Rabu, 09 November 2011

SUAP TANPA PENYUAP
(Tinjauan Kasus Pemilihan Deputy Gebernur Senior BI)

Suap menyuap adalah suatu perbuatan resiprokal antara dua pihak atau lebih yang saling berhadapan, mereka bersepakat “saling” memberi dan menerima. Satu pihak berharap agar pihak lain memberikan sesuatu baik berupa “barang”, “jasa” ataupun “prestasi” tertentu, untuk itu maka pihak lainnya bersedia memberikan “imbalan” atas pemberian tersebut dengan hal sama yang biasanya berupa uang. Suap menyuap terjadi karena kesepakatan kedua belah pihak dan mustahil terjadi hanya pada satu pihak. Dan yang terpenting dalam suap menyuap ini mengandung pelanggaran hukum karena pemberian atau prestasi yang dilakukan bertentangan dengan kewajiban dan tanggung jawab yang seharusnya dilakukan.

Berangkat dari pemahaman makna suap di atas, maka jika kita melihat perkembangan persidangan kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGSBI) di pengadilan TIPIKOR belakangan ini, wajar jika orang bertanya-tanya bagaimana mungkin suap bisa terjadi tanpa ada penyuapnya? Dari mana uang suap itu bersumber? dan apa sesungguhnya motif pemberian uang suap tersebut? Pertanyaan-pertanyaan demikian sangat wajar muncul dibenak siapapun.

Jika motif pemberian suap adalah agar MG terpilih menjadi DGSBI oleh para anggota DPR, maka yang masuk akal semestinya MGlah penyuapnya atau setidaknya daripadanya atau atas perintahnya atau untuk kepentingannyalah uang suap itu dibayarkan. Namun kenyataannya hingga kini MG masih bebas melenggang dan hanya sebatas menjadi saksi, bukan sebagai tersangka penyuap. Justru sekarang ini muncul sosok kontroversial sebagai tersangka yang bernama Nunun Nurbaity (NN) istri mantan Wakapolri, seorang pengusaha, bukan bankir dan bukan pula pemilik bank. NN kini sedang "sakit" dan berobat di luar negeri.

Dalam persidangan, justru ditemukan kesaksian adanya hubungan dana suap dengan NN bukan dengan MG. Oleh karena itulah maka agar runtutan peristiwanya sampai kepada MG, saat ini KPK Nampak sedang bekerja keras membuktikan bahwa ada hubungan sebab akibat antara NN dengan MG. Hal ini karena kebanyakan para penerima suap hanya tahu orang yang menyerahkan uang suap dan tujuan pemberian suap serta imbal baliknya, namun para penerima suap tidak bersinggungan langsung dengan MG. Oleh karenanya ketiadaan NN tentu menyulitkan KPK untuk membuktikan sebab akibat itu. Sementara ini kekuatan pembuktian KPK nampak terletak dan lebih disandarkan dari bukti Pengakuan pelapor Agus Condro si “whistle blower” yang tetap dihukum 18 bulan dan sebagian penerima suap lainnya serta kurir yang menyerahkan uang suap serta beberapa penerima suap lainnya. Menurut pasal 184 (1) KUHAP, Pengakuan adalah salah satu alat bukti sempurna dalam perkara pidana selain Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Bukti Surat dan Petunjuk.

Lambatnya penetapan status MG dalam perkara ini menunjukkan bahwa KPK mengalami kesulitan untuk menyeret MG sebagai tersangka karena hubungan “saling” dalam rantai tindak pidana suap menyuap terputus (missing link), akibat tidak kunjung ditemukannya NN. Dengan ketiadaan NN dalam persidangan, hubungan hukum suap menyuap dari MG yang diduga dan diperkirakan sebagai actor intlektual atau setidaknya turut serta sebagai bagian dalam perbuatan suap menyuap menjadi belum terbukti. Karena tidak seorang penerima suap-pun yang berhubungan langsung dengan MG atau menerima uang langsung dari MG, kebanyakan dari mereka hanya mendengar dan atau mendapat uang (travel ceque) dalam rangka memilih MG sebagai DGSBI.

Kalau saat ini NN ditetapkan sebagai tersangka, hampir bisa dipastikan karena didasarkan adanya bukti pengakuan dan keterangan para saksi. Namun benarkah NN yang mengeluarkan uang sebanyak itu dan mengapa NN mau mengeluarkan uang dalam jumlah besar itu?, yang menurut para saksi dibayarkan untuk “mensuskseskan” terpilihnya MG sebagai DGSBI, dan apa hubungan NN dengan MG dalam hal ini, masih belum dapat dibuktikan secara terang benderang. Kemungkinan dalih MG saat ini adalah MG tidak tahu dan tidak peduli ada orang-orang yang saling suap dan berkorban dana dalam jumlah besar untuk mensukseskan kepentingannya dan saat ini MG pasti membantah berhubungan dengan NN dalam rangka mengejar jabatan DGSBI.

Namun dizaman sekarang ini tentu orang tidak dengan mudah bersedia mengeluarkan uang semacam itu tanpa tujuan tertentu yang pasti. Dalam kontek suap maka orang akan berpendapat kalau ada penerima suap yang sudah terbukti di pengadilan dan bahkan dihukum, maka sudah pasti ada pemberi suap dan jika tujuan pemberian suap adalah untuk meluluskan terpilihnya MG sebagai DGSBI maka sulit untuk tidak menduga MG terlibat atau setidaknya tahu adanya “permainan” itu.

Saat ini, untuk dapat menjerat MG, KPK harus mampu membuktikan setidaknya dua hal, yakni pertama, bahwa tersangka NN mengeluarkan uang untuk dibayarkan kepada para anggota DPR semata-mata untuk kepentingan MG dalam mengejar jabatan strtegis itu dan kedua, antara NN dan MG mempunyai kesepahaman tujuan yakni untuk mengupayakan agar para anggota DPR memilih MG sebagai DGSBI. Dan untuk membuktikan keterlibatan itu alat ukurnya adalah adanya alat bukti. KPK kemungkinan belum memiliki alat bukti yang kuat baik berupa surat, keterangan saksi maupun petunjuk yang menerangkan keteribatan MG secara materiil.

Dalam hal pembuktian, KPK telah diberi perangkat yang lebih luas dibanding Polisi dan Jaksa. Dalam menjalankan tugas, KPK berhak menggunakan alat bukti yang sah yang cakupannya lebih luas dari KUHAP disesuaikan dengan perkembangan teknologi yang diatur dalam pasal 26 A UU No.31 Tahun 1999 yaitu: Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat 2 UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, khususnya untuk tidak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dilihat, dibaca, dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekan secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.

Jika dengan perangkat bukti yang relative lebih banyak dan luas serta telah mengadopsi alat-alat bukti modernpun KPK masih belum mampu membuktikan ada “penyuap”nya, maka dengan pikiran terbalik sederhana sesungguhnya orang-orang yang telah dihukum karena menerima suap dalam pemilihan DGSBI, sesungguhnya belum dapat dibuktikan secara utuh dalam suatu konstruksi motif perbuatan pidana sebagai telah menerima suap karena hingga kini belum ditemukan motif dan sosok penyuapnya.
Saat ini beredar berita yang konon bersumber dari Ketua KPK bahwa NN berada diluar negeri di bawah perlindungan “kekuatan besar”. Berita ini justru menjadikan kesimpulan kita yang sudah mulai “mengerucut” justru kembali meluas dan semakin bingung untuk menemukan motif suap menyuap dalam pemilihan DGSBI ini, karena berita ini adalah indikasi adanya kekuatan lain yang bermain dalam masalah ini diluar orang-orang yang sering disebutkan.

Tradisi Suap

Dalam berbisnis di Indonesia sangat sulit untuk terhindar dari tradisi suap-menyuap ini, baik suap kepada penguasa, partai, penentu kebijakan, pemegang otoritas perizinan, dll. Pembisnis Indonesia bahkan tidak hanya jago kandang dalam urusan suap menyuap, baru saja (3/11/11) Tranperency Internasional di Jakarta, merilis hasil survey mereka yang menyimpulkan bahwa Pengusaha Indonesia menduduki peringkat keempat di dunia (dari 28 negara), dengan predikat pebisnis gemar menyuap dalam berbisnis di luar negeri. Nampaknya suap sudah menjadi tradisi dan cara bisnis yang "dilazimkan" bagi pengusaha Indonesia.

Motif suap tidak lain adalah untuk melancarkan tujuan bisnis yakni untuk mendapatkan proyek, memudahkan perizinan, mendapatkan fasilitas kemudahan, melonggarkan aturan dan pengawasan, menunda sangsi atau bahkan mengaburkan dan mungkin menghilangkan sama sekali, memanfatkan penguasa untuk persaingan bisnis, dll. Secara tradisional suap sudah menjadi kebiasaan turun temurun di Indonesia.
Dalam situasi bisnis yang demikian maka kita akan mudah membenarkan sinyalemen Agus Condro Prayitno yang menduga ada kepentingan pengusaha dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia (BI) pada tahun 2004 lalu. Banyak pengusaha yang ingin mempengaruhi Bank Indonesia dengan mencoba mensponsori pemilihan pejabatnya.

BI memang lembaga independen yang bebas intervensi pemerintah. Tetapi, sulit untuk tidak terpengaruh oleh kepentingan pengusaha. Dan para pengusaha Bank adalah pengusaha yang paling berkepentingan dengan jabatan DGSBI. Hal ini berkait dengan Tugas Pokok Bank Indonesia : 1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; 2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; 3. Mengatur dan mengawasi bank.
Seperti kita tahu BI dipimpin oleh Dewan Gubernur yang terdiri dari seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior dan sekurang kurangnya 4 orang atau sebanyak-banyaknya 7 orang Deputi. Maka tidak mustahil jika ada pengusaha atau sekelompok pengusaha bank yang bermaksud menjinakkan atau mungkin menempatkan "orangnya" dalam jabatan strategis itu guna mengambil manfaat ataupun mempengaruhi BI. BI akan didekte oleh kepentingan mereka dan tidak lagi independen dalam menjalankan tugasnya. Situasi ini tentu merupakan ancaman serius bagi bangsa ini, betapa sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa rusaknya BI dan perbankan Indonesia sangat berkait dengan kredibilitas moral dari para pimpinannya.

Jika memang kecurigaan KPK adanya “pemain lain” sedemikian kuat, maka ada baiknya KPK juga mulai memasang mata ke arah bank-bank yang kemungkinan menjadi sponsor suap menyuap itu. Upaya ini selain untuk menghindarkan kerancuan hukum adanya “suap tanpa penyuap”, sekaligus untuk lebih menunjukkan kepada publik bahwa sekalipun BI bebas dari pengaruh pemerintah namun BI tidak bebas dari pengaruh “pengusaha hitam” dan BI nampaknya kini sedang “terancam”.

Junaidi Albab Setiawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar