Dualisme Rezim
Hukum Bisnis Hulu Migas
Junaidi Albab
Setiawan
Advocat, Praktisi
dan Pengamat Hukum Migas
Perubahan
penting yang diusung oleh UU Cipta Kerja dalam bidang Migas adalah diterapkannya
kembali rezim izin/konsesi dalam kegiatan usaha hulu Migas.
Perubahan itu tertuang dalam klaster ESDM, Pasal 40 (hal 226), yang merubah
pasal 5 UU Migas Tahun 2001 dengan tambahan ayat (1) yang berbunyi: “Kegiatan usaha Minyak dan Gas
Bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat”. Selanjutnya pengertian kegiatan usaha Migas diterangkan lebih
rinci oleh ayat (2) yang berbunyi: “Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi terdiri
atas Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir.” Dengan berlakunya ketentuan
di atas maka terhadap bisnis hulu Migas berlaku
dua rezim hukum, yakni berdasar izin/konsesi dan kontrak kerjasama sesuai pasal
6 (1) UU Migas 2001.
Pemberlakuan
kembali sistem izin/konsesi adalah langkah mundur yang akan semakin menimbulkan
masalah dalam tata Kelola hulu Migas. Sistem ini rawan disalah gunakan (KKN)
dan berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Kehadiran sistem izin/konsesi
mengakibatkan dualisme dan tumpang tindih pengaturan tata kelola hulu Migas
yang memperlemah kepastian hukum. Untuk dapat berfungsi sistem ini masih
memerlukan aturan pelaksana baru yang kompleks serta pengawasan yang ketat.
Konsesi
Sistem
izin/konsesi pernah berlaku di zaman pemerintahan kolonial Belanda berdasarkan "Indische
Mijnwet", Staatsblad tahun 1899 No. 214. Setelah Indonesia
merdeka keberlakuan sistem ini mendapat penolakan keras dari para tokoh bangsa
lewat “Mosi Teuku Mohammad Hasan” dan kemudian menghasilkan Keputusan
DPRS No. 47/K/1951, dimana Negara pada 13 September 1951 membentuk Panitia Negara untuk Urusan Pertambangan (PNUP).
Dari
penyelidikan PNUP ditemukan adanya kelemahan pengaturan dan pengawasan dalam sistem
izin/konsesi, akibatnya para pemegang konsesi bertindak terlalu bebas dan curang
dalam melaporkan biaya operasional dan hasil penambangan Migas. Selanjutnya Panitia
juga berhasil merumuskan UU No. 44 Tahun 1960 Tentang Migas. Oleh undang-undang
tersebut sistem izin/konsesi diganti “kuasa pertambangan” dengan
menerapkan “Kontrak Karya” yang kemudian berkembang menjadi “Kontrak
Bagi Hasil” hingga saat ini.
Dahulu
kehadiran sistem kontrak juga mendapatkan penolakan dari perusahaan-perusahaan Migas
yang sudah terlanjur diuntungkan oleh sistem konsesi. Perselisihan tersebut akhirnya
dapat diselesaikan dalam perundingan antara pemerintah Indonesia dengan Caltex,
Stanvac dan Shell, berlangsung di Tokyo pada tanggal 1 Juni 1963, dikenal
sebagai Tokyo Heads of Agreement.
Perusahan-perusahaan akhirnya tunduk hak konsesi miliknya diubah menjadi
“Kontrak Karya” berhadapan dengan PN. PERMINA, PN PERTAMIN dan PN PERMIGAN
sebagai kepanjangan tangan Negara.
Perbedaan
dan Kelemahan
Izin/konsesi
(verguning) adalah perbuatan hukum administrasi negara yang bersegi
satu, berupa persetujuan dari penguasa yang diberi wewenang oleh undang-undang,
untuk dalam keadaan tertentu merubah hal yang dilarang menjadi boleh dilakukan
(relaxation legis). Izin/konsesi memiliki sifat monopolistis,
karena berdasar alasan subjektif, izin/konsesi dapat diberikan oleh pemberi izin/konsesi
kepada siapa saja yang dikehendaki dan
dapat pula dicabut kapan saja bilamana pemberi
izin/konsesi menghendaki.
Akibatnya
izin/konsesi berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dan resiko
politik yang tinggi bagi perusahaan, karena perusahaan harus “pandai-pandai”
menjaga hubungan baik dengan pemberi izin/konsesi (Pemerintah Pusat). Padahal umur
pemerintah berjangka singkat, dibanding umur bisnis hulu Migas yang berjangka lama
dan menuntut kepastian hukum, sehingga sistem ini rawan penyalah gunaan wewenang
(detournement de pouvoir). Sebaliknya dalam sistem ini negara melepas
wilayah konsesi kepada perusahaan untuk diekplorasi dan diekploitasi (relinquishment
clauses), akibatnya kontrol pemerintah terhadap wilayah konsesi menjadi
lemah, sedang posisi perusahaan menjadi kuat, cenderung tertutup dan bertindak curang.
Disisipkannya
rezim izin/konsesi dalam UU Cipta Kerja barangkali
dipengaruhi oleh pertimbangan MK point (3.14) perkara No.36/PUU.X/2012. Menurut
MK, “hubungan antara negara dengan swasta dalam pengelolaan
sumber daya alam tidak dapat dilakukan dengan hubungan keperdataan, akan
tetapi harus merupakan hubungan yang bersifat publik yaitu berupa pemberian
konsesi atau perizinan yang sepenuhnya di bawah kontrol dan kekuasaan
negara. Kontrak keperdataan akan mendegradasi kedaulatan negara atas
sumber daya alam, dalam hal ini Migas.” Pertimbangan hukum bukanlah
amar putusan, namun sebatas pandangan MK terhadap kegiatan usaha hulu Migas
yang tidak sepenuhnya benar karena cenderung mengesampingkan aspek keekonomian dunia
Migas.
Sesungguhnya
kegiatan hulu Migas adalah kegiatan bisnis yang juga diawali dengan analisis
untung dan rugi (cost and benefit analysis). Hubungan hukum yang sesuai
dengan karakter bisnis hulu Migas adalah hubungan keperdataan dalam bentuk kontrak.
Kontrak adalah perangkat bisnis, berupa kesepakatan dua arah antara pihak-pihak
yang bertujuan mencari keuntungan dan saling membutuhkan (reciprocal).
Dalam kontrak, para pihak berdiri sama tinggi dan tunduk kepada isi kontrak
yang mengikat para pihak layaknya undang-undang (pacta sun servanda).
Karenanya ketundukan terhadap isi kontrak tidak serta merta dapat diartikan
sebagai degradasi kedaulatan negara atas Migas, namun lebih
dimaknai sebagi penghormatan kepada kesepakatan (contract sanctity).
UU
Migas 2001 menegaskan bahwa Migas adalah komoditas. Sebagai komoditas Migas diniagakan
berdasar norma-norma yang berlaku di pasar global dan tidak dapat diniagakan secara
tertutup, kecuali jika Negara mampu mengupayakannya sendiri untuk dikonsumsi
sendiri. Harus disadari saat ini bandul (pendulum) peradaban dunia menempatkan
kapitalisme sedemikian mendominasi perekonomian dunia mengalahkan sosialisme sebagai
induk rezim izin/konsesi. Arah gerak zaman menunjukkan bahwa sebagai sistem
perekonomian, saat ini kapitalisme begitu kuat mempengaruhi cara melakukan kegiatan produksi,
distribusi dan konsumsi barang kebutuhan hidup. Situasi itu tidak cukup
dihadapi dengan semangat nasionalisme, namun juga menuntut kemampuan Indonesia untuk
berselancar di atas arus besar peradaban dengan sikap adaptif dan fleksibel.
Pertimbangkan
Kembali
Saat ini bisnis hulu Migas yang dikendalikan melalui kontrak kerja sama sudah menjadi sistem yang mapan. Agar sistem ini lebih produktif yang dibutuhkan adalah penyempurnaan, bukan bongkar pasang aturan. Maka kehadiran rezim hukum izin/konsesi dalam bisnis hulu Migas sebaiknya dipertimbangkan kembali agar tidak merusak harmoni yang sudah terbangun.