MENJAGA
PERTAMINA
Oleh
: Junaidi Albab Setiawan
Advocat,
Pemerhati Hukum Migas
Perubahan
kebijakan sekecil apapun di tubuh PT. Pertamina (Persero) harus diwaspadai dan
menjadi perhatian serius pemerintah. Hal
itu karena Pertamina saat ini menempati posisi strategis sebagai lokomotive ekonomi negara sekaligus agen pemerintah
dalam pemerataan pembangunan, khususnya sebagai panyedia utama kebutuhan energi
migas bagi kehidupan ratusan juta manusia di Indonesia. Karena posisinya itulah
maka Pertamina akan selalu dibutuhkan oleh negara dan dengan sendirinya menjadi
daya tarik bagi para pemburu rente. Maka Pertamina harus diawasi dan dijaga
agar tidak lagi mengalami salah urus yang merugikan.
Baru
saja pemerintah membuat kebijakan merubah struktutur organisasi dan mekanisme
operational Pertamina. Perubahan itu merupakan inisiatip Dewan Komisaris Pertamina melalui surat
usulan ke Kementerian BUMN nomor
031/K/DK/2016, tertanggal 8 Agustus,
tentang revisi struktur direksi Pertamina (Kompas 11/08/2016). Tanpa dilakukan
uji publik, usulan tersebut dengan cepat
ditanggapi dengan Keputusan Menteri BUMN Nomor SK-242/MBU/10/2016 tanggal 20
Oktober 2016, yang merubah nomenklatur jabatan dan pengalihan tugas direksi PT.
Pertamina (Persero) dan dilanjutkan dengan RUPS tanggal 20 Oktober 2018 yang
merubah anggaran dasar disesuaikan dengan kebijakan baru itu.
Sesuai
dengan usulan komisaris, anggaran dasar baru tersebut menambah dua posisi baru
dalam jajaran direksi, yakni Wakil Direktur Utama dan Direktur Megaproyek
Pengolahan dan Petrokimia. Sehingga komposisi Direksi Pertamina saat ini
menjadi sembilan yang terdiri dari Direktur Utama, Wakil Direktur Utama, 7 Direktur
sesuai bidang masing-masing. Dalam perubahan tersebut tugas Direktur Utama
diposisikan sebagai Chief Executive officer, bertanggung jawab pada bagian
hulu. Sedang Wakil Direktur Utama, diposisikan sebagai Chief Operating officer
dari fungsi fungsi hilir.
Belum
lagi perubahan nomenklatur itu berusia tiga bulan, tiba-tiba pemerintah membuat
kejutan lewat surat Keputusan Menteri BUMN No: SK-26/MBU/02/2017 tentang
Pemberhentian dan Perubahan Nomenklatur Jabatan Anggota-anggota Direksi
Perusahaan Perseroan PT Pertamina. Dwi Soetjipto dan Ahmad Bambang
diberhentikan sebagai Direktur Utama dan sebagai Wakil Direktur Utama, padahal yang bersangkutan belum genap tiga
bulan menduduki jabatan itu. Alasan penggantian adalah karena timbulnya
“ketidak harmonisan yang dapat mengganggu perusahaan” antara Direktur Utama
dengan Wakil Direktur Utama. Alasan
tersebut terkesan sumir dan mengada-ada yang justru semakin menandakan kebijakan baru itu dibuat tanpa
perhitungan yang matang. Dalam tiga bulan terjadi pengangkatan dan pemecatan
serta dua kali perubahan nomenklatur sungguh tragis terjadi pada perusahaan
sekaliber Pertamina.
Dewan
Komisaris Pertamina sebagai inisiator adalah pihak yang paling bertanggung
jawab dalam hal ini. Dewan Komisaris telah
gagal memberikan alasan yang rasional dan memuaskan bagi publik.
Kebijakan “pontang-panting” itu menandakan betapa lemahnya para pemangku
kepentingan (stakeholder) dalam menjaga Pertamina. Perubahan itu cukup menarik perhatian karena
tidak lazim, sehingga wajar jika memunculkan banyak spekulasi, diantaranya
dugaan sedang terjadi pertempuran antar mafia , antara “pemain lama vs pemain baru” yang sedang
memperebutkan pengaruh di Pertamina.
Merombak
komposisi dan mekanisme di tubuh Petamina haruslah dilakukan dengan
berhati-hati, penuh perhitungan, transparan dan tidak mengganggu produktivitas
yang menimbulkan kerugian. Setidaknya ada tiga hal penting sebagai landasan
perubahan. Pertama, setiap perubahan semestinya harus membuat Pertamina
semakin kuat dan solid dalam memperjuangkan tujuan dan idealisme negara dalam
mewujudkan kebijakan energi nasional sesuai amanat konstitusi. Kedua,
Karena Pertamina bukan perusahaan biasa, maka setiap perubahan harus dapat
dipertanggung jawabkan kepada seluruh rakyat Indonesia. Perubahan tidak boleh
membelah Pertamina menjadi berbagai kepentingan sehingga tidak dalam satu
kendali yang mengganggu produktifitas. Ketiga, Pemerintah harus cermat dan
teliti dalam memilih Komsaris dan Direksi agar Pertamina tidak disusupi oleh
oknum demi mengeruk keuntungan pribadi, kelompok, golongan dan partai.
Pertamina
dan Kedaulatan Energi
Ditengah
situasi menejeman yang kacau tersebut ada baiknya perlu diingatkan apa
sesungguhnya Pertamina. Memahami pertamina tidak bisa sekedar memotretnya pada
posisi sekarang yang gemerlap, ekpansif dan berkelas dunia. Namun juga
harus melihat sejarah dan jatidiri
Pertamina yang memiliki sifat khusus yang lebih berorientasi sosial.
Keberhasilan Pertamina sebagai perusahaan tidak hanya diukur dari kemampuannya
menumpuk keuntungan, namun juga dari perannya dalam memperkecil ketimpangan
sosial di seluruh pelosok negeri.
Wajar
jika Pertamina sekarang menjadi besar, karena konstitusi menempatkan bisnis
Pertamina termasuk dalam jenis monopoli murni. Dan harus diingat keberadaan
Pertamina sangat berkaitan dengan visi untuk mewujudkan ketahanan dan
kedaulatan energi. Karena itulah maka
Pertamina bukan entitas bisnis biasa, dipundaknya tersandang beban untuk
mewujudkan visi negara dalam mewujudkan
migas yang adil bagi seluruh rakyat.
Jika
ukurannya semata-mata pada prinsip-prinsip komersial, maka Pertamina sudah
bangkrut sejak lama. Pertamina tidak tiba-tiba mejadi besar seperti sekarang
ini, namun melewati masa jatuh bangun yang menyakitkan dan pada setiap
kejatuhannya negara selalu hadir untuk menegakkan kembali, sekalipun rakyat
tetap menanggung kerugiannya. Pasar tidak bisa menyelesaikan semua persoalan
ekonomi. Intervensi Negara diperlukan untuk mengurangi dampak kegagalan pasar
(market failure), kekakuan harga (price rigidities) dan dampak eksternalitas
pada lingkungan alam dan social (Madhe Subha RKN, 2015). Maka tidak ada alasan
bagi para pengurus sekarang untuk terlalu banga dengan angka-angka dan lupa
dengan jati diri Pertamina.
Harus
diingat sejarah Pertamina menunjukkan bahwa kerusakan Pertamina sering diakibatkan
oleh bobroknya menejerial dari para pengurusnya. Karenanya perubahan di tubuh Pertamina yang
berisiko mencederai landasan filosofi negara dalam mengelola migas harus
ditabukan. Pertamina harus diisi oleh orang-orang professional, berintegritas,
jujur dan memahami jati diri Pertamina.
Sejarah
Pertamina
Sejarah
Pertamina dimulai dari amanat UUD 45 pasal 33 yang menempatkan migas sebagai
kekayaan negara yang hanya digunakan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Tugas
utama Pertamina adalah sebagai operator dalam mewujudkan tujuan itu. Dahulu migas hanya bisa dikelola oleh
perusahaan negara, untuk itulah kemudian dibentuk Pertamina. Untuk mewujudkan
visi konstitusi itu diterbitkan UU Migas
No. 44 tahun 1960 dan selanjutnya UU Pertamina No. 8 tahun 1971 yang
menjadikan Pertamina menjadi Integrated
National Oil Company (NOC), pemain tunggal yang menguasai hulu dan hilir
sekaligus pemegang hak menguasai negara atas migas. Hal itu berlangsung hingga
terjadinya krisis ekonomi Asia 1998.
Krisis
ekonomi itu merubah orientasi negara dalam mengelola migas dari kolektif sosial
(Sila ke-5 Pancasila) menjadi liberal capital (laisses faire). Dengan lahirnya UU Migas No. 22 tahun 2001 dan disusul UU BUMN No. 19 tahun 2003, kekuasaan
negara atas migas dicabut dari Pertamina dipindahkan ke pemerintah. Konon
peralihan itu atas desakan IMF karena Pertamina dianggap menjadi sarang KKN,
selanjutnya Pertamina dirombak menjadi BUMN persero. Mulai saat itu migas
diposisikan sebagai komoditas dagang biasa yang ditentukan oleh mekanisme
pasar. Pertamina tidak lagi berperan sebagai regulator dan pengawas sebagaimana
sebelumnya, fungsi ini kemudian dipindahkan kepada BP Migas sekarang SKK migas.
Saat
ini Pertamina menjadi badan usaha biasa yang bebas untuk bersaing di hulu dan
hilir, baik di dalam maupun di luar
negeri. Menyesuaikan dengan kebijakan itu kemudian visi Pertaminapun dirubah yakni
“Menjadi Perusahaan Energi Nasional Kelas Dunia”. Selain itu Pertamina juga diberi tugas khusus oleh negara dalam Public
Service Obligation (PSO), diantaranya melaksanakan perpres No. 191 tahun 2014 dan
permen ESDM nomor 36 tahun 2016 untuk
percepatan satu harga eceran BBM di
seluruh wilayah NKRI.
Pertamina
dan Intervensi
Saat
ini PT Pertamina (Persero) terus mengalami kemajuan dan berkontribusi
signifikan terhadap upaya peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia
yang pada 2016 diprognosakan mencapai US$ 940,95 miliar. Di tahun 2016
Pertamina telah menyetor pajak tidak kurang dari Rp 58 triliun (Dwi Sutjipto,
2016). Sebentar lagi pemerintah juga akan menjadikan Pertamina sebagai induk
(holding) dari seluruh perusahaan migas yang dimiliki negara.
Pertamina
menyelenggarakan usaha minyak dan gas bumi di sektor hulu hingga hilir. Bisnis
sektor hulu dilaksanakan di dalam dan
luar negeri meliputi bidang-bidang eksplorasi dan produksi. Sekalipun dari segi
kuantitas produksi belum termasuk dalam barisan 25 perusahaan minyak terbesar
dunia seperti Aramco Saudi Arabia di urutan pertama dan Petronas di urutan ke-25, namun Pertamina
terus menunjukkan kemajuan dan terakhir PT Pertamina Internasional Eksplorasi
dan Produksi (PIEP), mampu membeli mayoritas saham Maurel & Prom merupakan
perusahaan migas terbesar kedua di Prancis.
Pertamina juga melakukan pengeboran minyak di luar negeri di lapangan
MLN Aljazair, di Irak dan Iran, di lapangan South Acis, Permas, dan Blok K di
Malaysia, dll.
Kenyataan
lain saat ini Indonesia adalah negara pengimport minyak karena kebutuhan dalam
negeri yang semakin meningkat tidak dapat dipenuhi dari hasil produksi sendiri.
Guna memenuhi kebutuhan Premium di 2016 Pertamina mengimpor sebanyak 96
juta barel dan 84 juta barel dari kilang pengolahan minyak mentah dalam negeri.
Sedangkan untuk konsumsi Pertamax tahun
ini diperkirakan mencapai 1,8 juta barel yang berasal dari
kilang dalam negeri 700 ribu barel dan 1 juta barel dari impor.
Sementara untuk angka konsumsi solar tahun ini diperkirakan 156 juta barel. Import tahunan yang cukup besar ini rawan
penyimpangan KKN sehingga harus dijaga dan diawasi.
Melihat
perkembangan itu maka bisnis Pertamina akan menarik siapapun terutama para
pemburu rente dan mafia migas untuk menangguk keuntungan. Modus yang bisa
dilakukan adalah mempengaruhi dan jika perlu menguasai keputusan bisnis
Pertamina. Cara yang efektif adalah dengan menempatkan orangnya sebagai
pengendali Pertamina. Karena Pertamina adalah BUMN hal itu bisa dilakukan
dengan meminjam tangan melalui intervensi kekuasaan, melalui oknum-oknum
pemerintah, partai politik, legeslatif dan kekuasaan lainnya. Intevensi
kekuasaan inilah yang paling berbahaya bagi Pertamina.
Maka
menjaga Pertamina adalah merawat Pertamina agar menjadi besar, transparan dan
menguntungkan bagi negara. Pertamina harus dapat dengan bebas dan profesional menjalankan misinya dalam lingkup lokal
maupun global untuk memenuhi kebutuhan
migas dan mendatangkan keuntungan. Selain itu negara harus membentengi
Pertamina dari segala bentuk intervensi yang dapat mengganggu independensi dan
produktivitas perusahaan, karena intervensi demikian sama artinya dengan mengkhianati konstitusi dan
melecehkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia.