Kamis, 21 April 2016

Partisipasi Daerah Penghasil Migas (Koran Kontan)



Junaidi Albab Setiawan
Advocat/ Pengamat Hukum Migas

Daerah penghasil migas memiliki hak partisipasi (Partcipating Interest/ PI ) dalam produksi migas yang ada di wilayahnya. Hak tersebut selama ini belum dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh daerah, karena diliputi berbagai masalah yang bersumber dari kesalah pahaman daerah dan keterbatasan kemampuan keuangan dan moral hazard, sehingga berakibat PI salah sasaran. Sekali daerah melewatkan tawaran PI, maka kesempatan itu akan hilang bersama habisnya cadangan migas karena migas adalah bahan bakar fosil tak terbarukan.
Istilah PI tidak ditemukan padanannya di perundangan Indonesia. PI adalah istilah dalam bidang ekonomi perusahaan, khususnya dalam bidang pertambangan Migas menyangkut komposisi keikutsertaan dalam suatu kegiatan usaha hulu migas. Jika dilihat dari Code of Federal Regulations of the USA, Title 17, Commodity and Securities Exchange,  PI dalam industri migas adalah suatu kesempatan diutamakan (previlage) yang diberikan kepada daerah penghasil dengan jaminan undang-undang,  untuk turut berpartisipasi dalam industri hulu migas terutama dalam kegiatan ekploitasi (produksi), dengan cara menyetorkan modal dan karenanya berhak mendapatkan bagian dari hasil usaha sesuai keikut sertaannya.
Batasan Participating Interest
Menurut Peraturan Pemerintah No. 35/2004, PI diberikan secara limitative dan tunduk kepada kontrak induk yang dibuat antara pemerintah dan perusahaan kontraktor pelaksana kegiatan usaha hulu migas berupa ekplorasi dan ekploitasai (produksi) migas. Tujuan pemberian hak ini tiada lain adalah untuk kepentingan masyarakat daerah penghasil.
Banyak daerah gagal paham terhadap PI, PI dikira hak tanpa syarat sebagai akibat adanya kegiatan produksi migas yang berada di dalam wilayahnya. Padahal PI bukanlah hadiah dan bukan pula hak keikut sertaan tanpa syarat (golden right or share) sebagaimana biasa diberikan kepada orang “yang diprioritaskan” karena pengaruhnya, sehingga mendapat jatah saham tanpa perlu membayar modal. Dalam PI pemilik tetap dibebani dengan kewajiban membayar modal sesuai nilai partisipasi yang disepakati dan turut menanggung risiko rugi. Mengingat kegiatan usaha hulu migas adalah kegiatan padat modal (hight capital), padat keahlian (hight techt), sangat berisiko (hight risk) dan berjangka waktu panjang, maka kontraktor dengan sitem kontrak kerjasama bagi hasil (production sharing contract) sangat berhati-hati dalam melakukan perhitungan untung rugi dan tidak mudah menghamburkan hadiah.
PI lebih  berorientasi bisnis maka PI hanya diberikan  kepada Pemerintah daerah melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Secara garis besar pemerintah telah menetapkan angka penawaran sebesar 10% kepada BUMD yang dilakukan setelah Plant of Development pertama. Hak tersebut juga dibatasi syarat berdasar jarak antara bibir pantai ke lokasi proyek, jarak 0-4 mil laut menjadi kewenangan  kabupaten/ kota atau jarak  4-12 mil laut menjadi kewenangan  provinsi, sedang Wilayah kerja di atas 12 mil merupakan kewenangan pemerintah pusat. BUMD harus memiliki kemampuan finansial mandiri untuk membiayai pengambilalihan PI 10% dan biaya lain sesuai rencana kegiatan operasi berikutnya. Namun jika BUMD tidak mampu maka BUMD dapat bekerja sama dengan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) atau BUMN. Pernyataan minat dan kesanggupan BUMD terbatas dalam jangka waktu 60 hari kalender sejak penawaran pertama oleh kontraktor. Apabila tidak ada pernyataan minat, penawaran PI kepada BUMD dinyatakan tertutup.  
Tidak Optimal
PI sesungguhnya buah dari desentralisasi dan otonomi daerah yang bermakna sebagai perluasan kesempatan bagi daerah untuk mengejar kesejahteraan dan memajukan dirinya. Ini akan secara significan mengurangi beban pemerintah pusat dan pada saat yang sama menciptakan iklim yang kompetitif diatara daerah-daerah untuk secara kreatif menemukan cara-cara baru mengelola potensi ekonomi yang dimilikinya (Ryaas Rasyid, 2007). Jangan sampai timbul kesan bebannya ditanggung daerah tetapi  hasilnya ditarik ke pusat.
Bagi daerah penghasil PI sangatlah penting, selain karena mewilayahi juga karena daerah penghasillah yang paling terpapar risiko kegiatan produksi. Maka layak jika daerah penghasil mendapatkan kompensasi yang memadai dengan  mempertimbangkan berbagai aspek dan risiko yang dihadapi. Bagian daerah harus memperhitungkan biaya restorasi kerusakan sosial dan lingkungan sebagai dampak ekplorasi dan ekploitasi. Memperbaiki kerusakan itu bukanlah pekerjaan ringan dan diperlukan biaya yang tidak murah, sehingga tidak adil jika dibebankan kepada APBD, DAU maupun DAK. Faktanya kebanyakan daerah tidak berhasil melakukan restorasi itu dan kehidupan masyarakat justru semakin terpuruk dan jurang kesenjangan ekonomi semakin menganga. Berbagai kalangan sering mengibaratkan situasi masyarakat di daerah penghasil dengan peribahasa “itik mati di lumbung padi”. Sebuah gambaran tragis yang seharusnya menjadi perhatian para pengambil kebijakan, untuk mengambil kebijakan yang adil dan proporsional bagi daerah.
Mengapa dan apa kendalanya
Tidak semua daerah memiliki kesiapan dalam memanfaatkan PI. Ketidak siapan tersebut lebih dikarenakan kurangnya pemahaman aturan migas dan kemampuan memanfaatkan peluang bisnis. Kebanyakan daerah terbiasa mengandalkan jatah dari pusat tanpa mau berinisitif dan berinovasi memanfaatkan peluang adanya PI. Terlebih lagi jika kepala daerahnya memiliki vested interest sehingga dengan kewenangannya  tega “membajak” PI kearah keuntungan pribadi. 
Jika dikelompokkan dalam beberapa sebab, ketidak siapan tersebut adalah pada : (1). Keterbatasan SDM dan kemampuan modal, (2). Naluri bisnis menjadi tumpul karena terbiasa terima jatah (alokasi) dan KKN, (3). Transparansi dan sosialisasi informasi dan pengawasan pusat yang lemah. 
BUMD adalah badan usaha, maka keikut sertaan BUMD dalam sebuah proyek hulu migas menuntut pemahaman yang cukup tentang bisnis hulu migas. Keikut sertaan tidak akan maksimal jika BUMD tidak mengawasi langsung kegiatan produksi. Dengan cara itu BUMD dapat lebih maksimal memberikan kontribusi bagi kegiatan produksi sekaligus mengawasi kegiatan produksi agar tidak terjadi kebocoran.
PI berarti keikutsertaan dalam melakukan bisnis migas yang bernilai triliunan rupiah, karena bisnis hulu migas membutuhkan modal yang besar. Bisnis dimanapun di dunia ini bertujuan mencari untung semaksimal mungkin (profit oriented). Untuk mengejar keuntungan tersebut diperlukan berbagai upaya yang berbasis pada mekanisme kegiatan bisnis. PI bukanlah durian runtuh, karena PI adalah peluang bisnis yang berpotensi mendatangkan pendapatan (return) yang besar jika diikuti aturan mainnya. Maka pemda sebaiknya mengerahkan segala daya upaya dan SDM yang terlatih, tentu saja tetap dalam perlindungan dari pemerintah pusat. PI adalah kesempatan langka yang dimiliki daerah penghasil menjadi daerah kaya dan sejahtera. Agar pemanfaatan berjalan dengan baik pemda harus membangun kapasitas bisnis yang memadai, sehingga pemda tidak dipandang sebelah mata. Karena kelemahan ini sering dimanfaatkan oleh swasta untuk keuntungannya yang bisa dilakukan secara KKN dengan tokoh daerah.
Beberapa daerah masih menunjukkan gejala gagap karena terbiasa pasrah menerima jatah dari pusat. Karena PI adalah hak maka daerah penghasil seharusnya tidak dalam posisi pasif, tapi harus aktif memperjuangkan haknya tersebut. Daerah penghasil karena keterbatasan bahkan sering melemparkan begitu saja haknya kepada mitra swasta, sehingga PI menjadi tidak tepat sasaran dan lagi-lagi justru mensejahterakah pemilik modal dari luar daerah. Akibatnya pelaksanaan PI  menyimpang dari tujuan filosofisnya. Keharusan menyetor modal ini memang tidak mudah bagi daerah,  PT. Migas Mandiri Pratama BUMD milik Provinsi Kalimantan Timur karena kesulitan modal untuk mengambil PI di Blok Mahakam justru meminta agar diperbolehkan melibatkan swasta. Pemda Jawa Timur bahkan meminta golden share berapapun asal tidak perlu menyetor modal.  Melihat gejala itu maka pemerintah pusat sebaiknya tetap menjaga agar modal PI oleh BUMD  murni berasal dari keuangan daerah atau keuangan negara lainnya tanpa perlu melibatkan investor luar daerah, agar keuntungan benar-benar untuk daerah atau setidaknya tetap untuk negara.
Akibatnya
Akibatnya di beberapa daerah penghasil muncul berbagai berita Korupsi di media masa. Sebagai contoh adalah PI Blok Cepu di lingkungan kabupaten Bojonegoro yang dilaporkan oleh LSM setempat karena diduga merugikan daerah dan mengkerdilkan peran BUMD dan lebih didominasi oleh pihak swasta. PI di Blok Madura offshore pada Kabupaten Sumenep, BUMD PT Wira Usaha Sumekar (WUS) dilaporkan oleh LSM ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi dana penyertaan PI di perusahaan migas.
Situasi di atas memperlihatkan bahwa Hak daerah dalam pengusahaan sektor hulu Migas secara langsung tidak diimbangi oleh kemampuan teknis dan keuangan BUMD, ditambah lemahnya pengawasan dari pemerintah pusat. Kelemahan itu dimanfaatkan oleh pihak-pihak luar untuk mengejar rente dari sektor Migas. Maka benar rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas agar   PI yang menjadi hak Daerah dipastikan pemanfaatan sepenuhnya oleh BUMD yang sepenuhnya dimiliki Daerah. Untuk itu, perlu disusun aturan perundangan yang mengatur partisipasi BUMD pada pengusahaan sektor hulu migas, termasuk di dalamnya kewajiban kerja sama antara BUMD dengan Pertamina, tanpa membebani BUMD dengan pengeluaran biaya investasi dan risiko usaha. Pemerintah harus melarang Swasta masuk dalam PI dan segera dilakukan penertiban terhadap  PI yang sudah terlanjur dikuasai swasta langsung maupun tidak langsung.

BISNIS BUMN DAN TAFSIR UU (Kompas/19/4/2015)



(Sebuah catatan di usia 18 Tahun BUMN Mengabdi bangsa)

Junaidi Albab Setiawan
Advokat / Pengamat BUMN

Saat ini di usia 18 tahun, BUMN dipacu oleh Presiden agar bekerja “ngebut” dengan kecepatan penuh, dengan semboyan “Kerja, kerja, kerja” yang berorientasi hasil atau capaian (out comes). Desakan percepatan ini akan sulit terlaksana jika BUMN masih tersandera oleh masalah-masalah sistemik yang bersumber dari birokrasi yang berorientasi proses dan diliputi kesalah pahaman terhadap bisnis BUMN, ditambah berbagai hambatan berupa  kerancuan tafsir UU serta beban politik dan kebijakan. 
Kebijakan Presiden itu mengandung pesan perubahan dari sistem birokrasi yang lebih  menekankan cara daripada hasil ke sistem yang berorientasi hasil dengan cara cepat. Perubahan itu tidak mudah karena harus merubah cara pandang (mindset) dan perundang-undangan. Selain itu, kebijakan ini juga rentan ditunggangi oleh “penumpang gelap” yang memanfaatkan situasi untuk kepentingannya sendiri sehingga akan mencederai niat baik pemerintah.  Oleh karenanya pemerintah harus lebih waspada dalam mengevaluasi pelaksanaan kebijakan.

Kerancuan Tafsir Undang undang

BUMN saat ini masih menghadapi masalah kerancuan pengaturan. Jika ditarik dari azasnya, maka terlihat kerancuan norma hukum antara  putusan MK No 48 dan 62/PUU/-XI/2013, UU BUMN No. 19/2003 dan UU Perseroan Terbatas No.  40/200, menyangkut tafsir “modal BUMN yang bersumber dari kekayaan Negara yang dipisahkan”. Putusan MK menempatkan BUMN tunduk kedalam rezim hukum keuangan Negara, sehingga penggunaan keuangan BUMN masuk dalam ranah korupsi. Akibatnya  aparat hukum  di semua tingkatan termasuk BPK, BPKP dan bahkan DPR-pun demi hukum dapat memeriksa BUMN, bahkan DPR mita diperluas kewenangannya hingga menjangkau anak perusahaan BUMN.  

Sementara secara khusus (lex specialis) UU BUMN dan UU PT memberi tugas BUMN untuk berbisnis mengejar untung dalam bidangnya (profit oriented). Menurut penjelasan UU BUMN No 19/2003, kekayan Negara yang dipisahkan tidak lagi tunduk dalam sistem APBN, namun telah menjadi kekayaan perusahaan yang didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat sesuai UU PT No 40 tahun 2007. Sekali modal telah ditempatkan maka di dalam perusahaan, negara sebatas menjadi pemegang saham dan menyalurkan misinya lewat RUPS. Karenaanya jika bisnis telah dilakukan sesuai prinsip Good Corporate Government (GCG), Business Judgment Rule (BJR), anggaran dasar perusahaan  dan aturan bisnis lain, maka tidak ada lagi korupsi. Karena di dalam bisnis  untung dan rugi sudah menjadi keniscayaan dan PT memiliki mekanisme sendiri untuk menilainya.

Selama ini pengertian keuangan negara yang dipisahkan di BUMN seperti dibiarkan “mengambang” yang justru menjadi peluang penyalahgunaan kekuasaan. Akibatnya pengawasan kepada BUMN yang bertujuan baik  melalui pemeriksaan yang menyedot   energi dan waktu para pengurus BUMN berubah menjadi gangguan kinerja dan produktivitas, karena harus  melewati proses pemeriksaan panjang,  berjenjang dan berulang, tergantung tahap pengawasan, sehingga tidak efektif dan efisen.

Tindakan bisnis sangat berkait dengan peluang (momentum). Daripadanya sering diperlukan keputusan  yang cepat dan tepat, kadang berdasar naluri (instink) yang dimata awam masih kerap dinilai sebagai pelanggaran. Sementara itu peraturan yang ada masih sering tertinggal dan gagal mengantisipasi kebutuhan bisnis yang memerlukan keputusan yang cepat dan tepat. Faktanya tidak ada ketentuan tertulis yang dapat mengatur segala aspek secara konkrit dan detail di setiap saat. Untuk mengantisipasinya diperlukan suatu kebijakan terhadap adanya kevakuman aturan, alias ruang kosong dalam menilai suatu tindakan. Oleh karenanya agar prinsip legalitas pada tahap operasional dapat dilaksanakan secara dinamis, efektif dan efisien, maka diperlukan beleid atau diskresi (J.P. Wind, 2004). Beleid dan diskresi dapat menjembatani perubahan paradigma yang berorientasi prosedur kepada paradigma subtantif yang dikehendaki pemerintah, yang berorientasi kecepatan dan capaian. Namun jika kurang waspada, beleid dan diskresi ini sering ditunggangi oleh penumpang gelap yang  mengambil manfaat pribadi, kelompok dan golongan.

Contoh kerancuan lainnya adalah ketentuan privatisasi dalam UU BUMN.  Privatisasi  itu sesungguhnya masuk dalam ranah corporate action yang seharusnya tidak perlu diatur dalam peraturan setingkat UU. Namun karena UU BUMN adalah produk reformasi yang dibuat dalam pengaruh IMF dan kebangkrutan ekonomi negara, maka  semangatnya adalah memfasilitasi penjualan asset negara guna membayar hutang. BUMN yang semula beridiologi sosialisme dipaksa bermetamorfosis mengikuti pasar yang beridiologi liberal yang mengajarkan bahwa pemerintah yang baik adalah yang sedikit memerintah (the government is best which govern least) dan memberi kebebasan kepada pasar (Austin Ranney, 1996).

Situasi itu dimanfaatkan oleh Multi National Corporation untuk menguasai BUMN-BUMN yang potensial. Contoh korban nyatanya adalah pada  initial public offering (IPO) PT.Perusahaan Gas Negara (Persero) tahun 2003. Sekarang ini 82 % dari 43,04 % saham public PGN telah dikuasai asing. IPO PGN secara fundamental sesungguhnya menyalahi asas, karena PGN bergerak dalam bisnis gas yang termasuk komoditi vital yang menjadi hajat hidup orang banyak. Sementara konstitusi (pasal 33 ayat 2) jelas mengatur gas hanya boleh dikuasai oleh Negara,  ditambah lagi ketentuan  UU BUMN pasal 77 (c dan d) jelas melarang privatisasi jenis itu.

Ditengah masyarakat juga masih terjadi kesalah pahaman terhadap bisnis BUMN. Di mata hukum perusahaan, BUMN persero adalah badan usaha yang bertujuan mencari untung, bukan seperti BUMN masa lalu, koperasi dan yayasan yang lebih bermisi sosial. Karenanya jika berharap BUMN berperilaku seperti  badan sosial, maka segera lakukan koreksi terhadap UU BUMN dan UU PT. Hilangkan ketentuan privatisasi dan putuskan hubungan BUMN dengan UU PT, karena kedua UU tersebut beraliran pasar bebas. Tujuan pendirian PT dan privatisasi menurut UU tersebut  adalah memperkuat modal supaya BUMN lebih expansif dan menguntungkan. Sementara di sisi sebaliknya tujuan pembelian saham oleh investor dalam privatisasi  adalah untuk mendapatkan keuntungan (dividend/ capital gain) dari BUMN. Maka wajar jika BUMN kini lebih berperilaku bisnis dan itulah sesungguhnya yang dituntut oleh kedua UU tersebut.

Beban politik

Kementerian BUMN adalah kementerian primadona yang sedari dulu dikenal sebagai “sapi perah” untuk menunjang biaya politik yang mahal. Kementerian ini membawahi 119 BUMN dengan berbagai bidang strategis.  Pendapatan BUMN pada 2014 saja mencapai Rp1.912 triliun, sungguh angka yang menggiurkan. Sementara menteri BUMN menempati posisi mewakili saham negara  di semua BUMN, yang  dalam praktek perannya bergeser seperti chief executive officer (CEO) induk pengendali dari seluruh BUMN. Maka wajar jika dalam hitungan politik menteri BUMN harus bisa “dikendalikan”.

Idealnya Menteri BUMN adalah seorang  pribadi yang tangguh, visioner yang luwes namun tetap loyal kepada UU, konstitusi dan ideologi. Karena untuk menjalankan bisnis dalam kungkungan pasar bebas (laissez faire) sekarang ini BUMN perlu diisi oleh bisnismen cerdas, dinamis,  penuh inovasi, ahli dalam bidangnya (spesialis) dan berjaringan luas, namun harus tetap  non partisan.  Jangan isi BUMN dengan orang-orang  titipan, pesanan, balas jasa atau yang  dijinakkan, tanpa mengindahkan kompetensi. Akibatnya BUMN sulit maju karena dipenuhi benalu yang membebani keuangan dan  sekedar menjalankan rutinitas.   

Beban Kebijakan

Belakangan ini kita mendengar bahwa pembangunan proyek-proyek besar yang melibatkan BUMN adalah aktivitas B to B (business to business). Pembiayaan pembangunan itu tidak menggunakan APBN dan tanpa jaminan pemerintah. Argumen ini membingungkan karena sekarang ini BUMN adalah entitas bisnis yang mayoritas sahamnya milik Negara. Jika BUMN lengah mengukur diri dan bermasalah akibat desakan kebijakan, maka pasti berdampak kepada negara. Ada baiknya kita belajar dari kasus penghentian proyek pembangunan PLTP, antara  Karaha Bodas Company vs Pertamina (Joint Operation Contract) dan PLN (Energy Sales Contract), kaitannya dengan Kepres 39/1997 dan kepres 15/2002, yang berakibat BUMN rugi besar dan tersandera ditangan kreditor asing dan arbitrase  internasional.  Karenanya jangan bebani BUMN melebihi kemampuannya.

Kita sepakat, berbagai program-program prestisius yang menjadi prioritas pemerintah, khususnya bidang kedaulatan energi, kemandirian pangan, serta pembangunan infrastruktur dan kemaritiman  adalah pondasi menuju kemakmuran negara. Namun dari sejarah kita juga harus belajar agar menjauhkan politik dari urusan bisnis, karena ternyata akibatnya selalu merugikan negara.   Sebagai contoh lain adalah masalah Freeport, masalah Freeport bukan sekedar masalah kontrak, kecilnya royalty dan divestasi, namun lebih subtansial karena menyangkut konstitusi. Sehingga penyelesainnya tidak cukup dengan menggalang BUMN minerba PT. Aneka Tambang, PT. Bukit Asam, PT. Timah dan PT. Inalum untuk membeli saham Freeport, namun harus diluruskan dahulu di mana posisi negara. 

Akibatnya

Di usia 18 tahun BUMN sekarang ini tidaklah adil terlalu membebani BUMN, sementara perusahaan swasta memiliki berbagai “kemewahan” berupa  kebebasan bisnis. Mereka bisa membuat pulau-pulau baru (reklamasi), membakar hutan untuk bertanam, menjual pasir untuk memperluas negara lain, menyerobot tanah-tanah potensial milik BUMN, merampok BLBI, menaruh uangnya di negara-negara tax heaven dll. Begitupun CEOnya, mereka bisa memiliki kewarga negaraan ganda (double nationality), jika timbul masalah mereka bisa buron ke Negara lain sebagai warga kehormatan. Corporate Social Responsibility (CSR) 2,5 % dari keuntungan mereka tidak akan cukup untuk merestorasi kerusakan sosial dan lingkungan. Namun dimana peran mereka untuk kesejahteraan rakyat, kita tidak pernah mengukur dan mengusiknya karena negara seperti tidak berdaya.

Akibat dari semuanya itu BUMN akan berjalan di tempat, bekerja penuh ketakutan dan sakwasangka. Jangankan bersaing dengan swasta, mengatasi masalah internal saja mereka sudah kehabisan energi. Ditambah lagi beban-beban di atas yang semakin menyulitkan.