Junaidi Albab Setiawan
Advocat/ Pengamat Hukum Migas
Daerah penghasil migas memiliki hak partisipasi (Partcipating Interest/ PI )
dalam produksi migas yang ada di wilayahnya. Hak tersebut selama ini belum
dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh daerah, karena diliputi berbagai
masalah yang bersumber dari kesalah pahaman daerah dan keterbatasan kemampuan
keuangan dan moral hazard, sehingga
berakibat PI salah sasaran. Sekali daerah melewatkan tawaran PI, maka kesempatan
itu akan hilang bersama habisnya cadangan migas karena migas adalah bahan bakar
fosil tak terbarukan.
Istilah PI tidak ditemukan padanannya di perundangan Indonesia. PI adalah istilah dalam bidang ekonomi
perusahaan, khususnya dalam bidang pertambangan Migas menyangkut komposisi
keikutsertaan dalam suatu kegiatan usaha hulu migas. Jika dilihat dari Code
of Federal Regulations of the USA, Title 17, Commodity and Securities Exchange, PI dalam industri migas adalah suatu
kesempatan diutamakan (previlage)
yang diberikan kepada daerah penghasil dengan jaminan undang-undang, untuk turut berpartisipasi dalam industri hulu
migas terutama dalam kegiatan ekploitasi (produksi), dengan cara menyetorkan
modal dan karenanya berhak mendapatkan bagian dari hasil usaha sesuai keikut
sertaannya.
Batasan Participating Interest
Menurut
Peraturan Pemerintah No. 35/2004, PI diberikan secara limitative dan tunduk
kepada kontrak induk yang dibuat antara pemerintah dan perusahaan kontraktor pelaksana
kegiatan usaha hulu migas berupa ekplorasi dan ekploitasai (produksi) migas. Tujuan
pemberian hak ini tiada lain adalah untuk
kepentingan masyarakat daerah penghasil.
Banyak
daerah gagal paham terhadap PI, PI dikira hak tanpa syarat sebagai akibat
adanya kegiatan produksi migas yang berada di dalam wilayahnya. Padahal PI bukanlah hadiah dan bukan pula hak keikut
sertaan tanpa syarat (golden right or
share) sebagaimana biasa diberikan kepada orang “yang diprioritaskan”
karena pengaruhnya, sehingga mendapat jatah saham tanpa perlu membayar modal. Dalam
PI pemilik tetap dibebani dengan kewajiban membayar modal sesuai nilai
partisipasi yang disepakati dan turut menanggung risiko rugi. Mengingat kegiatan
usaha hulu migas adalah kegiatan padat modal (hight capital), padat keahlian (hight
techt), sangat berisiko (hight risk)
dan berjangka waktu panjang, maka kontraktor dengan sitem kontrak kerjasama
bagi hasil (production sharing contract)
sangat berhati-hati dalam melakukan perhitungan untung rugi dan tidak mudah
menghamburkan hadiah.
PI
lebih berorientasi bisnis maka PI hanya diberikan kepada Pemerintah daerah melalui Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD). Secara garis besar pemerintah telah menetapkan angka penawaran
sebesar 10% kepada BUMD yang dilakukan setelah Plant of Development pertama. Hak tersebut juga dibatasi syarat
berdasar jarak antara bibir pantai ke lokasi proyek, jarak 0-4 mil laut menjadi
kewenangan kabupaten/ kota atau jarak 4-12 mil laut menjadi kewenangan provinsi, sedang Wilayah kerja di atas 12 mil
merupakan kewenangan pemerintah pusat. BUMD harus memiliki kemampuan finansial
mandiri untuk membiayai pengambilalihan PI 10% dan biaya lain sesuai rencana
kegiatan operasi berikutnya. Namun jika BUMD tidak mampu maka BUMD dapat
bekerja sama dengan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) atau BUMN. Pernyataan
minat dan kesanggupan BUMD terbatas dalam jangka waktu 60 hari kalender sejak
penawaran pertama oleh kontraktor. Apabila tidak ada pernyataan minat,
penawaran PI kepada BUMD dinyatakan tertutup.
Tidak Optimal
PI sesungguhnya buah dari desentralisasi
dan otonomi daerah yang bermakna sebagai perluasan kesempatan bagi daerah untuk
mengejar kesejahteraan dan memajukan dirinya. Ini akan secara significan
mengurangi beban pemerintah pusat dan pada saat yang sama menciptakan iklim
yang kompetitif diatara daerah-daerah untuk secara kreatif menemukan cara-cara
baru mengelola potensi ekonomi yang dimilikinya (Ryaas Rasyid, 2007). Jangan
sampai timbul kesan bebannya ditanggung daerah tetapi hasilnya ditarik ke pusat.
Bagi daerah penghasil PI sangatlah
penting, selain karena mewilayahi juga karena daerah penghasillah yang paling
terpapar risiko kegiatan produksi. Maka layak jika daerah penghasil mendapatkan
kompensasi yang memadai dengan
mempertimbangkan berbagai aspek dan risiko yang dihadapi. Bagian daerah harus
memperhitungkan biaya restorasi kerusakan sosial dan lingkungan sebagai dampak
ekplorasi dan ekploitasi. Memperbaiki kerusakan itu bukanlah pekerjaan ringan
dan diperlukan biaya yang tidak murah, sehingga tidak adil jika dibebankan
kepada APBD, DAU maupun DAK. Faktanya kebanyakan daerah tidak berhasil
melakukan restorasi itu dan kehidupan masyarakat justru semakin terpuruk dan
jurang kesenjangan ekonomi semakin menganga. Berbagai kalangan sering mengibaratkan situasi masyarakat di
daerah penghasil dengan peribahasa “itik mati di lumbung padi”. Sebuah gambaran
tragis yang seharusnya menjadi perhatian para pengambil kebijakan, untuk
mengambil kebijakan yang adil dan proporsional bagi daerah.
Mengapa dan apa
kendalanya
Tidak
semua daerah memiliki kesiapan dalam memanfaatkan PI. Ketidak siapan tersebut
lebih dikarenakan kurangnya pemahaman aturan migas dan kemampuan memanfaatkan peluang
bisnis. Kebanyakan daerah terbiasa mengandalkan jatah dari pusat tanpa mau
berinisitif dan berinovasi memanfaatkan peluang adanya PI. Terlebih lagi jika
kepala daerahnya memiliki vested interest
sehingga dengan kewenangannya tega “membajak”
PI kearah keuntungan pribadi.
Jika
dikelompokkan dalam beberapa sebab, ketidak siapan tersebut adalah pada : (1). Keterbatasan
SDM dan kemampuan modal, (2). Naluri bisnis menjadi tumpul karena terbiasa
terima jatah (alokasi) dan KKN, (3). Transparansi dan sosialisasi informasi dan
pengawasan pusat yang lemah.
BUMD
adalah badan usaha, maka keikut sertaan BUMD dalam sebuah proyek hulu migas
menuntut pemahaman yang cukup tentang bisnis hulu migas. Keikut sertaan tidak
akan maksimal jika BUMD tidak mengawasi langsung kegiatan produksi. Dengan cara
itu BUMD dapat lebih maksimal memberikan kontribusi bagi kegiatan produksi
sekaligus mengawasi kegiatan produksi agar tidak terjadi kebocoran.
PI
berarti keikutsertaan dalam melakukan bisnis migas yang bernilai triliunan rupiah,
karena bisnis hulu migas membutuhkan modal yang besar. Bisnis dimanapun di
dunia ini bertujuan mencari untung semaksimal mungkin (profit oriented). Untuk
mengejar keuntungan tersebut diperlukan berbagai upaya yang berbasis pada
mekanisme kegiatan bisnis. PI bukanlah durian runtuh, karena PI adalah peluang
bisnis yang berpotensi mendatangkan pendapatan (return) yang besar jika diikuti
aturan mainnya. Maka pemda sebaiknya mengerahkan segala daya upaya dan SDM yang
terlatih, tentu saja tetap dalam perlindungan dari pemerintah pusat. PI adalah
kesempatan langka yang dimiliki daerah penghasil menjadi daerah kaya dan sejahtera.
Agar pemanfaatan berjalan dengan baik pemda harus membangun kapasitas bisnis
yang memadai, sehingga pemda tidak dipandang sebelah mata. Karena kelemahan ini
sering dimanfaatkan oleh swasta untuk keuntungannya yang bisa dilakukan secara
KKN dengan tokoh daerah.
Beberapa
daerah masih menunjukkan gejala gagap karena terbiasa pasrah menerima jatah
dari pusat. Karena PI adalah hak maka daerah penghasil seharusnya tidak dalam
posisi pasif, tapi harus aktif memperjuangkan haknya tersebut. Daerah penghasil
karena keterbatasan bahkan sering melemparkan begitu saja haknya kepada mitra
swasta, sehingga PI menjadi tidak tepat sasaran dan lagi-lagi justru
mensejahterakah pemilik modal dari luar daerah. Akibatnya pelaksanaan PI menyimpang dari tujuan filosofisnya.
Keharusan menyetor modal ini memang tidak mudah bagi daerah, PT. Migas Mandiri Pratama BUMD milik Provinsi
Kalimantan Timur karena kesulitan modal untuk mengambil PI di Blok Mahakam justru
meminta agar diperbolehkan melibatkan swasta. Pemda Jawa Timur bahkan meminta golden share berapapun asal tidak perlu
menyetor modal. Melihat gejala itu maka
pemerintah pusat sebaiknya tetap menjaga agar modal PI oleh BUMD murni berasal dari keuangan daerah atau
keuangan negara lainnya tanpa perlu melibatkan investor luar daerah, agar
keuntungan benar-benar untuk daerah atau setidaknya tetap untuk negara.
Akibatnya
Akibatnya
di beberapa daerah penghasil muncul berbagai berita Korupsi di media masa.
Sebagai contoh adalah PI Blok Cepu di lingkungan kabupaten Bojonegoro yang dilaporkan
oleh LSM setempat karena diduga merugikan daerah dan mengkerdilkan peran BUMD
dan lebih didominasi oleh pihak swasta. PI di Blok Madura offshore pada Kabupaten Sumenep, BUMD PT
Wira Usaha Sumekar (WUS) dilaporkan oleh LSM ke Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) terkait dugaan korupsi dana penyertaan PI di perusahaan migas.
Situasi di atas memperlihatkan
bahwa Hak daerah dalam
pengusahaan sektor hulu Migas secara langsung tidak diimbangi oleh kemampuan
teknis dan keuangan BUMD, ditambah lemahnya pengawasan dari pemerintah pusat. Kelemahan
itu dimanfaatkan oleh pihak-pihak luar untuk mengejar rente dari sektor Migas.
Maka benar rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas agar PI yang menjadi hak Daerah dipastikan pemanfaatan sepenuhnya
oleh BUMD yang sepenuhnya dimiliki Daerah. Untuk itu, perlu disusun aturan
perundangan yang mengatur partisipasi BUMD pada pengusahaan sektor hulu migas,
termasuk di dalamnya kewajiban kerja sama antara BUMD dengan Pertamina, tanpa
membebani BUMD dengan pengeluaran biaya investasi dan risiko usaha. Pemerintah
harus melarang Swasta masuk dalam PI dan segera dilakukan penertiban terhadap PI yang sudah terlanjur dikuasai swasta
langsung maupun tidak langsung.