SUAP TANPA PENYUAP
(Tinjauan Kasus Pemilihan Deputy Gebernur Senior BI)
Suap menyuap adalah suatu perbuatan resiprokal antara dua pihak atau lebih yang saling berhadapan, mereka bersepakat “saling” memberi dan menerima. Satu pihak berharap agar pihak lain memberikan sesuatu baik berupa “barang”, “jasa” ataupun “prestasi” tertentu, untuk itu maka pihak lainnya bersedia memberikan “imbalan” atas pemberian tersebut dengan hal sama yang biasanya berupa uang. Suap menyuap terjadi karena kesepakatan kedua belah pihak dan mustahil terjadi hanya pada satu pihak. Dan yang terpenting dalam suap menyuap ini mengandung pelanggaran hukum karena pemberian atau prestasi yang dilakukan bertentangan dengan kewajiban dan tanggung jawab yang seharusnya dilakukan.
Berangkat dari pemahaman makna suap di atas, maka jika kita melihat perkembangan persidangan kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGSBI) di pengadilan TIPIKOR belakangan ini, wajar jika orang bertanya-tanya bagaimana mungkin suap bisa terjadi tanpa ada penyuapnya? Dari mana uang suap itu bersumber? dan apa sesungguhnya motif pemberian uang suap tersebut? Pertanyaan-pertanyaan demikian sangat wajar muncul dibenak siapapun.
Jika motif pemberian suap adalah agar MG terpilih menjadi DGSBI oleh para anggota DPR, maka yang masuk akal semestinya MGlah penyuapnya atau setidaknya daripadanya atau atas perintahnya atau untuk kepentingannyalah uang suap itu dibayarkan. Namun kenyataannya hingga kini MG masih bebas melenggang dan hanya sebatas menjadi saksi, bukan sebagai tersangka penyuap. Justru sekarang ini muncul sosok kontroversial sebagai tersangka yang bernama Nunun Nurbaity (NN) istri mantan Wakapolri, seorang pengusaha, bukan bankir dan bukan pula pemilik bank. NN kini sedang "sakit" dan berobat di luar negeri.
Dalam persidangan, justru ditemukan kesaksian adanya hubungan dana suap dengan NN bukan dengan MG. Oleh karena itulah maka agar runtutan peristiwanya sampai kepada MG, saat ini KPK Nampak sedang bekerja keras membuktikan bahwa ada hubungan sebab akibat antara NN dengan MG. Hal ini karena kebanyakan para penerima suap hanya tahu orang yang menyerahkan uang suap dan tujuan pemberian suap serta imbal baliknya, namun para penerima suap tidak bersinggungan langsung dengan MG. Oleh karenanya ketiadaan NN tentu menyulitkan KPK untuk membuktikan sebab akibat itu. Sementara ini kekuatan pembuktian KPK nampak terletak dan lebih disandarkan dari bukti Pengakuan pelapor Agus Condro si “whistle blower” yang tetap dihukum 18 bulan dan sebagian penerima suap lainnya serta kurir yang menyerahkan uang suap serta beberapa penerima suap lainnya. Menurut pasal 184 (1) KUHAP, Pengakuan adalah salah satu alat bukti sempurna dalam perkara pidana selain Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Bukti Surat dan Petunjuk.
Lambatnya penetapan status MG dalam perkara ini menunjukkan bahwa KPK mengalami kesulitan untuk menyeret MG sebagai tersangka karena hubungan “saling” dalam rantai tindak pidana suap menyuap terputus (missing link), akibat tidak kunjung ditemukannya NN. Dengan ketiadaan NN dalam persidangan, hubungan hukum suap menyuap dari MG yang diduga dan diperkirakan sebagai actor intlektual atau setidaknya turut serta sebagai bagian dalam perbuatan suap menyuap menjadi belum terbukti. Karena tidak seorang penerima suap-pun yang berhubungan langsung dengan MG atau menerima uang langsung dari MG, kebanyakan dari mereka hanya mendengar dan atau mendapat uang (travel ceque) dalam rangka memilih MG sebagai DGSBI.
Kalau saat ini NN ditetapkan sebagai tersangka, hampir bisa dipastikan karena didasarkan adanya bukti pengakuan dan keterangan para saksi. Namun benarkah NN yang mengeluarkan uang sebanyak itu dan mengapa NN mau mengeluarkan uang dalam jumlah besar itu?, yang menurut para saksi dibayarkan untuk “mensuskseskan” terpilihnya MG sebagai DGSBI, dan apa hubungan NN dengan MG dalam hal ini, masih belum dapat dibuktikan secara terang benderang. Kemungkinan dalih MG saat ini adalah MG tidak tahu dan tidak peduli ada orang-orang yang saling suap dan berkorban dana dalam jumlah besar untuk mensukseskan kepentingannya dan saat ini MG pasti membantah berhubungan dengan NN dalam rangka mengejar jabatan DGSBI.
Namun dizaman sekarang ini tentu orang tidak dengan mudah bersedia mengeluarkan uang semacam itu tanpa tujuan tertentu yang pasti. Dalam kontek suap maka orang akan berpendapat kalau ada penerima suap yang sudah terbukti di pengadilan dan bahkan dihukum, maka sudah pasti ada pemberi suap dan jika tujuan pemberian suap adalah untuk meluluskan terpilihnya MG sebagai DGSBI maka sulit untuk tidak menduga MG terlibat atau setidaknya tahu adanya “permainan” itu.
Saat ini, untuk dapat menjerat MG, KPK harus mampu membuktikan setidaknya dua hal, yakni pertama, bahwa tersangka NN mengeluarkan uang untuk dibayarkan kepada para anggota DPR semata-mata untuk kepentingan MG dalam mengejar jabatan strtegis itu dan kedua, antara NN dan MG mempunyai kesepahaman tujuan yakni untuk mengupayakan agar para anggota DPR memilih MG sebagai DGSBI. Dan untuk membuktikan keterlibatan itu alat ukurnya adalah adanya alat bukti. KPK kemungkinan belum memiliki alat bukti yang kuat baik berupa surat, keterangan saksi maupun petunjuk yang menerangkan keteribatan MG secara materiil.
Dalam hal pembuktian, KPK telah diberi perangkat yang lebih luas dibanding Polisi dan Jaksa. Dalam menjalankan tugas, KPK berhak menggunakan alat bukti yang sah yang cakupannya lebih luas dari KUHAP disesuaikan dengan perkembangan teknologi yang diatur dalam pasal 26 A UU No.31 Tahun 1999 yaitu: Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat 2 UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, khususnya untuk tidak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dilihat, dibaca, dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekan secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.
Jika dengan perangkat bukti yang relative lebih banyak dan luas serta telah mengadopsi alat-alat bukti modernpun KPK masih belum mampu membuktikan ada “penyuap”nya, maka dengan pikiran terbalik sederhana sesungguhnya orang-orang yang telah dihukum karena menerima suap dalam pemilihan DGSBI, sesungguhnya belum dapat dibuktikan secara utuh dalam suatu konstruksi motif perbuatan pidana sebagai telah menerima suap karena hingga kini belum ditemukan motif dan sosok penyuapnya.
Saat ini beredar berita yang konon bersumber dari Ketua KPK bahwa NN berada diluar negeri di bawah perlindungan “kekuatan besar”. Berita ini justru menjadikan kesimpulan kita yang sudah mulai “mengerucut” justru kembali meluas dan semakin bingung untuk menemukan motif suap menyuap dalam pemilihan DGSBI ini, karena berita ini adalah indikasi adanya kekuatan lain yang bermain dalam masalah ini diluar orang-orang yang sering disebutkan.
Tradisi Suap
Dalam berbisnis di Indonesia sangat sulit untuk terhindar dari tradisi suap-menyuap ini, baik suap kepada penguasa, partai, penentu kebijakan, pemegang otoritas perizinan, dll. Pembisnis Indonesia bahkan tidak hanya jago kandang dalam urusan suap menyuap, baru saja (3/11/11) Tranperency Internasional di Jakarta, merilis hasil survey mereka yang menyimpulkan bahwa Pengusaha Indonesia menduduki peringkat keempat di dunia (dari 28 negara), dengan predikat pebisnis gemar menyuap dalam berbisnis di luar negeri. Nampaknya suap sudah menjadi tradisi dan cara bisnis yang "dilazimkan" bagi pengusaha Indonesia.
Motif suap tidak lain adalah untuk melancarkan tujuan bisnis yakni untuk mendapatkan proyek, memudahkan perizinan, mendapatkan fasilitas kemudahan, melonggarkan aturan dan pengawasan, menunda sangsi atau bahkan mengaburkan dan mungkin menghilangkan sama sekali, memanfatkan penguasa untuk persaingan bisnis, dll. Secara tradisional suap sudah menjadi kebiasaan turun temurun di Indonesia.
Dalam situasi bisnis yang demikian maka kita akan mudah membenarkan sinyalemen Agus Condro Prayitno yang menduga ada kepentingan pengusaha dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia (BI) pada tahun 2004 lalu. Banyak pengusaha yang ingin mempengaruhi Bank Indonesia dengan mencoba mensponsori pemilihan pejabatnya.
BI memang lembaga independen yang bebas intervensi pemerintah. Tetapi, sulit untuk tidak terpengaruh oleh kepentingan pengusaha. Dan para pengusaha Bank adalah pengusaha yang paling berkepentingan dengan jabatan DGSBI. Hal ini berkait dengan Tugas Pokok Bank Indonesia : 1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; 2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; 3. Mengatur dan mengawasi bank.
Seperti kita tahu BI dipimpin oleh Dewan Gubernur yang terdiri dari seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior dan sekurang kurangnya 4 orang atau sebanyak-banyaknya 7 orang Deputi. Maka tidak mustahil jika ada pengusaha atau sekelompok pengusaha bank yang bermaksud menjinakkan atau mungkin menempatkan "orangnya" dalam jabatan strategis itu guna mengambil manfaat ataupun mempengaruhi BI. BI akan didekte oleh kepentingan mereka dan tidak lagi independen dalam menjalankan tugasnya. Situasi ini tentu merupakan ancaman serius bagi bangsa ini, betapa sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa rusaknya BI dan perbankan Indonesia sangat berkait dengan kredibilitas moral dari para pimpinannya.
Jika memang kecurigaan KPK adanya “pemain lain” sedemikian kuat, maka ada baiknya KPK juga mulai memasang mata ke arah bank-bank yang kemungkinan menjadi sponsor suap menyuap itu. Upaya ini selain untuk menghindarkan kerancuan hukum adanya “suap tanpa penyuap”, sekaligus untuk lebih menunjukkan kepada publik bahwa sekalipun BI bebas dari pengaruh pemerintah namun BI tidak bebas dari pengaruh “pengusaha hitam” dan BI nampaknya kini sedang “terancam”.
Junaidi Albab Setiawan
Blog ini berisi pendapat dan pemikiran pribadi yang sangat terbuka untuk dikritisi
Rabu, 09 November 2011
Senin, 22 Agustus 2011
www.hukumonline.com/pusatdata/download/fl24594/parent/12129
www.hukumonline.com/pusatdata/download/fl24594/parent/12129
Kamis, 18 Agustus 2011
Saat Negarawan Bicara Saat itu pula Rakyat Merasa Negara ini Ada
Haruskah Ketua MK jadi “Sahabat Sepi” ?
Oleh : Junaidi Albab Setiawan
Menjelang berakhirnya masa jabatan Mahfud MD sebagai Ketua MK pada tanggal 18 Agustus besok, sekalangan orang sudah mulai mewanti wanti agar siapapun yang terpilih menjadi Ketua MK kelak tidak terjebak dalam konstalasi politik menjelang tahun 2014.
Menurut mereka, sekali Ketua MK terjebak dalam permainan politik maka akan mengancam posisi MK sebagai pengawal konstitusi dan penjaga proses demokrasi. Dimata mereka Ketua MK harus menjaga jarak dengan hingar bingar politik, jika masuk di dalamnya maka konsekwensinya adalah kepada delegitimasi terhadap lembaga tinggi negara simbul konstitusi itu.
Anjuran ini juga diperkuat oleh pendapat lain yang bahkan lebih tegas lagi, dengan menyarankan sebaiknya sosok Ketua MK adalah orang yang kalem, tidak banyak bicara, berwibawa dan harus siap menjadi "sahabat sepi".
Pendapat semacam ini sesungguhnya bisa dibaca sebagai respon dan ketidak setujuan terhadap sepak terjang Ketua MK Mahfud MD belakangan ini. Mahfud MD yang diangkat sebagai Ketua MK 3 tahun yang lalu, mereka nilai sebagai sosok yang terlalu banyak bicara dan terlalu aktif mengomentari hal-hal diluar pakem bidang tugasnya sebagai hakim MK.
Mahfud MD memang dikenal sebagai sosok yang terbuka dan gemar melontarkan berbagai pendapat atas berbagai periswa hukum, politik dan kenegaraan yang terjadi di negeri ini melalui media. Mahfud juga termasuk giat dalam membongkar kebobrokan yang terjadi di depan matanya, sekalipun langkahnya akan memakan korban orang MK sendiri. Hal ini terbukti dalam perkara “pemalsuan surat MK” yang menyerempet nama beberapa orang staf dan seorang mantan hakim konstitusi koleganya di MK
Dalam kurun waktu kepemimpinannya juga kerap terjadi berbagai kontroversi yang mendapat apresiasi positif dari masyarakat. Sebagai contoh adalah peristiwa pemutaran hasil sadapan KPK dalam sidang perkara “Cicak Buaya” atas nama “keadilan substansial” yang menggegerkan segenap rakyat karena membuka mata adanya “pat gulipat” dalam penegakkan hukum. Langkahnya ini belakangan justru direspon oleh pemerintah dan DPR dengan Undang-undang MK baru yang membatasi putusan bersifat “ultra petita” (melebihi permohonan) yang berarti menutup pintu bagi tegaknya hukum subtansial.
Selain dekat dengan pers, Mahfud MD juga adalah orang yang sangat dekat dengan kalangan kampus dan ulama/agamawan. Hampir disebagian besar waktu luangnya digunakan untuk berkeliling ke segenap penjuru negeri berceramah dari kampus ke kampus, mengunjungi sekolah-sekolah, pondok-pondok pesantren, masjid-masjid dan sekolah-sekolah yang akan melahirkan calon pemimpin pemimpin agama lainnya.
Nampak dari aktivitasnya ini ada kesadaran bahwa tugas MK memerlukan dukungan dari pers, akademisi dan ulama. Setidaknya pers, akademisi dan ulama dipandangnya memiliki posisi strategis sebagai agen perubahan karena posisinya yang bisa langsung masuk ke jantung masyarakat, sehingga akan sangat meringankan tugas MK. Pada saat demikianlah seringkali muncul pernyataan-pernyataan yang oleh sekalangan orang dianggap kontroversial dan “mengancam” kebesaran MK.
MK Lembaga Tinggi Negara Baru
Jika ditilik dari sejarahnya, MK lahir tanggal 13 Agustus 2003, hari dimana UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi disahkan dalam suatu sidang Paripurna DPR dan pada hari yang sama langsung ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316. Sehingga dengan usianya yang baru 8 tahun dengan kedudukannya sebagai lembaga tinggi negara strategis dengan tugas khusus mengawal konstitusi dan demokratisasi sebagaimana dicita-citakan oleh Imanuel Kant dahulu, maka MK harus banyak memperkenalkan dirinya kepada Rakyat dengan sosialisasi intensif atas peran-peran besar yang diemban MK. Saat ini rasa-rasanya belum waktunya bagi siapapun ketua MK untuk hanya duduk dibelakang meja dan mengagumi kebesarannya sebagai negarawan sebagaimana diunugerahkan oleh undang-undang.
Tugas demikian tentu tidak dapat dijalankan dengan hanya diam menunggu perkara dan memutusnya secara konvensional. Tugas semacam ini harus dibarengi dengan keberanian untuk melakukan evaluasi dari waktu ke waktu, sejauh mana masyarakat telah memahami peran dan fungsi serta manfaat kehadiran MK. Ketua MK harus berani mendengar langsung dari segenap rakyat Indonesia, apa tanggapan rakyat terhadap putusan MK dan apakah putusan itu dapat dijalankan dengan penuh kesadaran. Sedang terhadap lembaga tinggi negara lainnya MK juga harus mampu berdiri sebagai rambu-rambu hidup yang mengingatkan sekaligus meluruskan jika terjadi “penyimpangan” dalam praktek menjalankan negara. Hal ini penting mengingat putusan MK sangat berkaitan dengan masalah-masalah kenegaraan yang dengan sendirinya meliputi pula berbagai kepentingan politik dari berbagai komponen bangsa.
Sesungguhnya perilaku dan sepak terjang Hakim MK sudah diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan Pedoman tingkah laku Hakim Konstitusi. Hakim MK harus menjunjung tinggi dan mematuhi sumpah jabatan yang telah diucapkan, serta melaksanakan tugas dengan jujur dan adil, penuh pengabdian dan penuh rasa tanggung jawab kepada diri sendiri, masyarakat, bangsa, negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu hakim MK harus menjauhkan diri dari perbuatan tercela dan menjaga wibawa selaku negarawan pengawal konstitusi, yang bebas dari pengaruh manapun (independen), arif dan bijaksana, serta tidak memihak (imparsial) dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Inilah yang semestinya menjadi acuan dalam menilai sepak terjang hakim MK dan bahkan Ketua MK, sepanjang apa yang dilakukan dan apa yang dikatakan ketua MK baik di dalam maupun diluar mahkamah tidak melanggar acuan ini mengapa kita harus khawatir.
Didalam kode etik juga diatur bahwa hakim MK harus selalu memperdalam dan memperluas penguasaan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan tugas sebagai Hakim Konstitusi, untuk digunakan dalam proses penyelesaian perkara dengan setepat-tepatnya dan seadil-adilnya sesuai dengan kewenangan dan kewajiban yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan kita tahu bahwa ilmu pengetahuan semacam ini tidak hanya ada di buku-buku dan undang-undang belaka, namun justru akan semakin kaya ilmu jika ketua MK berani mendengar langsung dan mengamati kehidupan kenegaraan dari sumbernya yakni segenap rakyat Indonesia.
Demi melihat posisi MK sebagai lembaga baru dengan misi besar yang lahir pasca reformasi maka MK memerlukan sosialisasi intensif agar difahami misinya, sehingga memerlukan ketua yang energik, dinamis dan tidak pelit ilmu dan berani memastikan bahwa misi MK benar benar difahami betul oleh segenap rakyat dari kalangan manapun.
Agen yang cukup strategis untuk meneruskan informasi ini adalah melalui kampus, pers dan kegiatan keagamaan. Disinilah ketua MK sebagai representasi lembaga tinggi negara tidak terbuai oleh “ketinggiannya”. Ketua MK wajib turun gunung, menjadi corong MK berkomunikasi secara langsung dengan berbagai kalangan. Dengan membuat tulisan-tulisan di jurnal-jurnal ilmiah, melakukan khutbah jumat, melakukan ceramah-ceramah dalam acara-acara resmi kenegaraan dan jika perlu bahkan dalam acara acara tidak resmi seperti memberi nasehat perkawinan sekalipun seperti yang dilakukan oleh Mahfud MD. Dari situlah pesan, visi dan misi MK yang menjadikan masyarakat menjadi semakin tahu dengan segala seluk beluk kenegaraan mudah disisipkan. Dari situ juga maka rakyat menjadi tahu bahwa hakim MK benar benar tahu dan bukan terkesan tahu, karena diam itu tidak selamanya emas. Sikap “jaim” (jaga image) membuat masyarakat justru menjadi gelap dengan kwalitas hakim-hakim MK dan akibatnya justru akan melahirkan jarak antara MK dengan rakyat, karena rakyat tidak merasa memiliki.
Jangan lupa bahwa untuk kemajuannya, MK sangat membutuhkan masukan dari tangan pertama yakni segenap rakyat Indonesia, mereka yang akan melakukan evaluasi terhadap kinerja MK dalam mengemban tugas konstitusi. Seberapa bernilaikah produk produk putusan MK dapat diterima masyarakat dan segi segi manakah yang masih terkendala dan bahkan sulit diterapkan harus diketahui persis oleh MK demi kemajuannya ke depan. Tanpa langkah langkah yang membumi maka MK tidak akan pernah tahu dimanakah sesungguhnya saat ini MK berdiri.
Dan tugas demikian tidak akan dapat dijalankan oleh seorang ketua MK yang bersahabat dengan sepi. Justru untuk saat ini sosok Mahfud MD adalah sosok tepat untuk memimpin MK dan parameternya sederhana saja, “pada saat negarawan bicara saat itu pula rakyat merasa negara ini ada”.
Oleh : Junaidi Albab Setiawan
Menjelang berakhirnya masa jabatan Mahfud MD sebagai Ketua MK pada tanggal 18 Agustus besok, sekalangan orang sudah mulai mewanti wanti agar siapapun yang terpilih menjadi Ketua MK kelak tidak terjebak dalam konstalasi politik menjelang tahun 2014.
Menurut mereka, sekali Ketua MK terjebak dalam permainan politik maka akan mengancam posisi MK sebagai pengawal konstitusi dan penjaga proses demokrasi. Dimata mereka Ketua MK harus menjaga jarak dengan hingar bingar politik, jika masuk di dalamnya maka konsekwensinya adalah kepada delegitimasi terhadap lembaga tinggi negara simbul konstitusi itu.
Anjuran ini juga diperkuat oleh pendapat lain yang bahkan lebih tegas lagi, dengan menyarankan sebaiknya sosok Ketua MK adalah orang yang kalem, tidak banyak bicara, berwibawa dan harus siap menjadi "sahabat sepi".
Pendapat semacam ini sesungguhnya bisa dibaca sebagai respon dan ketidak setujuan terhadap sepak terjang Ketua MK Mahfud MD belakangan ini. Mahfud MD yang diangkat sebagai Ketua MK 3 tahun yang lalu, mereka nilai sebagai sosok yang terlalu banyak bicara dan terlalu aktif mengomentari hal-hal diluar pakem bidang tugasnya sebagai hakim MK.
Mahfud MD memang dikenal sebagai sosok yang terbuka dan gemar melontarkan berbagai pendapat atas berbagai periswa hukum, politik dan kenegaraan yang terjadi di negeri ini melalui media. Mahfud juga termasuk giat dalam membongkar kebobrokan yang terjadi di depan matanya, sekalipun langkahnya akan memakan korban orang MK sendiri. Hal ini terbukti dalam perkara “pemalsuan surat MK” yang menyerempet nama beberapa orang staf dan seorang mantan hakim konstitusi koleganya di MK
Dalam kurun waktu kepemimpinannya juga kerap terjadi berbagai kontroversi yang mendapat apresiasi positif dari masyarakat. Sebagai contoh adalah peristiwa pemutaran hasil sadapan KPK dalam sidang perkara “Cicak Buaya” atas nama “keadilan substansial” yang menggegerkan segenap rakyat karena membuka mata adanya “pat gulipat” dalam penegakkan hukum. Langkahnya ini belakangan justru direspon oleh pemerintah dan DPR dengan Undang-undang MK baru yang membatasi putusan bersifat “ultra petita” (melebihi permohonan) yang berarti menutup pintu bagi tegaknya hukum subtansial.
Selain dekat dengan pers, Mahfud MD juga adalah orang yang sangat dekat dengan kalangan kampus dan ulama/agamawan. Hampir disebagian besar waktu luangnya digunakan untuk berkeliling ke segenap penjuru negeri berceramah dari kampus ke kampus, mengunjungi sekolah-sekolah, pondok-pondok pesantren, masjid-masjid dan sekolah-sekolah yang akan melahirkan calon pemimpin pemimpin agama lainnya.
Nampak dari aktivitasnya ini ada kesadaran bahwa tugas MK memerlukan dukungan dari pers, akademisi dan ulama. Setidaknya pers, akademisi dan ulama dipandangnya memiliki posisi strategis sebagai agen perubahan karena posisinya yang bisa langsung masuk ke jantung masyarakat, sehingga akan sangat meringankan tugas MK. Pada saat demikianlah seringkali muncul pernyataan-pernyataan yang oleh sekalangan orang dianggap kontroversial dan “mengancam” kebesaran MK.
MK Lembaga Tinggi Negara Baru
Jika ditilik dari sejarahnya, MK lahir tanggal 13 Agustus 2003, hari dimana UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi disahkan dalam suatu sidang Paripurna DPR dan pada hari yang sama langsung ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316. Sehingga dengan usianya yang baru 8 tahun dengan kedudukannya sebagai lembaga tinggi negara strategis dengan tugas khusus mengawal konstitusi dan demokratisasi sebagaimana dicita-citakan oleh Imanuel Kant dahulu, maka MK harus banyak memperkenalkan dirinya kepada Rakyat dengan sosialisasi intensif atas peran-peran besar yang diemban MK. Saat ini rasa-rasanya belum waktunya bagi siapapun ketua MK untuk hanya duduk dibelakang meja dan mengagumi kebesarannya sebagai negarawan sebagaimana diunugerahkan oleh undang-undang.
Tugas demikian tentu tidak dapat dijalankan dengan hanya diam menunggu perkara dan memutusnya secara konvensional. Tugas semacam ini harus dibarengi dengan keberanian untuk melakukan evaluasi dari waktu ke waktu, sejauh mana masyarakat telah memahami peran dan fungsi serta manfaat kehadiran MK. Ketua MK harus berani mendengar langsung dari segenap rakyat Indonesia, apa tanggapan rakyat terhadap putusan MK dan apakah putusan itu dapat dijalankan dengan penuh kesadaran. Sedang terhadap lembaga tinggi negara lainnya MK juga harus mampu berdiri sebagai rambu-rambu hidup yang mengingatkan sekaligus meluruskan jika terjadi “penyimpangan” dalam praktek menjalankan negara. Hal ini penting mengingat putusan MK sangat berkaitan dengan masalah-masalah kenegaraan yang dengan sendirinya meliputi pula berbagai kepentingan politik dari berbagai komponen bangsa.
Sesungguhnya perilaku dan sepak terjang Hakim MK sudah diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan Pedoman tingkah laku Hakim Konstitusi. Hakim MK harus menjunjung tinggi dan mematuhi sumpah jabatan yang telah diucapkan, serta melaksanakan tugas dengan jujur dan adil, penuh pengabdian dan penuh rasa tanggung jawab kepada diri sendiri, masyarakat, bangsa, negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu hakim MK harus menjauhkan diri dari perbuatan tercela dan menjaga wibawa selaku negarawan pengawal konstitusi, yang bebas dari pengaruh manapun (independen), arif dan bijaksana, serta tidak memihak (imparsial) dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Inilah yang semestinya menjadi acuan dalam menilai sepak terjang hakim MK dan bahkan Ketua MK, sepanjang apa yang dilakukan dan apa yang dikatakan ketua MK baik di dalam maupun diluar mahkamah tidak melanggar acuan ini mengapa kita harus khawatir.
Didalam kode etik juga diatur bahwa hakim MK harus selalu memperdalam dan memperluas penguasaan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan tugas sebagai Hakim Konstitusi, untuk digunakan dalam proses penyelesaian perkara dengan setepat-tepatnya dan seadil-adilnya sesuai dengan kewenangan dan kewajiban yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan kita tahu bahwa ilmu pengetahuan semacam ini tidak hanya ada di buku-buku dan undang-undang belaka, namun justru akan semakin kaya ilmu jika ketua MK berani mendengar langsung dan mengamati kehidupan kenegaraan dari sumbernya yakni segenap rakyat Indonesia.
Demi melihat posisi MK sebagai lembaga baru dengan misi besar yang lahir pasca reformasi maka MK memerlukan sosialisasi intensif agar difahami misinya, sehingga memerlukan ketua yang energik, dinamis dan tidak pelit ilmu dan berani memastikan bahwa misi MK benar benar difahami betul oleh segenap rakyat dari kalangan manapun.
Agen yang cukup strategis untuk meneruskan informasi ini adalah melalui kampus, pers dan kegiatan keagamaan. Disinilah ketua MK sebagai representasi lembaga tinggi negara tidak terbuai oleh “ketinggiannya”. Ketua MK wajib turun gunung, menjadi corong MK berkomunikasi secara langsung dengan berbagai kalangan. Dengan membuat tulisan-tulisan di jurnal-jurnal ilmiah, melakukan khutbah jumat, melakukan ceramah-ceramah dalam acara-acara resmi kenegaraan dan jika perlu bahkan dalam acara acara tidak resmi seperti memberi nasehat perkawinan sekalipun seperti yang dilakukan oleh Mahfud MD. Dari situlah pesan, visi dan misi MK yang menjadikan masyarakat menjadi semakin tahu dengan segala seluk beluk kenegaraan mudah disisipkan. Dari situ juga maka rakyat menjadi tahu bahwa hakim MK benar benar tahu dan bukan terkesan tahu, karena diam itu tidak selamanya emas. Sikap “jaim” (jaga image) membuat masyarakat justru menjadi gelap dengan kwalitas hakim-hakim MK dan akibatnya justru akan melahirkan jarak antara MK dengan rakyat, karena rakyat tidak merasa memiliki.
Jangan lupa bahwa untuk kemajuannya, MK sangat membutuhkan masukan dari tangan pertama yakni segenap rakyat Indonesia, mereka yang akan melakukan evaluasi terhadap kinerja MK dalam mengemban tugas konstitusi. Seberapa bernilaikah produk produk putusan MK dapat diterima masyarakat dan segi segi manakah yang masih terkendala dan bahkan sulit diterapkan harus diketahui persis oleh MK demi kemajuannya ke depan. Tanpa langkah langkah yang membumi maka MK tidak akan pernah tahu dimanakah sesungguhnya saat ini MK berdiri.
Dan tugas demikian tidak akan dapat dijalankan oleh seorang ketua MK yang bersahabat dengan sepi. Justru untuk saat ini sosok Mahfud MD adalah sosok tepat untuk memimpin MK dan parameternya sederhana saja, “pada saat negarawan bicara saat itu pula rakyat merasa negara ini ada”.
Kamis, 04 Agustus 2011
DAMPAK BADAI NAZARUDIN TERHADAP INVESTOR PASAR MODAL
Oleh : Junaidi Albab Setiawan
Hiruk pikuk diseputar informasi (bbm, sms, skype) dari M. Nazaruddin mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, membuat banyak orang menjadi terperangah, bingung dan sekaligus prihatin. Jika informasi ini benar maka informasi itu setidaknya telah membawa masyarakat kita semakin faham dan tersadar betapa selama ini negeri ini dijalankan dengan cara-cara pat-gulipat penuh kebohongan dan kepura-puraan oknum penguasa, politisi dan pengusaha.
Tulisan ini akan membahas satu pelajaran lagi dari M. Nazaruddin yang bisa dipetik dalam gonjang-ganjing itu adalah disebutnya nama dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah go publik yakni PT. Adhi Karya (persero) Tbk (ADHI) dan PT. Wijaya Karya (persero) Tbk (WIKA) dalam pusaran badai politik itu. Keduanya dikabarkan konon telah melakukan penyuapan untuk memenangkan tender proyek APBN berupa komplek olahraga terpadu di desa Hambalang. Sekalipun praktek buruk oleh dan terhadap BUMN semacam ini sering terdengar, namun ibarat (maaf) “kentut”, ada baunya tapi tidak pernah diketahui siapa pelakunya.
Peristiwa ini tentu sangat mengkhawatirkan dan dapat menimbulkan keraguan di kalangan Investor dan pada saatnya nanti berpotensi menurunkan tingkat kepercayaan Investor kepada Pasar Modal serta mengganggu perekonomian nasional. Hal ini mengingat Pasar Modal adalah bisnis yang berbasis kepada kepercayaan.
PERILAKU PERSEROAN TERBUKA (Tbk)
Informasi penting (material) tentang tuduhan keterlibatan dua buah perusahaan persero yang telah go publik (Terbuka) dan telah mencatatkan sahamnya untuk diperjualbelikan di Pasar Modal yakni PT. Adhi Karya (persero) Tbk dan PT. Wijaya Karya (persero) Tbk dalam skandal politik ini, adalah informasi yang cukup sensitif bagi para pelaku pasar utamanya Investor. Informasi yang tersiar di media mengabarkan bahwa kedua perseroan itu telah memberikan suap ratusan milyar rupiah, yang kemudian dipergunakan untuk membiayai perebutan ketua umum sebuah partai.
Mengingat kedua perusahaan tersebut adalah perseroan terbuka yang telah go publik dan mencatatkan sahamnya untuk diperjual belikan di Pasar Modal (Emiten), maka sekalipun informasi ini belum pasti kebenarannya, informasi ini termasuk informasi material yang pantas menjadi peringatan dini sekaligus petunjuk kepada setiap pelaku dan penyelenggara dan pengawas Pasar Modal, terutama Investor dan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). Mendengan informasi ini semestinya BAPEPAM segera mengambil tindakan proaktif berdasarkan kewenangannya untuk memperjelas kebenaran informasi itu. Tindakan ini sangat penting diambil untuk melindungi kepentingan Investor.
Jika informasi itu benar, maka yang patut dipertanyakan adalah dari manakah dana suap itu bersumber?. Investor harus mendapatkan jawaban dari pertanyaan ini, apakah dana itu milik sendiri, pihak ketiga atau dari sumber lain. Jawaban atas pertanyaan ini akan membawa konsekwensi yang luas kepada perusahaan Tbk, sekaligus untuk menguji apakah laporan keuangan yang selama ini disajikan oleh Emiten kepada investor telah benar. Karena Investor harus dilindungi dari pemberian Informasi semu atau bahkan palsu.
Informasi adalah menu sehari-hari di pasar modal. Tanpa adanya informasi pasar modal bisa jadi akan mandek. Sebab, dengan tidak adanya informasi berarti tidak ada faktor yang menggerakkan ekspektasi investor. Berkat informasilah, ekspektasi investor terbentuk. Dari sana investor mengambil keputusan. Jenis informasi itu bermacam-macam, mulai dari yang ringan hingga yang berat dan yang wajib hingga yang bebas. Dari informasi seputar perusahaan hingga informasi yang bersifat makro, baik ekonomi maupun politik.
Informasi keterbukaan (full disclosure) dari Emiten bersifat wajib karena diperintah Undang-undang. Dilain pihak BAPEPAM selaku pengawas wajib menjaga bahwa para Emiten telah menyajikan informasi kepada investor secara jujur. Informasi yang menyesatkan sangat berbahaya bagi Pasar Modal karena mengancam keberlangsungan Pasar Modal, mengingat bisnis Pasar Modal adalah bisnis kepercayaan dimana keterbukaan informasi menjadi kata kunci.
Pasal 90 Undang-undang Pasar Modal mengatur : “Dalam kegiatan perdagangan Efek, setiap pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung : a. menipu atau mengelabui Pihak Lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apapun; b. turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan c. membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli atau menjual efek”.
Perlu diketahui bahwa PT. Adhi Karya (Persero) Tbk adalah Perseroan Terbatas Terbuka, Kiprah ADHI dimulai sejak 11 Maret 1960 saat Menteri Pekerjaan Umum menetapkan Architecten-Ingenicure-en Annnemersbedrijf “Associatie Selle en de Bruyn, Reyerse en de Vries N.V.” (Associatie N.V.), salah satu perusahaan milik Belanda yang dinasionalisasi, menjadi PN Adhi Karya. Nasionalisasi ini ditujukan untuk memacu pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Status ADHI berubah menjadi sebuah Perseroan Terbatas pada tanggal 1 Juni 1974 dan telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Kehakiman. ADHI 100% dimiliki oleh Negara Republik Indonesia sampai pada akhir tahun 2003 saat Negara Republik Indonesia melalui Menteri Negara BUMN, selaku Kuasa Pemegang Saham, melepas 49% kepemilikannya atas saham ADHI untuk ditawarkan kepada masyarakat melalui Initial Public Offering (IPO). Keputusan tersebut diikuti oleh pendaftaran saham ADHI di Bursa Efek Jakarta (sekarang BEI) yang sekaligus menjadikan ADHI sebagai BUMN konstruksi pertama yang terdaftar pada bursa. (Sumber : Web resmi ADHI)
Sedangkan WIKA dibentuk dari proses nasionalisasi perusahaan Belanda bernama Naamloze Vennotschap Technische Handel Maatschappij en Bouwbedijf Vis en Co. atau NV Vis en Co. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1960 dan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) No. 5 tanggal 11 Maret 1960, dengan nama Perusahaan Negara Bangunan Widjaja Karja. Kegiatan usaha WIKA pada saat itu adalah pekerjaan instalasi listrik dan pipa air. Pada awal dasawarsa 1960-an. WIKA melakukan penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) pada tanggal 27 Oktober 2007 di Bursa Efek Indonesia (saat itu bernama Bursa Efek Jakarta). Pada IPO tersebut, WIKA melepas 28,46 persen sahamnya ke publik, sehingga pemerintah Republik Indonesia memegang 68,42 persen saham, sedangkan sisanya dimiliki oleh masyarakat, termasuk karyawan, melalui Employee/Management Stock Option Program (E/MSOP), dan Employee Stock Allocation (ESA). (Sumber Web Resmi WIKA).
Dengan statusnya sebagai perusahaan publik (Tbk), Kedua Emiten ini harus menunjukkan kekususan perilaku yang tidak semata mata mengejar untung (profit oriented) sebagaimana layaknya badan usaha, namun keduanya harus berperilaku sebagai sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Terbuka (Tbk) sekaligus berstatus Persero yang memiliki misi sosial mengawal ekonomi bangsa, hal itu terkait kepemilikan negara di dalamnya (ADHI : saham negara 52,28 % WIKA saham negara 68,41855 %), sehingga keduanya wajib memberikan teladan dalam menjalankan bisnis yang beretika sesuai rambu-rambu perusahaan publik di bawah pengawasan BAPEPAM dan kementerian BUMN.
Dari keterbukaan informasi yang diterbitkan BEI, Jumat (22/5/11), menjelaskan bahwa Dua perusahaan konstruksi PT. Adhi Karya (Persero) Tbk dan PT. Wijaya Karya (persero) Tbk merupakan penggarap proyek ini. Berdasarkan Pengumuman pemenang tender, proyek Hambalang dilakukan pada 26 November 2010 dan disahkan 10 Desember 2010 senilai Rp 1,077 triliun termasuk PPN 10%. Dalam proyek yang diberi nama Adhi Wika JO ini, PT. Adhi Karya Tbk memegang 70 persen, sedangkan sisanya, sebesar 30 persen dipegang PT. Wijaya Karya (Persero) Tbk.
Dari berbagai informasi yang berkembang, setidaknya sudah ditemukan beberapa fakta yang dapat digunakan dasar BAPEPAM melakukan investigasi dalam menguji kebenaran informasi yang sangat berpotensi merugikan investor dan melanggar peraturan Pasar Modal itu. Fakta pertama, benar ADHI dan WIKA adalah perseroan terbuka yang tercatat di Pasar Modal (BEI), Fakta kedua, bahwa benar kedua Emiten yakni PT. Adhi Karya (persero) Tbk dan PT. Wijaya Karya (persero) Tbk tengah mengerjakan proyek Hambalang yang bernilai triliunan rupiah dan Fakta ketiga, ditengah-tengah masyarakat beredar kabar (konon dari Nazaruddin) bahwa proyek tersebut didapatkan oleh kedua emiten tersebut secara tidak fair. Fakta Keempat, sejalan dengan fakta ketiga, adanya kesaksian di media dari para kurir dan satpam yang mengirimkan uang ke arena kongres dan menjaga uang selama kongres sebagai petunjuk, yang mengindikasikan adanya suatu transaksi yang saat ini belum ditemukan “secara hukum” dari mana sumber uangnya dan untuk menemukannya hanyalah soal waktu. Kesaksian ini dapat dielaborasi dengan kesaksian MRS di Pengadilan TIPIKOR dan Yulianis kelak.
APAKAH INFORMASI INI MATERIAL DAN BAGAIMANA SEBAIKNYA INVESTOR MENYIKAPINYA
Dari perspektif Pasar Modal apakah Informasi ini termasuk informasi material?, jawabnya tentu saja iya, karena jika informasi ini benar maka akan sangat menggoncang Pasar Modal. Informasi ini setidaknya merefleksikan tiga hal yakni : (1). Adanya nilai uang ratusan miliar milik investor BUMN/Persero/ Tbk yang disalahgunakan oleh emiten untuk pengadaan proyek, (2). Informasi ini juga mengandung tuduhan adanya penyimpangan kredibilitas dan ketidak jujuran jajaran menejemen Emiten (Direksi, Komisaris) dalam mengelola perusahaan, padahal Direksi dan Komisaris adalah orang orang kepercayaan Investor yang wajib menjunjung tinggi Good Corporate Governance (GCG) dan (3). Informasi yang selama ini disampaikan kedua emiten kepada BAPEPAM berkaitan dengan proyek ini tidak benar dan manipulatif sehingga menyesatkan (miss leading information).
Dengan situasi yang mengancam kepentingan investor ini maka semestinya investor dan BAPEPAM tidak lagi dapat berpangku tangan, pasif mengandalkan informasi sepihak dari Emiten tanpa melakukan investigasi menguji kebenarannya. Dari informasi ini maka Investor berdasarkan hak-haknya dapat meminta kepada BAPEPAM untuk menelusuri hal-hal sebagai berikut (1). Berapa sesungguhnya anggaran pembangunan yang disahkan menurut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) di DPR dalam proyek Hambalang?, 1,2 T atau 1,5 T? (2). Bagaimana proses Tender diselenggarakan?, (3). Berapa dana yang seharusnya dan telah digelontorkan dari Kas Negara dalam rangka proyek ini?, (4). Bagaimana laporan perpajakan dari ADHI (Tbk) dan WIKA Tbk, (5). Bagaimana detail laporan keuangan ADHI (Tbk) dan WIKA (TBK) kepada BAPEPAM.
Mengapa BAPEPAM harus pro aktif, karena BAPEPAM adalah pengawas, dengan fungsi ini BAPEPAM dapat mewujudkan tujuan penciptaan kegiatan pasar modal yang teratur wajar, efisien, serta mengawasi dan melindungi kepentingan investor dari malpraktik di pasar modal.
Pasal 5 huruf E Undang-undang Pasar Modal No. 8 tahun 1995, mengatur bahwa BAPEPAM berwenang : “mengadakan pemeriksaan dan penyidikan terhadap setiap Pihak dalam hal terjadi peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang dan atau peraturan pelaksanaanya”.
Sedangkan Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 1995 mengatur bahwa “Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan atau keterangan lain yang dilakukan oleh Pemeriksa untuk membuktikan ada atau tidak adanya pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal”. Dari pasal ini tersirat bahwa pemeriksaan BAPEPAM tidak perlu menunggu ada yang salah apalagi harus menunggu kepulangan M. Nazarudin.
Pasal 2 (2) Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 1995 mengatur bahwa “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dapat dilakukan dalam hal terdapat petunjuk tentang terjadinya pelanggaran atas perundang-undangan di bidang Pasar Modal”.
Karena di mata siapapun sangatlah naif jika pada suatu perseroan terbuka yang sekaligus BUMN, terdapat pergerakan uang bernilai ratusan milyar yang tidak ada rekam jejaknya.
Dengan terjawabnya pertanyaan-pertanyaan di atas berdasarkan penelitian dan pemeriksaan yang profesional dan transparan, maka hasil pemeriksaan BAPEPAM akan menjawab kegamangan Investor yang pada gilirannya akan berdampak kepada kepastian hukum dan akan mendongkrak tingkat kepercayaan Investor kepada Pasar Modal.
BAGAIMANA MENYIKAPINYA
Saat ini BAPEPAM terkesan pasif dan cenderung menunggu, oleh karenanya Investor (assosiasi Investor) segera mendesak BAPEPAM untuk melakukan pemeriksaan terhadap kedua emiten tersebut dan sebaliknya dalam rangka perlindungan terhadap Investor, maka demi hukum BAPEPAM wajib melakukan pemeriksaan terhadap kedua emiten tersebut, bahka jika perlu pemeriksaan tersebut dilakukan oleh suatu tim independen yang beranggotakan orang-orang kredible, berdasarkan pendelegasian dari BAPEPAM.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan bukti permulaan tentang adanya tindak pidana di bidang Pasar Modal, pemeriksaan tetap dilanjutkan dan Pemeriksa wajib membuat laporan kepada Ketua Bapepam mengenai ditemukannya bukti permulaan tindak pidana tersebut, selanjutnya berdasarkan bukti permulaan , Ketua Bapepam dapat menetapkan dimulainya penyidikan.
Lebih jauh Undang-undang sangat memberikan kewenangan yang cukup kepada BAPEPAM untuk melakukan pemeriksaan karena Pemeriksa berwenang mengiterograsi, meminta bukti bukti, menggeledah dan menyita bukti bukti untuk kepentingan pemeriksaan.
Dengan kewenangan yang sedemikian kuatnya ini, jika BAPEPAM tidak kunjung tergerak melakukan pemeriksaan maka hal itu patutlah dipertanyakan. Dengan informasi yang ada dan kewenangannya, atas nama Undang-undang BAPEPAM wajib melakukan pemeriksaan. Justru kinilah saatnya BAPEPAM menunjukkan peran nyata kepada bangsa ini dalam membangun Pasar Modal yang tertib, transparan dan dapat dipercaya.
Pemeriksaan ini selain untuk mencari kebenaran informasi yang berkembang dan menegakkan hukum di Pasar Modal, juga untuk menjamin (melokalisir) agar praktek BUMN sebagai “sapi perah” para penguasa tidak berlaku terhadap BUMN yang telah terdaftar di Pasar Modal.
Hiruk pikuk diseputar informasi (bbm, sms, skype) dari M. Nazaruddin mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, membuat banyak orang menjadi terperangah, bingung dan sekaligus prihatin. Jika informasi ini benar maka informasi itu setidaknya telah membawa masyarakat kita semakin faham dan tersadar betapa selama ini negeri ini dijalankan dengan cara-cara pat-gulipat penuh kebohongan dan kepura-puraan oknum penguasa, politisi dan pengusaha.
Tulisan ini akan membahas satu pelajaran lagi dari M. Nazaruddin yang bisa dipetik dalam gonjang-ganjing itu adalah disebutnya nama dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah go publik yakni PT. Adhi Karya (persero) Tbk (ADHI) dan PT. Wijaya Karya (persero) Tbk (WIKA) dalam pusaran badai politik itu. Keduanya dikabarkan konon telah melakukan penyuapan untuk memenangkan tender proyek APBN berupa komplek olahraga terpadu di desa Hambalang. Sekalipun praktek buruk oleh dan terhadap BUMN semacam ini sering terdengar, namun ibarat (maaf) “kentut”, ada baunya tapi tidak pernah diketahui siapa pelakunya.
Peristiwa ini tentu sangat mengkhawatirkan dan dapat menimbulkan keraguan di kalangan Investor dan pada saatnya nanti berpotensi menurunkan tingkat kepercayaan Investor kepada Pasar Modal serta mengganggu perekonomian nasional. Hal ini mengingat Pasar Modal adalah bisnis yang berbasis kepada kepercayaan.
PERILAKU PERSEROAN TERBUKA (Tbk)
Informasi penting (material) tentang tuduhan keterlibatan dua buah perusahaan persero yang telah go publik (Terbuka) dan telah mencatatkan sahamnya untuk diperjualbelikan di Pasar Modal yakni PT. Adhi Karya (persero) Tbk dan PT. Wijaya Karya (persero) Tbk dalam skandal politik ini, adalah informasi yang cukup sensitif bagi para pelaku pasar utamanya Investor. Informasi yang tersiar di media mengabarkan bahwa kedua perseroan itu telah memberikan suap ratusan milyar rupiah, yang kemudian dipergunakan untuk membiayai perebutan ketua umum sebuah partai.
Mengingat kedua perusahaan tersebut adalah perseroan terbuka yang telah go publik dan mencatatkan sahamnya untuk diperjual belikan di Pasar Modal (Emiten), maka sekalipun informasi ini belum pasti kebenarannya, informasi ini termasuk informasi material yang pantas menjadi peringatan dini sekaligus petunjuk kepada setiap pelaku dan penyelenggara dan pengawas Pasar Modal, terutama Investor dan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). Mendengan informasi ini semestinya BAPEPAM segera mengambil tindakan proaktif berdasarkan kewenangannya untuk memperjelas kebenaran informasi itu. Tindakan ini sangat penting diambil untuk melindungi kepentingan Investor.
Jika informasi itu benar, maka yang patut dipertanyakan adalah dari manakah dana suap itu bersumber?. Investor harus mendapatkan jawaban dari pertanyaan ini, apakah dana itu milik sendiri, pihak ketiga atau dari sumber lain. Jawaban atas pertanyaan ini akan membawa konsekwensi yang luas kepada perusahaan Tbk, sekaligus untuk menguji apakah laporan keuangan yang selama ini disajikan oleh Emiten kepada investor telah benar. Karena Investor harus dilindungi dari pemberian Informasi semu atau bahkan palsu.
Informasi adalah menu sehari-hari di pasar modal. Tanpa adanya informasi pasar modal bisa jadi akan mandek. Sebab, dengan tidak adanya informasi berarti tidak ada faktor yang menggerakkan ekspektasi investor. Berkat informasilah, ekspektasi investor terbentuk. Dari sana investor mengambil keputusan. Jenis informasi itu bermacam-macam, mulai dari yang ringan hingga yang berat dan yang wajib hingga yang bebas. Dari informasi seputar perusahaan hingga informasi yang bersifat makro, baik ekonomi maupun politik.
Informasi keterbukaan (full disclosure) dari Emiten bersifat wajib karena diperintah Undang-undang. Dilain pihak BAPEPAM selaku pengawas wajib menjaga bahwa para Emiten telah menyajikan informasi kepada investor secara jujur. Informasi yang menyesatkan sangat berbahaya bagi Pasar Modal karena mengancam keberlangsungan Pasar Modal, mengingat bisnis Pasar Modal adalah bisnis kepercayaan dimana keterbukaan informasi menjadi kata kunci.
Pasal 90 Undang-undang Pasar Modal mengatur : “Dalam kegiatan perdagangan Efek, setiap pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung : a. menipu atau mengelabui Pihak Lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apapun; b. turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan c. membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli atau menjual efek”.
Perlu diketahui bahwa PT. Adhi Karya (Persero) Tbk adalah Perseroan Terbatas Terbuka, Kiprah ADHI dimulai sejak 11 Maret 1960 saat Menteri Pekerjaan Umum menetapkan Architecten-Ingenicure-en Annnemersbedrijf “Associatie Selle en de Bruyn, Reyerse en de Vries N.V.” (Associatie N.V.), salah satu perusahaan milik Belanda yang dinasionalisasi, menjadi PN Adhi Karya. Nasionalisasi ini ditujukan untuk memacu pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Status ADHI berubah menjadi sebuah Perseroan Terbatas pada tanggal 1 Juni 1974 dan telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Kehakiman. ADHI 100% dimiliki oleh Negara Republik Indonesia sampai pada akhir tahun 2003 saat Negara Republik Indonesia melalui Menteri Negara BUMN, selaku Kuasa Pemegang Saham, melepas 49% kepemilikannya atas saham ADHI untuk ditawarkan kepada masyarakat melalui Initial Public Offering (IPO). Keputusan tersebut diikuti oleh pendaftaran saham ADHI di Bursa Efek Jakarta (sekarang BEI) yang sekaligus menjadikan ADHI sebagai BUMN konstruksi pertama yang terdaftar pada bursa. (Sumber : Web resmi ADHI)
Sedangkan WIKA dibentuk dari proses nasionalisasi perusahaan Belanda bernama Naamloze Vennotschap Technische Handel Maatschappij en Bouwbedijf Vis en Co. atau NV Vis en Co. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1960 dan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) No. 5 tanggal 11 Maret 1960, dengan nama Perusahaan Negara Bangunan Widjaja Karja. Kegiatan usaha WIKA pada saat itu adalah pekerjaan instalasi listrik dan pipa air. Pada awal dasawarsa 1960-an. WIKA melakukan penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) pada tanggal 27 Oktober 2007 di Bursa Efek Indonesia (saat itu bernama Bursa Efek Jakarta). Pada IPO tersebut, WIKA melepas 28,46 persen sahamnya ke publik, sehingga pemerintah Republik Indonesia memegang 68,42 persen saham, sedangkan sisanya dimiliki oleh masyarakat, termasuk karyawan, melalui Employee/Management Stock Option Program (E/MSOP), dan Employee Stock Allocation (ESA). (Sumber Web Resmi WIKA).
Dengan statusnya sebagai perusahaan publik (Tbk), Kedua Emiten ini harus menunjukkan kekususan perilaku yang tidak semata mata mengejar untung (profit oriented) sebagaimana layaknya badan usaha, namun keduanya harus berperilaku sebagai sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Terbuka (Tbk) sekaligus berstatus Persero yang memiliki misi sosial mengawal ekonomi bangsa, hal itu terkait kepemilikan negara di dalamnya (ADHI : saham negara 52,28 % WIKA saham negara 68,41855 %), sehingga keduanya wajib memberikan teladan dalam menjalankan bisnis yang beretika sesuai rambu-rambu perusahaan publik di bawah pengawasan BAPEPAM dan kementerian BUMN.
Dari keterbukaan informasi yang diterbitkan BEI, Jumat (22/5/11), menjelaskan bahwa Dua perusahaan konstruksi PT. Adhi Karya (Persero) Tbk dan PT. Wijaya Karya (persero) Tbk merupakan penggarap proyek ini. Berdasarkan Pengumuman pemenang tender, proyek Hambalang dilakukan pada 26 November 2010 dan disahkan 10 Desember 2010 senilai Rp 1,077 triliun termasuk PPN 10%. Dalam proyek yang diberi nama Adhi Wika JO ini, PT. Adhi Karya Tbk memegang 70 persen, sedangkan sisanya, sebesar 30 persen dipegang PT. Wijaya Karya (Persero) Tbk.
Dari berbagai informasi yang berkembang, setidaknya sudah ditemukan beberapa fakta yang dapat digunakan dasar BAPEPAM melakukan investigasi dalam menguji kebenaran informasi yang sangat berpotensi merugikan investor dan melanggar peraturan Pasar Modal itu. Fakta pertama, benar ADHI dan WIKA adalah perseroan terbuka yang tercatat di Pasar Modal (BEI), Fakta kedua, bahwa benar kedua Emiten yakni PT. Adhi Karya (persero) Tbk dan PT. Wijaya Karya (persero) Tbk tengah mengerjakan proyek Hambalang yang bernilai triliunan rupiah dan Fakta ketiga, ditengah-tengah masyarakat beredar kabar (konon dari Nazaruddin) bahwa proyek tersebut didapatkan oleh kedua emiten tersebut secara tidak fair. Fakta Keempat, sejalan dengan fakta ketiga, adanya kesaksian di media dari para kurir dan satpam yang mengirimkan uang ke arena kongres dan menjaga uang selama kongres sebagai petunjuk, yang mengindikasikan adanya suatu transaksi yang saat ini belum ditemukan “secara hukum” dari mana sumber uangnya dan untuk menemukannya hanyalah soal waktu. Kesaksian ini dapat dielaborasi dengan kesaksian MRS di Pengadilan TIPIKOR dan Yulianis kelak.
APAKAH INFORMASI INI MATERIAL DAN BAGAIMANA SEBAIKNYA INVESTOR MENYIKAPINYA
Dari perspektif Pasar Modal apakah Informasi ini termasuk informasi material?, jawabnya tentu saja iya, karena jika informasi ini benar maka akan sangat menggoncang Pasar Modal. Informasi ini setidaknya merefleksikan tiga hal yakni : (1). Adanya nilai uang ratusan miliar milik investor BUMN/Persero/ Tbk yang disalahgunakan oleh emiten untuk pengadaan proyek, (2). Informasi ini juga mengandung tuduhan adanya penyimpangan kredibilitas dan ketidak jujuran jajaran menejemen Emiten (Direksi, Komisaris) dalam mengelola perusahaan, padahal Direksi dan Komisaris adalah orang orang kepercayaan Investor yang wajib menjunjung tinggi Good Corporate Governance (GCG) dan (3). Informasi yang selama ini disampaikan kedua emiten kepada BAPEPAM berkaitan dengan proyek ini tidak benar dan manipulatif sehingga menyesatkan (miss leading information).
Dengan situasi yang mengancam kepentingan investor ini maka semestinya investor dan BAPEPAM tidak lagi dapat berpangku tangan, pasif mengandalkan informasi sepihak dari Emiten tanpa melakukan investigasi menguji kebenarannya. Dari informasi ini maka Investor berdasarkan hak-haknya dapat meminta kepada BAPEPAM untuk menelusuri hal-hal sebagai berikut (1). Berapa sesungguhnya anggaran pembangunan yang disahkan menurut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) di DPR dalam proyek Hambalang?, 1,2 T atau 1,5 T? (2). Bagaimana proses Tender diselenggarakan?, (3). Berapa dana yang seharusnya dan telah digelontorkan dari Kas Negara dalam rangka proyek ini?, (4). Bagaimana laporan perpajakan dari ADHI (Tbk) dan WIKA Tbk, (5). Bagaimana detail laporan keuangan ADHI (Tbk) dan WIKA (TBK) kepada BAPEPAM.
Mengapa BAPEPAM harus pro aktif, karena BAPEPAM adalah pengawas, dengan fungsi ini BAPEPAM dapat mewujudkan tujuan penciptaan kegiatan pasar modal yang teratur wajar, efisien, serta mengawasi dan melindungi kepentingan investor dari malpraktik di pasar modal.
Pasal 5 huruf E Undang-undang Pasar Modal No. 8 tahun 1995, mengatur bahwa BAPEPAM berwenang : “mengadakan pemeriksaan dan penyidikan terhadap setiap Pihak dalam hal terjadi peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang dan atau peraturan pelaksanaanya”.
Sedangkan Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 1995 mengatur bahwa “Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan atau keterangan lain yang dilakukan oleh Pemeriksa untuk membuktikan ada atau tidak adanya pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal”. Dari pasal ini tersirat bahwa pemeriksaan BAPEPAM tidak perlu menunggu ada yang salah apalagi harus menunggu kepulangan M. Nazarudin.
Pasal 2 (2) Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 1995 mengatur bahwa “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dapat dilakukan dalam hal terdapat petunjuk tentang terjadinya pelanggaran atas perundang-undangan di bidang Pasar Modal”.
Karena di mata siapapun sangatlah naif jika pada suatu perseroan terbuka yang sekaligus BUMN, terdapat pergerakan uang bernilai ratusan milyar yang tidak ada rekam jejaknya.
Dengan terjawabnya pertanyaan-pertanyaan di atas berdasarkan penelitian dan pemeriksaan yang profesional dan transparan, maka hasil pemeriksaan BAPEPAM akan menjawab kegamangan Investor yang pada gilirannya akan berdampak kepada kepastian hukum dan akan mendongkrak tingkat kepercayaan Investor kepada Pasar Modal.
BAGAIMANA MENYIKAPINYA
Saat ini BAPEPAM terkesan pasif dan cenderung menunggu, oleh karenanya Investor (assosiasi Investor) segera mendesak BAPEPAM untuk melakukan pemeriksaan terhadap kedua emiten tersebut dan sebaliknya dalam rangka perlindungan terhadap Investor, maka demi hukum BAPEPAM wajib melakukan pemeriksaan terhadap kedua emiten tersebut, bahka jika perlu pemeriksaan tersebut dilakukan oleh suatu tim independen yang beranggotakan orang-orang kredible, berdasarkan pendelegasian dari BAPEPAM.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan bukti permulaan tentang adanya tindak pidana di bidang Pasar Modal, pemeriksaan tetap dilanjutkan dan Pemeriksa wajib membuat laporan kepada Ketua Bapepam mengenai ditemukannya bukti permulaan tindak pidana tersebut, selanjutnya berdasarkan bukti permulaan , Ketua Bapepam dapat menetapkan dimulainya penyidikan.
Lebih jauh Undang-undang sangat memberikan kewenangan yang cukup kepada BAPEPAM untuk melakukan pemeriksaan karena Pemeriksa berwenang mengiterograsi, meminta bukti bukti, menggeledah dan menyita bukti bukti untuk kepentingan pemeriksaan.
Dengan kewenangan yang sedemikian kuatnya ini, jika BAPEPAM tidak kunjung tergerak melakukan pemeriksaan maka hal itu patutlah dipertanyakan. Dengan informasi yang ada dan kewenangannya, atas nama Undang-undang BAPEPAM wajib melakukan pemeriksaan. Justru kinilah saatnya BAPEPAM menunjukkan peran nyata kepada bangsa ini dalam membangun Pasar Modal yang tertib, transparan dan dapat dipercaya.
Pemeriksaan ini selain untuk mencari kebenaran informasi yang berkembang dan menegakkan hukum di Pasar Modal, juga untuk menjamin (melokalisir) agar praktek BUMN sebagai “sapi perah” para penguasa tidak berlaku terhadap BUMN yang telah terdaftar di Pasar Modal.
Langganan:
Komentar (Atom)