MAU DIBAWA KEMANA PERTAMINA
Oleh : Junaidi Albab Setiawan
Advokat Pemerhati Hukum Migas
Pertamina seperti tidak
bosan-bosannya membuat kejutan yang justru mendatangkan kekhawatiran. Melalui
RUPSLB yang digelar pada hari Jumat 20 April 2018, Pertamina kembali mencopot
Direktur Utama yang baru beberapa bulan menduduki posisinya. Sehingga dalam dua
tahun terakhir ini Pemerintah sudah melakukan empat kali pergantian jajaran
direksi. Penggantian itu tidak hanya mengganti Direktur Utama, namun juga merombak nomenklatur serta pos-pos penting
di Pertamina.
Bongkar pasang Direktur Utama yang bertugas
sebagai panglima tertinggi suatu perusahaan, tentu menyiratkan situasi yang
tidak normal. Fenomena ini memberi sinyal yang kuat kepada rakyat bahwa saat
ini Pertamina sedang tidak sehat. Pertamina seperti tidak memiliki peta jalan
kebijakan yang dapat dijalankan secara konsisten sebagai acuan. Situasi ini
tentu membahayakan karena Pertamina masih menjadi tumpuan harapan rakyat dalam
mencukupi kebutuhan energi. Pertamina bahkan diskenariokan (PP No. 6 tahun
2018) menjadi induk usaha (holding) bagi perusahaan-perusahaan migas
negara.
Pemerintah dan Pertamina
Penggantian direksi pada sutu
perseroan bisa dimaknai bahwa para direktur yang diganti tidak mampu memenuhi
harapan Pemerintah. Hal itu karena pemegang saham Pertamina adalah negara yang
dijalankan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN, maka dapat disimpulkan
pula bahwa pergantian demi penggantian itu memang dihendaki oleh Pemerintah.
Penggantian elemen penting perusahaan
yang terlampau sering dan dilakukan dalam kurun waktu yang singkat, menjadi
pertanda di Pertamina sedang terjadi
pergolakan. Kemungkinan penyebabnya adalah karena Pemerintah selama ini kurang
selektif dan professional dalam memilih direksi, atau sebaliknya Pemerintah
sedang memaksakan kehendaknya yang tidak dapat dipenuhi oleh direksi. Berbagai
dalih yang dilontarkan seperti kelangkaan premium dan jebolnya pipa bawah
laut di Balikpapan dll, jika ditilik
lebih jauh tidak cukup kuat menjadi alasan pencopotan. Pemaksaan kehendak itu
bisa saja terjadi karena dominasi Pemerintah sebagai pemegang saham tunggal
berpotensi disalahgunakan dalam penentuan pengurus di Pertamina.
Dahulu di era orde baru hingga awal
reformasi, Pertamina adalah perusahaan yang tertutup dan menjadi sapi perah
kekuasaan. Namun sejak Pertamina berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT)
Persero, Pertamina harus menerapkan Good Corporate Governance (GCG) dan tunduk
kepada UU PT dan UU BUMN sekaligus. Pengaturan GCG tidak terlepas dengan
prinsip good governance (GG), kedua prinsip (GCG dan GG) ini harus bersinergi,
terintegrasi dan harus berjalan saling melengkapi dalam aktivitas perusahaan
persero.
Dengan diterapkannya kedua prinsip
itu maka paradigma lama yang menjadikan Pertamina sebagai sumber pembiayaan
politik dan ladang KKN menjadi sulit dilakukan karena secara otomatis akan
ditolak oleh sistem (by system) yang berlaku di perusahaan.
Mau Dibawa Kemana
Pertanyaan khalayak adalah mau dibawa
kemana Pertamina. Berbagai kisah tragis Pertamina di masa lalu melahirkan kecurigaan,
jangan sampai Pertamina kembali menjadi Pertamina yang tertutup dan koruptif. Karena
Pertamina saat ini menempati posisi strategis sebagai lokomotive ekonomi negara sekaligus agen dalam
pemerataan pembangunan, khususnya sebagai panyedia utama kebutuhan energi bagi
kehidupan rakyat. Saat ini Pertamina berkontribusi sekitar 24 % dari total
produksi migas nasional. Sektor migas menempati posisi penting dalam Pendapatan
Nasional Bukan Pajak (PNBP), dari 260 triliun rupiah total PNBP pada APBN-P
2017, 50 % didapat dari sector ESDM yakni sebesar 132 triliun rupiah atau 50 %
dari PNBP, dan sector migas menyumbang 88,6 %.
Oleh karenanya merombak pengurus dan aturan
main di tubuh Petamina haruslah dilakukan dengan berhati-hati, penuh
perhitungan, transparan dan tidak mengganggu produktivitas yang menimbulkan
kerugian. Setidaknya ada tiga hal penting sebagai landasan perubahan. Pertama,
setiap perubahan harus membuat Pertamina semakin kuat dan solid dalam
memperjuangkan kepentingan negara
mewujudkan kebijakan energi nasional sesuai amanat konstitusi. Kedua,
setiap perubahan harus transparan dan diyakini mampu memacu kinerja dalam
jangka panjang serta dapat dipertanggung jawabkan kepada seluruh rakyat Indonesia. Ketiga,
agar perubahan tidak membawa Pertamina menjadi sasaran kepentingan politik dalam mencari pembiayaan,
maka Pemerintah harus cermat dan teliti dalam memilih pengurus, terutama
jajaran Komsaris dan Direksi agar Pertamina tidak disusupi oleh oknum yang
memiliki agenda terselubung.
Pertamina dan Kedaulatan Energi
Ditengah situasi menejeman yang kacau
tersebut ada baiknya perlu diingat siapa sesungguhnya Pertamina. Memahami
pertamina tidak bisa sekedar melihatnya pada posisi sekarang yang gemerlap,
ekpansif dan berkelas dunia. Namun juga harus
melihat sejarah dan jatidiri Pertamina yang bersifat khusus.
Keberhasilan Pertamina sebagai perusahaan tidak hanya diukur dari kemampuannya dalam
menumpuk keuntungan, namun juga dari perannya dalam memperkecil ketimpangan
sosial di seluruh pelosok negeri.
Wajar jika Pertamina sekarang menjadi
besar, karena bisnis Pertamina adalah bisnis strategis yang dilindungi. Harus
diingat keberadaan Pertamina sangat berkaitan dengan visi mewujudkan ketahanan dan kedaulatan energi.
Pertamina bukan entitas bisnis biasa, dipundaknya tersandang beban untuk
mewujudkan misi negara dalam mewujudkan
migas yang adil bagi seluruh rakyat. Karena menyangkut bisnis komoditas vital,
maka negara memainkan peran penting secara langsung dan tidak langsung di Pertamina
guna memastikan tercapainya keadilan social bagi seluruh rakyat.
Jika ukurannya semata-mata tujuan komersial,
maka Pertamina sudah bangkrut sejak lama. Pertamina tidak tiba-tiba mejadi
besar seperti sekarang, namun telah melewati jatuh bangun yang menyakitkan. Pada
setiap kejatuhannya, negara selalu hadir untuk menegakkan kembali, dan rakyatlah
yang harus menanggung kerugiannya. Maka tidak ada alasan untuk terlalu bangga
dengan angka-angka namun lupa dengan sejarah Pertamina.
Sejarah Pertamina menunjukkan bahwa
kerusakan Pertamina sering dimulai dari dalam yang diakibatkan oleh lemahnya menejerial
dan intervensi kekuasaan. Karenanya setiap
perubahan di tubuh Pertamina yang menggeser filosofi negara dalam mengelola
migas harus dicegah. Pertamina harus diisi oleh orang-orang professional,
berintegritas, jujur dan memahami jati diri Pertamina.
Sejarah Pertamina
Jatidiri Pertamina dimulai dari
amanat UUD 45 pasal 33 yang menempatkan migas sebagai sumber daya alam strategis yang langsung dikuasai
negara. Dahulu migas hanya bisa dikelola oleh perusahaan negara, untuk itulah
kemudian dibentuk Pertamina. Untuk mewujudkan misi konstitusi itu maka
diterbitkan UU Migas No. 44 tahun 1960 dan selanjutnya disusul UU Pertamina No.
8 tahun 1971 yang menjadikan Pertamina
menjadi Integrated National Oil Company (NOC), pemain tunggal yang menguasai
hulu dan hilir sekaligus pemegang hak menguasai negara atas migas. Peran itu
berlangsung hingga terjadi krisis
ekonomi Asia di tahun 1998 yang melahirkan gerakan reformasi.
Reformasi merubah orientasi negara
dalam mengelola migas dari kolektif sosial menjadi liberal capital. Setelah lahirnya
UU Migas No. 22 tahun 2001, kekuasaan negara atas migas dicabut dari Pertamina
dipindahkan ke pemerintah. Selanjutnya Pertamina dirombak menjadi perusahaan
persero, dan mulai saat itu migas diposisikan sebagai komoditas dagang biasa
yang tunduk kepada mekanisme pasar. Pertamina tidak lagi berperan sebagai
regulator dan pengawas sebagaimana sebelumnya, fungsi ini dipindahkan kepada BP/SKK migas.
Saat ini Pertamina menjadi badan
usaha biasa yang bebas untuk bersaing di hulu dan hilir, baik di dalam maupun di luar negeri. Menyesuaikan dengan pergeseran
itu kemudian visi Pertaminapun dirubah yakni “Menjadi Perusahaan Energi Nasional Kelas Dunia”. Sekalipun demikian
Pertamina tetap menanggung tugas khusus Public Service Obligation (PSO) dalam perpres
No. 191 tahun 2014 dan permen ESDM nomor
36 tahun 2016 untuk percepatan satu harga jenis BBM tertentu dan penugasan di seluruh wilayah NKRI. Sebentar lagi
Pertamina juga akan menjadi induk (holding) dari seluruh perusahaan migas.
Intervensi Penguasa
Pertamina menyelenggarakan usaha migas
di sektor hulu hingga hilir. Di sektor hulu Pertamina merambah bidang
eksplorasi dan produksi baik di dalam maupun luar negeri. Sedangkan di bisnis
hilir, Pertamina nyaris menjadi pemain tunggal ditribusi BBM di dalam negeri. Kenyataan
lain saat ini Indonesia adalah negara pengimport minyak, diakibatkan kebutuhan
BBM dalam negeri yang semakin meningkat namun
tidak dapat dipenuhi dari hasil produksi sendiri. Import tahunan yang cukup besar ini rawan
KKN.
Melihat posisi itu maka siapapun akan
berusaha menguasai Pertamina untuk menangguk keuntungan. Modus yang bisa
dilakukan adalah mempengaruhi dan jika perlu mengintervensi keputusan bisnis
Pertamina. Cara yang praktis adalah dengan menempatkan orang-orangnya sebagai
pengendali Pertamina. Karena Pertamina adalah BUMN, maka intervensi yang
efektif adalah melalui pemerintah, partai politik, legeslatif dan kekuasaan
lainnya. Intervensi politik inilah yang paling berbahaya karena menimbulkan
kerusakan massif bagi negara.
Maka menjaga Pertamina adalah merawat
Pertamina agar menjadi besar, kuat dan menguntungkan bagi negara. Pertamina
harus diberi kebebasan profesional
menjalankan misinya dalam lingkup lokal maupun global untuk memenuhi kebutuhan migas negara.
Negara harus membentengi Pertamina dari segala bentuk intervensi yang dapat
mengganggu independensi dan produktivitas perusahaan, karena intervensi
demikian sama artinya dengan
mengkhianati konstitusi.