Sabtu, 05 Desember 2020

DUALISME REZIM HUKUM HULU MIGAS (KOMPAS 4 DESEMBER 2020)

Dualisme Rezim Hukum Bisnis Hulu Migas

Junaidi Albab Setiawan

Advocat, Praktisi dan Pengamat Hukum Migas

 

Perubahan penting yang diusung oleh UU Cipta Kerja dalam bidang Migas adalah diterapkannya kembali rezim izin/konsesi dalam kegiatan usaha hulu Migas. Perubahan itu tertuang dalam klaster ESDM, Pasal 40 (hal 226), yang merubah pasal 5 UU Migas Tahun 2001 dengan tambahan ayat (1) yang  berbunyi: “Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat”. Selanjutnya pengertian kegiatan usaha Migas diterangkan lebih rinci oleh ayat (2) yang berbunyi: “Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi terdiri atas Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir.” Dengan berlakunya ketentuan di atas maka  terhadap bisnis hulu Migas berlaku dua rezim hukum, yakni berdasar izin/konsesi dan kontrak kerjasama sesuai pasal 6 (1) UU Migas 2001.

Pemberlakuan kembali sistem izin/konsesi adalah langkah mundur yang akan semakin menimbulkan masalah dalam tata Kelola hulu Migas. Sistem ini rawan disalah gunakan (KKN) dan berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Kehadiran sistem izin/konsesi mengakibatkan dualisme dan tumpang tindih pengaturan tata kelola hulu Migas yang memperlemah kepastian hukum. Untuk dapat berfungsi sistem ini masih memerlukan aturan pelaksana baru yang kompleks serta pengawasan yang ketat.

Konsesi

Sistem izin/konsesi pernah berlaku di zaman pemerintahan kolonial Belanda berdasarkan "Indische Mijnwet", Staatsblad tahun 1899 No. 214. Setelah Indonesia merdeka keberlakuan sistem ini mendapat penolakan keras dari para tokoh bangsa lewat “Mosi Teuku Mohammad Hasan” dan kemudian menghasilkan Keputusan DPRS No. 47/K/1951, dimana Negara pada 13 September 1951 membentuk  Panitia Negara untuk Urusan Pertambangan  (PNUP).

Dari penyelidikan PNUP ditemukan adanya kelemahan pengaturan dan pengawasan dalam sistem izin/konsesi, akibatnya para pemegang konsesi bertindak terlalu bebas dan curang dalam melaporkan biaya operasional dan hasil penambangan Migas. Selanjutnya Panitia juga berhasil merumuskan UU No. 44 Tahun 1960 Tentang Migas. Oleh undang-undang tersebut sistem izin/konsesi diganti “kuasa pertambangan” dengan menerapkan “Kontrak Karya” yang kemudian berkembang menjadi “Kontrak Bagi Hasil” hingga saat ini.

Dahulu kehadiran sistem kontrak juga mendapatkan penolakan dari perusahaan-perusahaan Migas yang sudah terlanjur diuntungkan oleh sistem konsesi. Perselisihan tersebut akhirnya dapat diselesaikan dalam perundingan antara pemerintah Indonesia dengan Caltex, Stanvac dan Shell, berlangsung di Tokyo pada tanggal 1 Juni 1963, dikenal sebagai Tokyo Heads of Agreement.  Perusahan-perusahaan akhirnya tunduk hak konsesi miliknya diubah menjadi “Kontrak Karya” berhadapan dengan PN. PERMINA, PN PERTAMIN dan PN PERMIGAN sebagai kepanjangan tangan Negara.

Perbedaan dan Kelemahan

Izin/konsesi (verguning) adalah perbuatan hukum administrasi negara yang bersegi satu, berupa persetujuan dari penguasa yang diberi wewenang oleh undang-undang, untuk dalam keadaan tertentu merubah hal yang dilarang menjadi boleh dilakukan (relaxation legis). Izin/konsesi memiliki sifat monopolistis, karena berdasar alasan subjektif, izin/konsesi dapat diberikan oleh pemberi izin/konsesi  kepada siapa saja yang dikehendaki dan dapat pula  dicabut kapan saja bilamana pemberi izin/konsesi menghendaki.

Akibatnya izin/konsesi berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dan resiko politik yang tinggi bagi perusahaan, karena  perusahaan harus “pandai-pandai” menjaga hubungan baik dengan pemberi izin/konsesi (Pemerintah Pusat). Padahal umur pemerintah berjangka singkat, dibanding umur bisnis hulu Migas yang berjangka lama dan menuntut kepastian hukum, sehingga sistem ini rawan penyalah gunaan wewenang (detournement de pouvoir).  Sebaliknya dalam sistem ini negara melepas wilayah konsesi kepada perusahaan untuk diekplorasi dan diekploitasi (relinquishment clauses), akibatnya kontrol pemerintah terhadap wilayah konsesi menjadi lemah, sedang posisi perusahaan menjadi kuat, cenderung tertutup dan bertindak curang.

Disisipkannya rezim izin/konsesi dalam  UU Cipta Kerja barangkali dipengaruhi oleh pertimbangan MK point (3.14) perkara No.36/PUU.X/2012. Menurut MK, hubungan antara negara dengan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dilakukan dengan hubungan keperdataan, akan tetapi harus merupakan hubungan yang bersifat publik yaitu berupa pemberian konsesi atau perizinan yang sepenuhnya di bawah kontrol dan kekuasaan negara. Kontrak keperdataan akan mendegradasi kedaulatan negara atas sumber daya alam, dalam hal ini Migas.” Pertimbangan hukum bukanlah amar putusan, namun sebatas pandangan MK terhadap kegiatan usaha hulu Migas yang tidak sepenuhnya benar karena cenderung mengesampingkan aspek keekonomian dunia Migas.

Sesungguhnya kegiatan hulu Migas adalah kegiatan bisnis yang juga diawali dengan analisis untung dan rugi (cost and benefit analysis). Hubungan hukum yang sesuai dengan karakter bisnis hulu Migas adalah hubungan keperdataan dalam bentuk kontrak. Kontrak adalah perangkat bisnis, berupa kesepakatan dua arah antara pihak-pihak yang bertujuan mencari keuntungan dan saling membutuhkan (reciprocal). Dalam kontrak, para pihak berdiri sama tinggi dan tunduk kepada isi kontrak yang mengikat para pihak layaknya undang-undang (pacta sun servanda). Karenanya ketundukan terhadap isi kontrak tidak serta merta dapat diartikan sebagai degradasi kedaulatan negara atas Migas, namun lebih dimaknai sebagi penghormatan kepada kesepakatan (contract sanctity).

UU Migas 2001 menegaskan bahwa Migas adalah komoditas. Sebagai komoditas Migas diniagakan berdasar norma-norma yang berlaku di pasar global dan tidak dapat diniagakan secara tertutup, kecuali jika Negara mampu mengupayakannya sendiri untuk dikonsumsi sendiri. Harus disadari saat ini bandul (pendulum) peradaban dunia menempatkan kapitalisme sedemikian mendominasi perekonomian dunia mengalahkan sosialisme sebagai induk rezim izin/konsesi. Arah gerak zaman menunjukkan bahwa sebagai sistem perekonomian, saat ini kapitalisme begitu kuat  mempengaruhi cara melakukan kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi barang kebutuhan hidup. Situasi itu tidak cukup dihadapi dengan semangat nasionalisme, namun juga menuntut kemampuan Indonesia untuk berselancar di atas arus besar peradaban dengan sikap adaptif dan fleksibel.

Pertimbangkan Kembali

Saat ini bisnis hulu Migas yang dikendalikan melalui kontrak kerja sama sudah menjadi sistem yang mapan. Agar sistem ini lebih produktif yang dibutuhkan adalah penyempurnaan, bukan bongkar pasang aturan. Maka kehadiran rezim hukum izin/konsesi dalam bisnis hulu Migas  sebaiknya dipertimbangkan kembali agar tidak merusak harmoni yang sudah terbangun.