Minggu, 26 Juni 2016

BALADA KILANG SWASTA (Kompas 24 Juni 2016)


Balada Kilang Swasta

Oleh : Junaidi Albab Setiawan

Advocat / Pengamat Hukum Migas

Betapa pentingnya kilang minyak bagi negara yang masih mengandalkan BBMigas sebagai sumber energi utama seperti Indonesia. Karena jalan terbaik untuk mendapatkan BBMigas dengan harga yang ekonomis adalah mengolah sendiri minyak mentah (crude oil)  yang dihasilkan dari sumur minyak dalam negeri maupun dari impor dengan menggunakan kilang minyak milik sendiri.

Kilang minyak (oil refinery) adalah fasilitas industri yang mengolah minyak mentah menjadi produk petroleum yang bisa langsung digunakan maupun produk-produk lain yang menjadi bahan baku bagi industri petrokimia. Kilang minyak menghasilkan pruduk-produk antara lain minyak nafta, bensin (gasoline), solar (Automotive Diesel Oil), minyak tanah (kerosene), dan elpiji. Kilang minyak merupakan fasilitas industri yang sangat kompleks dengan berbagai jenis peralatan dan fasilitas pendukung, semakin tinggi kualifikasi produk yang dihasilkan semakin rumit proses pengadaannya, semisal aviation kerosene (avtur) dan aviation gasoline  yang menjadi bahan bakar pesawat jet yang diproduksi dengan standar ketat. Kegiatan kilang meliputi penyulingan (destilasi), pengubahan struktur (konversi), pengolahan (treatment), formulasi dan pencampuran (blending). Kilang minyak merupakan salah satu bagian hilir (down stream) paling penting pada industri migas (Leffler W.L, 1984).

Kebutuhan Kilang

Hingga saat ini Indonesia masih sangat tergantung kepada BBMigas. Untuk tahun ini saja konsumsi BBM dalam negeri sudah di atas 1,5 juta barel per hari, sementara produksinya di bawah 800.000 barel per hari. Untuk menutupi kebutuhan itu negara menghabiskan US$ 150 juta atau Rp 1,95 triliun per hari untuk impor BBM. Dan berdasar analisis proyeksi Kementerian ESDM, kebutuhan BBM (tidak termasuk biofuel) diproyeksikan justru akan terus meningkat rata-rata 3,18% per tahun selama tahun 2006 s.d. 2030. Konsumsi bensin dan solar tumbuh rata-rata 5,68% per tahun dan 2,18% per tahun sedangkan konsumsi minyak tanah turun rata-rata 2,97% per tahun. Dari sisi pengguna, sektor transportasi tumbuh rata-rata 5% per tahun dan sektor PKP (pertanian, konstruksi dan pertambangan) tumbuh rata-rata 5,31% per tahun. Peningkatan itu juga dipengaruhi pertambahan penduduk dan perkembangan industri. Untuk memenuhi kebutuhan itulah maka pemerintah melakukan percepatan pembangunan  kilang di dalam negeri, dengan skenario pembangunan kilang baru dan pengembangan yang sudah ada.

Indonesia dengan luas wilayah 1.990.250 km2 dan jumlah penduduk 254,9 juta jiwa, saat ini telah menjadi net importer karena ketergantungan yang sangat tinggi tergadap BBMigas. Indonesia hanya memiliki 7 kilang, yakni Kilang Pangkalan Brandan dengan kapasitas 5 ribu barel/hari, Kilang ini sudah ditutup sejak awal tahun 2007, Kilang Dumai dan Sei Pakning dengan kapasitas 127 ribu barel/hari dan 50 ribu barel/hari, Kilang Plaju dengan kapasitas 145 ribu barel/hari, Kilang Cilacap dengan kapasitas 548 ribu barel/hari, Kilang Balikpapan dengan kapasitas 266 ribu barel/hari, Kilang Balongan dengan kapasitas 125 ribu barel/hari, Kilang Pusdiklat Migas Cepu Jawa Tengah dengan kapasitas 45 ribu barel/hari, Kilang Sorong  Papua Barat dengan kapasitas 10 ribu barel/hari. Jumlah tersebut tentu belum cukup, masih diperlukan  banyak kilang dan tentu tidak seluruhnya dapat dipenuhi oleh negara, untuk itu diperlukan partispasi swasta.

Posisi Pemerintah

Sekalipun agak terlambat,  baru pada pemerintah Jokowi disadari betapa pentingnya membangun kilang. Terlihat berbagai upaya serius kearah pemenuhan kebutuhan migas yang efien dilakukan, diantaranya menerbitkan Perpres No, 146 tahun 2015 tentang Pembangunan Kilang yang menempatkan PT. Pertamina (Persero) sebagai penanggung jawab kegiatan dan pengawasan pembangunan. Berdasar ketentuan itu pula pembangunan kilang kini terbuka untuk swasta dengan pola kerjasama yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya swasta dengan memperhatikan pembagian risiko diantara para pihak. Saat ini pemerintah juga tengah menggodog peraturan tentang usaha “kilang mini” dengan kapasitas maksimal 20 rubu barel per hari. Pemerintah juga giat mengajak perusahaan luar untuk berinvestasi membangun kilang di Indonesia. Seperti Kilang Tuban Jawa Timur, pemerintah /Pertamina berhasil menggandeng  Rosneft perusahaan minyak Rusia penghasil crude terbesar di dunia, yang berkomitmen berinvestasi hingga US$ 13 miliar. Dengan harapan selain kilang terbangun juga terjamin pasokan bahan baku crude bagi kilang.

Pilihan Indonesia untuk membuka diri dan menggiatkan pembangunan kilang adalah pilihan yang wajar. Pilihan itu diambil ditengah situasi ekonomi sulit dengan pertumbuhan ekonomi  di kuartal I 2016 tercatat 4,92 % alias tidak sampai 5 %. Hal itu  salah satunya diakibatkan oleh penurunan harga minyak dunia, sampai sampai dalam APBNPerubahan 2016 pemerintah merevisi target PNBP dari SDA Migas dari Rp. 78,6 triliun menjadi Rp. 28,4 triliun, padahal migas merupakan andalan untuk mendongkrak GDP. Selain itu  faktor  perlambatan ekonomi yang terjadi di China dalam tiga tahun terakhir juga berpengaruh bagi Indonesia, sebagaimana terlihat diantaranya dari ambruknya pertambangan batubara akibat sepinya permintaan dan rendahnya harga  serta rontoknya  industri pelayaran nasional.  

Segi Segi Penting

 Namun demikian pembangunan kilang harus memperhatikan segi  peraturan dasar dan segi kontinuitas pasokan. Dari segi peraturan dasar kita menentukan bahwa migas adalah komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak, begitupun pengolahannya termasuk dalam kategori cabang produksi penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka harus dikuasai oleh negara. Sekalipun pembangunan kilang kini  terbuka untuk swasta dan syarat import menurut Permen Perdagangan No. 3/M-DAG/PER/1-2015 juga dipermudah, namun pemerintah harus berpegang pada prinsip utama bahwa penguasaan dan penggunaan BBMigas harus tetap dalam kendali negara, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar. Salah satu penerapan “pengendalian negara”  tersebut juga harus tercermin dari mekanisme kontrol hasil produksi dan kepemilikan saham yang menempatkan negara /BUMN memegang saham  mayoritas.

Segi lainnya adalah bahwa bisnis Kilang sangat bergantung kepada pasokan bahan baku berupa crude, maka penting bagi Indonesia`untuk menjalin kerjasama dengan negara-negara penghasil migas seperti Iran yang memiliki cadangan minyak melimpah dan baru saja bebas dari embargo ekonomi oleh Barat, untuk memasok crude sekaligus berinvestasi membangun kilang di Indonesi. Cara itu akan menjamin keberlangsungan pasokan crude dalam jangka panjang, selain tentu akan mendapatkan harga murah karena tanpa perlu melalui trader dari Singapore yang selama ini menjadi benalu dalam pengadaan Migas.

Pengalaman Kilang Swasta

Sungguh tidak mudah bagi swasta membangun kilang di Indonesia, selain biaya investasi yang tinggi juga karena kompleksitas regulasi dan hambatan dari mafia migas yang selama ini menikmati skema pengadaan Migas negara dari import. Selain itu untuk menjamin keberlangsungan produksi jangka panjang, pembangunan kilang juga akan menghadapi problem utama berupa ketidak pastian pasokan bahan baku.

Sebagai contoh adalah kilang PT. Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban yang saat ini diseret ke ranah hukum korupsi. Jika dilihat dari gambaran kompleksitas di atas, maka inisiatif TPPI membangun  komplek Petrokimia terpadu yang terdiri dari kilang Olefin dan kilang Aromatic pada tahun 1995 merupakan inisiatif yang berani  ditengah kebijakan pengelolaan migas dan kuasa pertambangan migas yang dimonopoli oleh Pertamina. Negara seharusnya berkepentingan terhadap langkah swasta itu dan menunjukkan keberpihakannya.

Kilang TPPI memerlukan bahan baku berupa kondensat asal dalam negeri. Kondensat adalah produk sampingan yang dihasilkan dari ladang-ladang gas di dalam negeri. Saat itu proyek dibangun dengan biaya US$ 800 juta (US$ 377 modal sendiri, US$ 248 dari JGC dan US$ 175 dari Stone &Webster), sekalipun kilang dibangun dengan hutang namun tidak ada dana negara di situ dan  kilang dapat berdiri dan  berproduksi.  

Situasi menjadi berbalik ketika terjadi krisis ekonomi 1998 dan melahirkan UU migas baru UU No. 22/2001 yang mencabut kuasa pertambangan dari Pertamina dan diserahkan kepada BP Migas, kemudian mayoritas saham TPPI juga diambil alih negara. Untuk selanjutnya TPPI seperti “pelanduk” dalam perang dingin antara Pertamina dengan BP Migas. Bahan baku berupa kondensat hanya bisa didapat TPPI dari BP Migas sebagai penguasa hulu, sementara untuk menjual hasil olahannya berupa  BBMigas TPPI hanya bisa melalui  BPH Migas/Pertamina sebagai penguasa hilir, pemegang mandat Public Service Obligation (PSO) dari negara.

Sekalipun kepemilikan TPPI saat itu mayoritas ditangan negara (Tuban Petro/Depkeu 59,5 %, Pertamina 15 %), bahkan pemerintah dan Pertamina menempatkan orangnya di kepengurusan TPPI, ditambah upaya pemerintah mempertemukan “segi tiga” pengusaha, penguasa hulu dan penguasa hilir dalam rapat di Istana Wapres 21 Mei 2008, dengan tujuan menyelamatkan TPPI agar negara mendapatkan menfaat dari kilang yang berkapasitas besar dan strategis bagi negara tersebut. Namun berbagai upaya penyelamatan itu tetap gagal karena perbedaan perpektif dan berdampak pada ketiadaan pasokan bahan baku dan sulitnya pemasaran.

Kasus TPPI memberi pelajaran bagi  swasta bahwa membangun kilang di Indonesia tanpa perlindungan nyata dari negara akan sia-sia, karena membangun kilang adalah investasi jangka panjang yang memproduksi komoditi yang langsung dibawah kendali negara, selain menghadapi resiko ekonomi juga menghadapi resiko politik dan  perubahan regulasi. Oleh karenanya sekalipun saat ini negara menawarkan kemudahan bahkan insentif kepada pengusaha kilang swasta, namun sebaliknya pengusaha swasta tetap waspada, karena yang diperlukan oleh swasta adalah komitmen nyata negara berupa jaminan mendapatkan pasokan bahan baku atau diizinkan import sendiri dengan pengawasan negara, serta pemasaran yang terjamin. Jika tidak, maka kilang swasta hanya akan menjadi bangunan megah tanpa makna, sekalipun sebenarnya negara sangat membutuhkannya.