Jumat, 08 Juni 2018

DIBAWA KE MANA PERTAMINA (KOMPAS 11 Mei 2018)


MAU DIBAWA KEMANA PERTAMINA
Oleh : Junaidi Albab Setiawan
Advokat Pemerhati Hukum Migas

Pertamina seperti tidak bosan-bosannya membuat kejutan yang justru mendatangkan kekhawatiran. Melalui RUPSLB yang digelar pada hari Jumat 20 April 2018, Pertamina kembali mencopot Direktur Utama yang baru beberapa bulan menduduki posisinya. Sehingga dalam dua tahun terakhir ini Pemerintah sudah melakukan empat kali pergantian jajaran direksi. Penggantian itu tidak hanya mengganti Direktur Utama,  namun juga merombak nomenklatur serta pos-pos penting di Pertamina.
Bongkar pasang Direktur Utama yang bertugas sebagai panglima tertinggi  suatu  perusahaan, tentu menyiratkan situasi yang tidak normal. Fenomena ini memberi sinyal yang kuat kepada rakyat bahwa saat ini Pertamina sedang tidak sehat. Pertamina seperti tidak memiliki peta jalan kebijakan yang dapat dijalankan secara konsisten sebagai acuan. Situasi ini tentu membahayakan karena Pertamina masih menjadi tumpuan harapan rakyat dalam mencukupi kebutuhan energi. Pertamina bahkan diskenariokan (PP No. 6 tahun 2018) menjadi induk usaha (holding) bagi perusahaan-perusahaan migas negara.   

Pemerintah dan Pertamina
Penggantian direksi pada sutu perseroan bisa dimaknai bahwa para direktur yang diganti tidak mampu memenuhi harapan Pemerintah. Hal itu karena pemegang saham Pertamina adalah negara yang dijalankan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN, maka dapat disimpulkan pula bahwa pergantian demi penggantian itu memang dihendaki oleh Pemerintah.
Penggantian elemen penting perusahaan yang terlampau sering dan dilakukan dalam kurun waktu yang singkat, menjadi pertanda di  Pertamina sedang terjadi pergolakan. Kemungkinan penyebabnya adalah karena Pemerintah selama ini kurang selektif dan professional dalam memilih direksi, atau sebaliknya Pemerintah sedang memaksakan kehendaknya yang tidak dapat dipenuhi oleh direksi. Berbagai dalih yang dilontarkan seperti kelangkaan premium dan jebolnya pipa bawah laut  di Balikpapan dll, jika ditilik lebih jauh tidak cukup kuat menjadi alasan pencopotan. Pemaksaan kehendak itu bisa saja terjadi karena dominasi Pemerintah sebagai pemegang saham tunggal berpotensi disalahgunakan dalam penentuan pengurus di Pertamina.
Dahulu di era orde baru hingga awal reformasi, Pertamina adalah perusahaan yang tertutup dan menjadi sapi perah kekuasaan. Namun sejak Pertamina berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT) Persero, Pertamina harus menerapkan Good Corporate Governance (GCG) dan tunduk kepada UU PT dan UU BUMN sekaligus. Pengaturan GCG tidak terlepas dengan prinsip good governance (GG), kedua prinsip (GCG dan GG) ini harus bersinergi, terintegrasi dan harus berjalan saling melengkapi dalam aktivitas perusahaan persero.
Dengan diterapkannya kedua prinsip itu maka paradigma lama yang menjadikan Pertamina sebagai sumber pembiayaan politik dan ladang KKN menjadi sulit dilakukan karena secara otomatis akan ditolak oleh sistem (by system) yang berlaku di perusahaan.
Mau Dibawa Kemana
Pertanyaan khalayak adalah mau dibawa kemana Pertamina. Berbagai kisah tragis Pertamina di masa lalu melahirkan kecurigaan, jangan sampai Pertamina kembali menjadi Pertamina yang tertutup dan koruptif. Karena Pertamina saat ini menempati posisi strategis sebagai lokomotive  ekonomi negara sekaligus agen dalam pemerataan pembangunan, khususnya sebagai panyedia utama kebutuhan energi bagi kehidupan rakyat. Saat ini Pertamina berkontribusi sekitar 24 % dari total produksi migas nasional. Sektor migas menempati posisi penting dalam Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP), dari 260 triliun rupiah total PNBP pada APBN-P 2017, 50 % didapat dari sector ESDM yakni sebesar 132 triliun rupiah atau 50 % dari PNBP, dan sector migas menyumbang 88,6 %.
Oleh karenanya merombak pengurus dan aturan main di tubuh Petamina haruslah dilakukan dengan berhati-hati, penuh perhitungan, transparan dan tidak mengganggu produktivitas yang menimbulkan kerugian. Setidaknya ada tiga hal penting sebagai landasan perubahan. Pertama, setiap perubahan harus membuat Pertamina semakin kuat dan solid dalam memperjuangkan kepentingan  negara mewujudkan kebijakan energi nasional sesuai amanat konstitusi. Kedua, setiap perubahan harus transparan dan diyakini mampu memacu kinerja dalam jangka panjang serta dapat dipertanggung jawabkan  kepada seluruh rakyat Indonesia. Ketiga, agar perubahan tidak membawa Pertamina menjadi sasaran  kepentingan politik dalam mencari pembiayaan, maka Pemerintah harus cermat dan teliti dalam memilih pengurus, terutama jajaran Komsaris dan Direksi agar Pertamina tidak disusupi oleh oknum yang memiliki agenda terselubung.
Pertamina dan Kedaulatan Energi
Ditengah situasi menejeman yang kacau tersebut ada baiknya perlu diingat siapa sesungguhnya Pertamina. Memahami pertamina tidak bisa sekedar melihatnya pada posisi sekarang yang gemerlap, ekpansif dan berkelas dunia. Namun juga harus  melihat sejarah dan jatidiri Pertamina yang bersifat khusus. Keberhasilan Pertamina sebagai perusahaan tidak hanya diukur dari kemampuannya dalam menumpuk keuntungan, namun juga dari perannya dalam memperkecil ketimpangan sosial di seluruh pelosok negeri.
Wajar jika Pertamina sekarang menjadi besar, karena bisnis Pertamina adalah bisnis strategis yang dilindungi. Harus diingat keberadaan Pertamina sangat berkaitan dengan visi  mewujudkan ketahanan dan kedaulatan energi. Pertamina bukan entitas bisnis biasa, dipundaknya tersandang beban untuk mewujudkan misi negara dalam  mewujudkan migas yang adil bagi seluruh rakyat. Karena menyangkut bisnis komoditas vital, maka negara memainkan peran penting secara langsung dan tidak langsung di Pertamina guna memastikan tercapainya keadilan social bagi seluruh rakyat.
Jika ukurannya semata-mata tujuan komersial, maka Pertamina sudah bangkrut sejak lama. Pertamina tidak tiba-tiba mejadi besar seperti sekarang, namun telah melewati jatuh bangun yang menyakitkan. Pada setiap kejatuhannya, negara selalu hadir untuk menegakkan kembali, dan rakyatlah yang harus menanggung kerugiannya. Maka tidak ada alasan untuk terlalu bangga dengan angka-angka namun lupa dengan sejarah Pertamina.
Sejarah Pertamina menunjukkan bahwa kerusakan Pertamina sering dimulai dari dalam yang diakibatkan oleh lemahnya menejerial dan intervensi kekuasaan.  Karenanya setiap perubahan di tubuh Pertamina yang menggeser filosofi negara dalam mengelola migas harus dicegah. Pertamina harus diisi oleh orang-orang professional, berintegritas, jujur dan memahami jati diri Pertamina. 
Sejarah Pertamina
Jatidiri Pertamina dimulai dari amanat UUD 45 pasal 33 yang menempatkan migas sebagai sumber  daya alam strategis yang langsung dikuasai negara. Dahulu migas hanya bisa dikelola oleh perusahaan negara, untuk itulah kemudian dibentuk Pertamina. Untuk mewujudkan misi konstitusi itu maka diterbitkan UU Migas No. 44 tahun 1960 dan selanjutnya disusul UU Pertamina No. 8 tahun 1971 yang menjadikan   Pertamina menjadi Integrated National Oil Company (NOC), pemain tunggal yang menguasai hulu dan hilir sekaligus pemegang hak menguasai negara atas migas. Peran itu berlangsung hingga terjadi  krisis ekonomi Asia di tahun 1998 yang melahirkan gerakan reformasi.
Reformasi merubah orientasi negara dalam mengelola migas dari kolektif sosial menjadi liberal capital. Setelah lahirnya UU Migas No. 22 tahun 2001, kekuasaan negara atas migas dicabut dari Pertamina dipindahkan ke pemerintah. Selanjutnya Pertamina dirombak menjadi perusahaan persero, dan mulai saat itu migas diposisikan sebagai komoditas dagang biasa yang tunduk kepada mekanisme pasar. Pertamina tidak lagi berperan sebagai regulator dan pengawas sebagaimana sebelumnya, fungsi ini  dipindahkan kepada BP/SKK migas.
Saat ini Pertamina menjadi badan usaha biasa yang bebas untuk bersaing di hulu dan hilir, baik di dalam  maupun di luar negeri. Menyesuaikan dengan pergeseran itu kemudian visi Pertaminapun dirubah yakni “Menjadi Perusahaan Energi  Nasional Kelas Dunia”. Sekalipun demikian Pertamina tetap menanggung tugas khusus Public Service Obligation (PSO) dalam perpres No. 191 tahun 2014 dan permen ESDM  nomor 36 tahun 2016 untuk percepatan satu harga jenis BBM tertentu dan penugasan  di seluruh wilayah NKRI. Sebentar lagi Pertamina juga akan menjadi induk (holding) dari seluruh perusahaan migas.
Intervensi Penguasa
Pertamina menyelenggarakan usaha migas di sektor hulu hingga hilir. Di sektor hulu Pertamina merambah bidang eksplorasi dan produksi baik di dalam maupun luar negeri. Sedangkan di bisnis hilir, Pertamina nyaris menjadi pemain tunggal ditribusi BBM di dalam negeri. Kenyataan lain saat ini Indonesia adalah negara pengimport minyak, diakibatkan kebutuhan BBM  dalam negeri yang semakin meningkat namun tidak dapat dipenuhi dari hasil produksi sendiri.  Import tahunan yang cukup besar ini rawan KKN.
Melihat posisi itu maka siapapun akan berusaha menguasai Pertamina untuk menangguk keuntungan. Modus yang bisa dilakukan adalah mempengaruhi dan jika perlu mengintervensi keputusan bisnis Pertamina. Cara yang praktis adalah dengan menempatkan orang-orangnya sebagai pengendali Pertamina. Karena Pertamina adalah BUMN, maka intervensi yang efektif adalah melalui pemerintah, partai politik, legeslatif dan kekuasaan lainnya. Intervensi politik inilah yang paling berbahaya karena menimbulkan kerusakan massif bagi negara.  
Maka menjaga Pertamina adalah merawat Pertamina agar menjadi besar, kuat dan menguntungkan bagi negara. Pertamina harus diberi kebebasan profesional  menjalankan misinya dalam lingkup lokal maupun  global untuk memenuhi kebutuhan migas negara. Negara harus membentengi Pertamina dari segala bentuk intervensi yang dapat mengganggu independensi dan produktivitas perusahaan, karena intervensi demikian  sama artinya dengan mengkhianati konstitusi.