Sabtu, 24 September 2016

UU Migas Merah Putih (Kompas 17=6-2015)


UU Migas Merah Putih

 

Oleh : Junaidi Albab Setiawan

Pengamat dan Praktisi Hukum Migas

 

UU Migas  yang lengkap dan komprehnsip menjadi kebutuhan yang sangat mendesak saat ini. UU Migas No 22 tahun 2001 tidak lagi mampu menjawab kebutuhan bangsa karena secara konseptual dianggap menyimpang dari konstitusi dan secara operasional tidak lagi mampu mengarahkan pemanfaatan migas bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sekaligus mampu melindungi  kepentingan investor.

Di tahun 2015 Rancangan perubahan UU Migas 2001 masuk dalam Program Legeslasi nasional (Prolegnas). Semangatnya adalah mengembalikan UU migas  yang sejalan dengan filosofi dan konstitusi bangsa Indonesia. Presiden RI ke 5 Megawati Soekarno Putri pada acara seminar nasional "Migas untuk Kemandirian Energi" di Gedung Kompleks Parlemen (27/2/2013), mengusulkan UU migas khas Indonesia sebagai UU Migas Merah Putih. 

Keingianan untuk melahirkan UU Merah Putih itu kemudian juga muncul  dalam Visi Misi dan Program Pemerintah Jokowi.  Yaitu pada point 7  “Sembilan Agenda Prioritas”, serta dalam rencana implementasai Tri Sakti,  di angka 3 (2) disebutkan bahwa  “dalam jangka menengah, Pemerintah Jokowi akan merevisi UU Migas Merah Putih yang berkarakter membangun kapasitas nasional yang akan mampu memberikan kepastian hukum secara permanen”. Secara tegas, rezim ini berkomitmen akan mendorong lahirnya UU Migas yang berbasis  pada pasal 33 UUD 1945 dengan ruh TRISAKTI.

 

Arti penting UU Migas

Mengingat migas adalah salah satu hajat hidup rakyat yang berjumlah terbatas dan tidak terbarukan dan pendapatan dari sektor migas penting untuk menopang pembangunan bangsa, maka UU migas harus mampu menjadi acuan dalam pemanfaatan migas nasional. Undang-undang ini harus bersumber kepada konstitusi yang merupakah arah dan tujuan didirikannya Negara. UU Migas yang tidak sejalan dengan konstitusi akan beresiko mudah berubah (labil), terombang-ombang mengikuti desakan zaman dan itulah yang terjadi pada UU Migas Tahun 2001 yang berlaku saat ini.

Pemanfaatan Migas sangat membutuhkan aturan kuat yang mampu melewati batas rezim. Aturan itu harus mampu menjadi landasan yang kokoh sekaligus payung hukum dalam   aktivitas pemanfaatan migas yang berkarakter jangka panjang. Aturan yang lemah juga akan berakibat kurangnya minat  investasi di bidang Migas yang memiliki karakter unik berbeda dari bisnis lain. Paling tidak ada empat factor yang membuat industri hulu migas unik, karena  (i). lamanya rentang waktu antara saat terjadinya pengeluaran (Expenditure) dengan pendapatan (revenue), (ii). Keputusan yang dibuat berdasarkan risiko dan ketidakpastian tinggi serta melibatkan teknologi canggih, (iii). Sector ini memerlukan biaya capital yang cukup besar, namun (iv). Dibalik semua risiko industri migas juga menjanjikan keuntungan yang cukup tinggi (Benny Lubiantara, 2012).

Faktanya Indonesia menghadapi keterbatasan dalam hal dana dan kemampuan, sehingga membuka ruang bagi investor asing dalam ekplorasi dan ekploitasi migas merupakan keniscayaan.  Sehingga UU Migas harus bersangkutan dengan aturan investasi yang memberikan jaminan kepada investor agar terbebas dari risiko perubahan politik dan peraturan. Sehingga  UU migas  tidak berorientasi local semata, namun harus mampu mengakomodir hadirnya investasi asing yang sudah pasti mensyaratkan suatu kepastian hukum.

Aturan dalam UU Migas  harus juga mengatur struktur kelembagaan dan birokrasi dalam pengelolaan migas yang meliputi pengaturan kebijakan umum, perizinan,  pengawasan serta pengaturan pemanfaatan dan distribusi yang maksimal yang berorientasi bagi sebesar besar kemakmuran rakyat. Diantaranya dengan mendirikan suatu National Oil Company (NOC) yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara, sebagai pelaksana kuasa pertambangan.  

UU Migas juga harus mengatur distribusi yang adil dalam hal pemanfaatan migas secara proporsional. Adil dalam artian sesuai kebutuhan riil yang wajib memperhatikan aspek  pemerataan pembangunan dan karakter giografis Indonesia sebagai negeri kepulauan.

 

UU Migas Nomor 22 tahun 2001

UU Migas tahun 2001 yang berlaku sekarang adalah produk reformasi yang perumusannya diwarnai oleh pengaruh liberalisme, khususnya IMF sebagai kreditor  yang memiliki agenda khusus. Pada saat itu Indonesia sedang “tersandera” akibat hutang-hutang peninggalan rezim lama, ditambah adanya perampokan uang Negara (BLBI) oleh para penghianat bangsa pada saat ekonomi Indonesia sedang sekarat.  Akibatnya kita tidak cukup bebas untuk bisa mengekpresikan keinginan kita bahkan dalam hal menyesuaikan isi undang-undang dengan bunyi konstitusi sekalipun.

UU Migas sekarang berorientasi pasar yang dalam kosiderannya dengan tegas memposisikan Migas sebagai komoditi. Sebagai komoditi tentu sangat bergantung kepada mekanisme pasar yang bertujuan mencari untung berdasar penawaran dan permintaan. Peran negara menjadi tereduksi atau bahkan cenderung ditiadakan dan akibatnya perlindungan terhadap posisi  migas bagi hajat hidup rakyat  menjadi terabaikan.

Beberapa ketentuan pokok UU Migas 2001 telah dikoreksi oleh putusan MK No. 36/PUU-X/2012-MK, pasal 1 anga 23, pasal 4 (3), pasal 41 (2), Pasal 44, pasal 45, pasal 48 (1), pasal 59 huruf a, pasal 61, pasal 63 serta pasal 11 (1). Dalam putusan ini, yang dibatalkan meliputi aturan-aturan  yang bersifat strategis termasuk aturan kelembagaan hulu migas (BP Migas).  Akibatnya UU Migas yang ada menjadi “centang perenang” dan tidak layak lagi menjadi acuan hukum. Saat ini aturan migas menjadi tambal sulam yang lebih didominasi oleh peraturan-peraturan operasional, sehingga secara essensial pemanfaatan dan  pengelolan migas berjalan tanpa arah dan tujuan jelas.

Menteri ESDM dan Ketahanan Energi (Kompas 24 September 2016)


Menteri ESDM Dan Ketahanan Energi

Oleh : Junaidi Albab Setiawan

Advokat / Pengamat Hukum Migas

Kegaduhan seputar sosok menteri ESDM belakangan ini  sebenarnya membawa konsekwensi yang luas. Selain membuang energi sia-sia juga menunjukkan betapa kita selama ini hanya pandai menguras sumber energi namun lemah  dalam mengurus energi. Untuk bergerak maju Kementerian ini sesungguhnya sedang sangat membutuhkan menteri yang kuat, kesinambungan kebijakan, konsistensi program dan dasar hukum yang kokoh serta tekad bersama seluruh rakyat untuk bersatu mewujudkan ketahanan energi.

Kementerian ini termasuk kementerian stategis yang tidak sekedar bertugas mengejar  Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tinggi, namun lebih dari itu juga ditantang untuk mewujudkan ketahanan  energi bangsa ditengah situasi krisis energi global yang semakin menggejala. Sementara berbagai perundangan dan kebijakan yang ada belum mampu memadukan sikap dan kepedulian dari semua komponen bangsa untuk mewujudkan ketahanan energi dan membangun kesadaran dalam menghadapai krisis energi yang kian menghampiri.

Oleh karenanya kementerian ini sangat membutuhkan menteri yang kuat dalam mengemban misi nasional untuk mewujudkan kedaulatan energi, seorang nasionalis handal yang paham konstitusi dan bukan sekedar pemain pasar. Karenanya siapapun yang akan ditunjuk untuk mengemban jabatan menteri ESDM, akan menjadi cermin keberpihakan dan keseriusan pemerintah dalam mengelola sumber daya energi nasional.  

Rujukan

Sebagai pembantu Presiden, seorang menteri seharusnya berpegang teguh  kepada visi, misi Presiden ketika berkampanye. Pemerintah Jokowi-JK mengusung visi “Jalan perubahan untuk Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian”. Sebuah visi besar yang tidak mudah untuk diwujudkan jika dilihat dari situasi dan kondisi Indonesia sekarang. Namun janji adalah janji, sekali telah diikrarkan maka  selanjutnya akan menjadi pegangan dan  alat bagi rakyat dalam mengevaluasi kinerja Pemerintah.

Dari visinya kita bisa menarik pesan bahwa pemerintah memandang Indonesia sedang menghadapi tiga masalah besar.  Salah satunya adalah “kelemahan sendi perekonomian bangsa yang disebabkan oleh kesenjangan sosial, kesenjangan antar wilayah, kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi yang berlebihan, ketergantungan dalam hal pangan, energi, keuangan dan teknonologi”. Ketergantungan energi adalah masalah serius dan disitulah peran menteri ESDM diperlukan. Kementerian ESDM adalah salah satu motor penggerak perekonomian negara, kegagalan departemen ini dalam menjalankan tugasnya untuk melepaskan bangsa ini dari ketergantungan energi akan berakibat mandeknya roda perekonomian yang berdampak multi dimensi.

Maka penggantian menteri ESDM ditengah masa jabatan tentu sangat merugikan, terlebih jika disertai kontroversi yang mengundang kegaduhan. Karena saat ini menteri dituntut untuk segera menyatukan seluruh potensi, mengumpulkan informasi dan memetakan masalah-masalah diseputar tugas dan fungsi kementerian. Menteri harus segera mengumpulkan dan mendengar berbagai kepentingan, mulai dari Dewan Energi Nasional (DEN) yang telah menyusun Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), DPR RI, Komite Eksplorasi Nasional (KEN), SKK Migas, BPH Migas, investor pengusaha, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S), BUMN dan BUMD Migas, Asosiasi pemerintah daerah penghasil migas, KPK dan penegak hukum. Dan tidak kalah penting mensinergikan temuan-temuan  penelitian dari pusat-pusat studi energi berbagai perguruan tinggi. Dengan mendengar dan memahami semua informasi, maka kebijakan yang diambil akan lebih Indonesiawi, komprehensif dan dapat meliputi semua kepentingan.

Diambang Krisis Energi

Sejak Indonesia merdeka kita terus mencanangkan semboyan untuk mewujudkan kedaulatan energi, namun pengertian kedaulatan energi nampaknya terlalu abstrak sehingga menjadi bias dalam prakteknya. Tafsirnya tergantung pada arah angin kebijakan penguasa berhembus dan biasanya beda pemerintahan beda pula kebijakan. Akibatnya kebijakan yang diambil berdifat sektoral dan tidak berkedinambungan.

Saat ini kita berada diambang krisis energi yang secara alamiah akan berpengaruh kepada konstelasi global. Karenanya tantangan Kementerian ESDM ke depan adalah mewujudkan ketahanan energi dan  menyiapkan simulasi dalam menghadapi krisis. Membangun kesadaran krisis harus terus dikampanyekan kepada seluruh rakyat. Sejalan dengan visi pemerintah yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan sekaligus pelaku utama pembangunan. Pesan itu sesungguhnya sudah sangat jelas namun sulit dipahami oleh pemimpin yang kurang menghayati karakter jatidiri bangsa dan cenderung berorientasi pasar. Realisasinya juga akan bertambah sulit jika pemimpin mengusung agenda tersembunyi dan masyarakat tidak memiliki pemahaman yang cukup terhadap permasalahan.

Kedaulatan energi yang diinginkan visi pemerintah kali ini bukanlan kedaulatan dalam keterisolasian, namun justru berangkat dari kesadaran saling ketergantungan antar sektor, antar warga bahkan antar negara. Sehingga kuncinya adalah kepada komitmen kebersamaan sebagai bangsa dan pemimpin yang kuat, berkarakter dan tidak mudah  terombang ambing oleh desakan-desakan kepentingan pragmatis. Dalam mewujudkan ketahanan energi, pemerintah harus pandai-pandai mengukur diri dalam ketersediaan sumber daya, pengetahuan, keahlian dan kemampuan. Serta bersatu padu menyamakan pemahaman dan langkah ke depan dengan keterbukaan informasi,  komunikasi dan koordinasi lintas sektor.

Tanda tanda krisis

Selama ini kita terbiasa berpikir dan bekerja dengan orientasi migas. Sementara migas akan semakin hilang dari perut bumi karena habisnya persediaan dan sifatnya yang tidak terbarukan. Lembaga konsultan Norwegia Rystad Energi menyampaikan hasil penelitiannya bahwa dengan kecepatan produksi saat ini, maka cadangan minyak dunia hanya akan bertahan selama 70 tahun. Sementara International Energi Agency (IEA) memperkirakan rendahnya harga minyak akan menurunkan efisiensi energi dan memicu produksi migas dan mesin berbahan bakar migas. Data IEA menunjukkan investasi di sektor minyak menurun pada 2015 dan kemudian menurun di 2016. Ini merupakan penurunan dua kali berturut turut pertama dalam tiga dekade yang diakibatkan oleh menipisnya persediaan dan sulitnya lapangan pengeboran sehingga memerlukan biaya tinggi yang tidak sebanding dengan nilai jual karena harga minyak dunia terus mengalami penurunan akibat over supply akibat tidak terkontrolnya produksi minyak dunia.

Di dalam negeri, saat ini migas masih menjadi penopang  utama pembangunan sebagai sumber pendapatan tertinggi negara diluar pajak. Namun persediaan migas makin berkurang dari waktu kewaktu. Cadangan minyak diperkirakan hanya cukup sampai 11 tahun ke depan sementara cadangan gas diperkirakan akan cukup sampai 50 tahun ke depan. Menurut SKK migas, tanpa adanya upaya pencarian sumur baru, produksi minyak mentah akan turun rata-rata 20 persen per tahun. Dalam kondisi tersebut, produksi minyak mentah Indonesia pada tiga sampai lima tahun ke depan akan turun hingga 500.000 barel per hari.

Peranan migas makin berkurang dan Investasi sektor migas semakin mahal dan sulit, sementara harga minyak dunia terus mengalami penurunan drastis. Sumber gas yang ada belum dimaksimalkan ditambah penemuan cadangan yang terbatas jumlahnya. Situasi itu kini membuat pemerintah tunggang langgang. Untuk menjaga agar defisit anggaran tidak mencapai angka 3 %,  pemerintah dan DPR salah satunya bersepakat menurunkan besaran cost recovery dari US $ 11,9 milyar menjadi US $ 8 milyar dalam RAPBNP 2016 dan untuk itu SKK migas meminta agar asumsi lifting minyak dikurangkan dari 800 ribu barel per hari ke angka 740 hingga 760 ribu barel perhari, sementara produksi gas pada angka 1,1 hingga 1,2 juta barel setara minyak per hari dengan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sektar US$ 40 sd US$ 50 per barel Akibatnya investasi migas akan semakin tidak menarik bagi investor.

Produksi minyak turun sementara produksi gas mengalami kenaikan, namun daya serap masyarakat terhadap gas belum memadai karena transisi dari BBM ke BBG tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur hingga ketengah-tengah masyarakat. BUMD migas hulu dan hilir yang semestinya dijadikan ujung tombak  karena memiliki akses dan pengaruh langsung kepada kesejahteraan masyarakat lokal, justru dibiarkan mati perlahan didalam tekanan persaingan pasar bebas yang tidak seimbang serta regulasi yang tidak berpihak. Indonesia diperkirakan akan menjadi net gas importer pada tahun 2030. Konsumsi  migas terus meningkat, bahkan terus didukung dengan kebijakan subsidi BBM walaupun kemampuan keuangan negara sedang lemah. Dan ironisnya konsumsi yang tinggi itu tidak bisa dipenuhi dari hasil produksi sendiri, namun bergantung kepada minyak import.

Di bidang minerba kebijakan baru besaran royalty, divestasi dan larangan ekport konsentrat dan kewajiban membangun smelter masih berjalan lambat dan ditandai ketidak taatan investor dan lemahnya nilai tawar pemerintah. Sekalipun ditunjang kebijakan kenaikan royalty komoditas minerba, emas naik dari 1 % menjadi 3,75 %, tembaga naik dari 3,75 % menjadi 4 %, perak naik dari 1 % menjadi 3,25  %, nikel naik dari 0,9 % menjadi 2 %, logam naik 0,7 menjadi 1,5 %, namun belum bisa berjalan secara effective dalam membantu keuangan negara.

Indonesia juga memiliki berbagai sumber Energi baru terbarukan (EBT) seperti micro hydro, biomasa, energi matahari, angin, nuklir dan panas bumi. Namun pengembangan EBT terlihat masih menghadapi kendala terutama dari rendahnya kesadaran masyarakat terhadap arti penting EBT bagi masa depan Indonesia. Sementara pemerintah kurang massif dalam mengkampanyekan EBT, namun sebaliknya justru cenderung memfasilitasi rakusnya pasar dan sikap konsumtif masyarakat kepada bahan bakar fosil. Pemerintah harus secara massif mendorong EBT lebih ke depan dengan program-program lintas sektoral yang komprehensif di bawah payung kesadaran menghadapapi krisis.

Beberapa catatan di atas mengingatkan kita betapa krisis energi sudah menghampiri kita.  Marilah kita manfaatkan waktu yang tersisa untuk bersatu padu mewujudkan ketahanan energi.  Untuk menghadapinya diperlukan kesadaran bersama dan kebijakan yang kuat  dan berkesinambungan dari Menteri ESDM dibawah pemerintahan yang berwibawa, kuat dan berdaulat dengan tujuan memenuhi hak-hak dasar warga negara.

Kamis, 22 September 2016





Merumuskan Posisi SKK Migas


Merumuskan Posisi SKK Migas
(koran Kontan 9 September 2016)

Oleh : Junaidi Albab Setiawan

Advokat / Pengamat Hukum Migas

Saat ini DPR RI  sedang melakukan  revisi terhadap UU Migas No 22 tahun 2001 sesuai prolegnas 2016. Salah satu poin revisi yang sedang dibicarakan adalah posisi Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Muncul berbagai pendapat tentang apa dan bagaimana sebaiknya  SKK Migas diposisikan. Ada yang berpandangan agar SKK Migas dikembalikan ke Pertamina, ada juga yang berpendapat agar dibubarkan saja dan ada pula yang berpikir agar dijadikan BUMN khusus bisnis hulu dan langsung dibawah kendali Presiden.

Terlepas dari berbagai pandangan dengan masing-masing argumentasinya, satu yang pasti dari perbedaan tersebut menunjukkan dikalangan legislator masih belum ditemukan kesepahaman mengenai apa, mengapa dan bagaimana SKK Migas diposisikan di mata hukum. Padahal penempatan pembangunan energi migas dan listrik sebagai salah satu dari pilar megastuktur selain maritim, pangan dan papan, oleh pemerintah Jokowi, menuntut adanya UU Migas dan lembaga pendukung yang kuat. 

 

Posisi SKK Migas

SKK Migas dibentuk berdasar Peraturan Presiden No. 9/2013 sebagai tindak lanjut dari Perpres  95/2012 tentang pengalihan pelaksanaan tugas dan fungsi kegiatan usaha hulu migas yang terbit pada tanggal 13 November 2012. Hari yang sama dengan saat  putusan MK No. 36/PUU/XI/2012 yang membubarkan BP Migas dibacakan. Menurut ketentuan itu SKK Migas adalah lembaga yang bersifat darurat untuk mengisi kekosongan hukum akibat putusan MK. Pembentukan itu  didasari oleh alasan agar paska dibubarkannya BP Migas, iklim investasi tidak terganggu dan kepastian hukum tetap terjaga di kalangan kontraktor bisnis hulu migas.

Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut maka pemerintah berdasarkan Pasal 4 (1) UUD 45 mengambil alih fungsi badan Pelaksana dan melimpahkannya ke kementerian ESDM. Langkah itu sesuai bunyi amar putusan Mahkamah Konstitusi, pada huruf 1.7 bahwa : Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan oleh Pemerintah Cq. Kementerian terkait sampai diundangkannya undang-undang yang baru yang mengatur hal tersebut.

Namun selanjutnya pemerintah membentuk satuan kerja khusus yang disebut SKK Migas yang berperan mengambil alih fungsi dan tanggung jawab BP Migas, pembentukan SKK Migas ini sesungguhnya menimbulkan kerancuan.  Jika mengikuti bunyi putusan MK dan Perpres 95/2012, peran dan tanggung jawab itu seharusnya dilaksanakan oleh kementerian ESDM.  Posisi SKK Migas yang rancu ini harus segera diluruskan oleh UU Migas baru agar sejalan dengan sistem pengelolaan hulu hilir Migas, ketentuan perundang-undangan dan putusan MK. Bergaduh mencari posisi SKK Migas tidak berlandaskan kepada hal-hal prinsip ibarat membangun rumah tanpa menimbang pondasinya.

Negara dan UU Migas

Dalam merumuskan posisi, fungsi dan peran SKK Migas seharusnya jangan pernah bergeser dari amanat konstitusi. Sepanjang ketentuan pasal 33 ayat 2 dan 3 belum berubah, maka Migas bukanlah komoditi bebas dan posisi SKK Migas pada dasarnya adalah instrument kepanjangan tangan negara. Migas yang didapat dari dalam bumi Indonesia maupun migas yang diimport yang selanjutnya  masuk dalam cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak tetap dibawah penguasaan dan kendali negara dan dilaksanakan oleh suatu lembaga pelaksana melalui mekanisme “Kuasa Pertambangan”.

Mengapa harus negara yang menguasai migas, mari kita cermati uraian Bung Karno dalam menjelaskan peran Migas di mata negara. “Manusia untuk hidup harus bergerak, untuk bergerak butuh energi, energi didapatkan dari sumber energi dan salah satu sumber energi adalah Migas”.  Saat ini migas masih menjadi kebutuhan utama rakyat. Kebutuhan konsumsi BBM mencapai 400 juta barel per tahun dan diperkirakan konsumsi minyak nasional pada 2024 mencapai 2,6 juta barel per hari (Katadata 2015). Kita bayangkan seandainya sumber energi ini dikuasai segelintir orang yang bermodal kuat, maka akan terjadi tirani, kekacauan dan kesenjangan yang merugikan kepentingan kolektif bangsa. Oleh karenanya menjadi logis ketika founding father menetapkan agar sumber daya alam startegis hanya boleh dikuasai oleh negara.

Lalu bagaimana Migas diposisikan ditengah laju bergesernya Indonesia menjadi negara kapitalis semu (ersatz capitalism, Kunio Yoshihara 1988) akibat desakan pasar bebas yang menguasai praktek ekonomi saat ini. Jika kita konsisten merujuk kepada sistem ekonomi Pancasila, maka menurut Muhammad Hatta, berjalannya roda ekonomi tidak ketat seperti sistem ekonomi etatisme ataupun liberal. Ia adalah kebebasan dengan tanggung jawab, keteraturan tanpa mematikan inisiatif rakyat, mengejar masyarakat adil dan makmur atas dasar landasan demokrasi ekonomi. Karena Negara adalah organisasi rakyat yang berbeda beda latar belakang dan kepentingannya, maka tanggung jawab penguasaan atas kekayaan alam strategis dan menguasai hajat hidup rakyat dipercayakan kepada Negara dan Negara diwajibkan menyelenggarakan dengan cara yang berkeadilan sekalipun diperlukan keterlibatan aparat ekonomi negara namun tidak mematikan inisiatif rakyat. Maka pengelolaan migas oleh negara menurut sistem ini tetap membuka peluang partisipasi swasta.

Kuasa Pertambangan Migas

Posisi SKK Migas juga sangat bergantung kepada rumusan tentang “Kuasa Pertambangan” Migas. Untuk menjembatani cita-cita ideal negara sebagai penguasa migas dengan kegiatan nyata berupa eksplorasi dan eksploitasi dan distribusi, diperlukan jembatan hukum yang disebut “Kuasa Pertambangan”. Sehingga sebelum menentukan dimana posisi SKK Migas maka pembentuk Undang-undang harus mampu merumuskan pengertian kuasa pertambangan ini terlebih dahulu. Ironisnya hingga kini kita belum mampu merumuskan pengertian kuasa pertambangan yang kokoh serta mewakili kehendak negara.  

Jika kita kilas balik, pada awalnya definisi kuasa pertambangan menurut UU Migas Nomor 44/PRP/1960 adalah “Wewenang yang diberikan kepada Perusahaan Negara untuk melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi.” Jelas dari  definisi itu yang dikuasakan adalah “melaksanakan usaha”. Sedangkan usaha pertambangan migas tersebut meliputi kegiatan pengelolaan berupa: (1) Ekplorasi, (2) Eksploitasi, (3) Pemurnian, (4) Pengangkutan dan (5) Penjualan.

Dahulu di awal kemerdekaan,  situasi ekonomi yang sulit membuat para pemimpin harus mencari jalan keluar. Saat itu pemerintah  memandang migas sebagai potensi pendapatan, namun sebagai negara baru, Indonesia masih  lemah dalam pengaturan, permodalan, keahlian dan ketiadaan perangkat infrastruktur pendukung.  Dimasa penjajahan, pertambangan migas dilakukan dengan cara memberikan konsesi kepada perusahaan pertambangan dan diatur dalam Indische Mijnwet Staatblad 1899 No. 214. Perusahaan berkuasa penuh sebagi pemilik (right in rem) nyaris tanpa pengawasan, negara hanya mendapatkan royalty yang tidak sepadan. Maka setelah merdeka, Perusahaan dipaksa tunduk kepada negara.

Maka UU Migas 1960 memusatkan kuasa pertambangan kepada suatu badan usaha yakni Pertamina berdasar UU No 8 tahun 1971. Kepada Pertamina diberikan wewenang menjalankan bisnis migas yang meliputi  seluruh wilayah hukum pertambangan Indonesia. Saat itu Pertamina berperan ganda sebagai regulator sekaligus operator. Namun dalam prakteknya posisi dominan Pertamina ini ternyata rawan disalah gunakan. Akhirnya Pertamina dianggap gagal mengemban wewenang kuasa pertambangan.

Akibatnya paska reformasi rumusan Kuasa Pertambangan dirubah dengan menerbitkan UU Migas baru No 22 tahun 2001. Menurut UU Migas No.22/ tahun 2001, Kuasa Pertambangan adalah, Wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi.” UU Migas 2001 memberikan kuasa pertambangan kepada pemerintah bukan lagi kepada perusahaan. Wewenang yang diserahkan kepada pemerintah adalah untuk menyelenggarakan kegiatan usaha hulu migas. Kegiatan hulu migas selanjutnya dipercayakan kepada Badan Pelaksana, suatu badan hukum milik negara yang tidak bertujuan mencari keuntungan namun secara kontradiktif memiliki tugas untuk menandatangani kontrak usaha hulu migas, padahal dimata hukum, kontrak dan keuntungan itu bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan ( ……. KUHPerdata).

Selanjutnya karena alasan inkonstitusional, ketentuan tentang Badan pelaksana ini dibatalkan oleh putusan MK No. 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012. Wewenang badan pelaksana oleh putusan MK kemudian dialihkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan bidang migas sampai diterbitkannya UU Migas baru. Untuk itulah kemudian terbit Perpres 95/2012 yang mengatur tentang pengalihan pelaksanaan tugas dan fungsi kegiatan usaha hulu migas kepada menteri ESDM dan dilanjutkan dengan terbitnya Perpres  No. 9/2013, yang mengatur kegiatan usaha hulu migas diselenggarakan oleh SKK Migas.

Kedua perpres ini sesungguhnya saling bertentangan. Perpres 95/2012 mengalihkan pelaksanaan tugas, fungsi dan organisasi Badan pelaksana kepada Kementerian ESDM, sedang Perpres 9/2013 (ps 2) pelaksanaan tugas pengelolaan kegiatan usaha hulu migas dilaksanakan oleh SKK Migas, sedang menteri hanya bertugas membina, mengkoordinir dan mengawasi namun tidak melaksanakan. Padahal perintah putusan MK adalah agar fungsi dan tugas badan Pelaksana dilaksanakan oleh Kementerian ESDM.

Pemerintah saat itu rupanya gagal paham, akibatnya keberadaan SKK migas justru menyalahi perintah putusan MK. Kesalahan ini semakin diperparah dengan pembentukan Komisi Pengawas SKK Migas yang dipimpin oleh menteri ESDM yang seharusnya menjadi pelaksana, ditambah ketentuan Kepala SKK Migas diangkat dan diberhentikan dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Sehingga tidak salah jika situasi ini selanjutnya disalah pahami oleh para legislator seolah-olah SKK Migas bukan merupakan organ dari kementerian ESDM namun suatu badan baru dibawah Presiden selayaknya BP Migas dahulu.
Posisi SKK Migas sangat tergantung kepada landasan filosifis dan peraturan-peraturan dasar Migas.  SKK Migas dengan model sekarang tidak bisa dipertahankan karena tidak taat asas bahkan melangkahi putusan MK. Posisi SKK Migas kedepan sangat ditentukan oleh rumusan kuasa pertambangan dalam UU Migas baru. Jika kuasa pertambangan tetap diberikan kepada pemerintah maka SKK Migas sebaiknya dikembalikan menjadi organ kementerian ESDM yang khusus bertugas mengurusi regulasai, perizinan dan pengawasan kegiatan hulu migas. Sedangkan untuk menjalankan usaha hulu dilakukan oleh BUMN yang dapat  bekerja dengan perusahaan manapun yang memiliki keahlian dan modal, mengingat kegiatan usaha hulu migas adalah padat modal serta beresiko tinggi dan penuh ketidak pastian.