Paska pelantikan Ignatius Jonan
dan Arcandra Thahar sebagai menteri dan wakil menteri ESDM, dari akun tweeter
Presiden meluncur tweet : “Ignatius Jonan dan Archandra Tahar, keduanya
professional, kompeten, dan berani untuk reformasi besar di ESDM”. Kicauan itu
menggambarkan tingkat kepercayaan Presiden kepada kedua pejabat itu dan
keyakinannya telah memilih dan menempatkan orang yang tepat yang diyakini mampu
mereformasi kementerian yang strategis itu. Kementerian ini dalam kurun waktu 2
tahun terakhir kini, telah melewati berbagai kontroversi dan penggantian hingga
4 kali menteri ESDM, mulai dari Sudirman Said, Archandra, Luhut Binsar dan kini
Jonan.
Presiden juga nampak sangat
menginginkan segera dilakukan reformasi besar di lingkungan ESDM. Reformasi
seperti apakah itu dan mengapa slogan reformasi ini menjadi pilihan. Mari kita
coba memahaminya dengan pendekatan terhadap hakekat reformasi dan menganalisis berbagai peristiwa dan masalah strategis yang berkaitan dengan bidang kerja
kementerian ini, utamanya dari perspektive sumber daya migas.
Reformasi
Jika ditilik dari sejarahnya,
gerakan reformasi di Indonesia muncul
sebagai akibat merosotnya tingkat kepercayaan rakyat kepada rezim orde baru
akibat krisis multidimensi. Yang ingin
dicapai oleh gerakan reformasi kala itu adalah perubahan kehidupan dalam bidang
politik yang semakin demokratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan
persaudaraan, kehidupan ekonomi yang semakin makmur dan sejahtera merata,
keberlakuan hukum yang adil dan sederajat, serta kehidupan sosial dan budaya yang mejadikan manusia
Indonesia semakin mandiri dan berintegritas. Setelah jatuhnya rezim orde baru, Reformasi
dipandang sebagai gerakan yang tidak bisa ditawar- tawar lagi dan oleh karena itu hampir
seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya gerakan reformasi tersebut
(Jawahir Tanthowi, 2012).
Namun reformasi bukanlah gerakan
bebas nilai, konstitusi dan aturan hukum pelaksanaannya tetap menjadi acuan
utama gerakan ini. Maka dalam kurun waktu singkat sejak Indonesia mencanangkan
gerakan reformasi, lahirlah puluhan Undang-undang baru yang diharapkan mampu
menjamin dan menjaga konstitusionalitas gerakan reformasi, seperti UU
Persaingan Usaha yang Sehat No. 5/1999, UU Migas No. 22/2001, UU BUMN No.
19/2003, UU Energi NO. 30/2007, UU Minerba No. 4/2009, dll.
Gerakan reformasi juga muncul
akibat kebangkrutan ekonomi yang akhirnya memaksa Indonesia pada tanggal 20
Januari 2000 berhutang kepada IMF. Dan sebagimana ghalibnya debitor, Indonesia
harus menundukkan diri kepada skema dan syarat hutang yang ditentukan oleh IMF
selaku kreditor. Efek samping dari hubungan ini adalah IMF membawa nilai-nilai kapitalisme,
individualisme dan liberalisme ekonomi
yang dalam prakteknya banyak bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi. Yang kini
terjadi justru nilai-nilai bawaan itulah yang mendominasi perilaku bangsa
Indonesia dalam berekonomi. Akibatnya muncul kemajuan ekonomi semu dalam
barisan angka-angka (statistic) di atas kertas, karena yang terlihat di alam
nyata justru semakin melebarnya kesenjangan kesejahteraan karena terjadi
akumulasi modal pada segelintir orang. Modal kapital menjadi parameter keberhasilan
dalam seluruh tatanan kehidupan. Barang siapa menguasai modal maka dia akan
menguasai seluruh lini kehidupan.
Oleh karenanya, jika dilihat dari
situasi sekarang maka reformasi yang dikehendaki presiden dalam bidang ESDM semestinya adalah suatu upaya
keras mengembalikan konstitusionalitas bidang ESDM dengan cara membenahi Undang-undang
dan menegakkan aturan dan membenahi sumber daya manusia agar tidak menyimpang
dari cita cita berbangsa dan bernegara.
Benahi undang-undang
Saat ini pemerintah seringkali terjebak
dalam situasi delematis antara idealita di
satu sisi, dengan realita dan pragmatisme di sisi lain. Diambil sebagai contoh dalam urusan migas, karena
migas adalah komoditi vital dan strategis di lingkup bidang tugas ESDM yang
paling bermasalah, maka UU Migas NO. 22 tahun 2001 perlu mendapatkan prioritas
untuk segera dibenahi. Terlebih lagi setelah UU itu dikoreksi oleh MK, kita
tidak lagi memiliki UU migas yang lengkap dan mumpuni. UU Migas yang berlaku saat ini sudah tidak layak
pakai, karena sudah tidak sistematis dan utuh. Selain itu UU Migas 2001 adalah
contoh undang-undang yang beraliran liberal, sekalipun dalam pertimbangannya terdapat kalimat-kaliman penegasan seperti “dikuasai oleh negara”, “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, “yang
paling menguntungkan bagi negara”, dll, namun undang-undang ini juga mengusung
liberalisasi migas dengan menempatkan migas sebagai komoditi bebas sebagaimana
layaknya komoditi lain. Pengertian komoditi adalah barang dagangan yang
diperjual belikan dan bekerja berdasarkan prinsip ekonomi. Selain itu UU ini
juga menempatkan negara untuk tunduk kepada rezim hukum kontrak. Maka yang
berlaku sesungguhnya adalah negara tidak lagi sepenuhnya berdaulat terhadap
migas, namun mengikuti arus hukum pasar yang bersumber dari asas kebebasan
berkontrak (pacta sunk servanda). Tarik menarik antara amanah konstitusi dan
desakan pasar ini nampaknya akan selalu menempatkan pemerintah dalam posisi
dilematis.
Diwaktu lain di sector hilir, sebagai
contoh baru-baru ini Presiden mencanangkan kebijakan “satu harga premium Rp.
6.500,-“ di Papua. Jika dilihat dari perspektive konstitusi dan pemerataan kesejahtaeraan bagi seluruh rakyat,
kebijakan ini sah dan masuk akal dan pemerintah bahkan demi keadilan dan
pemerataan wajib menemukan caranya. Namun jika dilihat dari perspektive bisnis,
kebijakan tersebut mejadi tidak masuk akal karena tidak ekonomis dan pasti rugi.
Kebijakan itu memaksa PT. Pertamina (Persero) sebagai BUMN yang berbentuk
Perseroan Terbatas (PT) untuk merugi,
sedangkan menurut para penegak hukum, menyengaja
membuat BUMN rugi adalah perbuatan melawan hukum karena dimata mereka BUMN
tidak boleh rugi. Artinya di saat yang sama kebijakan ini juga memaksa Pertamina
untuk mundur ke belakang, menengok kembali peran dan tanggung jawabnya sebagai
BUMN yang tidak semata-mata untuk menumpuk keuntungan (profit oriented), namun
juga sebagai agen negara dalam mewujudkan pemerataan kesejahteraan dalam satu bingkai
NKRI, sebagaimana tujuan BUMN sebelum masa reformasi. Padahal sejak Pertamina
berubah mengikuti ketentuan UU PT dan UU BUMN, peran sosial itu sudah dikubur
menjadi sebatas Corporate Social Responsibility (CSR).
Selain itu, migas dalam
perspective UU Migas 22/2001 adalah komoditas inelastic karena menguasai hajat
hidup orang banyak, seberapapun harga yang berlaku terhadap komoditas ini maka
masyarakat akan tetap membelinya dalam jumlah yang relative sama. Itu artinya
kebutuhan migas tidak berkurang bahkan akan bertambah seiring meningkatnya
pertumbuhan ekonomi. Akibatnya semua mata pemburu rente akan mengarah ke sana
karena bisnis migas menjanjikan keuntungan besar. Mengingat posisi strategis
migas tersebut maka keberadaannya juga akan berpengaruh kuat kepada kehidupan
sosial politik. Berangkat dari situ jika
migas hanya dilihat dari kepentingan bisnis ala UU migas 2001, maka sangat
mungkin migas akan dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir pemilik modal atau
mafia migas, dan akibatnya “hak menguasai negara” atas sumber daya alam vital
dan strategis yang bermakna mengatur, mengurus dan mengawasi untuk dipergunakan
sebesar besar kemakmuran rakyat menjadi terdistorsi. Dari sini maka kedepan
harus segera dirumuskan batasan dan panduan tentang penerapan “hak menguasai
negara” yang menjadi amanah konstitusi tersebut dalam praktek bisnis sebagai pegangan.
Membenahi SDM
Pimpinan KPK berencana berangkat
ke Amerika Serikat untuk bertemu Federal Bureau of Investigation (FBI) guna
mendalami hasil audit internal MaxPower mengenai dugaan suap kepada Pejabat
bidang energi Indonesia tahun 2012-2015 (Kompas 8/11/16). Kasus ini mirip
dengan kasus “Program Langit Biru” dimana pengadilan Inggris dan Amerika
Serikat, menemukan adanya suap terhadap pejabat di Indonesia terkait pelarangan
bensin bertimbal. Sekalipun didukung data dari Serious Fraud Office/SFO
(Inggris) dan The Securities and Exchange Commission (AS), dan putusan 26 Maret
2010, Hakim Lord Justice Thomas dari pengadilan di Inggris, kasus itu tetap
saja mandek di Indonesia. (Kompas 12 Agustus 2010)
Berita semacam ini masih terus
saja muncul dan meneguhkan pesimisme kita bahwa pengelolaan migas dan minerba sampai
kapanpun akan selalu diwarnai kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Untuk
mengatasi persoalan itu, sejak orde baru sampai sekarang pemerintah sering kali
membuat Tim Tim penyelesaian independen, informal dan berada diluar sistem, seperti
“Komisi Empat” yang beranggotakan Herman Johannes, I.J. Kasimo, Mr. Wilopo,
Anwar Tjokroaminoto, untuk menyelidiki penyelewengan di Pertamina tahun 70an,
selanjutnya dibentuk Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP) 2
Februari 1970. Dan yang terakhir masih hangat diingatan kita pembentukan Tim
Reformasi Tata Kelola Migas yang diketuai oleh Faisal Basri. Pembentukan tim-tim
semacam ini sekalipun telah menghasilkan beberapa rekomendasi, namun tetap saja
buntu tidak berujung memuaskan.
Dalam banyak kasus, negara
seperti tidak berdaya. Lihat misalnya dalam kasus TPPI di Kepolisian yang telah
menetapkan bekas direktur TPPI, kepala BP Migas dan sekretarisnya sebagai
tersangka dan selanjutnya mereka ditahan namun kemudian ditangguhkan
penahanannya. Berdasarkan asas presumption of innocence, mereka belum tentu
bersalah, namun kasus ini belum menunjukkan tanda tanda penyelesaian di depan
persidangan yang adil dan transparan. Ini tentu tidak berimbang dengan berita kerugian
negara hingga puluhan triliun rupiah dan saat pengeledahan yang menyertakan jumlah
pasukan besar dengan senjata lengkap ke kantor SKK Migas. Contoh lainnya adalah
dalam kasus “papa minta saham” yang kini memasuki tahap mencari tafsir tentang
prosedur mempergunakan alat bukti rekaman hingga melibatkan MK. Kasus ini juga
tidak lagi bisa dipahami arahnya oleh masyarakat, karena pemeriksaan pada inti
persoalan saja belum lagi dilakukan secara lengkap dan terang, namun kini masyarakat
malah tergiring oleh opini dan “retorika hukum” untuk menyimpulkan bahwa hukumnya
yang salah bukan orangnya. Kasus Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) kini
juga memasuki babak ketidak pastian, setelah kementerian ESDM menyerahkan kepada
KPK hasil audit dari auditor asing KordaMentha yang berhasil menemukan beberapa
masalah, namun anehnya temuan ini bertolak belakang dengan hasil audit BPK yang
justru tidak menemukan masalah (Kompas, 16-11-2015).
Dalam bidang minerba negara juga
harus segera melakukan audit berbagai perusahaan pertambangan minerba di daerah
agar tidak dikuasai oleh kroni-kroni pejabat daerah, dengan cara memberikan
izin hanya kepada orang-orang yang dikehendaki.
Selain itu pemerintah juga sedang mempertaruhkan kewibawaannya dalam penerapan
ketentuan membangun smelter yang tertuang dalam Undang-Undang No. 4/2009
tentang Mineral dan Batu Bara. Ketentuan ini mengatur ekspor bahan tambang yang
belum dimurnikan dan larangan bagi perusahaan tambang di Indonesia untuk
mengekspor bahan tambang mentah mulai Januari 2014. Aturan itu tentu dibuat
dengan maksud agar kekayaan minerba bisa maksimal bagi kepentingan bangsa dan
negara. Namun dengan alasan relaksasi karena kesulitan keuangan negara, ketentuan
Undang-undang ini mulai dilanggar dengan memberikan izin eksport. Rekomendasi
perpanjangan persetujuan ekspor konsentrat Freeport diperpanjang hingga 11 Januari
2017, setelah izin tersebut habis pada 8 Agustus 2016. ESDM memberikan Surat
Persetujuan Ekspor (SPE) ke Kementerian Perdagangan pada 10 Agustus 2016.
Maka kesimpulannya jika saja
reformasi besar yang dimaksud Presiden itu dimaknai memperbaiki seluruh lingkup
ESDM dengan cara menyempurnakan perundang-undangan dan konsistensi dalam
penerapannya, penyempurnaan kelembagaan dan mekanisme operasional serta membersihkan
ESDM dari praktek KKN, maka reformasi itu menjadi sejalan dengan tujuan dan
hakekat reformasi yang sesungguhnya dan itulah yang ditunggu tunggu oleh
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar