Senin, 06 Februari 2017

MEMBUKA PERAN BUMD MIGAS (kompas 2 fEBRUARI 2017)


MEMBUKA PERAN BUMD MIGAS

Oleh Junaidi Albab Setiawan

Advocat, Pengamat Hukum Migas

Keseriusan pemerintah untuk mengangkat harkat BUMD Migas dalam kegiatan usaha hulu migas patut dihargai. Pemerintah secara resmi telah menerbitkan aturan tentang ketentuan penawaran Paticipating Interest sebesar 10 % pada wilayah kerja Migas, melalui Peraturan Menteri ESDM No. 37 Tahun 2016. Kebijakan ini sudah lama ditunggu-tunggu oleh kalangan daerah penghasil.

Permen ESDM ini telah memberi pondasi bagi keterlibatan BUMD migas secara adil dan proporsional. Isu-isu strategis menyangkut partsipasi daerah penghasil dalam kegiatan usaha hulu migas seperti batasan kepemilikan saham, prosedur penawaran dan permodalan talah terakomodir dengan komprehensip, setidaknya telah diberikan pintu masuk untuk pengaturan lebih lanjut sesuai kebutuhan lapangan ke depan.

Pemberian hak partisipasi daerah penghasil migas ini adalah kewajiban konstitusionil negara. Karena kekayaan alam yang bersumber dari bumi Indonesia dan menguasai hajat hidup rakyat, langsung dikuasai oleh negara dan hanya dipergunakan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Dikuasai oleh negara selama ini pengertiannya begitu sentralistis dan sempit  sebatas pemerintah pusat, perusahaan negara, pertamina, BP Migas, SKK Migas, BPH Migas, pendek kata segala sesuatu yang ada di level pemerintahan pusat. Sehingga timbul pertanyaan, lalu di mana posisi daerah penghasil yang mewilayahi proyek hulu migas ditempatkan?, apakah cukup menjadi penonton dan menunggu saja jatah imbal-balik melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) atau bentuk subsidi lainnya.

Pengertian dipergunakan untuk “sebesar-besar Kemakmuran rakyat” yang diamanatkan konstitusi seharusnya  tidak sentralistis. Kemakmuran rakyat itu bukan monopoli pusat,  namun  bersifat adil dan merata kepada seluruh rakyat secara proporsional, kuncinya adalah pada kata “proporsionalitas”. Sehingga tidak salah  dan bukan diskriminatif jika pemerintah berusaha memberi peran lebih kepada BUMD Migas daerah penghasil. Hak partsisipasi kepada daerah penghasil ini justru merupakan keharusan, karena daerah penghasillah yang langsung terpapar oleh berbagai aktivitas eksplorasi dan eksploitasi. Daerah penghasil menanggung risiko langsung dari berbagai eksese kegiatan, pencemaran lingkungan, penurunan kualitas alam serta menyaksikan sumber daya alam yang berada di wilyahnya terus dikuras setiap hari.

Karena kegiatan usaha hulu migas pada dasarnya adalah kegiatan bisnis untuk mendapatkan komoditi berupa migas, maka BUMD adalah wahana usaha yang mewakili kepentingan daerah, dibentuk oleh daerah dan diharapkan hasilnyapun akan  langsung dapat dirasakan oleh masyarakat di daerah penghasil.

Memastikan Misi Sampai

Konsepsi UU migas menetapkan bahwa migas adalah komoditi yang dikuasai langsung oleh negara dengan tujuan untuk semaksimal mungkin mewujudkan kesejahteraan rakyat. Negara dalam hal ini diwakili oleh pemerintah dan pemerintah terdiri dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Maka badan usaha yang paling relevan adalah BUMN dan BUMD. Sekalipun BUMN dan BUMD adalah entitas bisnis yang bertugas mengejar keuntungan, namun pemiliknya adalah negara untuk BUMN atau pemerintah daerah untuk BUMD, sehingga keuntungan sebagai hasil akhir usaha dapat dipastikan berada dalam kekuasaan negara atau pemerintah daerah yang menaungi dan bertanggung jawab langsung terhadap pemenuhan hajat hidup rakyat. Maka pemberian peran lebih kepada BUMD migas dalam peraturan ini harus dijaga dan dikawal agar tepat sasaran.

Maka yang cukup penting untuk dicatat dari ketentuan ini adalah satu BUMD Migas hanya dapat mengurus satu Paticipating Interest. Sehingga ketentuan baru ini terlihat lebih focus dan tegas ingin memastikan bahwa misi mengusung pemerataan kesejahteraan ini seluruhnya harus sampai kepada yang berhak yakni BUMD Migas yang didirikan oleh daerah penghasil, dan dengan tegas sekaligus menutup keterlibatan swasta dalam kepemilikan saham. 

Hak Partisipasi  ini hanya diberikan kepada BUMD yang 100 % dimiliki daerah atau Perseroan Daerah yang seluruhnya milik daerah atau setidaknya  99 % milik daerah dan 1 % oleh pihak yang terafeliasi dengan pemerintah daerah. Selama ini dikarenakan ketiadaan dana untuk mengambil hak partisipasi, pemerintahdaerah acapkali menggandeng swasta sebagai penyandang dana dan akibatnya pemberian hak partisipasi ini justru tidak tepat sasaran dan cenderung dikuasai oleh swasta pemilik modal.

Dengan ketentuan baru ini maka mulai saat ini kepala daerah dituntut untuk memberikan perhatian serius dan mulai melibatkan para ahli yang relevan, tidak lagi secara serampangan memilih pengurus-pengurus BUMD migas yang bukan ahlinya. Selama ini kecenderungan umum BUMD diisi oleh kroni-kroni kepala daerah yang seringkali mengabaikan kualifikasi dan kompetensi. Jika pemerintah daerah tidak segera merubah cara pandang dengan menyesuaikan paradigma baru yang diusung oleh Permen ESDM ini, maka niscaya akan gagal memanfaatkan peluang emas ini yang memang baru akan bisa dinikmati oleh daerah dalam kurun waktu lama kedepan.

Apa yang bisa dilakukan daerah dalam waktu dekat ini adalah, pertama,  bergabung dan memanfaatkan organisasi terkait yang sudah ada seperti Assosiasi Daerah Penghasil Migas (ADPM). Assosiasi ini penting untuk wahana komunikasi, tukar informasi antar daerah penghasil. Selain itu asosiasi ini dapat menyewa ahli dan menginisiasi pelatihan-pelatihan yang diperlukan oleh BUMD migas dan kepala daerah dan SKPD terkait, untuk terus mengup-date pengetahuan dan informasi. Dengan berbagai informasi yang masuk dari BUMD migas dan pemerintah daerah penghasil kepada ADPM, ADPM dapat sekaligus melakukan survey-survey untuk mengevaluasi tingkat kemajuan dan keberhasilan dari kebijakan pemerintah ini.

Kedua, adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Bisnis migas adalah bisnis khusus (lex spesialis) oleh karena itulah memerlukan UU tersendiri, seperti halnya bisnis perbankan yang memiliki UU tersendiri.  Sebagai pembanding,  dalam dunia perbankan selama ini seluruh propinsi  memiliki Bank Pembangunan Daerah (BPD), seperti Bank Jatim, Bank Sumsel Babel, bank Papua dll. Bisnis perbankan tersebut juga dijalankan oleh BUMD yang didirikan oleh pemerintah propinsi dengan pemegang saham oleh pemerintah kabupaten dan kota yang dilingkupi. Untuk kebutuhan itu daerah berhasil menyiapkan tenaga kerja perbankan yang  professional dan mampu mengikuti aturan Good Corporate Governance (GCG). Dengan mengambil perbandingan tersebut, dengan melihat kekhususan bisnis hulu migas yang  membutuhkan tehnologi tinggi,  keahlian khusus, permodalan yang mahal dan memerlukan jangka waktu lama, maka bisnis migas yang juga memiliki UU tersendiri harus tidak kalah dengan bisnis perbankan yang juga dijalankan oleh BUMD daerah.

Untuk menghindari instabilitas dan ekploitasi  terhadap BUMD Migas oleh elit daerah, sebagaimana sedang trend dalam dunia politik sekarang ini, maka perlu ditentukan syarat yang ketat bagi seseorang untuk bisa menjadi pengurus BUMD Migas. Perlu diatur bahwa penunjukan pengurus BUMD tidak menjadi domain mutlak dari kepala daerah. Terhadap calon pengurus BUMD Migas perlu dilakukan fit and proper test untuk memastikan kemampuan calon pengurus dalam mengurus.  Fit and proper test ini  sebaiknya dilakukan oleh Kementerian ESDM dan SKK Migas, agar BUMD migas tidak diurus oleh orang yang tidak professional. Hal ini juga telah diterapkan dengan baik pada BUMD perbankan yang mensyaratkan  pengurusnya telah lulus uji kepatutan dan kelayakan dari Otoritas jasa Keuangan (OJK). Jika diperlukan ditambah ketentuan bahwa untuk pemberhentian dan penggantian pengurus di tengah masa jabatan, hanya dapat dilakukan setelah berkonsutasi dengan SKK Migas dan Kementerian ESDM. Uji kompetensi ini juga perlu ditinjau setiap kurun waktu tertentu untuk memantau perkembangan kemampuan dan mengevalusi kegiatan yang sudah dilakukan.

Sedang keterkaitan BUMD migas sebagai entitas bisnis dengan kementerian dalam negeri yang selama ini cenderung membingungkan, maka sebaiknya hubungan itu dibatasi sekedar hubungan kosultatif dan bukan koordinatif. Peran Departemen dalam negeri lebih kepada peran sinkronisasi antar daerah, otonomi daerah dan penentuan bagi hasil bagi hak partsisipasi suatu wilayah kerja yang meliputi dua atau lebih daerah yang saling beririsan.

Pintu telah dibuka oleh pemerintah dan kepercayaan sepenuhnya telah diberikan kepada BUMD Migas. Esensi pembangunan adalah pemerataan kesejahteraan kepada seluruh rakyat, disinilah BUMD migas diberi peran yakni sebagai agen pemerataan pembangunan itu. BUMD yang berhasil akan berhasil pula menjadikan daerah penghasil  sebagai pusat pertumbuhan baru di setiap kawasan keberadaannya.  Kini tergantung apakah daerah penghasil mampu menangkap pesan itu dan mampu memanfaatkan peluang yang diberikan untuk secara langsung terlibat dalam kegiatan usaha hulu migas di wilayahnya. Peluang itu sepenuhnya bertujuan untuk membagi kesejahteraan kepada masyarakat daerah penghasil melalui BUMD. Peluang itu hanya dapat dicapai  jika daerah penghasil mau terus belajar untuk membangun diri dan mampu menyiapkan sumber daya manusia yang profesional, mampu menyingkirkan ego politik dan kekuasaan dari para elit daerah dengan lebih mengutamakan kepentingan rakyat dalam jangka panjang. Jika tidak, maka selamanya daerah penghasil hanya akan menjadi penonton yang terus didekte karena dianggap sekedar objek dari hiruk pikuknya pembangunan.