, Routledge, London,
2008, hlm 39
[18] .S. Reiss,
Kant, Political Writings, Cambridge University Press, 1991, hlm 61
[20] Trevor C.
Salmon and Mark F. Imber, opcit, hlm 39
[22] Theresia
Reinold, Soverignty and The Responsibility to Protec The Power of Norms and The
norms of Powerfil, Rouledge, London, 2013, hlm 27
[23] Moh. Mahfud
M.D, Politik Hukum di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm
17
[25]
Jean-Jacque Rousseau, The Social Contract, Book I, Transleted and intruced by
Maurice Cranston, Penguin Londong, 1968, hlm 56
[26] Perubahan ke-3
UUD 45
[27] UUD 45, Pasal
4 (1), Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang Undang Dasar.
[28] Pasal 20 ayat
(1) UUD 45, (perubahan pertama) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang.
[29] Pasal 5 (1)
UUD 45, perubahan pertama
[30] Pasal 5 (2)
UUD 45
[31] Juli Saragih,
Sejarah Perminyakan di Indonesia, CV Aghino Abadi, Jakarta, 2010, hlm 101
[32] Kepala Divisi Humas, Sekuriti dan Formalitas
Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
(SKMIGAS) Hadi Prasetyo berdasarkan data penerimaan negara dalam lima tahun
terakhir dan data produksi gas sejak tahun 1977. Diambil dari http://www.esdm.go.id/berita/40-migas/6095-penerimaan-negara-dari-sektor-migas-dan-produksi-gas-naik-terus.html, diakses pada tanggal 4-10-2014, Pukul 7.45 WIB
[33]http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/apbn_Penerimaan_Migas_dalam_RAPBN_P_201420140602100733.pdf
pada tanggal 4-10-15, didownload
pada tanggal 4-10-2015, Pukul 8.46 WIB