Kamis, 16 Maret 2017

MENJAGA INDEPENDENSI PERTAMINA (Kontan 4 Maret 2017)


MENJAGA PERTAMINA

Oleh : Junaidi Albab Setiawan

Advocat, Pemerhati Hukum Migas

 

Perubahan kebijakan sekecil apapun di tubuh PT. Pertamina (Persero) harus diwaspadai dan menjadi perhatian serius pemerintah.  Hal itu karena Pertamina saat ini menempati posisi strategis sebagai lokomotive  ekonomi negara sekaligus agen pemerintah dalam pemerataan pembangunan, khususnya sebagai panyedia utama kebutuhan energi migas bagi kehidupan ratusan juta manusia di Indonesia. Karena posisinya itulah maka Pertamina akan selalu dibutuhkan oleh negara dan dengan sendirinya menjadi daya tarik bagi para pemburu rente. Maka Pertamina harus diawasi dan dijaga agar tidak lagi mengalami salah urus yang merugikan.

Baru saja pemerintah membuat kebijakan merubah struktutur organisasi dan mekanisme operational Pertamina. Perubahan itu merupakan inisiatip  Dewan Komisaris Pertamina melalui surat usulan ke Kementerian BUMN  nomor 031/K/DK/2016,  tertanggal 8 Agustus, tentang revisi struktur direksi Pertamina (Kompas 11/08/2016). Tanpa dilakukan uji publik, usulan  tersebut dengan cepat ditanggapi dengan Keputusan Menteri BUMN Nomor SK-242/MBU/10/2016 tanggal 20 Oktober 2016, yang merubah nomenklatur jabatan dan pengalihan tugas direksi PT. Pertamina (Persero) dan dilanjutkan dengan RUPS tanggal 20 Oktober 2018 yang merubah anggaran dasar disesuaikan dengan kebijakan baru itu.

Sesuai dengan usulan komisaris, anggaran dasar baru tersebut menambah dua posisi baru dalam jajaran direksi, yakni Wakil Direktur Utama dan Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia. Sehingga komposisi Direksi Pertamina saat ini menjadi sembilan yang terdiri dari Direktur Utama, Wakil Direktur Utama, 7 Direktur sesuai bidang masing-masing. Dalam perubahan tersebut tugas Direktur Utama diposisikan sebagai Chief Executive officer, bertanggung jawab pada bagian hulu. Sedang Wakil Direktur Utama, diposisikan sebagai Chief Operating officer dari fungsi fungsi  hilir.

Belum lagi perubahan nomenklatur itu berusia tiga bulan, tiba-tiba pemerintah membuat kejutan lewat surat Keputusan Menteri BUMN No: SK-26/MBU/02/2017 tentang Pemberhentian dan Perubahan Nomenklatur Jabatan Anggota-anggota Direksi Perusahaan Perseroan PT Pertamina. Dwi Soetjipto dan Ahmad Bambang diberhentikan sebagai Direktur Utama dan sebagai Wakil Direktur Utama,  padahal yang bersangkutan belum genap tiga bulan menduduki jabatan itu. Alasan penggantian adalah karena timbulnya “ketidak harmonisan yang dapat mengganggu perusahaan” antara Direktur Utama dengan Wakil Direktur Utama.  Alasan tersebut terkesan sumir dan mengada-ada yang justru semakin  menandakan kebijakan baru itu dibuat tanpa perhitungan yang matang. Dalam tiga bulan terjadi pengangkatan dan pemecatan serta dua kali perubahan nomenklatur sungguh tragis terjadi pada perusahaan sekaliber Pertamina.

Dewan Komisaris Pertamina sebagai inisiator adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal ini. Dewan Komisaris telah  gagal memberikan alasan yang rasional dan memuaskan bagi publik. Kebijakan “pontang-panting” itu menandakan betapa lemahnya para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam menjaga Pertamina.  Perubahan itu cukup menarik perhatian karena tidak lazim, sehingga wajar jika memunculkan banyak spekulasi, diantaranya dugaan sedang terjadi pertempuran antar mafia , antara “pemain  lama vs pemain baru” yang sedang memperebutkan pengaruh  di Pertamina.

Merombak komposisi dan mekanisme di tubuh Petamina haruslah dilakukan dengan berhati-hati, penuh perhitungan, transparan dan tidak mengganggu produktivitas yang menimbulkan kerugian. Setidaknya ada tiga hal penting sebagai landasan perubahan. Pertama, setiap perubahan semestinya harus membuat Pertamina semakin kuat dan solid dalam memperjuangkan tujuan dan idealisme negara dalam mewujudkan kebijakan energi nasional sesuai amanat konstitusi. Kedua, Karena Pertamina bukan perusahaan biasa, maka setiap perubahan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada seluruh rakyat Indonesia. Perubahan tidak boleh membelah Pertamina menjadi berbagai kepentingan sehingga tidak dalam satu kendali yang mengganggu produktifitas. Ketiga, Pemerintah harus cermat dan teliti dalam memilih Komsaris dan Direksi agar Pertamina tidak disusupi oleh oknum demi mengeruk keuntungan pribadi, kelompok, golongan dan partai.

Pertamina dan Kedaulatan Energi

Ditengah situasi menejeman yang kacau tersebut ada baiknya perlu diingatkan apa sesungguhnya Pertamina. Memahami pertamina tidak bisa sekedar memotretnya pada posisi sekarang yang gemerlap, ekpansif dan berkelas dunia. Namun juga harus  melihat sejarah dan jatidiri Pertamina yang memiliki sifat khusus yang lebih berorientasi sosial. Keberhasilan Pertamina sebagai perusahaan tidak hanya diukur dari kemampuannya menumpuk keuntungan, namun juga dari perannya dalam memperkecil ketimpangan sosial di seluruh pelosok negeri.

Wajar jika Pertamina sekarang menjadi besar, karena konstitusi menempatkan bisnis Pertamina termasuk dalam jenis monopoli murni. Dan harus diingat keberadaan Pertamina sangat berkaitan dengan visi untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan energi. Karena itulah maka  Pertamina bukan entitas bisnis biasa, dipundaknya tersandang beban untuk mewujudkan visi negara dalam  mewujudkan migas yang adil bagi seluruh rakyat.

Jika ukurannya semata-mata pada prinsip-prinsip komersial, maka Pertamina sudah bangkrut sejak lama. Pertamina tidak tiba-tiba mejadi besar seperti sekarang ini, namun melewati masa jatuh bangun yang menyakitkan dan pada setiap kejatuhannya negara selalu hadir untuk menegakkan kembali, sekalipun rakyat tetap menanggung kerugiannya. Pasar tidak bisa menyelesaikan semua persoalan ekonomi. Intervensi Negara diperlukan untuk mengurangi dampak kegagalan pasar (market failure), kekakuan harga (price rigidities) dan dampak eksternalitas pada lingkungan alam dan social (Madhe Subha RKN, 2015). Maka tidak ada alasan bagi para pengurus sekarang untuk terlalu banga dengan angka-angka dan lupa dengan jati diri Pertamina.

Harus diingat sejarah Pertamina menunjukkan bahwa kerusakan Pertamina sering diakibatkan oleh bobroknya menejerial dari para pengurusnya.  Karenanya perubahan di tubuh Pertamina yang berisiko mencederai landasan filosofi negara dalam mengelola migas harus ditabukan. Pertamina harus diisi oleh orang-orang professional, berintegritas, jujur dan memahami jati diri Pertamina.  

Sejarah Pertamina

Sejarah Pertamina dimulai dari amanat UUD 45 pasal 33 yang menempatkan migas sebagai kekayaan negara yang hanya digunakan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Tugas utama Pertamina adalah sebagai operator dalam mewujudkan tujuan  itu. Dahulu migas hanya bisa dikelola oleh perusahaan negara, untuk itulah kemudian dibentuk Pertamina. Untuk mewujudkan visi konstitusi itu  diterbitkan UU Migas No. 44 tahun 1960 dan selanjutnya UU Pertamina No. 8 tahun 1971 yang menjadikan   Pertamina menjadi Integrated National Oil Company (NOC),   pemain tunggal yang menguasai hulu dan hilir sekaligus pemegang hak menguasai negara atas migas. Hal itu berlangsung hingga terjadinya  krisis ekonomi Asia 1998.

Krisis ekonomi itu merubah orientasi negara dalam mengelola migas dari kolektif sosial (Sila ke-5 Pancasila) menjadi liberal capital (laisses faire). Dengan lahirnya UU Migas No. 22 tahun 2001 dan  disusul UU BUMN No. 19 tahun 2003, kekuasaan negara atas migas dicabut dari Pertamina dipindahkan ke pemerintah. Konon peralihan itu atas desakan IMF karena Pertamina dianggap menjadi sarang KKN, selanjutnya Pertamina dirombak menjadi BUMN persero. Mulai saat itu migas diposisikan sebagai komoditas dagang biasa yang ditentukan oleh mekanisme pasar. Pertamina tidak lagi berperan sebagai regulator dan pengawas sebagaimana sebelumnya, fungsi ini kemudian dipindahkan kepada BP Migas sekarang SKK migas.

Saat ini Pertamina menjadi badan usaha biasa yang bebas untuk bersaing di hulu dan hilir, baik di dalam  maupun di luar negeri. Menyesuaikan dengan kebijakan itu kemudian visi Pertaminapun dirubah yakni “Menjadi Perusahaan Energi Nasional Kelas Dunia”. Selain itu Pertamina juga  diberi tugas khusus oleh negara dalam Public Service Obligation (PSO), diantaranya melaksanakan perpres No. 191 tahun 2014 dan permen ESDM  nomor 36 tahun 2016 untuk percepatan satu harga eceran BBM  di seluruh wilayah NKRI.

Pertamina dan Intervensi

Saat ini PT Pertamina (Persero) terus mengalami kemajuan dan berkontribusi signifikan terhadap upaya peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang pada 2016 diprognosakan mencapai US$ 940,95 miliar. Di tahun 2016 Pertamina telah menyetor pajak tidak kurang dari Rp 58 triliun (Dwi Sutjipto, 2016). Sebentar lagi pemerintah juga akan menjadikan Pertamina sebagai induk (holding) dari seluruh perusahaan migas yang dimiliki negara.

Pertamina menyelenggarakan usaha minyak dan gas bumi di sektor hulu hingga hilir. Bisnis sektor hulu  dilaksanakan di dalam dan luar negeri meliputi bidang-bidang eksplorasi dan produksi. Sekalipun dari segi kuantitas produksi belum termasuk dalam barisan 25 perusahaan minyak terbesar dunia seperti Aramco Saudi Arabia di urutan pertama   dan  Petronas di urutan ke-25, namun Pertamina terus menunjukkan kemajuan dan terakhir PT Pertamina Internasional Eksplorasi dan Produksi (PIEP), mampu membeli mayoritas saham Maurel & Prom merupakan perusahaan migas terbesar kedua di Prancis.  Pertamina juga melakukan pengeboran minyak di luar negeri di lapangan MLN Aljazair, di Irak dan Iran, di lapangan South Acis, Permas, dan Blok K di Malaysia, dll.

Kenyataan lain saat ini Indonesia adalah negara pengimport minyak karena kebutuhan dalam negeri yang semakin meningkat tidak dapat dipenuhi dari hasil produksi sendiri. Guna memenuhi kebutuhan Premium di 2016 Pertamina mengimpor sebanyak 96 juta barel dan 84 juta barel dari kilang pengolahan minyak mentah dalam negeri. Sedangkan untuk konsumsi Pertamax  tahun ini diperkirakan mencapai 1,8 juta barel yang berasal dari kilang dalam negeri 700 ribu barel dan 1 juta barel dari impor. Sementara untuk angka konsumsi solar tahun ini diperkirakan 156 juta barel.  Import tahunan yang cukup besar ini rawan penyimpangan KKN sehingga harus dijaga dan diawasi.

Melihat perkembangan itu maka bisnis Pertamina akan menarik siapapun terutama para pemburu rente dan mafia migas untuk menangguk keuntungan. Modus yang bisa dilakukan adalah mempengaruhi dan jika perlu menguasai keputusan bisnis Pertamina. Cara yang efektif adalah dengan menempatkan orangnya sebagai pengendali Pertamina. Karena Pertamina adalah BUMN hal itu bisa dilakukan dengan meminjam tangan melalui intervensi kekuasaan, melalui oknum-oknum pemerintah, partai politik, legeslatif dan kekuasaan lainnya. Intevensi kekuasaan inilah yang paling berbahaya bagi Pertamina.

Maka menjaga Pertamina adalah merawat Pertamina agar menjadi besar, transparan dan menguntungkan bagi negara. Pertamina harus dapat dengan bebas dan profesional  menjalankan misinya dalam lingkup lokal maupun  global untuk memenuhi kebutuhan migas dan mendatangkan keuntungan. Selain itu negara harus membentengi Pertamina dari segala bentuk intervensi yang dapat mengganggu independensi dan produktivitas perusahaan, karena intervensi demikian  sama artinya dengan mengkhianati konstitusi dan melecehkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia.