Menjelang Krisis Migas
Situasai global berkenaan industri
migas sungguh tidak lagi dapat dihitung dan diprediksi hanya dengan perangkat
ilmu ekonomi. Sekalipun kebutuhan akan migas semakin meningkat dari tahun ke
tahun, namun seolah berlawanan dengan hukum penawaran (supply) dan permintaan
(demand), harga Migas global justru terus menerus mengalami penurunan. Situasi
itu tentu memukul Industri hulu migas dunia sehingga industri ini menjadi
kurang bergairah.
Indonesia tidak terkecuali menerima
imbas dari ketidak pastian itu. Sekalipun kebutuhan BBM dalam negeri semakin
meningkat namun produksi terus menurun dari waktu ke waktu. Berbagai kebijakan pemerintah
telah dikeluarkan bahkan diganti dan direvisi
dengan maksud guna menggairahkan investasi di hulu migas, namun upaya itu belum
mampu menarik para investor. Situasi ini diperberat dengan “kebijakan BBM satu
harga” di seluruh wilayah negeri baik di wilayah tertingga, terdepan dan
terluar (3T) yang bertujuan mulia (Permen ESDM No. 36 tahun 2016). Sekalipun
kebijakan ini dikatakan oleh Pertamina “bukan soal untung dan rugi” (Kompas
19/12/2016), namun kebijakan itu secara ekonomi barang tentu menambah beban
keuangan negara (Pertamina), mengingat beragamnya tingkat kesulitan distribusi
akibat alat, lokasi dan infrastruktur yang berbeda-beda di berbagai wilayah
tanah air.
Situasi ini nampaknya bukan
semata-mata soal ekonomi, namun meliputi aspek lain terutama menyangkut konstelasi
politik global. Jika situasi ini tidak segera dicarikan jalan keluar dan dihadapi
dengan cara ekstra hati-hati dengan perangkat pengetahuan dan lintas disiplin keilmuan,
maka Indonesia akan segera memasuki era krisis migas dan semakin bergantung
kepada pihak luar.
Kilas Perkembangan
Indonesia pernah merasakan zaman
keemasan saat masih memiliki cadangan
migas yang cukup pada tahun 70an. Namun saat ini secara perlahan tapi pasti
produksi migas terus mengalami
penurunan. Indonesia semula adalah negara kaya minyak dan pernah menjadi anggota OPEC, namun kini bergeser
menjadi negara pengimport akibat kebutuhan migas jauh melampaui hasil produksi.
Dahulu cadangan minyak Indonesia yang sudah
terbukti mencapai sekitar 27 miliar barrel. Tapi kini per Desember 2015 tinggal
menyisakan cadangan sebanyak 3,6 miliar barrel, setara 0,2 persen cadangan
minyak dunia. Data dari Badan Pusat Statistik yang dipublikasi di awal tahun
2017 juga menunjukkan bahwa produksi Minyak mentah dan Kondensat
berangsur-angsur mengalami penurunan (natural decline). Pada tahun 1996
produksi minyak mentah dan kondensat mencapai 548,648 juta barel, pada tahun
1999 menjadi 494, 643 juta barel dan pada tahun 2015 menjadi 386,814 juta
barel. Cadangan gas Indonesia pun tak
lebih banyak daripada minyak. Menurut BP Statistical Review of World Energy
pada 2015, saat ini Indonesia memiliki cadangan gas di kisaran 100 TSCF, setara
1,5 persen cadangan gas dunia (Kompas 18/8/2016), suatu penurunan jumlah
cadangan yang cukup drastis.
Saat ini pengelolaan dan pemanfaatan migas di
Indonesia menghadapi beberapa kendala. Pada sisi pasokan kendala itu berupa
penurunan jumlah cadangan, mahalnya biaya eksplorasi dan eksploitasi, lamanya
masa penemuan ke produksi (first oil) antara 13 sd 15 tahun, serta iklim
investasi yang kurang mampu menarik investor. Jika ingin meningkatkan produksi
migas, menurut Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA), Indonesia harus
bersaing ketat untuk memperebutkan
alokasi dana investasi migas dunia yang sangat kecil.
Pemerintah nampaknya juga sedang
berpikir keras untuk meningkatkan produksi migas dengan berbagai kebijakan yang
bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara sekaligus menarik investor. Diantarnya
penerbitkan Permen ESDM No.8 tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Melalui skema ini pemerintah berharap dapat memicu efisiensi pengelolaan biaya,
menyederhanakan birokrasi, serta mempercepat dan mengefektifkan eksplorasi juga
eksploitasi. Namun kebijakan baru yang membebankan biaya operasi sepenuhnya
kepada kontraktor ini ternyata juga kurang mendapatkan sambutan positif dari
kalangan K3S. Mengingat saat ini industri migas sedang menghadapi masa sulit,
kalangan K3S juga sedang berusaha untuk menurunkan biaya dan meningkatkan
efisiensi operasional agar dapat bertahan. Sehingga wajar jika sekarang terjadi
penurunan nilai investasi dari tahun ke tahun, dari US $ 15,34 pada tahun 2015
menjadi US $ 11,02 miliar di tahun 2016.
Belum lagi Permen ESDM No.8 tahun
2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split
ini berusia seumur jagung, pemerintah telah mengoreksinya dengan
menerbitkan Permen ESDM No. 52 Tahun 2017. Permen ESDM ini menunjukkan keseriusan
pemerintah untk menggairahkan iklim
investasi hulu migas. Melalui Permen terbaru ini Pemerintah menambah prosentase
bagian K3S melalui revisi yang menyangkut 8 hal penting. Pertama, jika produksi
migas kurang dari 30 MMBOE (million barrels of oil equivalent), kontraktor akan
mendapatkan bagi hasil 10 % dari yang sebelumnya 5 %. Kedua, kontraktor
mendapatkan insentif tambahan 3 % jika melakukan pengembangan lapangan migas
yang kedua dalam blok migas yang sama. Ketiga, jika terjadi penurunan harga
migas (pasal 9) kontraktor mendapatkan tambahan bagian sebesar 11,25 % dari 7,5
% sebelumnya dengan formula (85-ICP) X 0,25 %. Keempat, terdapat
penambahan komponen progresif harga gas yang belum diatur sebelumnya. Kelima,
penambahan besaran split pada tahapan produksi sekunder sebasar 6 % dari
sebelumnya 3 %. Keenam, perubahan komponen varabel kandungan hydrogen sulfrida
(H2S). Ketujuh, penambahan split untuk wilayah kerja yang sama sekali
belum tersedia infrastruktur penunjang (new frontier). Kedelapan, adalah diskresi menteri ESDM yang berwenang memberikan
tambahan atau pengurangan slit yang didasarkan pada aspek komersial lapangan
(MigasReview, 09/9/17).
Revisi dan penambahan ketentuan di
atas diklaim sebagai jalan tengah yang diambil berdasarkan masukan dari
berbagai pihak. Sekalipun demikian cara ini belum tentu akan membuahkan hasil
sebagaimana diharapkan oleh pemerintah dalam waktu dekat ini. Sehingga terlampu
pagi untuk diukur tingkat keberhasilannya.
Data dari rencana strategis (Renstra)
kementerian ESDM periode tahun 2015-2019 menggambarkan bahwa pada tahun 2013
kebutuhan BBM Indonesia tercatat sebesar 1,3 juta barrel per day (bpd).
Sehingga untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri diperlukan impor BBM sekitar
600 ribu bpd dengan nilai lebih dari Rp 1 triliun per hari. Jumlah ini tentu akan
terus bertambah dari tahun ke tahun. Selain itu Indonesia juga melakukan impor
minyak mentah untuk input kilang BBM dalam negeri. Produksi minyak mentah
Indonesia sekitar 800 ribu bpd, tetapi ironisnya tidak seluruhnya dapat diolah
di Kilang BBM dalam negeri.
Sekitar 40% produksi minyak mentah
Indonesia diekspor karena tidak semua spesifikasi kilang BBM dalam negeri cocok
untuk mengolah minyak mentah Indonesia. (Renstra migas 2015/2019). Penemuan cadangan minyak baru juga kian
menjauh dari harapan. Laju penemuan cadangan dibandingkan dengan produksi atau
Reserve to production ratio (RRR) sekitar 55%.
Idealnya jumlah minyak yang diproduksi
harus sebanding dengan cadangan yang ditemukan yakni pada RRR sebesar
100% atau lebih. Sekalipun jumlah cadangan migas dapat berubah tergantung pada
penemuan cadangan-cadangan baru, namun kondisi sekarang sudah cukup menjadi
pertanda krisis migas kian menjelang.
Krisis Migas
Pada bulan April dan Mei lalu, pada
saat yang hampir bersamaan diselenggarakan “Forum Hukum Migas” oleh SKK
Migas dan “Diskusi Nasional Kebijakan
Energi Nasional” oleh Pusat Studi Energi UGM, di Yogyakarta dan kemudian disusul dengan Konvensi dan Pameran IPA ke-41. Ketiga forum
ilmiah itu memberikan pesan kuat bahwa saat ini migas semakin sulit didapat,
serta merekomendasikan agar kita mulai lebih bijak dalam memanfaatkan
sumber-sumber energi khususnya migas, serta mendorong penggunaan energi
alternative baru terbarukan (OBT) dan ramah lingkungan yang bertumpu kepada
kearifan lokal (local wisdom).
Jika pemerintah gagal menggiatkan
pencarian sumur-sumur migas baru, maka di masa depan capain fiscal dari hasil
lifting minyak mentah yang ditargetkan oleh pemerintah akan semakin sulit
diraih. Terlebih lagi jika masyarakat juga tidak segera diperkenalkan dan
diarahkan untuk memanfaatkan sumber-sumber energi baru yang terbarukan, maka lambat
tapi pasti Indonesia akan segera memasuki jurang krisis energi. Indonesia akan semakin
bergantung kepada import yang tentu saja akan menggerus kemandirian dan
kedaulatan energi yang dicita-citakan.
Mengingat
saat ini migas masih menjadi penopang utama (20 % lebih) biaya pembangunan
(APBN), maka krisis migas dipastikan akan membawa dampak berantai dan menjadi
pemicu munculnya krisis-krisis lain yang membahayakan negara. Karenanya sudah
sangat mendesak saat ini untuk memperkenalkan
sikap mental waspada krisis kepada masyarakat agar masyarakat dengan
kesadaran penuh lebih terencana dalam menghadapi
krisis migas sehingga tidak berkembang menjadi krisis kemanusiaan.