Rabu, 16 November 2016

REFORMASI BESAR DI ESDM (KOMPAS 17-11-2016)


Oleh : Junaidi Albab Setiawan

Paska pelantikan Ignatius Jonan dan Arcandra Thahar sebagai menteri dan wakil menteri ESDM, dari akun tweeter Presiden meluncur tweet : “Ignatius Jonan dan Archandra Tahar, keduanya professional, kompeten, dan berani untuk reformasi besar di ESDM”. Kicauan itu menggambarkan tingkat kepercayaan Presiden kepada kedua pejabat itu dan keyakinannya telah memilih dan menempatkan orang yang tepat yang diyakini mampu mereformasi kementerian yang strategis itu. Kementerian ini dalam kurun waktu 2 tahun terakhir kini, telah melewati berbagai kontroversi dan penggantian hingga 4 kali menteri ESDM, mulai dari Sudirman Said, Archandra, Luhut Binsar dan kini Jonan.

Presiden juga nampak sangat menginginkan segera dilakukan reformasi besar di lingkungan ESDM. Reformasi seperti apakah itu dan mengapa slogan reformasi ini menjadi pilihan. Mari kita coba memahaminya dengan pendekatan terhadap hakekat reformasi dan menganalisis  berbagai peristiwa dan masalah strategis  yang berkaitan dengan bidang kerja kementerian ini, utamanya dari perspektive sumber daya migas.

Reformasi

Jika ditilik dari sejarahnya, gerakan reformasi  di Indonesia muncul sebagai akibat merosotnya tingkat kepercayaan rakyat kepada rezim orde baru akibat krisis multidimensi.  Yang ingin dicapai oleh gerakan reformasi kala itu adalah perubahan kehidupan dalam bidang politik yang semakin demokratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan, kehidupan ekonomi yang semakin makmur dan sejahtera merata, keberlakuan hukum yang adil dan sederajat, serta kehidupan  sosial dan budaya yang mejadikan manusia Indonesia semakin mandiri dan berintegritas. Setelah jatuhnya rezim orde baru, Reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak bisa  ditawar- tawar lagi dan oleh karena itu hampir seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya gerakan reformasi tersebut (Jawahir Tanthowi, 2012).

Namun reformasi bukanlah gerakan bebas nilai, konstitusi dan aturan hukum pelaksanaannya tetap menjadi acuan utama gerakan ini. Maka dalam kurun waktu singkat sejak Indonesia mencanangkan gerakan reformasi, lahirlah puluhan Undang-undang baru yang diharapkan mampu menjamin dan menjaga konstitusionalitas gerakan reformasi, seperti UU Persaingan Usaha yang Sehat No. 5/1999, UU Migas No. 22/2001, UU BUMN No. 19/2003, UU Energi NO. 30/2007, UU Minerba No. 4/2009, dll.

Gerakan reformasi juga muncul akibat kebangkrutan ekonomi yang akhirnya memaksa Indonesia pada tanggal 20 Januari 2000 berhutang kepada IMF. Dan sebagimana ghalibnya debitor, Indonesia harus menundukkan diri kepada skema dan syarat hutang yang ditentukan oleh IMF selaku kreditor. Efek samping dari hubungan ini adalah IMF membawa nilai-nilai kapitalisme, individualisme  dan liberalisme ekonomi yang dalam prakteknya banyak bertentangan  dengan nilai-nilai konstitusi. Yang kini terjadi justru nilai-nilai bawaan itulah yang mendominasi perilaku bangsa Indonesia dalam berekonomi. Akibatnya muncul kemajuan ekonomi semu dalam barisan angka-angka (statistic) di atas kertas, karena yang terlihat di alam nyata justru semakin melebarnya kesenjangan kesejahteraan karena terjadi akumulasi modal pada segelintir orang. Modal kapital menjadi parameter keberhasilan dalam seluruh tatanan kehidupan. Barang siapa menguasai modal maka dia akan menguasai seluruh lini kehidupan.

Oleh karenanya, jika dilihat dari situasi sekarang maka reformasi yang dikehendaki presiden  dalam bidang ESDM semestinya adalah suatu upaya keras mengembalikan konstitusionalitas bidang ESDM dengan cara membenahi Undang-undang dan menegakkan aturan dan membenahi sumber daya manusia agar tidak menyimpang dari cita cita berbangsa dan bernegara.

Benahi undang-undang

Saat ini pemerintah seringkali terjebak dalam situasi delematis antara idealita  di satu sisi,  dengan  realita dan pragmatisme di sisi lain.  Diambil sebagai contoh dalam urusan migas, karena migas adalah komoditi vital dan strategis di lingkup bidang tugas ESDM yang paling bermasalah, maka UU Migas NO. 22 tahun 2001 perlu mendapatkan prioritas untuk segera dibenahi. Terlebih lagi setelah UU itu dikoreksi oleh MK, kita tidak lagi memiliki UU migas yang lengkap dan mumpuni. UU  Migas yang berlaku saat ini sudah tidak layak pakai, karena sudah tidak sistematis dan utuh. Selain itu UU Migas 2001 adalah contoh undang-undang yang beraliran liberal, sekalipun dalam pertimbangannya  terdapat kalimat-kaliman penegasan seperti  “dikuasai oleh negara”,  “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, “yang paling menguntungkan bagi negara”, dll, namun undang-undang ini juga mengusung liberalisasi migas dengan menempatkan migas sebagai komoditi bebas sebagaimana layaknya komoditi lain. Pengertian komoditi adalah barang dagangan yang diperjual belikan dan bekerja berdasarkan prinsip ekonomi. Selain itu UU ini juga menempatkan negara untuk tunduk kepada rezim hukum kontrak. Maka yang berlaku sesungguhnya adalah negara tidak lagi sepenuhnya berdaulat terhadap migas, namun mengikuti arus hukum pasar yang bersumber dari asas kebebasan berkontrak (pacta sunk servanda). Tarik menarik antara amanah konstitusi dan desakan pasar ini nampaknya akan selalu menempatkan pemerintah dalam posisi dilematis.

Diwaktu lain di sector hilir, sebagai contoh baru-baru ini Presiden mencanangkan kebijakan “satu harga premium Rp. 6.500,-“ di Papua. Jika dilihat dari perspektive konstitusi dan  pemerataan kesejahtaeraan bagi seluruh rakyat, kebijakan ini sah dan masuk akal dan pemerintah bahkan demi keadilan dan pemerataan wajib menemukan caranya. Namun jika dilihat dari perspektive bisnis, kebijakan tersebut mejadi tidak masuk akal karena tidak ekonomis dan pasti rugi. Kebijakan itu memaksa PT. Pertamina (Persero) sebagai BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas  (PT) untuk merugi, sedangkan  menurut para penegak hukum, menyengaja membuat BUMN rugi adalah perbuatan melawan hukum karena dimata mereka BUMN tidak boleh rugi. Artinya di saat yang sama kebijakan ini juga memaksa Pertamina untuk mundur ke belakang, menengok kembali peran dan tanggung jawabnya sebagai BUMN  yang tidak semata-mata untuk  menumpuk keuntungan (profit oriented), namun juga sebagai agen negara dalam mewujudkan pemerataan kesejahteraan dalam satu bingkai NKRI, sebagaimana tujuan BUMN sebelum masa reformasi. Padahal sejak Pertamina berubah mengikuti ketentuan UU PT dan UU BUMN, peran sosial itu sudah dikubur menjadi sebatas Corporate Social Responsibility (CSR).

Selain itu, migas dalam perspective UU Migas 22/2001 adalah komoditas inelastic karena menguasai hajat hidup orang banyak, seberapapun harga yang berlaku terhadap komoditas ini maka masyarakat akan tetap membelinya dalam jumlah yang relative sama. Itu artinya kebutuhan migas tidak berkurang bahkan akan bertambah seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Akibatnya semua mata pemburu rente akan mengarah ke sana karena bisnis migas menjanjikan keuntungan besar. Mengingat posisi strategis migas tersebut maka keberadaannya juga akan berpengaruh kuat kepada kehidupan sosial politik. Berangkat dari  situ jika migas hanya dilihat dari kepentingan bisnis ala UU migas 2001, maka sangat mungkin migas akan dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir pemilik modal atau mafia migas, dan akibatnya “hak menguasai negara” atas sumber daya alam vital dan strategis yang bermakna mengatur, mengurus dan mengawasi untuk dipergunakan sebesar besar kemakmuran rakyat menjadi terdistorsi. Dari sini maka kedepan harus segera dirumuskan batasan dan panduan tentang penerapan “hak menguasai negara” yang menjadi amanah konstitusi tersebut dalam praktek bisnis sebagai pegangan.

Membenahi SDM

Pimpinan KPK berencana berangkat ke Amerika Serikat untuk bertemu Federal Bureau of Investigation (FBI) guna mendalami hasil audit internal MaxPower mengenai dugaan suap kepada Pejabat bidang energi Indonesia tahun 2012-2015 (Kompas 8/11/16). Kasus ini mirip dengan kasus “Program Langit Biru” dimana pengadilan Inggris dan Amerika Serikat, menemukan adanya suap terhadap pejabat di Indonesia terkait pelarangan bensin bertimbal. Sekalipun didukung data dari Serious Fraud Office/SFO (Inggris) dan The Securities and Exchange Commission (AS), dan putusan 26 Maret 2010, Hakim Lord Justice Thomas dari pengadilan di Inggris, kasus itu tetap saja mandek di Indonesia. (Kompas 12 Agustus 2010)

Berita semacam ini masih terus saja muncul dan meneguhkan pesimisme kita bahwa pengelolaan migas dan minerba sampai kapanpun akan selalu diwarnai kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Untuk mengatasi persoalan itu, sejak orde baru sampai sekarang pemerintah sering kali membuat Tim Tim penyelesaian independen, informal dan berada diluar sistem, seperti “Komisi Empat” yang beranggotakan Herman Johannes, I.J. Kasimo, Mr. Wilopo, Anwar Tjokroaminoto, untuk menyelidiki penyelewengan di Pertamina tahun 70an, selanjutnya dibentuk Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP) 2 Februari 1970. Dan yang terakhir masih hangat diingatan kita pembentukan Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang diketuai oleh Faisal Basri. Pembentukan tim-tim semacam ini sekalipun telah menghasilkan beberapa rekomendasi, namun tetap saja buntu tidak berujung memuaskan. 

Dalam banyak kasus, negara seperti tidak berdaya. Lihat misalnya dalam kasus TPPI di Kepolisian yang telah menetapkan bekas direktur TPPI, kepala BP Migas dan sekretarisnya sebagai tersangka dan selanjutnya mereka ditahan namun kemudian ditangguhkan penahanannya. Berdasarkan asas presumption of innocence, mereka belum tentu bersalah, namun kasus ini belum menunjukkan tanda tanda penyelesaian di depan persidangan yang adil dan transparan. Ini tentu tidak berimbang dengan berita kerugian negara hingga puluhan triliun rupiah dan saat pengeledahan yang menyertakan jumlah pasukan besar dengan senjata lengkap ke kantor SKK Migas. Contoh lainnya adalah dalam kasus “papa minta saham” yang kini memasuki tahap mencari tafsir tentang prosedur mempergunakan alat bukti rekaman hingga melibatkan MK. Kasus ini juga tidak lagi bisa dipahami arahnya oleh masyarakat, karena pemeriksaan pada inti persoalan saja belum lagi dilakukan secara lengkap dan terang, namun kini masyarakat malah tergiring oleh opini dan “retorika hukum” untuk menyimpulkan bahwa hukumnya yang salah bukan orangnya. Kasus Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) kini juga memasuki babak ketidak pastian, setelah kementerian ESDM menyerahkan kepada KPK hasil audit dari auditor asing KordaMentha yang berhasil menemukan beberapa masalah, namun anehnya temuan ini bertolak belakang dengan hasil audit BPK yang justru tidak menemukan masalah (Kompas, 16-11-2015).

Dalam bidang minerba negara juga harus segera melakukan audit berbagai perusahaan pertambangan minerba di daerah agar tidak dikuasai oleh kroni-kroni pejabat daerah, dengan cara memberikan izin hanya kepada orang-orang yang dikehendaki.  Selain itu pemerintah juga sedang mempertaruhkan kewibawaannya dalam penerapan ketentuan membangun smelter yang tertuang dalam Undang-Undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Ketentuan ini mengatur ekspor bahan tambang yang belum dimurnikan dan larangan bagi perusahaan tambang di Indonesia untuk mengekspor bahan tambang mentah mulai Januari 2014. Aturan itu tentu dibuat dengan maksud agar kekayaan minerba bisa maksimal bagi kepentingan bangsa dan negara. Namun dengan alasan relaksasi karena kesulitan keuangan negara, ketentuan Undang-undang ini mulai dilanggar dengan memberikan izin eksport. Rekomendasi perpanjangan persetujuan ekspor konsentrat Freeport diperpanjang hingga 11 Januari 2017, setelah izin tersebut habis pada 8 Agustus 2016. ESDM memberikan Surat Persetujuan Ekspor (SPE) ke Kementerian Perdagangan pada 10 Agustus 2016.

Maka kesimpulannya jika saja reformasi besar yang dimaksud Presiden itu dimaknai memperbaiki seluruh lingkup ESDM dengan cara menyempurnakan perundang-undangan dan konsistensi dalam penerapannya, penyempurnaan kelembagaan dan mekanisme operasional serta membersihkan ESDM dari praktek KKN, maka reformasi itu menjadi sejalan dengan tujuan dan hakekat reformasi yang sesungguhnya dan itulah yang ditunggu tunggu oleh masyarakat.