Sabtu, 29 Juli 2017

Gross Split Sebagai Alternatif (KOMPAS)

GROSS SPLIT SEBAGAI ALTERNATIF
Oleh : Junaidi Albab Setiawan,
Advokat, Pengamat Hukum Migas
              
Cost Recovery kembali menjadi perhatian ditengah situasi kesulitan pendanaan pembangunan yang sedang dihadapi negara. Untuk menghemat pengeluaran, pemerintah tidak ingin lagi mengobral  Cost Recovery, namun juga tetap berharap agar investasi di bidang minyak bumi terus meningkat. Salah satu caranya adalah menawarkan kontrak bagi hasil Gross Split melalui Permen ESDM No. 8 tahun 2017   yang dinilai tidak merepotkan dan membebani negara. 

Di atas kertas Cost Recovery yang tinggi akan berakibat berkurangnya pendapatan negara seiring berkurangnya bagian negara. Sebaliknya semakin kecil   Cost Recovery semakin besar bagian negara.  Namun hukum sebab akibat itu ternyata tidak serta merta berlaku, menekan Cost Recovery ditengah situasi ketidak pastian harga minyak dunia justru membuat investor semakin tidak tertarik berinvestasi dan produksi minyak tetap menurun. 

Dalam situasi sekarang pemerintah harus berhati-hati mengambil jalan tengah antara kepentingan negara sebagai penguasa migas, berhadapan dengan kepentingan investor. Tentu saja dengan tetap memperhitungkan sifat bisnis minyak yang unik karena mahal, rumit dan berjangka waktu lama. Semangatnya bukan semata-mata memperkecil atau bahkan menghilangkan Cost Recovery, namun harus lebih fokus kepada pengendalian, efisiensi dan pengawasan.

Inti Cost Recovery
Operasi perminyakan Indonesia saat ini lebih banyak memilih model hubungan kontrak bagi hasil atau production sharing contract (PSC). PSC adalah model kerjasama  buah pemikiran bangsa Indonesia . Dahulu PSC secara tegas dipilih sebagai pilihan model hubungan di dalam UU No. 8 Tahun 1971 tentang Petamina dan selanjutnya diatur lebih rinci dalam PP No. 35 tahun 1994.

PSC diatur dalam  pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang Migas. Pasal ini mengatur bisnis hulu migas dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak bagi hasil atau kontrak lain yang paling menguntungkan negara. Saat ini PSC masih dinilai sebagai model yang paling menguntungkan karena negara terbebas dari risiko rugi di tahap eksplorasi dan ekploitasi. Modal yang ditanggung oleh kontraktor dihitung sebagai biaya operasi yang hanya dikembalikan jika kegiatan usaha hulu menghasilkan produksi komersial.  

Migas adalah kekayaan alam yang langsung “dikuasai” oleh negara. Hak menguasai negara ini selanjutnya diimplementasikan melalui mekanisme “kuasa pertambangan”, dimana pemerintahlah yang bertindak sebagai wakil negara. Dengan demikian kontrak bagi hasil sejatinya adalah pertemuan antara negara yang diwakili oleh pemerintah, berhadapan dengan perusahaan (K3S). Perusahaan  hanyalah kontraktor negara yang bekerja untuk negara.

Kontraktor wajib membawa modal dan teknologi serta menanggung resiko operasi perminyakan dalam suatu wilayah kerja. Biaya operasi yang digantikan termasuk biaya-biaya dalam kegiatan eksplorasi dan kegiatan produksi. Biaya operasi minyak inilah yang menjadi salah satu komponen yang akan menentukan besaran bagi hasil yang menjadi bagian negara dan kontraktor. Artinya “pendapatan kotor” kontraktor minyak berasal dari bagian bagi hasil yang diterima masing-masing pihak, ditambah biaya operasi. Sehingga  Cost Recovery merupakan konsekwensi logis sebagai kompensasi yang adil bagi kontraktor karena telah mengambil resiko rugi di depan.

Kendalikan dan Awasi
Cost Recovery selama ini  cenderung membengkak,  contohnya Cost recovery kepada K3S tahun 2015 yang justru melebihi penerimaan negara,   tercatat US$13,9 miliar, atau lebih tinggi dibanding penerimaan negara bukan pajak (PNBP) migas tahun sebelumnya di angka US$12,86 miliar. 

Selain itu temuan hasit pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) yang dilakukan BPK menunjukkan sumber kecurangan  Cost Recovery utamanya menyangkut  investment Cost Recovery  dan interest  Cost Recovery yang tidak sesuai dengan persetujuan SKK Migas, serta biaya tunjangan ekspatriasi untuk tenaga kerja asing. Kontraktor berkecenderungan ingin mengklaim semua pengeluaran sebagai  Cost Recovery, padahal tidak semua item biaya bisa dimasukkan dalam kategori yang boleh diganti.

Selain itu BPK menemukan adanya mark-up klaim  Cost Recovery yang ditagihkan kepada negara. Penggelembungan Cost Recovery  tahunan  ini menjadi modus sejak lama dan belakangan justru mengalami kenaikan sejak 2014. Sebelum periode tersebut, mark-up klaim Cost Recovery berada di bawah Rp 1 triliun, sebagaimana dilaporkan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) tentang indikasi penyimpangan penerimaan minyak dalam negeri dari tahun 2000-2007 mencapai Rp 40 triliun dari    Cost Recovery  (Kompas 19/6/2008).

Pada tahun fiskal 2011 sebesar Rp 0,28 triliun, namun pada 2012 dan 2013 klaim Cost Recovery terus melompat masing-masing Rp 0,86 triliun dan Rp 0,99 triliun. Bahkan pada 2014 lalu mark-up klaim Cost Recovery  menembus Rp 5,14 triliun,  untuk tahun fiskal 2015 mark-up klaim Cost Recovery  tercatat Rp 3,89 triliun  (Kompas 12/5/16).

Kontrak bagi hasil model Cost Recovery hanya perlu diawasi agar tidak bocor. Mengingat dalam sistem ini K3S hanyalah kontraktor, jika terdapat kebocoran  maka  yang harus diawasi  semestinya bukan hanya K3S namun juga pengawasnya yakni SKK migas dan ESDM sebagai pemegang otoritas, juga DPR berkaitan dengan fungsi budgeting, serta kemungkinan adanya intervensi. Mengapa demikian, Pemerintah melalui Perpres N0. 9 Tahun 2013 membentuk SKK Migas yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk menyelenggarakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak. Cost Recovery hanya dapat dikembalikan kepada K3S setelah mendapatkan persetujuan dari SKK migas yang memiliki otoritas untuk menilainya, sedang SKK migas adalah satuan khusus dibawah Kementerian ESDM.

Sedang DPR bertanggung jawab berkaitan dengan fungsi bugeting dan pengawasan yang disandangnya. Karenanya DPR harus ketat mengawasi cost recovery agar tidak mengganggu anggaran. Untuk itulah diperlukan kejelian, ketelitian dan kejujuran dari pemegang otoritas dalam bisnis hulu migas.

Alternatif Gross Split
Untuk mengatasi permasalahan seputar Cost Recovery, pemerintah menerbitkan Permen ESDM No. 8 tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Dalam sistem ini pembagian gross produksi dilakukan tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi. Dengan sistem ini resiko produksi ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor, sehingga pemerintah tidak perlu repot-repot dan tidak perlu membayar Cost Recovery. Pilihan itu dianggap oleh pemerintah lebih praktis dan efisien. Keterlibatan pemerintah jauh berkurang, efisien serta mengurangi kerumitan audit, birokrasi dan “loby-loby”.

Namun selain aspek praktis di atas perlu dipertimbangkan bahwa sistem ini akan berakibat kontrol negara terhadap produksi minyak dan kontrol negara atas pengelolaan reservoir jadi berkurang. Efficiency yang diusung pemerintah akan berakibat  rencana meningkatkan kegiatan eksplorasi 3 kali lipat dalam waktu 5 tahun ke depan akan terabaikan karena kontraktor lebih fokus memperbesar produksi untuk revenue daripada berisiko mengeluarkan biaya untuk eksplorasi.

Selain itu EOR (Enhance Recovery) dan lapangan marginal akan sulit dikembangkan karena membutuhkan biaya besar sedang Internal Rate of Return (IRR)nya kecil, sehingga bertolak belakang dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menginginkan peningkatan produksi. Ditambah  pengembangan sumber daya manusia (SDM) lokal akan terhambat, transfer teknologi dan tingkat pemakaian komponen dalam negeri (TKDN) akan sulit diimplementasikan (Andang Bachtiar, 2016).

Potensi terjadinya kebocoran juga cukup tinggi mengingat besaran bagi hasil antara bagian negara dengan bagian kontraktor tidak sama pada masing-masing wilayah kerja. Karena tergantung negosiasi yang mempertimbangkan komponen variable berupa besarnya cadangan migas, lokasi, kondisi dan kriteria, tingkat kesulitannya serta jenis lapangan migas apakah konvensional atau non-konvensional, dan komponen progresif yang terdiri produksi dan harga minyak bumi.

Besaran bagi hasil yang tertulis dalam permen 8/2017 untuk minyak bagian negara 53 % kontraktor 47 %, untuk gas bagian negara 58 % kontraktor 42 hanyalah patokan. Dalam proses negosiasilah kemungkinan intervensi dan penyalahgunaan kewenangan akan terjadi dan dampaknya berlangsung puluhan tahun sesuai jangka waktu kontrak. Selain itu sistem ini tentu tidak stabil  karena mengikuti fluktuasi harga dan besaran produksi.

K3S adalah badan usaha yang pada umumnya berpikir praktis ekonomis untuk mengejar keuntungan. Badan Usaha rela menanggung semua resiko produksi serta tidak mendapatkan Cost Recovery, tentu dengan syarat bebas dari pengekangan berupa rumitnya persyaratan yang menghambat produksi.  Maka merubah sistem ditengah UU Migas 2001 sebagai aturan utama yang masih labil dan situasi ketidak pastian harga minyak dunia, adalah ide pragmatis yang emosional. Kebocoran cost recovery bukanlah soal lemahnya sistem tetapi lebih disebabkan oleh lemahnya pengawasan dan integritas oknum pelaksananya. 

Kedaulatan Energi
Mengingat begitu erat hubungan antara besaran cost recovery  dengan APBN, maka menjaga komitmen moral para petugas pengendali dan pengawas menjadi sangat menentukan. Temuan dan hasil audit  BPK maupun BPKP mengindikasikan penyimpangan, penyalah gunaan dan lemahnya pengawasan. Maka perbaikan semestinya lebih focus kepada  pengendalian, pengawasan dan mendorong efisiensi. Namun demikian efisiensi tersebut harus tetap berlandaskan kepada tujuan dan kepentingan negara yang sudah diagendakan dalam kebijakan energi nasional (KEN).

Problem cost recovery adalah urusan praktis yang bisa diatasi dengan jalan praktis pula. Jika angka-angka yang ditagihkan adalah semestinya  sesuai aturan, maka cost recovery akan berlaku wajar. Sedangkan sistem Gross Split bisa saja ditawarkan sebagai alternative, namun tidak untuk dipaksakan karena tidak ada jaminan Gross split lebih menguntungkan dibanding Cost recovery. Kebijakan ini tidak akan dapat dirasakan dalam waktu dekat karena bisnis migas bukan kegiatan instan.


Revisi harus dilakukan secara berhati-hati dan utamanya untuk memelihara iklim investasi bisnis hulu minyak yang adil bagi semua pihak. Selain pemerintah memperoleh hasil yang maksimal, disaat yang sama industri migas harus tetap berlangsung baik dan memperoleh hasil dari jerih payah yang menjadi haknya.