Rabu, 27 September 2017

MENJELANG KRISIS MIGAS (KOMPAS 19 September 2017)


Menjelang Krisis Migas

                

Situasai global berkenaan industri migas sungguh tidak lagi dapat dihitung dan diprediksi hanya dengan perangkat ilmu ekonomi. Sekalipun kebutuhan akan migas semakin meningkat dari tahun ke tahun, namun seolah berlawanan dengan hukum penawaran (supply) dan permintaan (demand), harga Migas global justru terus menerus mengalami penurunan. Situasi itu tentu memukul Industri hulu migas dunia sehingga industri ini menjadi kurang bergairah.

Indonesia tidak terkecuali menerima imbas dari ketidak pastian itu. Sekalipun kebutuhan BBM dalam negeri semakin meningkat namun produksi terus menurun dari waktu ke waktu. Berbagai kebijakan pemerintah telah dikeluarkan bahkan  diganti dan direvisi dengan maksud guna menggairahkan investasi di hulu migas, namun upaya itu belum mampu menarik para investor. Situasi ini diperberat dengan “kebijakan BBM satu harga” di seluruh wilayah negeri baik di wilayah tertingga, terdepan dan terluar (3T) yang bertujuan mulia (Permen ESDM No. 36 tahun 2016). Sekalipun kebijakan ini dikatakan oleh Pertamina “bukan soal untung dan rugi” (Kompas 19/12/2016), namun kebijakan itu secara ekonomi barang tentu menambah beban keuangan negara (Pertamina), mengingat beragamnya tingkat kesulitan distribusi akibat alat, lokasi dan infrastruktur yang berbeda-beda di berbagai wilayah tanah air. 

Situasi ini nampaknya bukan semata-mata soal ekonomi, namun meliputi aspek lain terutama menyangkut konstelasi politik global. Jika situasi ini tidak segera dicarikan jalan keluar dan dihadapi dengan cara ekstra hati-hati dengan perangkat pengetahuan dan lintas disiplin keilmuan, maka Indonesia akan segera memasuki era krisis migas dan semakin bergantung kepada pihak luar.

Kilas Perkembangan     

Indonesia pernah merasakan zaman keemasan saat masih  memiliki cadangan migas yang cukup pada tahun 70an. Namun saat ini secara perlahan tapi pasti produksi migas terus  mengalami penurunan. Indonesia semula adalah negara kaya minyak dan pernah  menjadi anggota OPEC, namun kini bergeser menjadi negara pengimport akibat kebutuhan migas jauh melampaui hasil produksi.

 Dahulu cadangan minyak Indonesia yang sudah terbukti mencapai sekitar 27 miliar barrel. Tapi kini per Desember 2015 tinggal menyisakan cadangan sebanyak 3,6 miliar barrel, setara 0,2 persen cadangan minyak dunia. Data dari Badan Pusat Statistik yang dipublikasi di awal tahun 2017 juga menunjukkan  bahwa   produksi Minyak mentah dan Kondensat berangsur-angsur mengalami penurunan (natural decline). Pada tahun 1996 produksi minyak mentah dan kondensat mencapai 548,648 juta barel, pada tahun 1999 menjadi 494, 643 juta barel dan pada tahun 2015 menjadi 386,814 juta barel.  Cadangan gas Indonesia pun tak lebih banyak daripada minyak. Menurut BP Statistical Review of World Energy pada 2015, saat ini Indonesia memiliki cadangan gas di kisaran 100 TSCF, setara 1,5 persen cadangan gas dunia (Kompas 18/8/2016), suatu penurunan jumlah cadangan yang cukup drastis.

Saat ini  pengelolaan dan pemanfaatan migas di Indonesia menghadapi beberapa kendala. Pada sisi pasokan kendala itu berupa penurunan jumlah cadangan, mahalnya biaya eksplorasi dan eksploitasi, lamanya masa penemuan ke produksi (first oil) antara 13 sd 15 tahun, serta iklim investasi yang kurang mampu menarik investor. Jika ingin meningkatkan produksi migas, menurut Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA), Indonesia harus bersaing ketat untuk memperebutkan  alokasi dana investasi migas dunia yang sangat kecil.

Pemerintah nampaknya juga sedang berpikir keras untuk meningkatkan produksi migas dengan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara sekaligus menarik investor. Diantarnya penerbitkan Permen ESDM No.8 tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Melalui skema ini pemerintah berharap dapat memicu efisiensi pengelolaan biaya, menyederhanakan birokrasi, serta mempercepat dan mengefektifkan eksplorasi juga eksploitasi. Namun kebijakan baru yang membebankan biaya operasi sepenuhnya kepada kontraktor ini ternyata juga kurang mendapatkan sambutan positif dari kalangan K3S. Mengingat saat ini industri migas sedang menghadapi masa sulit, kalangan K3S juga sedang berusaha untuk menurunkan biaya dan meningkatkan efisiensi operasional agar dapat bertahan. Sehingga wajar jika sekarang terjadi penurunan nilai investasi dari tahun ke tahun, dari US $ 15,34 pada tahun 2015 menjadi US $ 11,02 miliar di tahun 2016.

Belum lagi Permen ESDM No.8 tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split  ini berusia seumur jagung, pemerintah telah mengoreksinya dengan menerbitkan Permen ESDM No. 52 Tahun 2017. Permen ESDM ini menunjukkan keseriusan  pemerintah untk menggairahkan iklim investasi hulu migas. Melalui Permen terbaru ini Pemerintah menambah prosentase bagian K3S melalui revisi yang  menyangkut 8 hal penting. Pertama, jika produksi migas kurang dari 30 MMBOE (million barrels of oil equivalent), kontraktor akan mendapatkan bagi hasil 10 % dari yang sebelumnya 5 %. Kedua, kontraktor mendapatkan insentif tambahan 3 % jika melakukan pengembangan lapangan migas yang kedua dalam blok migas yang sama. Ketiga, jika terjadi penurunan harga migas (pasal 9) kontraktor mendapatkan tambahan bagian sebesar 11,25 % dari 7,5 % sebelumnya dengan formula (85-ICP) X 0,25 %. Keempat, terdapat penambahan komponen progresif harga gas yang belum diatur sebelumnya. Kelima, penambahan besaran split pada tahapan produksi sekunder sebasar 6 % dari sebelumnya 3 %. Keenam, perubahan komponen varabel kandungan hydrogen sulfrida (H2S).  Ketujuh, penambahan split untuk wilayah kerja yang sama sekali belum tersedia infrastruktur penunjang (new frontier). Kedelapan, adalah diskresi menteri ESDM yang berwenang memberikan tambahan atau pengurangan slit yang didasarkan pada aspek komersial lapangan (MigasReview, 09/9/17).

Revisi dan penambahan ketentuan di atas diklaim sebagai jalan tengah yang diambil berdasarkan masukan dari berbagai pihak. Sekalipun demikian cara ini belum tentu akan membuahkan hasil sebagaimana diharapkan oleh pemerintah dalam waktu dekat ini. Sehingga terlampu pagi untuk diukur tingkat keberhasilannya.

Data dari rencana strategis (Renstra) kementerian ESDM periode tahun 2015-2019 menggambarkan bahwa pada tahun 2013 kebutuhan BBM Indonesia tercatat sebesar 1,3 juta barrel per day (bpd). Sehingga untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri diperlukan impor BBM sekitar 600 ribu bpd dengan nilai lebih dari Rp 1 triliun per hari. Jumlah ini tentu akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Selain itu Indonesia juga melakukan impor minyak mentah untuk input kilang BBM dalam negeri. Produksi minyak mentah Indonesia sekitar 800 ribu bpd, tetapi ironisnya tidak seluruhnya dapat diolah di Kilang BBM dalam negeri.

Sekitar 40% produksi minyak mentah Indonesia diekspor karena tidak semua spesifikasi kilang BBM dalam negeri cocok untuk mengolah minyak mentah Indonesia. (Renstra migas 2015/2019).  Penemuan cadangan minyak baru juga kian menjauh dari harapan. Laju penemuan cadangan dibandingkan dengan produksi atau Reserve to production ratio (RRR) sekitar 55%.  Idealnya jumlah minyak yang diproduksi  harus sebanding dengan cadangan yang ditemukan yakni pada RRR sebesar 100% atau lebih. Sekalipun jumlah cadangan migas dapat berubah tergantung pada penemuan cadangan-cadangan baru, namun kondisi sekarang sudah cukup menjadi pertanda krisis migas kian menjelang.

Krisis Migas

Pada bulan April dan Mei lalu, pada saat yang hampir bersamaan diselenggarakan “Forum Hukum Migas” oleh SKK Migas  dan “Diskusi Nasional Kebijakan Energi Nasional” oleh Pusat Studi Energi UGM, di Yogyakarta dan kemudian  disusul dengan  Konvensi dan Pameran IPA ke-41. Ketiga forum ilmiah itu memberikan pesan kuat bahwa saat ini migas semakin sulit didapat, serta merekomendasikan agar kita mulai lebih bijak dalam memanfaatkan sumber-sumber energi khususnya migas, serta mendorong penggunaan energi alternative baru terbarukan (OBT) dan ramah lingkungan yang bertumpu kepada kearifan lokal (local wisdom).

Jika pemerintah gagal menggiatkan pencarian sumur-sumur migas baru, maka di masa depan capain fiscal dari hasil lifting minyak mentah yang ditargetkan oleh pemerintah akan semakin sulit diraih. Terlebih lagi jika masyarakat juga tidak segera diperkenalkan dan diarahkan untuk memanfaatkan sumber-sumber energi baru yang terbarukan, maka lambat tapi pasti Indonesia akan segera memasuki jurang krisis energi. Indonesia akan semakin bergantung kepada import yang tentu saja akan menggerus kemandirian dan kedaulatan energi yang dicita-citakan.
Mengingat saat ini migas masih menjadi penopang utama (20 % lebih) biaya pembangunan (APBN), maka krisis migas dipastikan akan membawa dampak berantai dan menjadi pemicu munculnya krisis-krisis lain yang membahayakan negara. Karenanya sudah sangat mendesak saat ini untuk memperkenalkan  sikap mental waspada krisis kepada masyarakat agar masyarakat dengan kesadaran penuh lebih terencana dalam   menghadapi krisis migas sehingga tidak berkembang menjadi krisis kemanusiaan.  

Sabtu, 29 Juli 2017

Gross Split Sebagai Alternatif (KOMPAS)

GROSS SPLIT SEBAGAI ALTERNATIF
Oleh : Junaidi Albab Setiawan,
Advokat, Pengamat Hukum Migas
              
Cost Recovery kembali menjadi perhatian ditengah situasi kesulitan pendanaan pembangunan yang sedang dihadapi negara. Untuk menghemat pengeluaran, pemerintah tidak ingin lagi mengobral  Cost Recovery, namun juga tetap berharap agar investasi di bidang minyak bumi terus meningkat. Salah satu caranya adalah menawarkan kontrak bagi hasil Gross Split melalui Permen ESDM No. 8 tahun 2017   yang dinilai tidak merepotkan dan membebani negara. 

Di atas kertas Cost Recovery yang tinggi akan berakibat berkurangnya pendapatan negara seiring berkurangnya bagian negara. Sebaliknya semakin kecil   Cost Recovery semakin besar bagian negara.  Namun hukum sebab akibat itu ternyata tidak serta merta berlaku, menekan Cost Recovery ditengah situasi ketidak pastian harga minyak dunia justru membuat investor semakin tidak tertarik berinvestasi dan produksi minyak tetap menurun. 

Dalam situasi sekarang pemerintah harus berhati-hati mengambil jalan tengah antara kepentingan negara sebagai penguasa migas, berhadapan dengan kepentingan investor. Tentu saja dengan tetap memperhitungkan sifat bisnis minyak yang unik karena mahal, rumit dan berjangka waktu lama. Semangatnya bukan semata-mata memperkecil atau bahkan menghilangkan Cost Recovery, namun harus lebih fokus kepada pengendalian, efisiensi dan pengawasan.

Inti Cost Recovery
Operasi perminyakan Indonesia saat ini lebih banyak memilih model hubungan kontrak bagi hasil atau production sharing contract (PSC). PSC adalah model kerjasama  buah pemikiran bangsa Indonesia . Dahulu PSC secara tegas dipilih sebagai pilihan model hubungan di dalam UU No. 8 Tahun 1971 tentang Petamina dan selanjutnya diatur lebih rinci dalam PP No. 35 tahun 1994.

PSC diatur dalam  pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang Migas. Pasal ini mengatur bisnis hulu migas dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak bagi hasil atau kontrak lain yang paling menguntungkan negara. Saat ini PSC masih dinilai sebagai model yang paling menguntungkan karena negara terbebas dari risiko rugi di tahap eksplorasi dan ekploitasi. Modal yang ditanggung oleh kontraktor dihitung sebagai biaya operasi yang hanya dikembalikan jika kegiatan usaha hulu menghasilkan produksi komersial.  

Migas adalah kekayaan alam yang langsung “dikuasai” oleh negara. Hak menguasai negara ini selanjutnya diimplementasikan melalui mekanisme “kuasa pertambangan”, dimana pemerintahlah yang bertindak sebagai wakil negara. Dengan demikian kontrak bagi hasil sejatinya adalah pertemuan antara negara yang diwakili oleh pemerintah, berhadapan dengan perusahaan (K3S). Perusahaan  hanyalah kontraktor negara yang bekerja untuk negara.

Kontraktor wajib membawa modal dan teknologi serta menanggung resiko operasi perminyakan dalam suatu wilayah kerja. Biaya operasi yang digantikan termasuk biaya-biaya dalam kegiatan eksplorasi dan kegiatan produksi. Biaya operasi minyak inilah yang menjadi salah satu komponen yang akan menentukan besaran bagi hasil yang menjadi bagian negara dan kontraktor. Artinya “pendapatan kotor” kontraktor minyak berasal dari bagian bagi hasil yang diterima masing-masing pihak, ditambah biaya operasi. Sehingga  Cost Recovery merupakan konsekwensi logis sebagai kompensasi yang adil bagi kontraktor karena telah mengambil resiko rugi di depan.

Kendalikan dan Awasi
Cost Recovery selama ini  cenderung membengkak,  contohnya Cost recovery kepada K3S tahun 2015 yang justru melebihi penerimaan negara,   tercatat US$13,9 miliar, atau lebih tinggi dibanding penerimaan negara bukan pajak (PNBP) migas tahun sebelumnya di angka US$12,86 miliar. 

Selain itu temuan hasit pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) yang dilakukan BPK menunjukkan sumber kecurangan  Cost Recovery utamanya menyangkut  investment Cost Recovery  dan interest  Cost Recovery yang tidak sesuai dengan persetujuan SKK Migas, serta biaya tunjangan ekspatriasi untuk tenaga kerja asing. Kontraktor berkecenderungan ingin mengklaim semua pengeluaran sebagai  Cost Recovery, padahal tidak semua item biaya bisa dimasukkan dalam kategori yang boleh diganti.

Selain itu BPK menemukan adanya mark-up klaim  Cost Recovery yang ditagihkan kepada negara. Penggelembungan Cost Recovery  tahunan  ini menjadi modus sejak lama dan belakangan justru mengalami kenaikan sejak 2014. Sebelum periode tersebut, mark-up klaim Cost Recovery berada di bawah Rp 1 triliun, sebagaimana dilaporkan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) tentang indikasi penyimpangan penerimaan minyak dalam negeri dari tahun 2000-2007 mencapai Rp 40 triliun dari    Cost Recovery  (Kompas 19/6/2008).

Pada tahun fiskal 2011 sebesar Rp 0,28 triliun, namun pada 2012 dan 2013 klaim Cost Recovery terus melompat masing-masing Rp 0,86 triliun dan Rp 0,99 triliun. Bahkan pada 2014 lalu mark-up klaim Cost Recovery  menembus Rp 5,14 triliun,  untuk tahun fiskal 2015 mark-up klaim Cost Recovery  tercatat Rp 3,89 triliun  (Kompas 12/5/16).

Kontrak bagi hasil model Cost Recovery hanya perlu diawasi agar tidak bocor. Mengingat dalam sistem ini K3S hanyalah kontraktor, jika terdapat kebocoran  maka  yang harus diawasi  semestinya bukan hanya K3S namun juga pengawasnya yakni SKK migas dan ESDM sebagai pemegang otoritas, juga DPR berkaitan dengan fungsi budgeting, serta kemungkinan adanya intervensi. Mengapa demikian, Pemerintah melalui Perpres N0. 9 Tahun 2013 membentuk SKK Migas yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk menyelenggarakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak. Cost Recovery hanya dapat dikembalikan kepada K3S setelah mendapatkan persetujuan dari SKK migas yang memiliki otoritas untuk menilainya, sedang SKK migas adalah satuan khusus dibawah Kementerian ESDM.

Sedang DPR bertanggung jawab berkaitan dengan fungsi bugeting dan pengawasan yang disandangnya. Karenanya DPR harus ketat mengawasi cost recovery agar tidak mengganggu anggaran. Untuk itulah diperlukan kejelian, ketelitian dan kejujuran dari pemegang otoritas dalam bisnis hulu migas.

Alternatif Gross Split
Untuk mengatasi permasalahan seputar Cost Recovery, pemerintah menerbitkan Permen ESDM No. 8 tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Dalam sistem ini pembagian gross produksi dilakukan tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi. Dengan sistem ini resiko produksi ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor, sehingga pemerintah tidak perlu repot-repot dan tidak perlu membayar Cost Recovery. Pilihan itu dianggap oleh pemerintah lebih praktis dan efisien. Keterlibatan pemerintah jauh berkurang, efisien serta mengurangi kerumitan audit, birokrasi dan “loby-loby”.

Namun selain aspek praktis di atas perlu dipertimbangkan bahwa sistem ini akan berakibat kontrol negara terhadap produksi minyak dan kontrol negara atas pengelolaan reservoir jadi berkurang. Efficiency yang diusung pemerintah akan berakibat  rencana meningkatkan kegiatan eksplorasi 3 kali lipat dalam waktu 5 tahun ke depan akan terabaikan karena kontraktor lebih fokus memperbesar produksi untuk revenue daripada berisiko mengeluarkan biaya untuk eksplorasi.

Selain itu EOR (Enhance Recovery) dan lapangan marginal akan sulit dikembangkan karena membutuhkan biaya besar sedang Internal Rate of Return (IRR)nya kecil, sehingga bertolak belakang dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menginginkan peningkatan produksi. Ditambah  pengembangan sumber daya manusia (SDM) lokal akan terhambat, transfer teknologi dan tingkat pemakaian komponen dalam negeri (TKDN) akan sulit diimplementasikan (Andang Bachtiar, 2016).

Potensi terjadinya kebocoran juga cukup tinggi mengingat besaran bagi hasil antara bagian negara dengan bagian kontraktor tidak sama pada masing-masing wilayah kerja. Karena tergantung negosiasi yang mempertimbangkan komponen variable berupa besarnya cadangan migas, lokasi, kondisi dan kriteria, tingkat kesulitannya serta jenis lapangan migas apakah konvensional atau non-konvensional, dan komponen progresif yang terdiri produksi dan harga minyak bumi.

Besaran bagi hasil yang tertulis dalam permen 8/2017 untuk minyak bagian negara 53 % kontraktor 47 %, untuk gas bagian negara 58 % kontraktor 42 hanyalah patokan. Dalam proses negosiasilah kemungkinan intervensi dan penyalahgunaan kewenangan akan terjadi dan dampaknya berlangsung puluhan tahun sesuai jangka waktu kontrak. Selain itu sistem ini tentu tidak stabil  karena mengikuti fluktuasi harga dan besaran produksi.

K3S adalah badan usaha yang pada umumnya berpikir praktis ekonomis untuk mengejar keuntungan. Badan Usaha rela menanggung semua resiko produksi serta tidak mendapatkan Cost Recovery, tentu dengan syarat bebas dari pengekangan berupa rumitnya persyaratan yang menghambat produksi.  Maka merubah sistem ditengah UU Migas 2001 sebagai aturan utama yang masih labil dan situasi ketidak pastian harga minyak dunia, adalah ide pragmatis yang emosional. Kebocoran cost recovery bukanlah soal lemahnya sistem tetapi lebih disebabkan oleh lemahnya pengawasan dan integritas oknum pelaksananya. 

Kedaulatan Energi
Mengingat begitu erat hubungan antara besaran cost recovery  dengan APBN, maka menjaga komitmen moral para petugas pengendali dan pengawas menjadi sangat menentukan. Temuan dan hasil audit  BPK maupun BPKP mengindikasikan penyimpangan, penyalah gunaan dan lemahnya pengawasan. Maka perbaikan semestinya lebih focus kepada  pengendalian, pengawasan dan mendorong efisiensi. Namun demikian efisiensi tersebut harus tetap berlandaskan kepada tujuan dan kepentingan negara yang sudah diagendakan dalam kebijakan energi nasional (KEN).

Problem cost recovery adalah urusan praktis yang bisa diatasi dengan jalan praktis pula. Jika angka-angka yang ditagihkan adalah semestinya  sesuai aturan, maka cost recovery akan berlaku wajar. Sedangkan sistem Gross Split bisa saja ditawarkan sebagai alternative, namun tidak untuk dipaksakan karena tidak ada jaminan Gross split lebih menguntungkan dibanding Cost recovery. Kebijakan ini tidak akan dapat dirasakan dalam waktu dekat karena bisnis migas bukan kegiatan instan.


Revisi harus dilakukan secara berhati-hati dan utamanya untuk memelihara iklim investasi bisnis hulu minyak yang adil bagi semua pihak. Selain pemerintah memperoleh hasil yang maksimal, disaat yang sama industri migas harus tetap berlangsung baik dan memperoleh hasil dari jerih payah yang menjadi haknya. 

Kamis, 16 Maret 2017

MENJAGA INDEPENDENSI PERTAMINA (Kontan 4 Maret 2017)


MENJAGA PERTAMINA

Oleh : Junaidi Albab Setiawan

Advocat, Pemerhati Hukum Migas

 

Perubahan kebijakan sekecil apapun di tubuh PT. Pertamina (Persero) harus diwaspadai dan menjadi perhatian serius pemerintah.  Hal itu karena Pertamina saat ini menempati posisi strategis sebagai lokomotive  ekonomi negara sekaligus agen pemerintah dalam pemerataan pembangunan, khususnya sebagai panyedia utama kebutuhan energi migas bagi kehidupan ratusan juta manusia di Indonesia. Karena posisinya itulah maka Pertamina akan selalu dibutuhkan oleh negara dan dengan sendirinya menjadi daya tarik bagi para pemburu rente. Maka Pertamina harus diawasi dan dijaga agar tidak lagi mengalami salah urus yang merugikan.

Baru saja pemerintah membuat kebijakan merubah struktutur organisasi dan mekanisme operational Pertamina. Perubahan itu merupakan inisiatip  Dewan Komisaris Pertamina melalui surat usulan ke Kementerian BUMN  nomor 031/K/DK/2016,  tertanggal 8 Agustus, tentang revisi struktur direksi Pertamina (Kompas 11/08/2016). Tanpa dilakukan uji publik, usulan  tersebut dengan cepat ditanggapi dengan Keputusan Menteri BUMN Nomor SK-242/MBU/10/2016 tanggal 20 Oktober 2016, yang merubah nomenklatur jabatan dan pengalihan tugas direksi PT. Pertamina (Persero) dan dilanjutkan dengan RUPS tanggal 20 Oktober 2018 yang merubah anggaran dasar disesuaikan dengan kebijakan baru itu.

Sesuai dengan usulan komisaris, anggaran dasar baru tersebut menambah dua posisi baru dalam jajaran direksi, yakni Wakil Direktur Utama dan Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia. Sehingga komposisi Direksi Pertamina saat ini menjadi sembilan yang terdiri dari Direktur Utama, Wakil Direktur Utama, 7 Direktur sesuai bidang masing-masing. Dalam perubahan tersebut tugas Direktur Utama diposisikan sebagai Chief Executive officer, bertanggung jawab pada bagian hulu. Sedang Wakil Direktur Utama, diposisikan sebagai Chief Operating officer dari fungsi fungsi  hilir.

Belum lagi perubahan nomenklatur itu berusia tiga bulan, tiba-tiba pemerintah membuat kejutan lewat surat Keputusan Menteri BUMN No: SK-26/MBU/02/2017 tentang Pemberhentian dan Perubahan Nomenklatur Jabatan Anggota-anggota Direksi Perusahaan Perseroan PT Pertamina. Dwi Soetjipto dan Ahmad Bambang diberhentikan sebagai Direktur Utama dan sebagai Wakil Direktur Utama,  padahal yang bersangkutan belum genap tiga bulan menduduki jabatan itu. Alasan penggantian adalah karena timbulnya “ketidak harmonisan yang dapat mengganggu perusahaan” antara Direktur Utama dengan Wakil Direktur Utama.  Alasan tersebut terkesan sumir dan mengada-ada yang justru semakin  menandakan kebijakan baru itu dibuat tanpa perhitungan yang matang. Dalam tiga bulan terjadi pengangkatan dan pemecatan serta dua kali perubahan nomenklatur sungguh tragis terjadi pada perusahaan sekaliber Pertamina.

Dewan Komisaris Pertamina sebagai inisiator adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal ini. Dewan Komisaris telah  gagal memberikan alasan yang rasional dan memuaskan bagi publik. Kebijakan “pontang-panting” itu menandakan betapa lemahnya para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam menjaga Pertamina.  Perubahan itu cukup menarik perhatian karena tidak lazim, sehingga wajar jika memunculkan banyak spekulasi, diantaranya dugaan sedang terjadi pertempuran antar mafia , antara “pemain  lama vs pemain baru” yang sedang memperebutkan pengaruh  di Pertamina.

Merombak komposisi dan mekanisme di tubuh Petamina haruslah dilakukan dengan berhati-hati, penuh perhitungan, transparan dan tidak mengganggu produktivitas yang menimbulkan kerugian. Setidaknya ada tiga hal penting sebagai landasan perubahan. Pertama, setiap perubahan semestinya harus membuat Pertamina semakin kuat dan solid dalam memperjuangkan tujuan dan idealisme negara dalam mewujudkan kebijakan energi nasional sesuai amanat konstitusi. Kedua, Karena Pertamina bukan perusahaan biasa, maka setiap perubahan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada seluruh rakyat Indonesia. Perubahan tidak boleh membelah Pertamina menjadi berbagai kepentingan sehingga tidak dalam satu kendali yang mengganggu produktifitas. Ketiga, Pemerintah harus cermat dan teliti dalam memilih Komsaris dan Direksi agar Pertamina tidak disusupi oleh oknum demi mengeruk keuntungan pribadi, kelompok, golongan dan partai.

Pertamina dan Kedaulatan Energi

Ditengah situasi menejeman yang kacau tersebut ada baiknya perlu diingatkan apa sesungguhnya Pertamina. Memahami pertamina tidak bisa sekedar memotretnya pada posisi sekarang yang gemerlap, ekpansif dan berkelas dunia. Namun juga harus  melihat sejarah dan jatidiri Pertamina yang memiliki sifat khusus yang lebih berorientasi sosial. Keberhasilan Pertamina sebagai perusahaan tidak hanya diukur dari kemampuannya menumpuk keuntungan, namun juga dari perannya dalam memperkecil ketimpangan sosial di seluruh pelosok negeri.

Wajar jika Pertamina sekarang menjadi besar, karena konstitusi menempatkan bisnis Pertamina termasuk dalam jenis monopoli murni. Dan harus diingat keberadaan Pertamina sangat berkaitan dengan visi untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan energi. Karena itulah maka  Pertamina bukan entitas bisnis biasa, dipundaknya tersandang beban untuk mewujudkan visi negara dalam  mewujudkan migas yang adil bagi seluruh rakyat.

Jika ukurannya semata-mata pada prinsip-prinsip komersial, maka Pertamina sudah bangkrut sejak lama. Pertamina tidak tiba-tiba mejadi besar seperti sekarang ini, namun melewati masa jatuh bangun yang menyakitkan dan pada setiap kejatuhannya negara selalu hadir untuk menegakkan kembali, sekalipun rakyat tetap menanggung kerugiannya. Pasar tidak bisa menyelesaikan semua persoalan ekonomi. Intervensi Negara diperlukan untuk mengurangi dampak kegagalan pasar (market failure), kekakuan harga (price rigidities) dan dampak eksternalitas pada lingkungan alam dan social (Madhe Subha RKN, 2015). Maka tidak ada alasan bagi para pengurus sekarang untuk terlalu banga dengan angka-angka dan lupa dengan jati diri Pertamina.

Harus diingat sejarah Pertamina menunjukkan bahwa kerusakan Pertamina sering diakibatkan oleh bobroknya menejerial dari para pengurusnya.  Karenanya perubahan di tubuh Pertamina yang berisiko mencederai landasan filosofi negara dalam mengelola migas harus ditabukan. Pertamina harus diisi oleh orang-orang professional, berintegritas, jujur dan memahami jati diri Pertamina.  

Sejarah Pertamina

Sejarah Pertamina dimulai dari amanat UUD 45 pasal 33 yang menempatkan migas sebagai kekayaan negara yang hanya digunakan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Tugas utama Pertamina adalah sebagai operator dalam mewujudkan tujuan  itu. Dahulu migas hanya bisa dikelola oleh perusahaan negara, untuk itulah kemudian dibentuk Pertamina. Untuk mewujudkan visi konstitusi itu  diterbitkan UU Migas No. 44 tahun 1960 dan selanjutnya UU Pertamina No. 8 tahun 1971 yang menjadikan   Pertamina menjadi Integrated National Oil Company (NOC),   pemain tunggal yang menguasai hulu dan hilir sekaligus pemegang hak menguasai negara atas migas. Hal itu berlangsung hingga terjadinya  krisis ekonomi Asia 1998.

Krisis ekonomi itu merubah orientasi negara dalam mengelola migas dari kolektif sosial (Sila ke-5 Pancasila) menjadi liberal capital (laisses faire). Dengan lahirnya UU Migas No. 22 tahun 2001 dan  disusul UU BUMN No. 19 tahun 2003, kekuasaan negara atas migas dicabut dari Pertamina dipindahkan ke pemerintah. Konon peralihan itu atas desakan IMF karena Pertamina dianggap menjadi sarang KKN, selanjutnya Pertamina dirombak menjadi BUMN persero. Mulai saat itu migas diposisikan sebagai komoditas dagang biasa yang ditentukan oleh mekanisme pasar. Pertamina tidak lagi berperan sebagai regulator dan pengawas sebagaimana sebelumnya, fungsi ini kemudian dipindahkan kepada BP Migas sekarang SKK migas.

Saat ini Pertamina menjadi badan usaha biasa yang bebas untuk bersaing di hulu dan hilir, baik di dalam  maupun di luar negeri. Menyesuaikan dengan kebijakan itu kemudian visi Pertaminapun dirubah yakni “Menjadi Perusahaan Energi Nasional Kelas Dunia”. Selain itu Pertamina juga  diberi tugas khusus oleh negara dalam Public Service Obligation (PSO), diantaranya melaksanakan perpres No. 191 tahun 2014 dan permen ESDM  nomor 36 tahun 2016 untuk percepatan satu harga eceran BBM  di seluruh wilayah NKRI.

Pertamina dan Intervensi

Saat ini PT Pertamina (Persero) terus mengalami kemajuan dan berkontribusi signifikan terhadap upaya peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang pada 2016 diprognosakan mencapai US$ 940,95 miliar. Di tahun 2016 Pertamina telah menyetor pajak tidak kurang dari Rp 58 triliun (Dwi Sutjipto, 2016). Sebentar lagi pemerintah juga akan menjadikan Pertamina sebagai induk (holding) dari seluruh perusahaan migas yang dimiliki negara.

Pertamina menyelenggarakan usaha minyak dan gas bumi di sektor hulu hingga hilir. Bisnis sektor hulu  dilaksanakan di dalam dan luar negeri meliputi bidang-bidang eksplorasi dan produksi. Sekalipun dari segi kuantitas produksi belum termasuk dalam barisan 25 perusahaan minyak terbesar dunia seperti Aramco Saudi Arabia di urutan pertama   dan  Petronas di urutan ke-25, namun Pertamina terus menunjukkan kemajuan dan terakhir PT Pertamina Internasional Eksplorasi dan Produksi (PIEP), mampu membeli mayoritas saham Maurel & Prom merupakan perusahaan migas terbesar kedua di Prancis.  Pertamina juga melakukan pengeboran minyak di luar negeri di lapangan MLN Aljazair, di Irak dan Iran, di lapangan South Acis, Permas, dan Blok K di Malaysia, dll.

Kenyataan lain saat ini Indonesia adalah negara pengimport minyak karena kebutuhan dalam negeri yang semakin meningkat tidak dapat dipenuhi dari hasil produksi sendiri. Guna memenuhi kebutuhan Premium di 2016 Pertamina mengimpor sebanyak 96 juta barel dan 84 juta barel dari kilang pengolahan minyak mentah dalam negeri. Sedangkan untuk konsumsi Pertamax  tahun ini diperkirakan mencapai 1,8 juta barel yang berasal dari kilang dalam negeri 700 ribu barel dan 1 juta barel dari impor. Sementara untuk angka konsumsi solar tahun ini diperkirakan 156 juta barel.  Import tahunan yang cukup besar ini rawan penyimpangan KKN sehingga harus dijaga dan diawasi.

Melihat perkembangan itu maka bisnis Pertamina akan menarik siapapun terutama para pemburu rente dan mafia migas untuk menangguk keuntungan. Modus yang bisa dilakukan adalah mempengaruhi dan jika perlu menguasai keputusan bisnis Pertamina. Cara yang efektif adalah dengan menempatkan orangnya sebagai pengendali Pertamina. Karena Pertamina adalah BUMN hal itu bisa dilakukan dengan meminjam tangan melalui intervensi kekuasaan, melalui oknum-oknum pemerintah, partai politik, legeslatif dan kekuasaan lainnya. Intevensi kekuasaan inilah yang paling berbahaya bagi Pertamina.

Maka menjaga Pertamina adalah merawat Pertamina agar menjadi besar, transparan dan menguntungkan bagi negara. Pertamina harus dapat dengan bebas dan profesional  menjalankan misinya dalam lingkup lokal maupun  global untuk memenuhi kebutuhan migas dan mendatangkan keuntungan. Selain itu negara harus membentengi Pertamina dari segala bentuk intervensi yang dapat mengganggu independensi dan produktivitas perusahaan, karena intervensi demikian  sama artinya dengan mengkhianati konstitusi dan melecehkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Senin, 06 Februari 2017

MEMBUKA PERAN BUMD MIGAS (kompas 2 fEBRUARI 2017)


MEMBUKA PERAN BUMD MIGAS

Oleh Junaidi Albab Setiawan

Advocat, Pengamat Hukum Migas

Keseriusan pemerintah untuk mengangkat harkat BUMD Migas dalam kegiatan usaha hulu migas patut dihargai. Pemerintah secara resmi telah menerbitkan aturan tentang ketentuan penawaran Paticipating Interest sebesar 10 % pada wilayah kerja Migas, melalui Peraturan Menteri ESDM No. 37 Tahun 2016. Kebijakan ini sudah lama ditunggu-tunggu oleh kalangan daerah penghasil.

Permen ESDM ini telah memberi pondasi bagi keterlibatan BUMD migas secara adil dan proporsional. Isu-isu strategis menyangkut partsipasi daerah penghasil dalam kegiatan usaha hulu migas seperti batasan kepemilikan saham, prosedur penawaran dan permodalan talah terakomodir dengan komprehensip, setidaknya telah diberikan pintu masuk untuk pengaturan lebih lanjut sesuai kebutuhan lapangan ke depan.

Pemberian hak partisipasi daerah penghasil migas ini adalah kewajiban konstitusionil negara. Karena kekayaan alam yang bersumber dari bumi Indonesia dan menguasai hajat hidup rakyat, langsung dikuasai oleh negara dan hanya dipergunakan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Dikuasai oleh negara selama ini pengertiannya begitu sentralistis dan sempit  sebatas pemerintah pusat, perusahaan negara, pertamina, BP Migas, SKK Migas, BPH Migas, pendek kata segala sesuatu yang ada di level pemerintahan pusat. Sehingga timbul pertanyaan, lalu di mana posisi daerah penghasil yang mewilayahi proyek hulu migas ditempatkan?, apakah cukup menjadi penonton dan menunggu saja jatah imbal-balik melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) atau bentuk subsidi lainnya.

Pengertian dipergunakan untuk “sebesar-besar Kemakmuran rakyat” yang diamanatkan konstitusi seharusnya  tidak sentralistis. Kemakmuran rakyat itu bukan monopoli pusat,  namun  bersifat adil dan merata kepada seluruh rakyat secara proporsional, kuncinya adalah pada kata “proporsionalitas”. Sehingga tidak salah  dan bukan diskriminatif jika pemerintah berusaha memberi peran lebih kepada BUMD Migas daerah penghasil. Hak partsisipasi kepada daerah penghasil ini justru merupakan keharusan, karena daerah penghasillah yang langsung terpapar oleh berbagai aktivitas eksplorasi dan eksploitasi. Daerah penghasil menanggung risiko langsung dari berbagai eksese kegiatan, pencemaran lingkungan, penurunan kualitas alam serta menyaksikan sumber daya alam yang berada di wilyahnya terus dikuras setiap hari.

Karena kegiatan usaha hulu migas pada dasarnya adalah kegiatan bisnis untuk mendapatkan komoditi berupa migas, maka BUMD adalah wahana usaha yang mewakili kepentingan daerah, dibentuk oleh daerah dan diharapkan hasilnyapun akan  langsung dapat dirasakan oleh masyarakat di daerah penghasil.

Memastikan Misi Sampai

Konsepsi UU migas menetapkan bahwa migas adalah komoditi yang dikuasai langsung oleh negara dengan tujuan untuk semaksimal mungkin mewujudkan kesejahteraan rakyat. Negara dalam hal ini diwakili oleh pemerintah dan pemerintah terdiri dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Maka badan usaha yang paling relevan adalah BUMN dan BUMD. Sekalipun BUMN dan BUMD adalah entitas bisnis yang bertugas mengejar keuntungan, namun pemiliknya adalah negara untuk BUMN atau pemerintah daerah untuk BUMD, sehingga keuntungan sebagai hasil akhir usaha dapat dipastikan berada dalam kekuasaan negara atau pemerintah daerah yang menaungi dan bertanggung jawab langsung terhadap pemenuhan hajat hidup rakyat. Maka pemberian peran lebih kepada BUMD migas dalam peraturan ini harus dijaga dan dikawal agar tepat sasaran.

Maka yang cukup penting untuk dicatat dari ketentuan ini adalah satu BUMD Migas hanya dapat mengurus satu Paticipating Interest. Sehingga ketentuan baru ini terlihat lebih focus dan tegas ingin memastikan bahwa misi mengusung pemerataan kesejahteraan ini seluruhnya harus sampai kepada yang berhak yakni BUMD Migas yang didirikan oleh daerah penghasil, dan dengan tegas sekaligus menutup keterlibatan swasta dalam kepemilikan saham. 

Hak Partisipasi  ini hanya diberikan kepada BUMD yang 100 % dimiliki daerah atau Perseroan Daerah yang seluruhnya milik daerah atau setidaknya  99 % milik daerah dan 1 % oleh pihak yang terafeliasi dengan pemerintah daerah. Selama ini dikarenakan ketiadaan dana untuk mengambil hak partisipasi, pemerintahdaerah acapkali menggandeng swasta sebagai penyandang dana dan akibatnya pemberian hak partisipasi ini justru tidak tepat sasaran dan cenderung dikuasai oleh swasta pemilik modal.

Dengan ketentuan baru ini maka mulai saat ini kepala daerah dituntut untuk memberikan perhatian serius dan mulai melibatkan para ahli yang relevan, tidak lagi secara serampangan memilih pengurus-pengurus BUMD migas yang bukan ahlinya. Selama ini kecenderungan umum BUMD diisi oleh kroni-kroni kepala daerah yang seringkali mengabaikan kualifikasi dan kompetensi. Jika pemerintah daerah tidak segera merubah cara pandang dengan menyesuaikan paradigma baru yang diusung oleh Permen ESDM ini, maka niscaya akan gagal memanfaatkan peluang emas ini yang memang baru akan bisa dinikmati oleh daerah dalam kurun waktu lama kedepan.

Apa yang bisa dilakukan daerah dalam waktu dekat ini adalah, pertama,  bergabung dan memanfaatkan organisasi terkait yang sudah ada seperti Assosiasi Daerah Penghasil Migas (ADPM). Assosiasi ini penting untuk wahana komunikasi, tukar informasi antar daerah penghasil. Selain itu asosiasi ini dapat menyewa ahli dan menginisiasi pelatihan-pelatihan yang diperlukan oleh BUMD migas dan kepala daerah dan SKPD terkait, untuk terus mengup-date pengetahuan dan informasi. Dengan berbagai informasi yang masuk dari BUMD migas dan pemerintah daerah penghasil kepada ADPM, ADPM dapat sekaligus melakukan survey-survey untuk mengevaluasi tingkat kemajuan dan keberhasilan dari kebijakan pemerintah ini.

Kedua, adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Bisnis migas adalah bisnis khusus (lex spesialis) oleh karena itulah memerlukan UU tersendiri, seperti halnya bisnis perbankan yang memiliki UU tersendiri.  Sebagai pembanding,  dalam dunia perbankan selama ini seluruh propinsi  memiliki Bank Pembangunan Daerah (BPD), seperti Bank Jatim, Bank Sumsel Babel, bank Papua dll. Bisnis perbankan tersebut juga dijalankan oleh BUMD yang didirikan oleh pemerintah propinsi dengan pemegang saham oleh pemerintah kabupaten dan kota yang dilingkupi. Untuk kebutuhan itu daerah berhasil menyiapkan tenaga kerja perbankan yang  professional dan mampu mengikuti aturan Good Corporate Governance (GCG). Dengan mengambil perbandingan tersebut, dengan melihat kekhususan bisnis hulu migas yang  membutuhkan tehnologi tinggi,  keahlian khusus, permodalan yang mahal dan memerlukan jangka waktu lama, maka bisnis migas yang juga memiliki UU tersendiri harus tidak kalah dengan bisnis perbankan yang juga dijalankan oleh BUMD daerah.

Untuk menghindari instabilitas dan ekploitasi  terhadap BUMD Migas oleh elit daerah, sebagaimana sedang trend dalam dunia politik sekarang ini, maka perlu ditentukan syarat yang ketat bagi seseorang untuk bisa menjadi pengurus BUMD Migas. Perlu diatur bahwa penunjukan pengurus BUMD tidak menjadi domain mutlak dari kepala daerah. Terhadap calon pengurus BUMD Migas perlu dilakukan fit and proper test untuk memastikan kemampuan calon pengurus dalam mengurus.  Fit and proper test ini  sebaiknya dilakukan oleh Kementerian ESDM dan SKK Migas, agar BUMD migas tidak diurus oleh orang yang tidak professional. Hal ini juga telah diterapkan dengan baik pada BUMD perbankan yang mensyaratkan  pengurusnya telah lulus uji kepatutan dan kelayakan dari Otoritas jasa Keuangan (OJK). Jika diperlukan ditambah ketentuan bahwa untuk pemberhentian dan penggantian pengurus di tengah masa jabatan, hanya dapat dilakukan setelah berkonsutasi dengan SKK Migas dan Kementerian ESDM. Uji kompetensi ini juga perlu ditinjau setiap kurun waktu tertentu untuk memantau perkembangan kemampuan dan mengevalusi kegiatan yang sudah dilakukan.

Sedang keterkaitan BUMD migas sebagai entitas bisnis dengan kementerian dalam negeri yang selama ini cenderung membingungkan, maka sebaiknya hubungan itu dibatasi sekedar hubungan kosultatif dan bukan koordinatif. Peran Departemen dalam negeri lebih kepada peran sinkronisasi antar daerah, otonomi daerah dan penentuan bagi hasil bagi hak partsisipasi suatu wilayah kerja yang meliputi dua atau lebih daerah yang saling beririsan.

Pintu telah dibuka oleh pemerintah dan kepercayaan sepenuhnya telah diberikan kepada BUMD Migas. Esensi pembangunan adalah pemerataan kesejahteraan kepada seluruh rakyat, disinilah BUMD migas diberi peran yakni sebagai agen pemerataan pembangunan itu. BUMD yang berhasil akan berhasil pula menjadikan daerah penghasil  sebagai pusat pertumbuhan baru di setiap kawasan keberadaannya.  Kini tergantung apakah daerah penghasil mampu menangkap pesan itu dan mampu memanfaatkan peluang yang diberikan untuk secara langsung terlibat dalam kegiatan usaha hulu migas di wilayahnya. Peluang itu sepenuhnya bertujuan untuk membagi kesejahteraan kepada masyarakat daerah penghasil melalui BUMD. Peluang itu hanya dapat dicapai  jika daerah penghasil mau terus belajar untuk membangun diri dan mampu menyiapkan sumber daya manusia yang profesional, mampu menyingkirkan ego politik dan kekuasaan dari para elit daerah dengan lebih mengutamakan kepentingan rakyat dalam jangka panjang. Jika tidak, maka selamanya daerah penghasil hanya akan menjadi penonton yang terus didekte karena dianggap sekedar objek dari hiruk pikuknya pembangunan.