Sabtu, 23 Januari 2016

Blok Masela Milik Generasi Mendatang (Kompas 23/1/2015)



Blok Masela Milik Generasi Mendatang
Junaidi Albab Setiawan
Advocat / Pengamat Hukum Migas

Presiden harus pandai-pandai mengambil manfaat dari polemik terbuka tentang rencana pengembangan lapangan gas Abadi, Blok Masela yang terletak di laut Arafuru, antara Menko Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam (SDA) yang didukung oleh para tokoh Indonesia Timur dan praktisi migas dari Forum 73 (Fortuga) ITB, disatu pihak, dengan Menteri ESDM, SKK Migas yang dikuatkan oleh pendapat konsultan Independent Poten & Partners yang disewa oleh pemerintah, dilain pihak.  Sekalipun Menko Maritim dan SDA, Menteri ESDM dan SKK migas semuanya masih dalam jangkauan Presiden, namun perbedaan itu tidak perlu ditutup-tutupi. Peristiwa itu adalah fenomena baru yang justru bermanfaat, karena semangat dari perbedaan itu adalah untuk menemukan pilihan terbaik bagi kepentingan bangsa. Bagi pemerintah, polemik yang dilontarkan secara terbuka  kepada publik tersebut adalah proses  dialogis positif yang akan semakin memperkokoh landasan keputusan yang akan diambil.
Pilihan yang akan diambil Presiden adalah sebuah pertaruhan yang akan dicatat  oleh sejarah, sekaligus menguji konsistensi keberpihakan Presiden dalam mengelola sumber daya alam vital strategis sesuai  amanat konstitusi, sebagaimana dijanjikannya dalam Nawacita. Pilihan yang diambil harus berorientasi jangka panjang dan paling menguntungkan bagi generasi mendatang. Bukan didasari pertimbangan jangka pendek demi  keuntungan instan di depan, namun berujung masalah bagi generasi berikutnya di belakang hari.
Berbeda dengan masa lalu, selemah apapun kita dalam permodalan dan keahlian, mulai saat ini kita tidak boleh lagi menelan bulat-bulat seluruh masukan dari luar. Namun perlu dikaji dari berbagai aspek kepentingan bangsa dan memberi ruang dialog bagi seluruh komponen bangsa untuk ikut berperan serta.
Pilihan Untuk Generasi Mendatang
Saat ini pengembangan Blok Masela memasuki tahap menunggu persetujuan revisi plant of development (PoD) yang telah disampaikan oleh Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) Inpex Masela Ltd (beranggota Inpex Corporation 65 % dari Jepang dan Shell Upstream Overseas Services 35 % dari Belanda) kepada pemerintah. Revisi ini untuk mengganti Front End Engineering Design (FEED) kilang terapung (floating refinery) berkapasitas 2,5 juta matrix ton per tahun (MTPA) yang telah disetujui pemerintah pada September 2014, dirubah menjadi berkapasitas 7,5 MTPA dengan nilai investasi US$ 14,8 milyar, menyusul ditemukannya cadangan gas baru. Setelah revisi PoD mendapatkan persetujuan, tahap selanjutnya adalah memasuki tahap keputusan akhir investasi (final investment decision (FID)). Masalahnya sekarang adalah proses tersebut kini terhenti karena pemerintah belum menyetujui revisi yang diajukan  kontraktor. Pemerintah lewat Menko Maritim dan SDA masih mempertimbangkan pilihan lain yang lebih efisien dengan usulan membangun fasilitas pengolahan di daratan terdekat, dengan cara membangun pipa dari lokasi tambang ke lokasi pengolahan.
Kedua pilihan ini diklaim oleh masing-masing pengusul  sebagai pilihan yang terbaik dan paling menguntungkan bagi Indonesia. Kini tibalah saatnya bagi Presiden untuk menentukan pilihan, setidaknya dengan  parameter  berupa : (a). Konsitensi kesesuaian pilihan dengan amanat konstitusi, karena gas adalah komoditi vital dari dalam bumi Indonesia yang wajib dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, (b). Pilihan tersebut adalah pilihan yang paling efisien dan membawa kemaslahatan maksimal bagi generasi mendatang karena proyek ini adalah proyek jangka panjang. (c). Serta adil bagi semua pihak  termasuk kepentingan masyarakat disekitar lokasi dan bagi kontrakator.
Fenomena polemic terbuka sebagaimana di atas adalah wajar bahkan perlu dilazimkan. Di era sekarang masyarakat harus diberi akses selebar-lebarnya untuk berperan serta, karena pengelolaan sumber daya alam strategis dan vital seperti gas alam, bukanlah domain mutlak pemerintah. Sehingga selain untuk menghindari kontroversi dan kecurigaan, sisi baiknya adalah  didapat berbagai tambahan pertimbangan yang konprehensif. Selama ini masyarakat merasa ditinggalkan dan kurang diberi akses dan kesempatan untuk berperan serta. Pemerintah cenderung memonopoli persoalan bahkan menutup-nutupi demi keuntungan segelintir oknum, kroni, kekuatan kelompok dan golongan.

Yang Paling Menguntungkan
Apapun pilihan yang akan dipilih oleh pemerintah, jika hubungan kontraktual antara Indonesia dengan Inpex Masela Ltd adalah kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract), maka yang paling menguntungkan bagi Indonesia adalah fasilitas pengolahan yang berbiaya ringan namun tidak merongrong pembiayaan dari waktu ke waktu. Dalam sistem kontrak ini, berapapun dana yang akan dikeluarkan untuk membangun fasilitas kilang pengolahan baik di darat maupun terapung di laut, biaya tersebut akan ditanggung oleh rakyat Indonesia melalui mekanisme cost recovery. Biaya-biaya produksi yang telah dikeluarkan oleh kontraktor akan dibayar kembali dari hasil produksi, sebelum dilakukan bagi hasil bagi kedua belah pihak sesuai kesepakatan.
Namun harus juga dipertimbangkan bahwa lokasi Blok Masela seluas 4.291,35 km persegi, yang terletak 153 km dari Pulau Babar di sebelah selatan dan 146 km dari Pulau Yamdena di sebelah barat daya, adalah lokasi yang sulit. Secara geologis merupakan daerah labil karena berada di daerah palung pertemuan (pergeseran) antara lempeng benua Australia dengan lempeng benua Aurasia dan lempeng pasifik yang dikitari potensi gunung berapi. Pertemuan lempeng tersebut menyebabkan terbentuknya paparan yang luas, yang kemudian disebut paparan Sahul dan paparan Arafura dengan kedalam palung 500 hingga 1000 meter di bawah permukaan laut. Kesemuanya itu tentu membutuhkan kontraktor yang handal dalam keahlian dan pembiayaan. Saat ini kontraktor  belum dapat menuai hasil, namun yang pasti  terus kehilangan jangka waktu kontrak pengelolaan blok yang demi hukum harus berakhir tahun 2028.

Kepentingan Lokal

Tanpa harus mengecilkan komitmen kita sebagai bangsa dalam bingkai NKRI, pengembangan blok Masela harus lebih memperhatikan aspirasi dan kepentingan masyarakat di daerah sekitar. Pemerintah wajib memberi tempat yang layak kepada aspirasi itu. Ini adalah momentum  yang tepat bagi pemerintah untuk membuat kebijakan adil yang mampu  mengurangi ketimpangan antara kawasan barat dan timur Indonesia.  Tuhan telah membuka mata kita dengan Blok Masela yang terletak di batas timur  Indonesia yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dalam pembangunan. Blok ini memiliki cadangan terbukti Gas yang sangat besar mencapai 10,73 trilion cubic feet (tcf), ditambah lagi dengan Blok west Masela dan Blok Babar yang terletak di laut Arafura. Blok ini tepatnya terletak di  155 km dari kota Saumlaki di Pulau Tinimbar, ibukota kabupaten Maluku Tenggara Barat yang pada sisi selatan tepat berada di perbatasan perairan (ZEE) Indonesia dengan Australia atau 400 km sebelah utara kota Darwin. Wilayah ini akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi karena Blok Masela juga dikelililingi oleh blok-blok besar milik Australia yakni blok Gorgon,  Itchis dan Prelude. Kesemuanya ini seharusnya lebih membawa kita untuk lebih bijaksana, berlaku adil dan aspiratif dalam mengelolanya.
Pengembangan blok Masela diyakini akan membawa dampak turutan di wilayah sekitar lokasi yang berada ditengah antara propinsi Indonesia yang masih tertinggal, yakni Maluku, NTT dan Papua, jika pemerintah konsisten menerapkan paradigma baru dalam pengelolaan sumber energi yakni “Enegy as the driver for economic growth”, dimana manusia mengikuti sumber energy bukan sebaliknya (Peta Jalan Kebijakan Gas, ESDM, 2014-2030). Daerah ini dahulu lebih dikenal sebagai tempat buangan bagi para pahlawan pendiri bangsa dan Negara (founding father). Sudah sepantasnya wilayah ini mendapat hadiah dan berkah dari hasil pengembangan blok Masela. Proyek ini harus membawa dampak positif kepada pengembangan wilayah di sekitar yang pada gilirannya kelak  akan membawa dampak berantai bagi kemajuan wilayah Indonesia timur.
Gambaran situasi di atas sesungguhnya membawa pesan kepada pemerintah, bahwa pemerintah pantang mewariskan masalah dan prahara bagi generasi mendatang, karena sesungguhnya gas alam adalah anugerah yang dipercayakan oleh Tuhan untuk seluruh bangsa Indonesia, jangan biarkan anugerah itu mejadi kutukan (curse) yang memecah belah persatuan bangsa. Pemerintah saat ini bisa jadi tidak akan menikmati hasil kebijaksanaannya, namun pemerintah yang baik selalu berusaha mewariskan sistem yang baik,  adil, dapat diterima serta medatangkan manfaat sampai kapanpun.