Partisipasi
Daerah Penghasil (Participating Interest)
Di
Wilayah kerja Masela
A.
Participating
Interests
Dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas
Beberapa
wilayah kerja (wilayah kerja)[1]minyak
bumi[2]
dan gas bumi[3]
(migas) Indonesia pada saat ini banyak yang akan mulai berproduksi dan sebagian
akan berakhir masa kontrak pengelolaannya. Dengan berakhirnya masa kontrak maka
wilayah kerja tersebut wajib dikembalikan kepada negara dan jika wilayah kerja
tersebut masih berpotensi menghasilkan migas maka akan dianggap sebagai wilayah
kerja baru. Terhadap wilayah kerja baru atupun wilayah kerja yang dianggap baru
tersebut, pemerintah perlu mempersiapkan berbagai skema pangelolaan.
Berkaitan dengan pengalihan kontrak migas yang habis masa berlakunya,
Peraturan Pemerintah
Nomor 35 Tahun 2004 tentang
kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang selanjutnya disebut PP No.35/2004, memberikan privilege kepada
Pertamina untuk mengajukan penawaran untuk mengusahakan wilayah kerja yang
bersangkutan. Selain kepada Pertamina, peralihan kontrak migas juga membuka kesempatan bagi
Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) untuk berpartisipasi dalam pengusahaan sumber daya migas yang ada di daerahnya. PP No.
35/2004 mengatur kewajiban kontraktor migas untuk menawarkan participating interest (selanjutnya disebut PI) sebesar
10% kepada BUMD.
Pada saat berakhinya masa
pengelolaan wilayah kerja, maka wilayah kerja kembali dikuasai oleh negara. Maka tidak satupun pihak yang
berhak kecuali negara[4]
dan pengelolaan selanjutnya akan dilakukan oleh pengelola baru sama sekali atau
gabungan pengelola lama dan pengelola baru atau pengelola lama yang diberi
perpanjangan waktu, yang ditunjuk oleh negara. Pertanyaan yang muncul adalah,
dalam kondisi seperti itu dimanakah posisi daerah penghasil? Bagaimanakah perundang-undangan di bidang migas
mengatur tentang hak partisipasi atau Participating
Interest (PI) kepada daerah penghasil melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)?
Selama ini daerah-daerah yang
wilayahnya meliputi wilayah kerja-wilayah kerja migas kurang mendapatkan
perhatian yang semestinya. Padahal daerah tersebut adalah daerah yang paling
terkena dampak. Setidaknya kekayaan alam yang ada di dalam wilayahnya telah berkurang
akibat kegiatan ekploitasi (produksi) usaha hulu migas[5].
Menurut Pasal
5 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi, kegiatan usaha
hulu migas adalah kegiatan usaha yang mencakup eksplorasi[6]
dan eksploitasi[7].
Ekploitasi migas yang dilakukan secara terus menerus mengakibatkan cadangan
yang tersimpan di perut bumi terutama yang berlokasi di daerah penghasil
semakin menipis.[8]
Akibatnya daerah penghasil pelan tapi pasti kehilangan cadangan sumber daya
alam migas yang terkandung di dalam perut bumi di dalam wilayahnya.
Dalam jangka panjang perlu
dipertimbangkan untuk menata kembali skema penyelesaian dari pembagian
pendapatan sektor hulu migas
yang menempatkan daerah penghasil dengan segala kedudukan dan situasinya
sebagai faktor penting, sehingga daerah penghasil dapat memperoleh pendapatan
yang lebih pasti dan adil. Hal ini karena daerahlah yang memfasilitasi berbagai
kebutuhan terkait eksploitasi, baik dari kebutuhan administratif, keamanan, serta kebutuhan fisik dan material yang meliputi pergudangan peralatan,
pengolahan, penampungan hasil dan kebutuhan air dan suplai makanan dan terminal transit. Dari
berbagai kegiatan tersebut daerahlah yang pertama kali akan terpapar risiko
kerusakan sosial dan pencemaran lingkungan.[9]
Namun ironisnya banyak daerah penghasil justru menjadi potret kesenjangan
ekonomi yang menggambarkan dengan jelas siapa yang mendapat manfaat dan siapa
yang terabaikan.[10]
Dengan segala risiko yang dihadapinya, daerah penghasil seharusnya menjadi
pihak yang pertama-tama menikmati berkah berupa kemajuan dan kesejahteraan
akibat eksploitasi sumber energi di wilayahnya. Maka sangatlah tidak adil jika
daerah penghasil dan masyarakatnya tidak mendapatkan prioritas untuk menikmati
hasil sumber daya alam migas yang diambil di wilayahnya.[11]
Selain itu para pelaku harus memberikan perhatikan khusus karena merekalah yang
memiliki dan menguasai lahan. Tanpa dibukakan pintu oleh daerah, kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi tidak mungkin dilakukan.
Kontrak kerjasama usaha hulu migas
adalah kontrak jangka panjang. Dahulu ketika pertama kali kontrak ekplorasi dan
eksploitasai dibuat, di Indonesia belum dikenal istilah Participating
Interest (PI), karenaPI baru diperkenalkan pada
tahun 2004, sebagai buah dari adanya ajaran otonomi daerah yang dibawa oleh
gerakan reformasi. PI sesungguhnya adalah buah dari
desentralisasi dan otonomi daerah yang bermakna sebagai perluasan kesempatan
bagi daerah untuk mengejar kesejahteraan dan memajukan dirinya. Ini akan secara
significan mengurangi beban pemerintah pusat dan pada saat yang sama
menciptakan iklim yang kompetitif diatara daerah-daerah untuk secara kreatif
menemukan cara-cara baru dalam mengelola potensi ekonomi yang dimilikinya.[12] Sehingga oleh karena dalam kurun
waktu tahun 2014 hingga 2019 di Indonesia akan banyak dikembangkan wilayah
kerja-wilayah kerja baru dan banyak wilayah kerja-wilayah kerja lama yang akan segera berakhir masa
kontraknya. Maka situasi ini sebaiknya dimanfaatkan oleh daerah penghasil
sebagai momentum bagi daerah untuk mengambil peran lebih nyata, lebih aktif dan
lebih progresif dalam mengupayakan keikut sertaan dalam mengelola wilayah kerja
migas yang ada di dalam wilayahnya. Tentu saja dengan satu tujuan untuk lebih
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Karena sejauh ini kenyataan yang terjadi
justru menunjukkan yang sebaliknya, berbagai kalangan sering mengibaratkan
situasi masyarakat di daerah penghasil dengan peribahasa “itik mati di lumbung padi”.[13]
Sebuah gambaran tragis yang seharusnya menarik perhatian bagi para pengambil
kebijakan, untuk mengambil kebijakan yang adil dan proporsional bagi daerah
penghasil.
B.
Pengertian dan Syarat Participating
Interest (PI)
Partisipating
Interest(PI)
adalah istilah yang lazim dalam bidang perusahaan, khususnya dalam bidang
pertambangan minyak dan gas bumi (Migas) terutama menyangkut komposisi
permodalan atau keikutsertaan. PI adalah suatu hak kesempatan yang
diutamakan (previlage) yang diberikan kepada daerah penghasil[14] yang djaminan oleh Undang-Undang, untuk turut
serta berpartisipasi dalam kegiatan usaha hulu migas terutama dalam kegiatan
ekploitasi (produksi) migas yang dilakukan oleh kontraktor[15]. Keikut sertaan dilakukan dengan cara
menyetorkan modal dan karenanya berhak mendapatkan bagian hasil sesuai keikut
sertaannya. PI diberikan secara limitatif berbatas waktu dan tunduk kepada kontrak induk yang dibuat
antara pemerintah dan kontraktor. Hubungan antara daerah penghasil dengan
kontraktor adalah hubungan dalam kerangka bisnis, karena kontraktor adalah
sebuah perusahaan yang bekerja untuk berbisnis. Kontraktor bisa berbentuk Badan Usaha (BU)[16]
ataupun Bentuk
Usaha Tetap (BUT)[17],
yang akan melakukan kegiatan usaha hulu migas berupa ekplorasi dan ekploitasai
(produksi) migas dengan tujuan mencari untung dengan tujuan untuk memaksimalkan
kesejahteraan pemilik perusahaan (shareholder
wealth).[18]
Definisi tentang PI tidak kita
temukan di dalam perundang-undangan, namun sebagai perbandingan kita bisa lihat
di dalam Code of Federal Regulations of
the United States of America, Title 17, Commodity and Securities Exchange,menyebutkanbahwa
Participating Interest adalah:
The right of participation in the
oil or gas or in the proceeds from the sale of oil or gas, produced from a
specivied track or tracts, or well(s), which right is limited in duration to
the terms of an existing lease and is subject to any portion of expense or
development, operation, or maintenance.[19]
Partisipating Interest (PI) menurut ketentuan ini adalah hak
diikut sertakan untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan ekploitasi
(produksi) minyak atau gas bumi di dalam suatu wilayah kerja (wilayah kerja), hak tersebut dibatasi oleh kurun
waktu tertentu dan oleh syarat dan ketentuan yang disepakati, yang oleh
karenanya pemilik hak berhak untuk mendapatkan bagian hasil (keuntungan) dari penjualan
minyak atau gas
bumi yang dihasilkan, namun tetap disertai berkewajiban menanggung sebagian beban
pengembangan, pengoperasian, atau pemeliharaan (biaya operasional) sesuai dengan besaran hak.
Definisi ini dikuatkan dalam uraian
yang lebih padat oleh Charlote J. Wright and Rebecca A. Gallun, bahwa:
Participating Interest means the
percentage of the costs and risks of conducting an operation under the Agrement
that the party agree, or is otherwise obilagated to pay and bear.[20]
Dari
kedua definisi ini dapat ditarik benang merah bahwa PI pada dasarnya adalah hak
untuk didahulukan atau kesempatan utama untuk ikut berpartisipasi dalam suatu
produksi migas, namun Partisipating Interest (PI) bukanlah hak keikutsertaan tanpa
syarat, semacam golden right or share yang
biasa diberikan oleh perusahaan kepada orang-orang yang diprioritaskan, yang
mendapatkan jatah saham karena keahlian, karena pengaruh, dll, tanpa perlu
membayar modal.[21]
Di dalamPI pemilik tetap dibebani dengan kewajiban membayar suatu besaran nilai
partisipasi yang disanggupi sesuai kesepakatan dan pada waktunya berhak
mendapatkan bagian keuntungan sesuai prosentase keikut sertaan.
Dari bahasan di atas maka beberapa point penting dari PI
adalah (1) adanya suatu pemberian hak diutamakan berupa kesempatan untuk
berpartisipasi yang diberikan secara berbatas waktu; (2) tetap disertai kewajiban untuk
membayar keikut sertaan modal (inbreng) dengan besaran yang disepakati; (3), yang tunduk kepada kontrak
induk; (4) dan tetap ikut menanggung
risiko rugi; (5), namun berhak
mendapatkan porsi keuntungan sebesar keikut sertaan.
Di Indonesia PI diberi batasan yang sangat ketat, karena PI
hanya diberikan kepada Pemerintah daerah melalui BUMD.[22]
Secara garis besar pemerintah telah menetapkan suatu batasan pemberian
PI,yakni:
1.
Pemda
harus membentuk dan menunjuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang pendirian dan
penyertaan modalnya berdasarkan peraturan daerah;
2.
Penawaran
PI 10% kepada BUMD dilakukan setelah Plant of Development (POD I);
3.
Kriteria BUMD kabupaten, kota atau provinsi yang berhak
mendapatkan penawaran PI 10% dengan memerhatikan kewenangan pengelolaan 0-4 mil
laut untuk kabupaten, kota atau provinsi dan 4-12 mil laut untuk provinsi;
4.
BUMD
harus memiliki kemampuan finansial mandiri untuk membiayai pengambilalihan PI
10% dan rencana kegiatan operasi berikutnya;
5.
BUMD
dapat bekerja sama dengan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) atau BUMN;
6.
Pernyataan
minat dan kesanggupan BUMD dalam jangka waktu 60 hari kalender sejak penawaran
pertama oleh kontraktor. Apabila tidak ada pernyataan minat penawaran PI kepada
BUMD dinyatakan tertutup oleh kontraktor wajib menawarkan PI 10% kepada BUMN
yang ditetapkan oleh menteri;
7.
Pengalihan
PI 10% wajib mendapat persetujuan menteri berdasarkan pertimbangan SKK Migas;
8.
Wilayah
kerja di atas 12 mil merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Dengan definisi dan batasan di atas maka semakin memperjelas
bahwa sasaran PI adalah untuk memberikan peran dan bagian nyata kepada daerah
penghasil untuk tujuan kesejahteraan masyarakat di daerah penghasil. Batasan
diatas seharusnya memperkecil kemungkinan terjadi kesalah pahaman dari daerah.
Akan tetapi di kalangan pemerintah daerah, selama ini PI dipahami sebagai
hadiah keikut sertaan yang diberikan begitu saja tanpa syarat tanpa kewajiban.
Kegiatan usaha hulu migas adalah kegiatan padat modal (hight capital), padat keahlian (hight skill) dan sangat berisiko (hight risk) dan berjangka waktu panjang.
Maka kontraktor dengan sistem kontrak kerjasama bagi hasil sangat berhati-hati dalam
melakukan perhitungan untung dan rugi[23]
dan tidak mudah menghamburkan hadiah. Dalam perhitungan kontraktor, kesempatan
pertama dan utama untuk turut berpartisipasi saja sudah merupakan hadiah yang
benilai ekonomis tinggi bagi suatu daerah. Karena kontraktor sebelum sampai pada
tahap ini telah banyak mengeluarkan tenaga dan biaya dalam kegiatan ekplorasi,
kegiatan tersebut dilakukan tanpa ada jaminan apapun kecuali keyakinan bahwa
upayanya akan menghasilkan migas dalam jumlah memenuhi target ekonomis. Jika
ternyata wilayah kerja tersebut gagal menghasilkan migas maka kerugian akan
ditanggung oleh kontraktor sendiri. Maka
PI adalah berkah bagi daerah dan karenanya inilah saatnya bagi daerah penghasil
dengan segala daya dan kemampuannya membangun kapasitas dan kemampuan untuk memanfaatkan
kesempatan itu dengan membentuk BUMD.[24]
C.
Posisi Daerah
Dalam
kegiatan usaha hulu migas, Negara berposisi sebagai pemilik migas yang
terkandung di bumi Indonesia, mengikatkan diri dalam suatu kontrak kerjasama
dengan kontraktor yang berkomitmen sanggup bekerja mengangkat migas dari dalam
bumi Indonesia dan untuk upayanya itu berhak menerima imbalan berupa bagian
dari hasil migas yang di dapat. Jika hubungan hukum antara negara yang diwakili oleh pemerintah
sebagai pemegang kuasa pertambangan, dengan kontraktor usaha hulu migas yang
berbentuk BU maupun BUT adalah kontrak bagi hasil (Production sharing contract), maka bagian negara Indonesia dan bagian
kontraktor telah dirinci sesuai kesepakatan di dalam kontrak.[25]
Ketentuan dasar pembuatan kontrak diantara kedua pihak tersebut tidak boleh menyimpang dari Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, bahwa sumber daya alam yang
bersumber dari dalam bumi Indonesia termasuk migas hanya boleh dikuasai oleh negara. Sehingga negara adalah
pemilik atau penguasa tunggal. Hal ini sesuai juga dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas
Bumi. Migas sebagai
sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah
Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh
negara.
Sedangkan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) adalah badan Usaha atau Bentuk usaha
tetap yang yang menjalin hubungan kontraktuil dengan Negara,[26]
perannya adalah sekedar membantu Negara Indonesia dalam memanfaatkan sumber
daya alam migas.[27]
Kontraktor yang telah memenuhi syarat dan ditunjuk oleh pemerintah untuk
melakukan kegiatan usaha hulu migas dalam waktu yang telah ditentukan, maka
wajib dengan dananya, dengan kemampuannya dan dengan segala risikonya,
melakukan kegiatan eksplorasi berupa survey penelitian untuk mencari dan
memastikan adanya kandungan migas di suatu wilayah kerja. Setelah dari kegiatan ekplorasi ditemukan
indikasi adanya kandungan migas yang layak secara ekonomi untuk ditambang atau
cadangan terbukti (proven reserve),[28]
maka kegiatan usaha hulu migas akan ditingkatkan ke kegiatan ekploitasi atau
produksi, berupa kegiatan mengangkat migas dari perut bumi. Seluruh risiko dari
kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi tersebut ditanggung atau ditalangi oleh
kontraktor sendiri.[29]
Satu-satunya jaminan
dari seluruh resiko kegiatan eksplorasi dan eksplotasi ini adalah dari migas
yang dihasilkan dan dapat diproduksi menjadi komoditi berupa BBM dan BBG dan
produk sampingan lainnya. Jika ternyata tidak layak diproduksi maka segala modal
yang telah dikeluarkan dalam kegiatan, kerugian yang diderita dan investasi
yang sudah dikeluarkan ditanggung oleh kontraktor sendiri, dan negara tidak ikut menanggungnya.
Namun jika ternyata dari kegiatan eksploitasi dapat dihasilkan migas dalam
jumlah yang menguntungkan, maka dari hasil tersebut sebelum dibagi antara negara dan kontraktor, maka hasil
tersebut terlebih dahulu dikurangi dengan biaya-biaya operasional yang telah
dikeluarkan oleh kontraktor dalam kegiatan hulu, penggantian dana talangan
tersebut disebut cost recovery.[30]
Sampai di tahap ini belum terlalu nyata posisi
daerah penghasil dalam kegitan usaha hulu migas. Untuk mendapatkan tanda-tanda yang nyata (tersurat)
dimanakah posisi daerah maka harus kita lihat dari aspek yang paling mendasar.
Dasar untuk melakukan ekploitasi sumber daya alam khususnya migas adalah pada
ketentuan Pasal
33 ayat (2) dan (3)
UUD 1945,
Dimana negara
memiliki kekuasaan penuh untuk mengelola sumber daya alam di bumi Indonesia.
Terlebih lagi migas
termasuk dalam kategori sumber daya alam vital yang menjadi hajat hidup rakyat,
sedangkan proses pengelolannya atau produksinya masuk dalam kategori cabang
produksi yang dilakukan untuk memenuhi hajat hidup rakyat.
Presiden Joko Widodo dalam suatu kesempatan
mengingatkan bahwa amanat konstitusi harus betul-betul diperhatikan karena
dengan tegas dan jelas menyatakan bumi dan air serta kekayaan yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat itu
mengandung arti bahwa apa yang dihasilkan dalam pemanfaatan sumber daya alam
itu harus benar-benar untuk rakyat untuk semua masyarakat Indonesia untuk semua
orang dan bukan untuk segelintir atau sekelompok orang.[31]
Sehingga dalam kegiatan hulu migas terdapat dua
pihak pelaku utama, yakni Negara dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS). Dalam
tulisan ini tidak dibahas lebih lanjut tentang peran negara. Konstitusi menjadi ligitimasi bahwa penguasaan
oleh negara pada dasarnya adalah pemerintah pusatlah nantinya yang memiliki
wewenang dan akan mendistribusikan kemanfaatan tersebut ke daerah-daerah. Hal
ini didasarkan pada argumentasi bahwa bentuk negara Republik Indonesia adalah suatu negara kesatuan
(NKRI), sehingga kebijakan yang menyangkut pemanfaatan sumberdaya alam yang
strategis dan potensial harus dikuasai dan diatur pengelolaan dan
pemanfaatannya oleh Pemerintah Pusat.[32]
Pada tataran konseptual strategi tersebut cukup masuk akal karena akan mengurangi
adanya kesenjangan antara daerah-daerah yang secara potensial memiliki
sumberdaya alam yang melimpah dengan daerah-daerah yang tidak memiliki
sumberdaya alam yang cukup, sehingga tidak akan terjadi kesenjangan ekonomi dan
kesejahteraan sosial yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan politik.[33]
Namun dalam praktenya kesenjangan ternyata tetap terjadi, terutama bisa kita
lihat antara Indonesia Timur dan Barat.
Sedangkan
BU dan BUT berperan sebagai kontraktor yang lazim disebut sebagai Kontraktor
Kontrak Kerjasama (KKKS). Di seluruh Indonesia berdasar data SKK Migas terdapat
184 KKKS eksplorasi, 79 KKKS produksi dan KKKS CBM.[34]
Untuk sampai pada tahap mengikatkan diri dalam suatu kontrak dengan Negara,
KKKS telah melakukan berbagai proses pendahuluan, yang diawali dengan mengikuti
tender penawaran wilayah kerja, penunjukan sebagai kontraktor wilayah kerja,
ekplorasi dan ekplotiasi.[35]
PI akan disampaikan kepada daerah penghasil pada tahap ekploitasi (produksi).
Setelah dari proses ekplorasi didapat kepastian pada wilayah kerja tersebut
ditemukan kandungan migas yang potensial secara keekonomian, dan kemudian
dilakukan penelitian pendalaman oleh kontraktor sehingga statusnya ditingkatkan
menjadi cadangan terbukti, maka Kontraktor selanjutnya akan melakukan kegiatan
produksi yang didahului dengan penerbitan izin produksi oleh pemerintah. Pada
saat kontraktor mengajukan rencana pengembangan yang pertama kali (Plant of development) inilah ditentukan
syarat kepada kontraktor untuk melibatkan daerah penghasil untuk ikut
berpartisipasi dalam kegiatan produksi, dengan cara menawarkan kepada daerah
penghasil untuk berperan serta dalam kegiatan produksi.[36]Dasar
hukum yang mengharuskan adanya Participating Interest (PI) adalah Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak
dan Gas Bumi pada:
Pasal
34:
Sejak disetujuinya rencana pengembangan lapangan yang
pertama kali akan diproduksi dari suatu wilayah kerja, kontraktor wajib
menawarkan participating interest 10% (sepuluh persen) kepada badan usaha milik
daerah
Pasal
35:
(1) pernyataan minat dan kesanggupan untuk mengambil participating
interest sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 disampaikan oleh Badan Usaha
Milik Daerah dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
penawaran dari kontraktor
(2) dalam hal Badan Usaha Milik Daerah tidak
memberikan pernyataan kesanggupan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), kontraktor wajib menawarkan kepada Perusahaan Nasional.
(3) dalam hal Perusahaan Nasional tidak memberikan
pernyataan minat dan kesanggupan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh)
hari sejak tanggal penawaran dari kontraktor kepada Perusahaan Nasional, maka
penawaran dinyatakan tertutup.
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (1), ayat (2) dan ayat
(3) maka prioritas utama PI sebesar 10% diberikan pada Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) dengan jangka waktu penawaran paling lama 60 hari sejak tanggal
penawaran dari kontraktor. Apabila BUMD tidak memberikan pernyataan kesanggupan
dalam jangka waktu tersebut, kontraktor wajib menawarkan kepada perusahaan
nasional. Apabila perusahaan nasional tidak memberikan pernyataan minat dan
kesanggupan dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal penawaran, maka penawaran
dinyatakan tertutup. Untuk memenuhi syarat modal dan syarat waktu ini tentu
sangat sulit bagi daerah penghasil.
Daerah penghasil adalah daerah yang
wilayahnya meliputi wilayah kerja kontraktor. Batasannya adalah daerah yang
mewilayahi bukan kedekatan lokasi, seperti Wilayah kerja Natuna D-Alpha secara
geografis lebih dekat ke Pontianak Kalimantan Barat dibanding dengan Kepulauan
Riau yang mewilayahi. Wilayah kerja Masela lebih dekat ke Kupang NTT dari pada
ke Ambon yang mewilayahi. Wilayah kerja Cepu ada 4 daerah yang mewilayahi yakni
Kabupaten Bojonegoro dan Propinsi jawa Timur serta Kabupaten Blora dan Propinsi
Jawa Tengah, wilayah kerja Madura Strait yang mewilayahi Kabupaten Sampang dan
Sumenep, wilayah kerja Kangean yang mewilayahi Kabupaten Sampang dan Propinsi
jawa Timur. Sehingga pendekatannya adalah pendekatan administratif pemerintahan bukan pendekatan
geografis. Jika di lapangan ternyata wilayah kerja tersebut berada di wilayah
yang terdiri satu atau lebih pemerintah daerah maka dilakukan kesepakatan
pembagian diantara daerah secara adil proporsional.
Sebagai contoh adalah kesepakatan
pembagian PI Wilayah kerja Cepu yang mengandung gas 6 triliun TCF dan 490 juta
barel minyak. Kesepakatan ditandatangani di Hotel Sangrila Surabaya
(Kesepakatan Sangrila), yang dibuat di
hadapan Presiden SBY, Gubernur Jatim Imam Utomo, Gubernur Jawa Tengah
Mardiyanto, Bupati Bojonegoro HM Santoso, Bupati Blora Basuki Widodo. Kesepakatannya,
PI Wilayah kerja Cepu sebesar 10 %, dibagi dengan bagian pemerintah daerah Jawa
Timur memperoleh 6,7 %, Jawa Tengah 3,3 %. Dari 6,7 % yang diperoleh Jatim,
Bojonegoro mendapat 4,5 % dan Pemprof Jatim memperoleh 2,2 %.[37]
D.
Ketentuan Perundang-undangan Sebagai
Dasar Partcipating Interest.
Setelah jangka waktu kontrak di suatu wilayah kerja
berakhir, maka berdasarkan Pasal
7 ayat (3) PP 35 Tahun 2004, kontraktor wajib
mengembalikan wilayah kerja tersebut kepada negara. Jika dalam wilayah kerja
tersebut dinilai masih potensial, maka
sebagaimana diatur di dalam Pasal
3 PP
35 Tahun
2004, Menteri menetapkan dan mengumumkan
wilayah kerja yang akan ditawarkan kepada BU dan BUT dengan cara lelang maupun
penawaran langsung. Dalam penetapan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud di atas,
Menteri berkonsultasi dengan Gubernur yang wilayah administrasinya meliputi
Wilayah Kerja yang akan ditawarkan. Konsultasi ini adalah dialog yang berisi
pemberian informasi mengenai wilayah kerja dimaksud dan meminta informasi yang
berkaitan. Ketentuan ini menempatkan daerah sebagai pihak yang turut menentukan
dalam pengambilan kebijakan, selain menyiratkan suatu keharusan untuk menyerap
aspirasi daerah. Karena dalam kesempatan ini daerah akan berkesempatan untuk
menyampaikan aspirasinya yang bisa saja berbentuk saran dan pendapat dan tentu
saja syarat-syarat yang diminta oleh daerah.[38]
Hak hak
daerah untuk memperoleh bagian dari penerimaan Negara dari migas, semakin
mendapat penguatan secara legal formil dari ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
yang memiliki misi bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah
sesuai dengan amanat UUD 1945,
pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing
daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.[39]
Ditambah lagi dalam ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, bahwa peranan energi sangat penting artinya bagi peningkatan
kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional, sehingga pengelolaan energi yang
meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, optimal,
dan terpadu.
Begitupun Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Semangat dari ketentuan ini adalah
bahwa UUD 1945 mengamanatkan
diselenggarakan otonomi seluas-luasnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sehingga hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah,
dan antar Pemerintahan Daerah perlu diatur secara adil dan selaras. Perimbangan
keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem
pembagian keuangan yang adil, proporsional,
demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan Desentralisasi, dengan
mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.[40]
Sebelum lebih lanjut,
ketentuan tentang bagi hasil dan perimbangan keuangan ini sebatas menyangkut dana
yang di dapat dari bagian Negara dari hasil production sharing contract
yang telah disetor ke kas Negara, sedangkan PI adalah diluar dari kerangka
pengertian itu. Salah satu sumberdana perimbangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah adalah dana bagi hasil yang bersumber dari migas sebagaimana
diatur dalam Pasal
11 ayat (3) Undang-Undang
Nomor
33 Tahun 2004. Dalam
Undang-Undang tersebut pula, di atur dalam Pasal 19, bahwa Penerimaan pertambangan
migas yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan dari sumbar daya alam migas
yang ada di wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi pajak dan
pungutan lainnya.
Norma-norma yang
terkandung dalam ketiga undang-undang di atas menyiratkan suatu misi tentang:
(1) Penghargaan kepada daerah yang;
(2) berkeadilan dan proporsional serta tuntutan agar; (3) daerah lebih mandiri sebagai daerah
otonom, namun dengan tetap mencari peluang dari
potensi dan keunggulan daerah dan mendapatkan; (4) bagian yang proporsional dari skema
keuangan pusat dan daerah. Norma-norma yang mengangkat derajat daerah penghasil
tersebut telah menginspirasi untuk lebih memperkuat PI. PI sangat penting, karena sudah selayaknya
daerah penghasil mendapatkan kompensasi yang memadai dengan mempertimbangkan
berbagai aspek. Bagian daerah seharusnya memperhitungkan pula biaya restorasi
sosial dan lingkungan sebagai dampak ekplorasi dan ekploitasi. Dampak kerusakan
sosial dan lingkungan ini tidak sedikit, untuk memperbaikinya bukanlah
pekerjaan ringan dan diperlukan biaya yang tidak murah.[41]
Faktanya kebanyakan daerah tidak berhasil melakukan restorasi itu dan kehidupan
masyarakat justru semakin terpuruk dan jurang kesenjangan ekonomi semakin
menganga. Oleh karenanya dasar pemberian PI kepada daerah penghasil juga harus
mencerminkan kebutuhan daerah atas restorasi kerusakan sosial dan lingkungan.
Berangkat dari posisi dan pemikiran
berbagai ketentuan di atas, maka hal
pertama yang akan dilakukan saat dimulainya pengelolaan suatu wilayah kerja
adalah membuat “Plant of Development”. Berdasarkan ketentuan Pasal 34
Peraturan Pemerintah Nomor 35
Tahun 2004, setelah Plant of Development pertama tersebut disetujui
timbulah “kewajiban” dari kontraktor untuk memberikan panawaran “Participating
Interest” sebanyak 10 % kepada
daerah penghasil melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Untuk
selanjutnya, peran serta daerah setempat akan dijalankan oleh BUMD melalui
mekanisme bisnis kegiatan usaha hulu migas. Sebagai alat otonomi daerah BUMD
harus dapat berperan dalam mendorong pertumbuhan perekonomian daerah (agent of
development). Sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD), BUMD juga
diharuskan memiliki kedudukan yang strategis dalam sistem dan struktur
perekonomian daerah dan dapat berperan sebagaimana mestinya tanpa meninggalkan
fungsi sosialnya.[42] Mengapa PI bukan diberikan kepada pemerintah
daerah sebagai badan hukum publik namun diberikan kepada BUMD. Karena pemberian
PI kepada daerah penghasil lebih berorientasi bisnis dibanding sekedar
pemberian hak kewilayahan dan pemerintahan.
E.
Kesiapan Daerah
Tidak semua daerah memiliki kesiapan
dalam memanfaatkan PI. Ketidak siapan tersebut lebih dikarenakan kurangnya
pemahaman aturan migas dan kemampuan membaca peluang bisnis. Banyak daerah
bahkan sering mengandalkan jatah dari pusat tanpa mau berinisitif dan
berinovasi memanfaatkan peluang PI. Jika
dikelompokkan dalam beberapa sebab ketidak siapan tersebut adalah pada: (1)
Sumberdaya manusia, khususnya ahli dalam bidang migas, masih langka; (2) Naluri bisnis yang tumpul dan
terbiasa terima bagian jadi, (3) Kolusi Korupsi Nepotisme (KKN)[43]; (4) Lemah Sarana dan Prasarana,
Transparansi dan sosialisasi.
Keikut sertaan BUMD dalam sebuah
proyek hulu migas menuntut pemahaman yang cukup tentang mekanisme kegiatan
usaha hulu migas. Keikut sertaan tidak akan berjalan maksimal jika tidak terjun
langsung dan mengawasi kegiatan produksi. Dengan cara itu BUMD dapat lebih
maksimal memberikan kontribusi bagi kemajuan kegiatan usaha hulu migas juga
sekaligus mengawasi kegiatan usaha agar tidak terjadi kebocoran sehingga
mendatangkan hasil yang lebih optimal. Maka BUMD harus merekrut tenaga-tenaga
ahli yang berkompeten dan relevan dengan bidang tugas itu, rekrutmen itu tidak
harus mensyaratkan putra daerah. Guna tercapainya peranan yang diharapkan, baik
untuk pertumbuhan ekonomi daerah maupun peningkatan PAD, pola pengelolaan BUMD
harus diarahkan pada pencapaian efisiensi, efektivitas, dan produktivitas
kerja, serta pada upaya optimalisasi sumber daya dan sumber dana yang dimiliki.[44]
Keikut sertaan daerah berarti keikut
sertaan dalam melakukan bisnis migas. Bisnis dimanapun di dunia ini bertujuan
mencari untung semaksimal mungkin (profit oriented). Untuk mengejar
keuntungan tersebut diperlukan berbagai upaya yang berbasis pada tiga kegiatan
yakni perencanaan (planning), eksekusi rencana atau pelaksanaan (executing)
dan evaluasi perkembangan dan hasil (evaluating). PI bukanlah
durian runtuh, karena PI harus disertai dengan pengoptimalan potensi, melakukan
inovasi dan terus dari waktu kewaktu mengefektifkan penggunaan hasil usaha
bisnis tersebut diarahkan untuk membiayai pengembangan. Dibutuhkan instink bisnis dan
kapasitas yang memadai, sehingga pemda jangan memandang pengurusan PI ini
dengan sebelah mata.
Beberapa daerah bahkan menunjukkan
gejala gagap dan terbiasa pasrah menerima jatah apapun dari pusat, sebagian
lagi bahkan menuntut PI lebih dari 10 % dengan disertai kegaduhan, demontrasi
masa dan pemblokiran wilayah kerja, dll.[45]
Padahal jika dipahami maksud dan tujuan dan mekanisme PI kepada daerah, PI
adalah hak dan kesempatan untuk mendapatkan pendapatan asli daerah yang cukup
potensial. Maka daerah penghasil seharusnya tidak dalam posisi pasif, tapi
harus aktif memperjuangkan haknya tersebut dengan berperan aktif namun
konstruktif dan produktif untuk keberhasilan industri migas di wilayahnya
tersebut. Namun yang terjadi justru sebaliknya, daerah penghasil karena
keterbatasan dana dan pemahaman, bahkan sering melemparkan begitu saja haknya
kepada mitra swasta, sehingga lagi-lagi PI menjadi tidak tepat sasaran, namun
justru mensejahterakah pemilik modal yang datang dari luar daerah,
akibatnya menyimpang dari tujuan
filosofis dari PI.[46]
Ada baiknya saham BUMD harus murni
berasal dari keuangan daerah dan tidak perlu melibatkan investor luar daerah,
agar keuntungan benar-benar dalam penguasa daerah. Menurut M. Amien Rais, Di
daerah tertentu sikap demikian menimbulkan masalah KKN[47]
dan di beberapa daerah muncul sebagai berita Korupsi di media masa. Sebagai
contoh PI pengelolaan Wilayah kerja Cepu di Lingkungan Kabupaten Bojonegoro
yang dinilai merugikan daerah dan mengerdilkan peran BUMD PT. Asri Dharma
Sejahtera dan lebih didominasi oleh pihak swasta PT. Surya Energi Raya.[48]
Di Wilayah kerja Madura offshore pada
Kabupaten Sumenep, PT.
Wira Usaha Sumekar (WUS) dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Badan Usaha Milik pemerintah Darah (BUMD) Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa
Timur, itu diduga terkait dengan dugaan korupsi dana penyertaan participating
interest (PI) di perusahaan minyak bumi dan gas sebesar Rp 8,8miliar.
Adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sumenep yang melaporkan dugaan itu pada
2013.[49]
Melihat
situasi di atas maka terlihat bahwa Hak daerah dalam pengusahaan sektor hulu Migas secara
langsung tidak diimbangi oleh pemahaman, kemampuan teknis dan keuangan BUMD.
Akibatnya situasi ini sering kali dimanfaatkan oleh pihak swasta dan kroninya untuk
mendapat rente dari sektor Migas. Maka benar adanya rekomendasi
Tim Reformasi Tata Kelola Migas agar PI yang menjadi hak daerah dipastikan pemanfaatan sepenuhnya
oleh daerah melalui badan Usaha Milik daerah (BUMD) yang sepenuhnya dimiliki Daerah. Untuk itu, perlu disusun aturan
perundangan yang mengatur partisipasi BUMD pada pengusahaan sektor hulu migas,
termasuk di dalamnya kewajiban kerja sama antara BUMD dengan Pertamina, tanpa
membebani BUMD dengan pengeluaran biaya investasi dan risiko kerugian usaha.
Posisi BUMD dalam hubungan dengan PI
sangat penting. Peluang dan tantangan yang dimiliki BUMD tidak ringan karena
dituntut untut mampu mnyesuaikan diri dengan perilaku bisnis yang timbul
sejalan dengan liberalisasi investasi dan perdagangan bebas yang menuntut
kompetisi yang sangat tajam, penerapan standart bisnis internasional, dan
kecenderungan privatisasi. Hal ini menuntut BUMD untuk selalu berorientasi pada
pemikiran dan perilaku bisnis secara professional serta ke-entreprenuran-an.
Sedang kenyataannya BUMD menghadapi problem-problem lemah pemahaman bisnis dan bidang usaha yang
dimasuki, inefisiensi kelembagaan dan struktur organisasi usaha BUMD berakibat
biaya mahal, SDM yang dimiliki berkualitas rendah dan yang paling menonjol
adalah problem intervensi politik dari pengauasa kepada BUMD.
Dalam hal PI, lemahnya kemampuan
pembiayaan adalah penyebab utama munculnya penyelewengan. Karena PI adalah hak
maka daerah yang mewilayahi adalah pihak satu satunya yang bisa mendapatkan.
Namun sayang tidak semua daerah mempunyai BUMD dengan kemampuan yang cukup
untuk mengganti PI senilai 10 % tersebut. Akibatnya orang-orang daerah akan
berlomba-lomba mencari pendana (investor) dari luar daerah, bahkan kadang
disertai motif sekedar menjadi calo. Karena PI mengandung keuntungan yang cukup
besar, maka para investor akan sangat tertarik untuk berinvestasi. Maka dengan
berbagai cara mereka akan merumuskan skema hubungan dengan BUMD yang seringkali
justru menempatkan daerah dalam nilai tawar yang sangat rendah. Pada saat
itulah sering terjadi KKN dengan tokoh daerah dan pusat sehingga mengorbankan
kepentingan daerah dan lebih menguntungkan investor.
F.
Wilayah kerja Masela dan
Participating Interest Bagi Propinsi Maluku dan
Kabupaten Maluku Tenggara Barat
Wilayah
kerja Masela bukan wilayah kerja lama, namun wilayah kerja baru yang belum
pernah berproduksi dan akan segera berproduksi. Kontrak
kerjasama Wilayah kerja Masela ditandatangani pada 16 November 1998, saat itu
belum ada PI. Wilayah kerja ini mendapat persetujuan POD I pada tanggal 6 Desember 2010. Sehingga dalam kaitan PI, tahap sekarang ini merupakan
kesempatan yang berharga bagi Pemerintah Propinsi Maluku khususnya Kabupaten
Maluku Tenggara Barat untuk aktif menyampaikan aspirasinya. Hal itu karena masih ada kendala berkaitan
dengan ketentuan bahwa PI dibatasi oleh jarak antara lokasi dengan garis pantai
terdekat. Kewenangan untuk kabupaten 0-4 mil, kewenangan
provinsi hingga 12 mil dan di atas 12 mil menjadi kewenangan pemerintah pusat,
sementara Wilayah kerja Masela jaraknya sekitar 150 km dari garis pantai
Maluku.[50]
Wilayah kerja Masela dengan
kontraktor PT.
Inpex Masela Limited memiliki luas area lebih kurang 4.291,35 km². Wilayah
kerja migas ini terletak di Laut Arafura, sekitar 800 km sebelah timur Kupang,
Nusa Tenggara Timur atau lebih kurang 400 km di utara kota Darwin, Australia,
dengan kedalaman laut 300-1000 meter.[51]Inpex
Masela akan segera mengembangkan
Lapangan Gas Abadi yang terletak di
Lepas Pantai Laut Arafura, dengan kedalaman laut sekitar antara 400- 800 meter, berjarak kurang lebih
150 km barat daya Saumlaki, merupakan Ibu Kota Kabupaten Maluku Tenggara Barat,
Provinsi Maluku.[52] Wilayah
kerja Masela yang terletak di Laut Arafura, Maluku ini berdasarkan survey
memiliki potensi cadangan gas terbukti sangat besar. Berdasarkan data dari
Kantor staf Kepresidenan dan data Lemigas tahun 2015, cadangan terbukti Wilayah
kerja Masela mencapai 10,73trillion
cubic feet (tcf).[53]
Menurut penelitian geologis yang
dilakukan oleh LEMIGAS, Wilayah kerja Masela akan dikembangkan menjadi daerah
produksi gas melalui Lapangan Abadi pada batuan Jurasik sebagai target leads
mengandung hidrokarbon. Saat ini telah dilakukan beberapa persiapan untuk mendorong
produksi, seperti Feasability Study untuk sistem pemipaan ke daerah penampungan
di P.Yamdena, Kep. Tanimbar. Pengembangan Wilayah kerja Masela,akan dilanjutkan
dengan pengembangan Wilayah kerja West Masela dan Wilayah kerja Babar. Untuk
menyalurkan gas dari Wilayah kerja Masela akandilakukan beberapa alternatif,
seperti jalur pipa ke arah pulau-pulau terdekat dan atau melalui sistem floating
(mengapung). Beberapa pulau yang menjadi prioritas adalah selatan P. Babar yang
berjarak 152 km dan barat daya P. Yamdena yang berjarak 146 km dari Wilayah
kerja Masela. Lokasi (Perairan Wilayah kerja Masela, Perairan Kep. Tanimbar)
merupakan daerah yang akan segera memproduksi gas dari Lapangan Abadi.[54]
Secara geografi terletak di selatan Pulau Masela (Provinsi Maluku) pada koordinat antara 129o00’00” - 132o00’00” BT dan 08o00’00”
- 10o00’00” LS.[55]
Profil
Wilayah Kerja Wilayah kerja Masela:
- Wilayah kerja Masela yang dioperasikan oleh KKKS INPEX Masela Ltd. terletak di lepas pantai, yaitu di Laut Arafura sekitar 155 km arah Barat Daya kota Saumlaki, dan sisi Selatan Wilayah kerja Masela tepat pada perbatasan perairan Indonesia – Australia;
- Adapun kedalaman laut di sekitar lokasi kegiatan pemboran berkisar antara 500 sampai 800 meter, selanjutnya pemboran keempat sumur tersebut akan dilakukan sampai kedalaman sekitar 4,000 meter dari dasar laut;
- Izin wilayah kerja mulai berlaku pada 16 November 1998;
- Inpex menguasai 65% saham, sedangkan sisa-nya dimiliki Shell;
- Tipe kontrak untuk Wilayah kerja Masela adalah bagi hasil;
- Luas wilayah Wilayah kerja Masela mencapai 1.200 km2;
- Kegiatan eksplorasi berlangsung sejak 1998 hingga 2008;
- Inpex mendapat persetujuan rencana pengembangan lapangan Abadi pada Desember 2010. Dalam Plan of Development pertama (POD I) yang disetujui Desember 2010, KKKS akan membangun kilang LNG terapung dengan kapasitas 7.5 juta ton per tahun (MTPA). Fasilitas yang membutuhkan investasi besar dan diharapkan dapat mulai berproduksi pada akhir 2016;
- Berdasarkan rencana pengembangan 2010, Wilayah kerja Masela ditargetkan memproduksi gas sebesar 355 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day / MMscfd);[56]

(Gambar Peta Lokasi Wilayah kerja Masela)[57]
Pengembangan wilayah kerja Masela
diharapkan memberi manfaat lebih nyata bagi daerah penghasil. Daerah penghasil
yang mewilayahi selain mendapatkan hasil dari hasil pembagian danaperimbangan
keungan pusat dan daerah juga harus mendapatkan bagian dari hak partisipasi.
SKK Migas merekomendasikan tiga skenario untuk wilayah kerja minyak dan gas
baru maupun yang akan habis masa kontraknya yaitu: (1) Untuk wilayah kerja yang
memiliki kinerja operator tinggi sekaligus potensi cadangan banyak, dapat
dipertimbangkan diberikan perpanjangan dengan melibatkan PT Pertamina dan BUMD
sebagai pemegang hak partisipasi; (2) Wilayah kerja yang memiliki kinerja operator rendah,
namun memiliki potensi cadangan tinggi, dapat diberikan kepada Pertamina
sebagai operator dengan melibatkan BUMD dan kontraktor eksisting sebagai
pemegang hak partisipasi; (3) Wilayah kerja yang memiliki kinerja operator rendah
sekaligus potensi cadangan rendah, dilakukan tender terbuka.[58]
Wilayah kerja Masela ada di dalam
wilayah kabupaten Maluku Tenggara Barat Propinsi Maluku. Dengan demikian BUMD
Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Propinsi Maluku memiliki kesempatan untuk
memanfaatkan PI dalam pengelolaan wilayah kerja Masela dimana haknya tersebut
dijamin oleh peraturan perundang-undang dibidang migas. Untuk selanjutnya yang
harus diperhatikan dan diwaspadai adalah agar hak Partsisipasi ini tidak salah
sasaran dan justru menguntungkan swasta. Mengapa situasai ini harus menjadi
perhatian khusus, karena Propinsi Maluku dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat
adalah daerah tertinggal dengan kemampuan dana yang terbatas. Meminta kedua
daerah penghasil ini untuk menyiapkan dana modal keikut sertaan dalam PI ini tentu sangat berat. Sedangkan saat ini pihak
swasta sudah mulai memainkan pengaruhnya untuk mengambil PI wilayah kerja
Masela itu. Di awal masa jabatan kabinet
Jokowi-JK, menteri ESDM membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas, dalam
laporannya, tim menyerahkan 12
rekomendasi laporan yang berjudul “Memperkokoh Kelembagaan Sektor Migas
Indonesia”. Salah satu Rekomendasi yang diberikan adalah, Participating
Interest yang menjadi hak daerah agar dipastikan sehingga mendatangkan
kemanfaatan yang dijalankan oleh BUMD yang sepenuhnya dimiliki daerah. Untuk
itu, perlu disusun aturan perundangan yang mengatur partisipasi BUMD pada pengusahaan
sektor hulu migas, termasuk di dalamnya kewajiban kerja sama antara BUMD dengan
Pertamina, tanpa membebani BUMD dengan pengeluaran biaya investasi dan risiko
kerugian usaha.[59]
Rekomendasi itu merupakan aspirasi dari daerah penghasil migas yang selama ini
belum terpecahkan dan menyisakan banyak masalah hingga saat ini.
Participating Interest yang menjadi hak Daerah harus
dipastikan pemanfaatan sepenuhnya oleh Daerah melalui BUMD yang sepenuhnya
dimiliki Daerah. Dengan pemberian PI kepada daerah juga memberikan dampak dan
peluang kepada daerah untuk maju. Agar
PI tepat sasaran, pengaturan PI juga harus disertai ketentuan mengenai
pemanfaatan potensi daerah untuk menunjang wirausaha lokal, peluang pelatihan,
pengembangan keterampilan, serta dukungan finansial yang mungkin tersedia agar
mereka dapat berperan serta di setiap mata rantai nilai industri migas. Daerah
berhak mendapatkan manfaat optimal dari pengusahaan sumber daya alam migas di
wilayahnya. Pengusahaan sektor hulu migas memberi manfaat kepada daerah melalui
keterlibatan BUMD secara langsung. Hal tersebut menegaskan bahwa PI yang menjadi hak daerah harus
dipastikan dimanfaatkan oleh daerah. Untuk itu perlu disusun aturan perundangan
yang mengatur partisipasi BUMD pada pengusahaan sektor hulu migas. Termasuk di
dalamnya kewajiban kerja sama antara BUMD dengan Pertamina atau dengan lembaga
pembiayaan Negara lainnya, sehingga PI tidak membebani daerah dengan biaya investasi dan
kerugian usaha. Dalam jangka panjang perlu dipertimbangkan untuk menata kembali
skema pembagian pendapatan negara dari sektor hulu migas kepada daerah sehingga
daerah dapat memperoleh pendapatan yang lebih pasti dan adil.
Belakangan ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,
justru akan semakin memperketat perolehan PI dengan menjabarkan delapan poin
penting yang dituangkan pada Peraturan Menteri ESDM tentang Participating
Interest (PI) 10% Pemerintah Daerah (Pemda) dalam Wilayah Kerja (WK) Migas.
Pemberian PI 10% ini hanya diberikan pada WK migas yang telah habis masa
kontraknya, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan WK yang baru seperti
wilayah kerjaMasela. BUMD hanya diperbolehkan menggandeng
Pusat Investasi Pemerintah (PIP) atau BUMN untuk memiliki 10% hak partisipasi (participating
interest) wilayah kerjaminyak dan gas. Alasan pelarangan itu adalah untuk
memberikan manfaat maksimal bagi daerah dan mencegah pemburu rente masuk
menguasai wilayah kerjamigas melalui BUMD.[60]
Dalam menanggapi
batasan tersebut banyak daerah penghasil berharap pemerintah pusat bisa
membantu daerah agar benar-benar bisa merealisasi hak daerah mendapatkan PI
dari industri migas. Jika BUMD dilarang merangkul investor, maka pemerintah harus
membuat aturan yang memungkinkan daerah tetap mendapatkan PI. Jangan hanya
melarang Pemda merangkul investor, tapi harus ada solusinya. Misalnya dengan
pola golden share. Kalau pola golden share disetujui, mungkin PI daerah tidak
harus 10%, tetapi itu lebih jelas karena Pemda bisa menikmati PI.[61]
Selaian kendala
lemahnya pemahaman, permodalan dan KKN, PI bagi daerah penghasil akan
berhadapan dengan PI pemerintah Pusat yang dijalankan dan dikelola oleh
Pertamina. Karena dalam rangka memastikan terwujudnya ketentuan konstitusi,
selain kepada BUMD pemerintah juga mendorong agar PT.
Pertamina (Persero) diusulkan memperoleh saham partisipasi atau participating
interest (PI) dalam wilayah kerja-wilayah kerja minyak dan gas bumi (migas)
yang kontraknya akan diperpanjang dan sebaiknya hak tersebut dimasukkan dalam Peraturan Menteri ESDM
tentang perpanjangan kontrak wilayah kerja migas. Dengan memiliki PI, maka
Pertamina bisa terlibat langsung dalam pengelolaan wilayah kerja-wilayah kerja
migas yang selama ini dipegang oleh perusahaan migas asing. Dengan demikian,
Pertamina diharapkan memperoleh transfer teknologi dan pengetahuan dari
perusahaan-perusahaan migas internasional. Kalangan profesional di bidang
perminyakan menyarankan pemerintah memberikan 55% - 60% wilayah kerja minyak dan gas bumi
(migas) kepada PT.
Pertamina (Persero). Semakin besar pengelolaan migas oleh badan usaha milik
negara (BUMN) maka akan semakin besar keuntungan yang diperoleh negara. Saat
ini mengacu informasi Komisi Pemberantasan Korupsi, Pertamina hanya mengelola
21% dari total wilayah kerja yang ada
di Indonesia. Negara akan menerima manfaat 100% dari hasil pengusahaan migas jika
wilayah kerja dikelola Pertamina. Kemudian pemerintah diminta tidak hanya fokus
pada penerimaan fiskal dalam mengelola industri migas. Dalam pengembangan
lapangan migas baru, pemerintah harus memiliki paradigma untuk mengembangkan
operasi migas di daerah tersebut.[62]
Selain tantangan dari
adanya ketentuan PI kepada PT. Pertamina (Persero), PI bagi daerah penghasil
juga akan berhadapan dengan upaya KKKS untuk memperoleh bagian yang paling
menguntungkan. Upaya KKKS ini tentu saja bertentangan dengan misi daerah
penghasil untuk ikut serta dalam bisnis migas dengan jatah PI yang
sebesar-besarnya. Maka sesuai dengan hukum bisnis liberal, KKKS sedapat mungkin
akan berusaha tidak melibatkan daerah penghasil, karena dimata KKKS keterlibatan
daerah penghasil hanya akan memperkecil bagiannya. Namun di sisi sebaliknya
daerah penghasil akan berusaha untuk memperoleh jatah PI sebesar besarnya jika
perlu lebih dari 10 %. Dan kedua kepentingan itu akan selalu berhadap-hadapan.
Kesimpulan
Pemerintah daerah melalui BUMD memiliki hak
Paricipating Interest sebesar 10 % terhadap kegiatan produksi migas yang
dilakukan di wilayahnya. PI adalah hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan
produksi gas dengan menyetorkan modal dengan kompensasi mendapatkan bagian dari
hasil bersih migas yang dihasilkan dan dibatasi dengan jangka waktu kesanggupan
selama 60 hari. Pengusahaan produksi hulu Migas diharapkan memberi manfaat kepada daerah
melalui keterlibatan BUMD secara langsung dalam pengusahaan sektor hulu migas
dan / atau berkembangnya peluang / kegiatan usaha dan penciptaan lapangan kerja
dan pendapatan di berbagai kegiatan yang terkait dengan usaha Migas.
Banyak daerah salah paham dan menganggap PI adalah
hadiah dan besaran PI sebesar 10
% terlalu kecil dan karenanya menuntut lebih besar. Namun dalam
prakteknya kemampuan keuangan daerah sangat terbatas sehingga daerah menghadapi
kesulitan untuk dapat membayar keikut sertaan (saham) dalam PI, terlebih lagi
jika daerah dilarang untuk melibatkan investor. Larangan melibatkan investor
swasta sesungguhnya untuk memastikan bahwa PI tersebut ditujukan khusus untuk
kesejahteraan masyarakat daerah penghasil. Keterlibatkan investor swasta
ditengarai juga menimbulkan akses pada timbulnya KKN dikalangan tokoh dan
pimpinan daerah.
Participating
Interest(PI)yang
menjadi hak daerah harus dipastikan dimanfaatkan oleh daerah melalui BUMD yang
sepenuhnya dimiliki oleh Daerah. Untuk itu, perlu disusun aturan perundangan
yang mengatur partisipasi BUMD pada pengusahaan sektor hulu Migas, termasuk di
dalamnya kewajiban kerjasama antara BUMD dengan Pertamina atau lembaga keuangan
milik Negara, tanpa membebani BUMD dengan mengeluarkan biaya investasi dan
risiko kerugian usaha. Banyak daerah diliputi kesalahah pahaman
dengan anggapan PI sebagai hak tanpa kewajiban menyetorkan dana keikut sertaan.
Wilayah kerja Masela adalah Wilayah kerja baru yang
memiliki kandungan gas Bumi yang cukup besar bahkan terbesar di Indonesia saat
ini. Wilayah kerja ini terletak di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat di
Propinsi Maluku dan berdekatan dengan propinsi NTT yang menurut rencana wilayah
kerja ini akan segera berproduksi. Participating Interest(PI) dari Wilayah kerja Masela akan
menghadapi kendala karena PI dibatasi dengan ketentuan jarak, 4-10 mill dari bibir pantai ke laut,
sedang jarak terdekat dengan pulau Tanimbar adalah 150 km, sehingga tidak
memenuhi ketentuan syarat itu.
Jika tidak memperhatikan tujuan filosofis PI, optimalisasi
Participating Interest (PI)
daerah penghasil juga akan menghadapi kendala dari upaya pemerintah untuk
mengoptimalkan PI yang juga dimiliki oleh PT. Pertamina (Persero) dalam rangka/
kontek kepentingan nasional Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). PI daerah penghasil juga
akan berhadapan dengan kepentingan KKKS sebagaimana
layaknya badan usaha yang keberadaannya
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan
maksimal.
Wilayah kerja Masela harus menjadi perhatian
pemerintah agar tidak salah langkah dan secara optimal dapat berlangsung secara
efisien dan paling menguntungkan bagi Negara dan masyarakat setempat. Selain
itu PI di wilayah kerja Masela bagi daerah penghasil yakni Propinsi Maluku dan
Kabupaten Maluku Tenggara Barat harus dijaga agar tepat sasaran dan tidak
menyalahi tujuan filosofisnya yakni untuk mewujudkan kesejahteraan bagi
masyarakat daerah penghasil. PI wilayah kerja Masela menjadi incaran pihak
swasta, oleh karenanya tugas pemerintah adalah menjaganya agar tidak jatuh kepada para pemburu rente
yang tentu saja akibatnya sangat merugikan Negara dan terutama bagi daerah
penghasil.
DAFTAR PUSTAKA
Buku – Buku
Agoes Soegianto, Eksplorasi dan produksi migas lepas
pantai: dampak ekologis dan penanganannya,Airlangga Press, Surabaya, 2005.
A.M. Fatwa, Potret
Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, PT.
Gramedia Media Nusantara, 2009.
A.
Rianto Pudyantoro, Proyek Hulu Migas Evaluasi dan analisis Petroekonomi,
Petromindo, Genta
Publishing, Jakarta, 2014.
Charlotte
J. Wright and Rebecca A. Gallun, Fundamentals of Oil and Gas accounting,
5th edition, PennWell Corporation, 2008.
Deny Hidayati. dkk, Manajemen Konflik Stakeholders Delta Mahakam, Piramida Publishing berkerjasama dengan Pusat
Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bandung, 2005.
Dimyati
Hartono, Pola dan rencana pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Porenbang NKRI) zaman restorasi: menuju negara maritim yang besar dan kuat di
dunia,Lembaga Ekonomi Tanah Air,
Jakarta, 2004.
Emil
Salim, Kembali Ke Jalan Lurus, Esai-Esai 1966-99, AlvaBet, Jakarta, 2000.
Hari S. Malang Joeda, Reinventing
BUMD, PT. Gramedia, 2006.
Indra Bastian, Privatisasi
di Indonesia: teori dan implementasi, Salemba Empat, Jakarta, 2002.
MarwanBatubara,Tragedi & ironi: Wilayah
kerja Cepu danNasionalisme yang Tergadai,CitraKreasi
Indonesia, Jakarta, 2006.
M. Amien Rais, Agenda Mendesak
Bangsa Selamatkan Indonesia, PPSK Press, Yogyakarta, 2008.
M. Ryas Rasid, Otonomi
Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya, LIPI Press, Jakarta, 2007.
Peter M. Blau, Srtuctural Contexts Of Opportunities, The
University of Chicago Press, Chicago, 1994.
Riant Nugroho Dwijowijoto, BUMN
Indonesia: Isu, Kebijakan dan Strategi, ElexMedia Komputindo, Bandung, 2006.
Santi
Dwi Desy Lestari dan
Yudha Andrian Saputra, Finansial Risk Assessment Production Sharing Contrct
Indonesia Kegiatan Eksploitasi Minyak Bumi Dari Perspektif Kontraktor,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),
Surabaya, 2000.
Sumantoro,Hukum Ekonomi,Jakarta, Universitas
Indonesia, 1986.
Tomi
Lebang, Berbekal Seribu Akal Pemerintahan Dengan Logika, Sari pati
pidato Wakil Presiden Jusuf Kalla, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.
Jurnal/ Majalah/ Artikel
Jurnal Analisa,
Pengasilan Daerah Migas,Centre for Strategic and International
Studies,Volume
6,1977
Jurnal Economics and finance in Indonesia, Universitas Indonesia,
Volume 36, 1988
Jurnal
Dunia Ekuin dan Perbankan, Centre for Strategic and
International Studies, Volume 18,2005
Jurnal
Petrominer: Petroleum, Mining & Energy, Adijaya Cooperative, Volume 36, 2009
Jurnal Serasi, Proyek
Pengembangan Informasi dan Data Kependudukan,Kantor Menteri Negara Kependudukan
dan Linkungan Hidup, Potensi Sumber Dampak Pengusahaan Migas dan Panas Bumi Terhadap Lingkungan,volume 8, 1993Jurnal Economics
and finance in Indonesia, Volume 36, Issue, 1988
Tim Komnas Ham, Jurnal dinamika hak
asasi manusia,Universitas Surabaya. Pusat Hak Asasi
Manusia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Yayasan Obor Indonesia, Volume 2, 2001
Artikel
Potensi dan prospek
investasi di sektor pertambangan dan energi Indonesia tahun 1998-1999, Yayasan
Krida Caraka Bhumi, 1998
Undang-Undang
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Code
of Federal Regulations of the United States of America, Title 17, Commodity and
Securities Exchange.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang
kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Internet
http://digilib.its.ac.id/public/ITS-paper-35224-2508100149-paper.pdf, diakses pada 25 Januari 2016, Pukul 20:30 WIB.
http://www.skkmigas.go.id/mengelola-migas-untuk-kepentingan-bangsa, diakses pada 25 Januari 2016, Pukul 08:00 WIB.
http://www.migas.esdm.go.id/post/category/publikasi/daftarperusahaan/kontraktorkontrakkerjasama, diakses pada 25 Januari 2016, Pukul 20:00 WIB.
http://news.okezone.com/read/2015/08/10/337/1193764/kpk-diminta-usut-dugaan-korupsi-di-wilayah
kerja-cepu, diakses pada
24 Januari 2016, Pukul 18:00 WIB.
http://www.maduraexpose.com/perusahaan-milik-bumd-sumenep-diduga-terkait-dugaan-korupsi-migas/, diakses pada 25 januari 2016, Pukul 07:30 WIB.
http://jatim.metrotvnews.com/read/2015/02/23/361883/perusahaan-milik-bumd-sumenep-diduga-terkait-dugaan-korupsi-migas, diakses pada 25 januari 2016, Pukul 07:30 WIB.
http://www.migas.esdm.go.id/post/read/pemerintah-bahas-pi-lapangan-kepodang, diakses pada 24 Januari 2016, Pukul 07:17 WIB.
http://www.migas.esdm.go.id/post/read/wilayah kerja-masela--presiden-akan-panggil-inpex-dan-shell, diakses pada 24 Januari 2016, Pukul 08:00 WIB.
http://www.petrominer.co.id/berita-benarkah-ada-palung-di-lapangan-abadi-.html, diakses pada 24 Januari 2016, Pukul 07:00 WIB
http://ksp.go.id/wilayah kerja-masela-harus-beri-nilai-tambah-perekonomian-nasional%E2%80%8E/, diakses pada 25 Januari 2016, Pukul 08:30 WIB.
http://www.litbang.esdm.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=505:site-survei-geologi-dan-geofisika-kelautan-di-perairan-wilayah
kerja-masela-perairan-tanimbar-dalamkaitan-pemilihan-teknik-eksploitasi-migas-floating-refinery-atau-transportasi-pipa-bawah-laut--&catid=, diakses
pada 24 Januari 2016, Pukul 07:30
WIB.
http://www.lemigas.esdm.go.id/id/berita-752-10-oktober-2015-rekomendasi-wilayah
kerja-masela-diputuskan.html, diakses
pada 24 Januari 2016, Pukul 06:20 WIB.
http://industri.bisnis.com/read/20131202/44/189979/hoa-jual-beli-gas-dari-masela-belum-bisa-tahun-ini, diakses pada
25 Januari 2016, Pukul 09:00 WIB.
http://www.kabarbisnis.com/read/2830416, diakses pada 25 Januari, Pukul 08:30 WIB.
[1] Wilayah kerja
adalah daerah tertentu di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia untuk
pelaksanaan eksplorasi
dan eksploitasi.
[2] Minyak bumi adalah hasil proses alami
berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa
fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen
yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau
endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang
tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
[3]Gas bumi
adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan
temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan minyak
dan gas
bumi.
[4] Sebanyak 17 Kontrak Kerja Sama (KKS) migas akan berakhir hingga tahun 2019 mendatang, dari jumlah
tersebut,
2 diantaranya telah dilakukan perpanjangan yaitu Genang Wilayah kerja dan
Offshore North West Java yang diperpanjang tanggal 23 Desember 2014.
[5] Kegiatan Usaha
Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha eksplorasi
dan eksploitasi.
[6] Eksplorasi
adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi
untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak
dan gas
bumi.
[7] Eksploitasi
adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak
dan gas
bumi
dari wilayah
kerja
yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur,
pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan
dan pemurnian minyak
dan gas
bumi
di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.
[8] Jurnal Dunia Ekuin dan Perbankan, Centre for Strategic and
International Studies, Volume 18,2005, hlm.192.
[9]Deny
Hidayati. dkk, Manajemen Konflik Stakeholders Delta Mahakam, Piramida
Publishing berkerjasama dengan Pusat Penelitian Kependudukan,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bandung, 2005, hlm. 22.
[10]Tim Komnas Ham, Jurnal dinamika hak asasi manusia,Universitas
Surabaya. Pusat Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Volume 2, 2001, hlm.74.
[12] M. Ryaas Rasid, Otonomi
Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya, LIPI Press, Jakarta, 2007,
hlm. 10.
[13]Jurnal Serasi, Proyek Pengembangan Informasi dan
Data Kependudukan,Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Linkungan Hidup,
Potensi Sumber Dampak Pengusahaan Migas dan Panas
Bumi Terhadap Lingkungan,volume 8, 1993, hlm. 30.
[14]Jurnal Analisa, Penghasilan Daerah Migas,Centre for
Strategic and International Studies,Volume 6, 1977, hlm.36
[16] Badan Usaha
adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat
tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
[17] Bentuk Usaha
Tetap (BUT) adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan
hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan
kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik
Indonesia
[18] A. Rianto
Pudyantoro, Proyek Hulu Migas Evaluasi dan analisis Petroekonomi, Petromindo, Genta Publishing, Jakarta, 2014, hlm.5
[19] Code of Federal
Regulations of the United States of America, Title 17, Commodity and Securities
Exchange, hlm.385.
[20] Charlotte J.
Wright and Rebecca A. Gallun, Fundamentals of Oil and Gas accounting,
5th edition, PennWell Corporation, 2008, hlm.3.
[21] Indra Bastian, Privatisasi
di Indonesia: teori dan implementasi,Salemba
Empat, Jakarta, 2002, hlm. 52 baca
juga dalamRiant Nugroho Dwijowijoto, BUMN Indonesia: Isu, Kebijakan dan
Strategi, ElexMedia Komputindo, Bandung, 2006, hlm. 156.
[22]Pada prinsipnya,Partisipating Interest(PI) adalah untuk mengembangkan daerah
dan karena itu hanya bisa dikelola oleh BUMD atau anak perusahannya yang 100%
dimiliki oleh daerah, Disampaikan dalam pidato oleh Pelaksana Tugas Dirjen
Migas IGN Wiratmaja pada acara Rapat Kerja Asosiasi Daerah Penghasil Migas
(ADPM) di Hotel Aston, Kupang, NTT, Kamis, 23 April 2015.
[23] Baca di Santi
DwiDesy Lestari dan Yudha Andrian Saputra, Finansial Risk Assessment
Production Sharing Contrct Indonesia Kegiatan Eksploitasi Minyak Bumi Dari
Perspektif Kontraktor, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),
Surabaya. Diunduh dari http://digilib.its.ac.id/public/ITS-paper-35224-2508100149-paper.pdf, diakses pada 24 Januari 2016, Pukul 07:00 WIB.
[24]MarwanBatubara,Tragedi & ironi: Wilayah
kerja Cepu danNasionalisme yang Tergadai,CitraKreasi
Indonesia, Jakarta, 2006, hlm.144.
[25]Jurnal Economics
and finance in Indonesia, Universitas Indonesia, Volume 36, 1988, hlm. 66 dan baca
juga: Sumantoro,Hukum
ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta,
1986, hlm.74.
[26] Kontrak Kerja
Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam
kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi
yang lebih menguntungkan negara dan
hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
[27] Kegiatan
eksplorasi dan produksi pada industri hulu migas meliputi serangkaian aktivitas
yang kompleks dan bersifat jangka panjang. Tentunya, kegiatan sektor ini diatur
dengan regulasi khusus. Dalam mengelola usaha hulu migas, Indonesia
mengembangkan model kontrak bagi hasil (production sharing contract)
atau kontrak kerjasama.Dengan model ini, negara memegang kontrol atas
pengelolaan sumber daya alam migas. Publikasi SKK Migas diunduh dari http://www.skkmigas.go.id/mengelola-migas-untuk-kepentingan-bangsa, diakses pada 25 Januari 2016, Pukul 08:00 WIB.
[28]Bachrawi Sanusi,Peranan migas dalam
perekonomian Indonesia,
Universitas Trisakti, Jakarta, 2002, hlm. 40.
[29]Artikel Potensi
dan prospek investasi di sektor pertambangan dan energi Indonesia tahun 1998-1999, Yayasan Krida
Caraka Bumi, Jakarta, 1998, hlm. 322.
[30] Dalam Kontrak
Kerja Sama, Kontraktor KKKS wajib menyediakan danaawal untuk membiayai fase
eksplorasi. Bila berhasil menemukan cadangan migas yang cukup ekonomis, maka
pemerintah akanmengganti semua biayanya. Namun, penggantian biaya operasi hanya
diberikan setelah menghasilkan minyak atau gas. Kontraktor KKS akan menerima
bagiannya berupa sejumlah volume minyak atau gas (in kind). Publikasi
SKK Migas diunduh dari http://www.skkmigas.go.id/mengelola-migas-untuk-kepentingan-bangsa, diakses pada 23 Januari 2016, Pukul 09:00 WIB.
[31] Disampaikan dalam Pidato Pengantar pada Rapat Terbatas tentang Wilayah kerja
Masela di Kantor Presiden, Selasa 29 Desember 2015.
[32] Dimyati
Hartono, Pola dan rencana pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Porenbang NKRI) zaman restorasi: menuju negara maritim yang besar dan kuat di
dunia,Lembaga Ekonomi Tanah Air,
Jakarta, 2004, hlm. 26.
[33] Mengacu pada pengertian dan jenis struktur
sosial, secara umum masyarakat dapat diklasifikasikan dalam pengelompokan
secara horizontal (deferensiasi sosial) dan secara vertical (stratifikasi
sosial). Peter M. Blau
mengemukakakn bahwa “masyartakat plural dapat dibagi menjadi dua, yaitu heterogenitas
dan kesenjangan sosial. Heteregonitas atau keragaman merupakan deferensisisi
sosial berdasarkan parameter nominal, yang meliputi SARA, Parpol, dan ormas.
Adapun kesenjangan sosial adalah deferensiasi berdasarkan parameter gradual
yang dikenal sebagai stratifikasi sosial atau pelapisan sosial, seperti factor
ekonomi dan status atau jabatan”.Lihat pada Peter M. Blau, Srtuctural Contexts Of Opportunities, The University of Chicago Press, Chicago, 1994, hlm. 22.
[34]http://www.migas.esdm.go.id/post/category/publikasi/daftarperusahaan/kontraktorkontrakkerjasama, diakses pada 25 Januari 2016, Pukul 20:00 WIB.
[35] Kegiatan
industri hulu terdiri atas kegiatan eksplorasi dan produksi. Eksplorasi yang
meliputi studi geologi, studi geofisika, survei seismik, dan pengeboran
eksplorasi, adalah tahap awal dari seluruh kegiatan usaha hulu migas. Kegiatan
ini bertujuan mencari cadangan baru. Jika hasil eksplorasi menemukan cadangan
migas yang cukup ekonomis untuk dikembangkan, kegiatan eksplorasi
akandilanjutkan dengan kegiatan eksploitasi produksi. Kegiatan produksi adalah
mengangkat migas ke permukaan bumi.
[36]Lihat
pada Pasal 11
Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun
2010tentang Pedoman Kebijakan Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi.
[37] Tomi Lebang, Berbekal Seribu
Akal Pemerintahan Dengan Logika, Sari pati pidato Wakil Presiden Jusuf
Kalla, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hlm. 112.
[38] Kumpulan Tulisan Dunia EKUIN dan PERBANKAN,Centre
for Strategic and International Studies (CSIS),Volume 21, 2008, hlm. 291.
[39]A.M. Fatwa, Potret Konstitusi
Pasca Amandemen UUD 1945, PT. Gramedia Media Nusantara,
Jakarta, 2009, hlm. 12.
[41]Agoes
Soegianto, Eksplorasi dan produksi
migas lepas pantai: dampak ekologis dan penanganannya,Airlangga Press, Surabaya, 2005, hlm. 77.
[43] M. Amien Rais, Agenda
Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia, PPSK Press, Yogyakarta, 2008,
hlm. 200.
[45]Apabila daerah kacau, maka
tidak ada kontraktor
yang mau datang,
apanya yang mau dibagi? Walaupun Undang-undang dicetak beribu kali, dengan
huruf besar, tapi kalau tidak ada yang di bagi mau apa?, Petikan pidato Wakil
Presiden Jusuf Kalla, Disampaikan dalam Forum Musyawarah nasional Daerah
Penghasil Migas Seluruh Indonesia, di Jakarta, 19 Desember 2005.
[46] Berdasarkan
data dana bagi hasil antara Pemda dan Swasta, swasta lebih banyak mendapatkan
hasil. Bojonegoro mendapatkan 25% sementara pihak
swasta mendapatkan 75% . Jawa Tengah
mendapatkan 51% sementara
pihak swasta mendapatkan 49%, Blora
mendapatkan 33,8% sementara
swasta mendapatkan 66,2% Jawa Tengah
mendapatkan 25% sementara
swasta mendapatkan 75%. Kondisi serupa juga
terjadi di Madura Offshore (Santos) dimana Pemprov
Jawa Timur dan Pemkab Sumenep bekerja sama dan swasta. Hasilnya, Pemprov Jatim
dan Pemkab Sumenep hanya mendapatkan masing-masing 24,5 persen sementara pihak
swasta mendapatkan 51 persen. Terlihat pihak swasta lebih banyak dapat bagian,
padahal spirit PP ini adalah untuk kepentingan Pemerintah daerah.
[48]http://news.okezone.com/read/2015/08/10/337/1193764/kpk-diminta-usut-dugaan-korupsi-di-wilayah
kerja-cepu,diakses
pada 24 Januari 2016, Pukul 18:00 WIB.
[50]http://www.migas.esdm.go.id/post/read/pemerintah-bahas-pi-lapangan-kepodang,dan
http://katadata.co.id/berita/2015/03/26/aturan-saham-pemda-di-wilayah
kerja-migas-diperketat#sthash.KcboUPbw.dpbs, diakses
pada 24 Januari 2016, Pukul 07:17 WIB.
[51]http://www.migas.esdm.go.id/post/read/wilayah
kerja-masela--presiden-akan-panggil-inpex-dan-shell, diakses
pada 24 Januari 2016, Pukul 08:00 WIB
[52]http://www.petrominer.co.id/berita-benarkah-ada-palung-di-lapangan-abadi-.html,
diakses pada 24 Januari 2016, Pukul 07:00 WIB
[53]http://ksp.go.id/wilayah
kerja-masela-harus-beri-nilai-tambah-perekonomian-nasional%E2%80%8E/,
diakses pada 25 Januari 2016, Pukul 08:30 WIB.
[54] Baca di site
Site Survei Geologi Dan Geofisika Kelautan Di Perairan Wilayah kerja Masela,
Perairan Tanimbar Dalam Kaitan Pemilihan Teknik Eksploitasi Migas (Floating
Refinery atau Transportasi Pipa Bawah Laut) http://www.litbang.esdm.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=505:site-survei-geologi-dan-geofisika-kelautan-di-perairan-wilayah
kerja-masela-perairan-tanimbar-dalam-kaitan-pemilihan-teknik-eksploitasi-migas-floating-refinery-atau-transportasi-pipa-bawah-laut--&catid=, diakses pada 24 Januari 2016, Pukul 07:30 WIB.
[55]http://www.lemigas.esdm.go.id/id/berita-752-10-oktober-2015-rekomendasi-wilayah
kerja-masela-diputuskan.html, diakses pada 24
Januari 2016, Pukul 06:20 WIB.
[56]http://www.skkmigas.go.id/inpex-bor-empat-sumur-di-wilayah
kerja-masela
diakses pada 4 Februari 2016, pukul 09:44
WIB.
[57]http://industri.bisnis.com/read/20131202/44/189979/hoa-jual-beli-gas-dari-masela-belum-bisa-tahun-ini, diakses pada 25 Januari 2016, Pukul
09:00 WIB.
[59] Setelah 6 bulan
menjalankan tugas, Tim Reformasi Migas yang dipimpin Faisal Basri,
menyelesaikan masa kerjanya, Rabu (13/5/2015).Menandai berakhirnya masa tugas
ini, Tim Reformasi Migas memberikan rekomendasi kepada Menteri ESDM Sudirman
Said di Kementerian ESDM, salah satu rekomendasi adalah meminta pemerintah
untuk memastikan agar PI tepat sasaran.
[60]http://www.bumn.go.id/pertamina/berita/6689/Anggota.DPRD.Madura.Tolak.Aturan.Pelarangan.BUMD.Mendapatkan.PI.Migas, diakses 4
Februari 2016 pukul 10.17 wib
[61] Kepala Dinas
ESDM Propinsi Jawa timur Dewi J Putriatni
[62] Disampaikan
oleh Alfi Rusin, Ketua Umum). Ikatan
Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) dalam RDP dengan komisi VII DPR RI