Rabu, 27 September 2017

MENJELANG KRISIS MIGAS (KOMPAS 19 September 2017)


Menjelang Krisis Migas

                

Situasai global berkenaan industri migas sungguh tidak lagi dapat dihitung dan diprediksi hanya dengan perangkat ilmu ekonomi. Sekalipun kebutuhan akan migas semakin meningkat dari tahun ke tahun, namun seolah berlawanan dengan hukum penawaran (supply) dan permintaan (demand), harga Migas global justru terus menerus mengalami penurunan. Situasi itu tentu memukul Industri hulu migas dunia sehingga industri ini menjadi kurang bergairah.

Indonesia tidak terkecuali menerima imbas dari ketidak pastian itu. Sekalipun kebutuhan BBM dalam negeri semakin meningkat namun produksi terus menurun dari waktu ke waktu. Berbagai kebijakan pemerintah telah dikeluarkan bahkan  diganti dan direvisi dengan maksud guna menggairahkan investasi di hulu migas, namun upaya itu belum mampu menarik para investor. Situasi ini diperberat dengan “kebijakan BBM satu harga” di seluruh wilayah negeri baik di wilayah tertingga, terdepan dan terluar (3T) yang bertujuan mulia (Permen ESDM No. 36 tahun 2016). Sekalipun kebijakan ini dikatakan oleh Pertamina “bukan soal untung dan rugi” (Kompas 19/12/2016), namun kebijakan itu secara ekonomi barang tentu menambah beban keuangan negara (Pertamina), mengingat beragamnya tingkat kesulitan distribusi akibat alat, lokasi dan infrastruktur yang berbeda-beda di berbagai wilayah tanah air. 

Situasi ini nampaknya bukan semata-mata soal ekonomi, namun meliputi aspek lain terutama menyangkut konstelasi politik global. Jika situasi ini tidak segera dicarikan jalan keluar dan dihadapi dengan cara ekstra hati-hati dengan perangkat pengetahuan dan lintas disiplin keilmuan, maka Indonesia akan segera memasuki era krisis migas dan semakin bergantung kepada pihak luar.

Kilas Perkembangan     

Indonesia pernah merasakan zaman keemasan saat masih  memiliki cadangan migas yang cukup pada tahun 70an. Namun saat ini secara perlahan tapi pasti produksi migas terus  mengalami penurunan. Indonesia semula adalah negara kaya minyak dan pernah  menjadi anggota OPEC, namun kini bergeser menjadi negara pengimport akibat kebutuhan migas jauh melampaui hasil produksi.

 Dahulu cadangan minyak Indonesia yang sudah terbukti mencapai sekitar 27 miliar barrel. Tapi kini per Desember 2015 tinggal menyisakan cadangan sebanyak 3,6 miliar barrel, setara 0,2 persen cadangan minyak dunia. Data dari Badan Pusat Statistik yang dipublikasi di awal tahun 2017 juga menunjukkan  bahwa   produksi Minyak mentah dan Kondensat berangsur-angsur mengalami penurunan (natural decline). Pada tahun 1996 produksi minyak mentah dan kondensat mencapai 548,648 juta barel, pada tahun 1999 menjadi 494, 643 juta barel dan pada tahun 2015 menjadi 386,814 juta barel.  Cadangan gas Indonesia pun tak lebih banyak daripada minyak. Menurut BP Statistical Review of World Energy pada 2015, saat ini Indonesia memiliki cadangan gas di kisaran 100 TSCF, setara 1,5 persen cadangan gas dunia (Kompas 18/8/2016), suatu penurunan jumlah cadangan yang cukup drastis.

Saat ini  pengelolaan dan pemanfaatan migas di Indonesia menghadapi beberapa kendala. Pada sisi pasokan kendala itu berupa penurunan jumlah cadangan, mahalnya biaya eksplorasi dan eksploitasi, lamanya masa penemuan ke produksi (first oil) antara 13 sd 15 tahun, serta iklim investasi yang kurang mampu menarik investor. Jika ingin meningkatkan produksi migas, menurut Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA), Indonesia harus bersaing ketat untuk memperebutkan  alokasi dana investasi migas dunia yang sangat kecil.

Pemerintah nampaknya juga sedang berpikir keras untuk meningkatkan produksi migas dengan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara sekaligus menarik investor. Diantarnya penerbitkan Permen ESDM No.8 tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Melalui skema ini pemerintah berharap dapat memicu efisiensi pengelolaan biaya, menyederhanakan birokrasi, serta mempercepat dan mengefektifkan eksplorasi juga eksploitasi. Namun kebijakan baru yang membebankan biaya operasi sepenuhnya kepada kontraktor ini ternyata juga kurang mendapatkan sambutan positif dari kalangan K3S. Mengingat saat ini industri migas sedang menghadapi masa sulit, kalangan K3S juga sedang berusaha untuk menurunkan biaya dan meningkatkan efisiensi operasional agar dapat bertahan. Sehingga wajar jika sekarang terjadi penurunan nilai investasi dari tahun ke tahun, dari US $ 15,34 pada tahun 2015 menjadi US $ 11,02 miliar di tahun 2016.

Belum lagi Permen ESDM No.8 tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split  ini berusia seumur jagung, pemerintah telah mengoreksinya dengan menerbitkan Permen ESDM No. 52 Tahun 2017. Permen ESDM ini menunjukkan keseriusan  pemerintah untk menggairahkan iklim investasi hulu migas. Melalui Permen terbaru ini Pemerintah menambah prosentase bagian K3S melalui revisi yang  menyangkut 8 hal penting. Pertama, jika produksi migas kurang dari 30 MMBOE (million barrels of oil equivalent), kontraktor akan mendapatkan bagi hasil 10 % dari yang sebelumnya 5 %. Kedua, kontraktor mendapatkan insentif tambahan 3 % jika melakukan pengembangan lapangan migas yang kedua dalam blok migas yang sama. Ketiga, jika terjadi penurunan harga migas (pasal 9) kontraktor mendapatkan tambahan bagian sebesar 11,25 % dari 7,5 % sebelumnya dengan formula (85-ICP) X 0,25 %. Keempat, terdapat penambahan komponen progresif harga gas yang belum diatur sebelumnya. Kelima, penambahan besaran split pada tahapan produksi sekunder sebasar 6 % dari sebelumnya 3 %. Keenam, perubahan komponen varabel kandungan hydrogen sulfrida (H2S).  Ketujuh, penambahan split untuk wilayah kerja yang sama sekali belum tersedia infrastruktur penunjang (new frontier). Kedelapan, adalah diskresi menteri ESDM yang berwenang memberikan tambahan atau pengurangan slit yang didasarkan pada aspek komersial lapangan (MigasReview, 09/9/17).

Revisi dan penambahan ketentuan di atas diklaim sebagai jalan tengah yang diambil berdasarkan masukan dari berbagai pihak. Sekalipun demikian cara ini belum tentu akan membuahkan hasil sebagaimana diharapkan oleh pemerintah dalam waktu dekat ini. Sehingga terlampu pagi untuk diukur tingkat keberhasilannya.

Data dari rencana strategis (Renstra) kementerian ESDM periode tahun 2015-2019 menggambarkan bahwa pada tahun 2013 kebutuhan BBM Indonesia tercatat sebesar 1,3 juta barrel per day (bpd). Sehingga untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri diperlukan impor BBM sekitar 600 ribu bpd dengan nilai lebih dari Rp 1 triliun per hari. Jumlah ini tentu akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Selain itu Indonesia juga melakukan impor minyak mentah untuk input kilang BBM dalam negeri. Produksi minyak mentah Indonesia sekitar 800 ribu bpd, tetapi ironisnya tidak seluruhnya dapat diolah di Kilang BBM dalam negeri.

Sekitar 40% produksi minyak mentah Indonesia diekspor karena tidak semua spesifikasi kilang BBM dalam negeri cocok untuk mengolah minyak mentah Indonesia. (Renstra migas 2015/2019).  Penemuan cadangan minyak baru juga kian menjauh dari harapan. Laju penemuan cadangan dibandingkan dengan produksi atau Reserve to production ratio (RRR) sekitar 55%.  Idealnya jumlah minyak yang diproduksi  harus sebanding dengan cadangan yang ditemukan yakni pada RRR sebesar 100% atau lebih. Sekalipun jumlah cadangan migas dapat berubah tergantung pada penemuan cadangan-cadangan baru, namun kondisi sekarang sudah cukup menjadi pertanda krisis migas kian menjelang.

Krisis Migas

Pada bulan April dan Mei lalu, pada saat yang hampir bersamaan diselenggarakan “Forum Hukum Migas” oleh SKK Migas  dan “Diskusi Nasional Kebijakan Energi Nasional” oleh Pusat Studi Energi UGM, di Yogyakarta dan kemudian  disusul dengan  Konvensi dan Pameran IPA ke-41. Ketiga forum ilmiah itu memberikan pesan kuat bahwa saat ini migas semakin sulit didapat, serta merekomendasikan agar kita mulai lebih bijak dalam memanfaatkan sumber-sumber energi khususnya migas, serta mendorong penggunaan energi alternative baru terbarukan (OBT) dan ramah lingkungan yang bertumpu kepada kearifan lokal (local wisdom).

Jika pemerintah gagal menggiatkan pencarian sumur-sumur migas baru, maka di masa depan capain fiscal dari hasil lifting minyak mentah yang ditargetkan oleh pemerintah akan semakin sulit diraih. Terlebih lagi jika masyarakat juga tidak segera diperkenalkan dan diarahkan untuk memanfaatkan sumber-sumber energi baru yang terbarukan, maka lambat tapi pasti Indonesia akan segera memasuki jurang krisis energi. Indonesia akan semakin bergantung kepada import yang tentu saja akan menggerus kemandirian dan kedaulatan energi yang dicita-citakan.
Mengingat saat ini migas masih menjadi penopang utama (20 % lebih) biaya pembangunan (APBN), maka krisis migas dipastikan akan membawa dampak berantai dan menjadi pemicu munculnya krisis-krisis lain yang membahayakan negara. Karenanya sudah sangat mendesak saat ini untuk memperkenalkan  sikap mental waspada krisis kepada masyarakat agar masyarakat dengan kesadaran penuh lebih terencana dalam   menghadapi krisis migas sehingga tidak berkembang menjadi krisis kemanusiaan.