GROSS SPLIT SEBAGAI ALTERNATIF
Oleh : Junaidi Albab
Setiawan,
Advokat, Pengamat
Hukum Migas
Cost Recovery kembali menjadi perhatian ditengah situasi
kesulitan pendanaan pembangunan yang sedang dihadapi negara. Untuk menghemat
pengeluaran, pemerintah tidak ingin lagi mengobral Cost Recovery, namun juga tetap berharap agar
investasi di bidang minyak bumi terus meningkat. Salah satu caranya adalah menawarkan
kontrak bagi hasil Gross Split melalui Permen ESDM No. 8 tahun 2017 yang dinilai tidak merepotkan dan membebani
negara.
Di atas kertas Cost Recovery yang tinggi akan berakibat
berkurangnya pendapatan negara seiring berkurangnya bagian negara. Sebaliknya
semakin kecil Cost Recovery semakin
besar bagian negara. Namun hukum sebab
akibat itu ternyata tidak serta merta berlaku, menekan Cost Recovery ditengah situasi
ketidak pastian harga minyak dunia justru membuat investor semakin tidak
tertarik berinvestasi dan produksi minyak tetap menurun.
Dalam situasi sekarang pemerintah harus berhati-hati
mengambil jalan tengah antara kepentingan negara sebagai penguasa migas,
berhadapan dengan kepentingan investor. Tentu saja dengan tetap memperhitungkan
sifat bisnis minyak yang unik karena mahal, rumit dan berjangka waktu lama.
Semangatnya bukan semata-mata memperkecil atau bahkan menghilangkan Cost
Recovery, namun harus lebih fokus kepada pengendalian, efisiensi dan
pengawasan.
Inti Cost Recovery
Operasi perminyakan Indonesia saat ini lebih banyak memilih
model hubungan kontrak bagi hasil atau production sharing contract (PSC). PSC
adalah model kerjasama buah pemikiran
bangsa Indonesia . Dahulu PSC secara tegas dipilih sebagai pilihan model
hubungan di dalam UU No. 8 Tahun 1971 tentang Petamina dan selanjutnya diatur
lebih rinci dalam PP No. 35 tahun 1994.
PSC diatur dalam pasal
6 ayat (1) Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang Migas. Pasal ini mengatur
bisnis hulu migas dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak bagi hasil atau
kontrak lain yang paling menguntungkan negara. Saat ini PSC masih dinilai
sebagai model yang paling menguntungkan karena negara terbebas dari risiko rugi
di tahap eksplorasi dan ekploitasi. Modal yang ditanggung oleh kontraktor
dihitung sebagai biaya operasi yang hanya dikembalikan jika kegiatan usaha hulu
menghasilkan produksi komersial.
Migas adalah kekayaan alam yang langsung “dikuasai” oleh
negara. Hak menguasai negara ini selanjutnya diimplementasikan melalui
mekanisme “kuasa pertambangan”, dimana pemerintahlah yang bertindak sebagai
wakil negara. Dengan demikian kontrak bagi hasil sejatinya adalah pertemuan
antara negara yang diwakili oleh pemerintah, berhadapan dengan perusahaan
(K3S). Perusahaan hanyalah kontraktor
negara yang bekerja untuk negara.
Kontraktor wajib membawa modal dan teknologi serta menanggung
resiko operasi perminyakan dalam suatu wilayah kerja. Biaya operasi yang
digantikan termasuk biaya-biaya dalam kegiatan eksplorasi dan kegiatan
produksi. Biaya operasi minyak inilah yang menjadi salah satu komponen yang
akan menentukan besaran bagi hasil yang menjadi bagian negara dan kontraktor.
Artinya “pendapatan kotor” kontraktor minyak berasal dari bagian bagi hasil
yang diterima masing-masing pihak, ditambah biaya operasi. Sehingga Cost Recovery merupakan konsekwensi logis sebagai
kompensasi yang adil bagi kontraktor karena telah mengambil resiko rugi di
depan.
Kendalikan dan Awasi
Cost Recovery selama ini
cenderung membengkak, contohnya Cost
recovery kepada K3S tahun 2015 yang justru melebihi penerimaan negara, tercatat US$13,9 miliar, atau lebih tinggi
dibanding penerimaan negara bukan pajak (PNBP) migas tahun sebelumnya di angka
US$12,86 miliar.
Selain itu temuan hasit pemeriksaan dengan tujuan tertentu
(PDTT) yang dilakukan BPK menunjukkan sumber kecurangan Cost Recovery utamanya menyangkut investment Cost Recovery dan interest
Cost Recovery yang tidak sesuai dengan persetujuan SKK Migas, serta
biaya tunjangan ekspatriasi untuk tenaga kerja asing. Kontraktor
berkecenderungan ingin mengklaim semua pengeluaran sebagai Cost Recovery, padahal tidak semua item biaya
bisa dimasukkan dalam kategori yang boleh diganti.
Selain itu BPK menemukan adanya mark-up klaim Cost Recovery yang ditagihkan kepada negara.
Penggelembungan Cost Recovery
tahunan ini menjadi modus sejak
lama dan belakangan justru mengalami kenaikan sejak 2014. Sebelum periode
tersebut, mark-up klaim Cost Recovery berada di bawah Rp 1 triliun, sebagaimana
dilaporkan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) tentang indikasi penyimpangan
penerimaan minyak dalam negeri dari tahun 2000-2007 mencapai Rp 40 triliun
dari Cost Recovery (Kompas 19/6/2008).
Pada tahun fiskal 2011 sebesar Rp 0,28 triliun, namun pada
2012 dan 2013 klaim Cost Recovery terus melompat masing-masing Rp 0,86 triliun
dan Rp 0,99 triliun. Bahkan pada 2014 lalu mark-up klaim Cost Recovery menembus Rp 5,14 triliun, untuk tahun fiskal 2015 mark-up klaim Cost
Recovery tercatat Rp 3,89 triliun (Kompas 12/5/16).
Kontrak bagi hasil model Cost Recovery hanya perlu diawasi
agar tidak bocor. Mengingat dalam sistem ini K3S hanyalah kontraktor, jika
terdapat kebocoran maka yang harus diawasi semestinya bukan hanya K3S namun juga pengawasnya
yakni SKK migas dan ESDM sebagai pemegang otoritas, juga DPR berkaitan dengan
fungsi budgeting, serta kemungkinan adanya intervensi. Mengapa demikian,
Pemerintah melalui Perpres N0. 9 Tahun 2013 membentuk SKK Migas yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk menyelenggarakan pengelolaan
kegiatan usaha hulu minyak. Cost Recovery hanya dapat dikembalikan kepada K3S
setelah mendapatkan persetujuan dari SKK migas yang memiliki otoritas untuk
menilainya, sedang SKK migas adalah satuan khusus dibawah Kementerian ESDM.
Sedang DPR bertanggung jawab berkaitan dengan fungsi bugeting
dan pengawasan yang disandangnya. Karenanya DPR harus ketat mengawasi cost
recovery agar tidak mengganggu anggaran. Untuk itulah diperlukan kejelian,
ketelitian dan kejujuran dari pemegang otoritas dalam bisnis hulu migas.
Alternatif Gross Split
Untuk mengatasi permasalahan seputar Cost Recovery,
pemerintah menerbitkan Permen ESDM No. 8 tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil
Gross Split. Dalam sistem ini pembagian gross produksi dilakukan tanpa
mekanisme pengembalian biaya operasi. Dengan sistem ini resiko produksi
ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor, sehingga pemerintah tidak perlu
repot-repot dan tidak perlu membayar Cost Recovery. Pilihan itu dianggap oleh
pemerintah lebih praktis dan efisien. Keterlibatan pemerintah jauh berkurang,
efisien serta mengurangi kerumitan audit, birokrasi dan “loby-loby”.
Namun selain aspek praktis di atas perlu dipertimbangkan
bahwa sistem ini akan berakibat kontrol negara terhadap produksi minyak dan
kontrol negara atas pengelolaan reservoir jadi berkurang. Efficiency yang
diusung pemerintah akan berakibat
rencana meningkatkan kegiatan eksplorasi 3 kali lipat dalam waktu 5 tahun
ke depan akan terabaikan karena kontraktor lebih fokus memperbesar produksi
untuk revenue daripada berisiko mengeluarkan biaya untuk eksplorasi.
Selain itu EOR (Enhance Recovery) dan lapangan marginal akan
sulit dikembangkan karena membutuhkan biaya besar sedang Internal Rate of
Return (IRR)nya kecil, sehingga bertolak belakang dengan Rencana Umum Energi
Nasional (RUEN) yang menginginkan peningkatan produksi. Ditambah pengembangan sumber daya manusia (SDM) lokal
akan terhambat, transfer teknologi dan tingkat pemakaian komponen dalam negeri
(TKDN) akan sulit diimplementasikan (Andang Bachtiar, 2016).
Potensi terjadinya kebocoran juga cukup tinggi mengingat
besaran bagi hasil antara bagian negara dengan bagian kontraktor tidak sama
pada masing-masing wilayah kerja. Karena tergantung negosiasi yang
mempertimbangkan komponen variable berupa besarnya cadangan migas, lokasi,
kondisi dan kriteria, tingkat kesulitannya serta jenis lapangan migas apakah
konvensional atau non-konvensional, dan komponen progresif yang terdiri
produksi dan harga minyak bumi.
Besaran bagi hasil yang tertulis dalam permen 8/2017 untuk
minyak bagian negara 53 % kontraktor 47 %, untuk gas bagian negara 58 %
kontraktor 42 hanyalah patokan. Dalam proses negosiasilah kemungkinan intervensi
dan penyalahgunaan kewenangan akan terjadi dan dampaknya berlangsung puluhan
tahun sesuai jangka waktu kontrak. Selain itu sistem ini tentu tidak
stabil karena mengikuti fluktuasi harga
dan besaran produksi.
K3S adalah badan usaha yang pada umumnya berpikir praktis
ekonomis untuk mengejar keuntungan. Badan Usaha rela menanggung semua resiko
produksi serta tidak mendapatkan Cost Recovery, tentu dengan syarat bebas dari
pengekangan berupa rumitnya persyaratan yang menghambat produksi. Maka merubah sistem ditengah UU Migas 2001
sebagai aturan utama yang masih labil dan situasi ketidak pastian harga minyak
dunia, adalah ide pragmatis yang emosional. Kebocoran cost recovery bukanlah
soal lemahnya sistem tetapi lebih disebabkan oleh lemahnya pengawasan dan integritas
oknum pelaksananya.
Kedaulatan Energi
Mengingat begitu erat hubungan antara besaran cost
recovery dengan APBN, maka menjaga
komitmen moral para petugas pengendali dan pengawas menjadi sangat menentukan.
Temuan dan hasil audit BPK maupun BPKP
mengindikasikan penyimpangan, penyalah gunaan dan lemahnya pengawasan. Maka perbaikan
semestinya lebih focus kepada
pengendalian, pengawasan dan mendorong efisiensi. Namun demikian
efisiensi tersebut harus tetap berlandaskan kepada tujuan dan kepentingan
negara yang sudah diagendakan dalam kebijakan energi nasional (KEN).
Problem cost recovery adalah urusan praktis yang bisa diatasi
dengan jalan praktis pula. Jika angka-angka yang ditagihkan adalah
semestinya sesuai aturan, maka cost
recovery akan berlaku wajar. Sedangkan sistem Gross Split bisa saja ditawarkan
sebagai alternative, namun tidak untuk dipaksakan karena tidak ada jaminan
Gross split lebih menguntungkan dibanding Cost recovery. Kebijakan ini tidak
akan dapat dirasakan dalam waktu dekat karena bisnis migas bukan kegiatan
instan.
Revisi harus dilakukan secara berhati-hati dan utamanya untuk
memelihara iklim investasi bisnis hulu minyak yang adil bagi semua pihak.
Selain pemerintah memperoleh hasil yang maksimal, disaat yang sama industri
migas harus tetap berlangsung baik dan memperoleh hasil dari jerih payah yang
menjadi haknya.