MEMBUKA PERAN BUMD MIGAS
Oleh Junaidi Albab Setiawan
Advocat, Pengamat Hukum Migas
Keseriusan pemerintah untuk
mengangkat harkat BUMD Migas dalam kegiatan usaha hulu migas patut dihargai. Pemerintah
secara resmi telah menerbitkan aturan tentang ketentuan penawaran Paticipating
Interest sebesar 10 % pada wilayah kerja Migas, melalui Peraturan Menteri ESDM
No. 37 Tahun 2016. Kebijakan ini sudah lama ditunggu-tunggu oleh kalangan
daerah penghasil.
Permen ESDM ini telah memberi pondasi
bagi keterlibatan BUMD migas secara adil dan proporsional. Isu-isu strategis
menyangkut partsipasi daerah penghasil dalam kegiatan usaha hulu migas seperti
batasan kepemilikan saham, prosedur penawaran dan permodalan talah terakomodir
dengan komprehensip, setidaknya telah diberikan pintu masuk untuk pengaturan
lebih lanjut sesuai kebutuhan lapangan ke depan.
Pemberian hak partisipasi daerah
penghasil migas ini adalah kewajiban konstitusionil negara. Karena kekayaan
alam yang bersumber dari bumi Indonesia dan menguasai hajat hidup rakyat,
langsung dikuasai oleh negara dan hanya dipergunakan untuk mewujudkan
kemakmuran rakyat. Dikuasai oleh negara selama ini pengertiannya begitu
sentralistis dan sempit sebatas
pemerintah pusat, perusahaan negara, pertamina, BP Migas, SKK Migas, BPH Migas,
pendek kata segala sesuatu yang ada di level pemerintahan pusat. Sehingga
timbul pertanyaan, lalu di mana posisi daerah penghasil yang mewilayahi proyek
hulu migas ditempatkan?, apakah cukup menjadi penonton dan menunggu saja jatah imbal-balik
melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) atau bentuk
subsidi lainnya.
Pengertian dipergunakan untuk
“sebesar-besar Kemakmuran rakyat” yang diamanatkan konstitusi seharusnya tidak sentralistis. Kemakmuran rakyat itu bukan
monopoli pusat, namun bersifat adil dan merata kepada seluruh
rakyat secara proporsional, kuncinya adalah pada kata “proporsionalitas”.
Sehingga tidak salah dan bukan
diskriminatif jika pemerintah berusaha memberi peran lebih kepada BUMD Migas
daerah penghasil. Hak partsisipasi kepada daerah penghasil ini justru merupakan
keharusan, karena daerah penghasillah yang langsung terpapar oleh berbagai aktivitas
eksplorasi dan eksploitasi. Daerah penghasil menanggung risiko langsung dari
berbagai eksese kegiatan, pencemaran lingkungan, penurunan kualitas alam serta
menyaksikan sumber daya alam yang berada di wilyahnya terus dikuras setiap hari.
Karena kegiatan usaha hulu migas pada
dasarnya adalah kegiatan bisnis untuk mendapatkan komoditi berupa migas, maka BUMD
adalah wahana usaha yang mewakili kepentingan daerah, dibentuk oleh daerah dan
diharapkan hasilnyapun akan langsung
dapat dirasakan oleh masyarakat di daerah penghasil.
Memastikan Misi Sampai
Konsepsi UU migas menetapkan bahwa migas
adalah komoditi yang dikuasai langsung oleh negara dengan tujuan untuk
semaksimal mungkin mewujudkan kesejahteraan rakyat. Negara dalam hal ini
diwakili oleh pemerintah dan pemerintah terdiri dari pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Maka badan usaha yang paling relevan adalah BUMN dan BUMD.
Sekalipun BUMN dan BUMD adalah entitas bisnis yang bertugas mengejar keuntungan,
namun pemiliknya adalah negara untuk BUMN atau pemerintah daerah untuk BUMD,
sehingga keuntungan sebagai hasil akhir usaha dapat dipastikan berada dalam
kekuasaan negara atau pemerintah daerah yang menaungi dan bertanggung jawab
langsung terhadap pemenuhan hajat hidup rakyat. Maka pemberian peran lebih
kepada BUMD migas dalam peraturan ini harus dijaga dan dikawal agar tepat
sasaran.
Maka yang cukup penting untuk dicatat
dari ketentuan ini adalah satu BUMD Migas hanya dapat mengurus satu
Paticipating Interest. Sehingga ketentuan baru ini terlihat lebih focus dan tegas
ingin memastikan bahwa misi mengusung pemerataan kesejahteraan ini seluruhnya harus
sampai kepada yang berhak yakni BUMD Migas yang didirikan oleh daerah
penghasil, dan dengan tegas sekaligus menutup keterlibatan swasta dalam
kepemilikan saham.
Hak Partisipasi ini hanya diberikan kepada BUMD yang 100 %
dimiliki daerah atau Perseroan Daerah yang seluruhnya milik daerah atau
setidaknya 99 % milik daerah dan 1 %
oleh pihak yang terafeliasi dengan pemerintah daerah. Selama ini dikarenakan
ketiadaan dana untuk mengambil hak partisipasi, pemerintahdaerah acapkali menggandeng
swasta sebagai penyandang dana dan akibatnya pemberian hak partisipasi ini
justru tidak tepat sasaran dan cenderung dikuasai oleh swasta pemilik modal.
Dengan ketentuan baru ini maka mulai
saat ini kepala daerah dituntut untuk memberikan perhatian serius dan mulai
melibatkan para ahli yang relevan, tidak lagi secara serampangan memilih
pengurus-pengurus BUMD migas yang bukan ahlinya. Selama ini kecenderungan umum
BUMD diisi oleh kroni-kroni kepala daerah yang seringkali mengabaikan kualifikasi
dan kompetensi. Jika pemerintah daerah tidak segera merubah cara pandang dengan
menyesuaikan paradigma baru yang diusung oleh Permen ESDM ini, maka niscaya
akan gagal memanfaatkan peluang emas ini yang memang baru akan bisa dinikmati
oleh daerah dalam kurun waktu lama kedepan.
Apa yang bisa dilakukan daerah dalam
waktu dekat ini adalah, pertama, bergabung dan memanfaatkan organisasi terkait yang
sudah ada seperti Assosiasi Daerah Penghasil Migas (ADPM). Assosiasi ini
penting untuk wahana komunikasi, tukar informasi antar daerah penghasil. Selain
itu asosiasi ini dapat menyewa ahli dan menginisiasi pelatihan-pelatihan yang
diperlukan oleh BUMD migas dan kepala daerah dan SKPD terkait, untuk terus mengup-date
pengetahuan dan informasi. Dengan berbagai informasi yang masuk dari BUMD migas
dan pemerintah daerah penghasil kepada ADPM, ADPM dapat sekaligus melakukan
survey-survey untuk mengevaluasi tingkat kemajuan dan keberhasilan dari
kebijakan pemerintah ini.
Kedua, adalah meningkatkan kualitas sumber
daya manusia. Bisnis migas adalah bisnis khusus (lex spesialis) oleh karena
itulah memerlukan UU tersendiri, seperti halnya bisnis perbankan yang memiliki
UU tersendiri. Sebagai pembanding, dalam dunia perbankan selama ini seluruh
propinsi memiliki Bank Pembangunan
Daerah (BPD), seperti Bank Jatim, Bank Sumsel Babel, bank Papua dll. Bisnis
perbankan tersebut juga dijalankan oleh BUMD yang didirikan oleh pemerintah
propinsi dengan pemegang saham oleh pemerintah kabupaten dan kota yang
dilingkupi. Untuk kebutuhan itu daerah berhasil menyiapkan tenaga kerja
perbankan yang professional dan mampu
mengikuti aturan Good Corporate Governance (GCG). Dengan mengambil perbandingan
tersebut, dengan melihat kekhususan bisnis hulu migas yang membutuhkan tehnologi tinggi, keahlian khusus, permodalan yang mahal dan
memerlukan jangka waktu lama, maka bisnis migas yang juga memiliki UU
tersendiri harus tidak kalah dengan bisnis perbankan yang juga dijalankan oleh
BUMD daerah.
Untuk menghindari instabilitas dan
ekploitasi terhadap BUMD Migas oleh elit
daerah, sebagaimana sedang trend dalam dunia politik sekarang ini, maka perlu
ditentukan syarat yang ketat bagi seseorang untuk bisa menjadi pengurus BUMD
Migas. Perlu diatur bahwa penunjukan pengurus BUMD tidak menjadi domain mutlak
dari kepala daerah. Terhadap calon pengurus BUMD Migas perlu dilakukan fit and
proper test untuk memastikan kemampuan calon pengurus dalam mengurus. Fit and proper test ini sebaiknya dilakukan oleh Kementerian ESDM dan
SKK Migas, agar BUMD migas tidak diurus oleh orang yang tidak professional. Hal
ini juga telah diterapkan dengan baik pada BUMD perbankan yang mensyaratkan pengurusnya telah lulus uji kepatutan dan
kelayakan dari Otoritas jasa Keuangan (OJK). Jika diperlukan ditambah ketentuan
bahwa untuk pemberhentian dan penggantian pengurus di tengah masa jabatan,
hanya dapat dilakukan setelah berkonsutasi dengan SKK Migas dan Kementerian
ESDM. Uji kompetensi ini juga perlu ditinjau setiap kurun waktu tertentu untuk
memantau perkembangan kemampuan dan mengevalusi kegiatan yang sudah dilakukan.
Sedang keterkaitan BUMD migas sebagai
entitas bisnis dengan kementerian dalam negeri yang selama ini cenderung
membingungkan, maka sebaiknya hubungan itu dibatasi sekedar hubungan kosultatif
dan bukan koordinatif. Peran Departemen dalam negeri lebih kepada peran
sinkronisasi antar daerah, otonomi daerah dan penentuan bagi hasil bagi hak
partsisipasi suatu wilayah kerja yang meliputi dua atau lebih daerah yang
saling beririsan.
Pintu telah dibuka oleh pemerintah
dan kepercayaan sepenuhnya telah diberikan kepada BUMD Migas. Esensi
pembangunan adalah pemerataan kesejahteraan kepada seluruh rakyat, disinilah
BUMD migas diberi peran yakni sebagai agen pemerataan pembangunan itu. BUMD
yang berhasil akan berhasil pula menjadikan daerah penghasil sebagai pusat pertumbuhan baru di setiap
kawasan keberadaannya. Kini tergantung
apakah daerah penghasil mampu menangkap pesan itu dan mampu memanfaatkan
peluang yang diberikan untuk secara langsung terlibat dalam kegiatan usaha hulu
migas di wilayahnya. Peluang itu sepenuhnya bertujuan untuk membagi
kesejahteraan kepada masyarakat daerah penghasil melalui BUMD. Peluang itu hanya
dapat dicapai jika daerah penghasil mau
terus belajar untuk membangun diri dan mampu menyiapkan sumber daya manusia
yang profesional, mampu menyingkirkan ego politik dan kekuasaan dari para elit
daerah dengan lebih mengutamakan kepentingan rakyat dalam jangka panjang. Jika
tidak, maka selamanya daerah penghasil hanya akan menjadi penonton yang terus
didekte karena dianggap sekedar objek dari hiruk pikuknya pembangunan.