Impor
Migas
Oleh
:
Junaidi
Albab Setiawan
(Advokat,
Pemerhati Migas)
Saat
memperkenalkan Menteri ESDM baru di halaman Istana Negara, Presiden Jokowi
berpesan agar Menteri focus bekerja mengurangi import Migas. Tidak berhenti sampai
disitu, pesan yang sama diulang kembali oleh Presiden saat memberikan sambutan
di acara penutupan kongres partai Nasdem, di JIExpo Kemayoran, Jakarta, bahkan disertai
ancaman keras. Kata Presiden, "Jangan ada yang coba-coba menghalangi
saya dalam menyelesaikan masalah yang tadi saya sampaikan, pasti saya akan gigit,
dengan cara saya”.
Penyampaian
arahan dari seorang Presiden pada suatu perhelatan partai tentu tidak dilakukan tanpa alasan. Hal itu menunjukkan betapa penting isi pesan itu bagi
semua pihak, tidak terbatas kepada bawahan Presiden, namun juga kepada para politisi.
Akibatnya masyarakat tentu bertanya tanya, ada apa dengan import Migas, mengapa
harus dikurangi justru pada saat Negara
sedang sangat membutuhkan energi Migas untuk kegiatan pembangunan.
Impor
Istilah ekspor
impor pada hakikatnya adalah suatu transaksi sederhana yang tidak lebih dari
membeli dan menjual barang antara pengusaha-pengusaha yang berdomisili di
negara-negara yang berbeda. Kegiatan ekspor dan impor didasari oleh kondisi
bahwa tidak ada suatu negara yang benar-benar mampu mencukupi segala
kebutuhannya secara mandiri. Setiap Negara memiliki karakteristik yang berbeda,
baik sumber daya alam, iklim, geografi, demografi, struktur ekonomi dan
struktur sosial. Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan komoditas yang
dihasilkan, komposisi biaya yang diperlukan, kualitas dan kuantitas produk. Hal
itulah yang secara langsung atau tidak
langsung membutuhkan pertukaran barang dan atau jasa antar negara.
Begitupun
tentang impor Migas, gejala-gejala kekurangan Migas sesungguhnya sudah disadari
semenjak Indonesia melewati zaman keemasan Migas di tahun 80-an. Setelah itu
produksi Indonesia berangsur merosot hingga menjadi negara net importir Migas.
Indonesia bukan tidak memproduksi Migas, namun Migas yang diproduksi tidak
mencukupi kebutuhan dalam negeri. Target Reserve Replacement Ratio (RRR)
sebesar 100%, hampir selalu meleset. Dengan
jumlah kebutuhan yang terus meningkat dengan rasio yang lebih tinggi dari
jumlah produksi membuat Indonesia susah keluar dari impor Migas. Sejak 2014
hingga saat ini jumlah produksi minyak bumi berkisar di angka 700.000 barel per
hari (bph) namun jumlah kebutuhan telah mencapai 1,5 juta bph, sehingga masih dibutuhkan 800.000an
bph untuk menutup kebutuhan.
Defisit Transasksi Berjalan
Defisit produksi itu semakin menekan neraca berjalan, terlebih saat harga Migas internasional mengalami kenaikan. Migas adalah komoditi internasional karena semua negara di muka bumi ini membutuhkan Migas. Transaksi lintas negara itu mengakibatkan harga Migas juga mengalami fluktuasi sesuai dinamika industri Migas global. Tidak ada satu negarapun yang mampu menentukan harga Migas sendirian. Pada saat harga tinggi maka jumlah yang harus dibayar juga semakin tinggi. Dari Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui neraca dagang Indonesia pada April 2019 defisit US$ 2,50 miliar. Angka ini berasal dari ekspor pada April 2019 sebesar US$ 12,6 miliar dan impor sebesar US$ 15,1 miliar dan utamanya impor Migas. Oleh karena itulah saat ini Migas menjadi tertuduh utama penyebab defisit neraca dagang, maka wajar jika Presiden resah mencari jalan penyelesaian.
Segala transaksi perdagangan barang dan jasa serta pendapatan yang berasal dari investasi asing akan tercatat dalam neraca transaksi berjalan. Dalam neraca transaksi berjalan dikenal istilah defisit transaksi berjalan atau current account deficit, yaitu kondisi keuangan negara dengan angka pertumbuhan impor yang lebih tinggi daripada angka pertumbuhan ekspor. Defisit transaksi berjalan juga didefinisikan sebagai suatu keadaan, dimana tingkat tabungan nasional lebih rendah daripada tingkat investasi suatu negara, yang berarti “besar pasak daripada tiang”. Kalau sebuah negara mencatat defisit transaksi berjalan, berarti negara ini menjadi peminjam neto dari negara-negara lain dan karenanya membutuhkan aliran finansial untuk membiayai defisit ini.
Menurut Indonesia investemen, sejak akhir 2011 Indonesia telah dibebani oleh defisit transaksi berjalan struktural yang menguatirkan para pembuat kebijakan maupun para investor (asing). Meskipun pihak berwenang di Indonesia telah mengimplementasikan reformasi kebijakan dan penyesuaian perekonomian di beberapa tahun terakhir, defisit transaksi berjalan Indonesia hanya sedikit berubah. Bank Dunia memprediksi bahwa defisit transaksi berjalan akan tetap berada sedikit di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB), sangat dekat dengan batasan yang memisahkan defisit yang sustainable dan yang unsustainable. Jika situasi itu tidak segera diperbaiki, maka akan berakibat ketekoran ekonomi negara.
Karena Migas menjadi penyumbang tertinggi deficit transasksi berjalan, sebagai jalan keluar Pemerintah berniat membatasi impor Migas. Namun sejatinya impor Migas bukanlah factor tunggal, justru mengurangi impor Migas menjadi sulit pada saat negara sedang giat-giatnya membangun dan memerlukan pasokan energi yang cukup. Terlebih kegiatan produksi Migas adalah kegiatan yang masih bergantung dari actor dan faktor luar negeri.
Kenyataan
Membatasi impor
Migas hanyalah salah satu langkah praktis, lebih dari itu harus didahului
dengan langkah-langkah substansial sebagai landasan. Sudah kodratnya manusia
bergerak membutuhkan energi, maka pemenuhan kebutuhan energi harus menjadi
focus pembangunan. Dari dahulu kita sudah mencanangkan slogan “kemandirian energi”, namun masih sebatas slogan, belum diikuti langkah-langkah
kongkrit yang konsisten, dilandasi regulasi dan kebijakan yang jelas dan
terarah.
Ada beberapa
kenyataan yang sedang dihadapi Indonesia dan membutuhkan penanganan yang
serius menyangkut sumber energi Migas. Pertama,
produksi minyak mentah Indonesia terus mengalami penurunan alamiah (natural decline
period), mengingat minyak adalah sumber energi tak terbarukan. Jika kita
abai mengantasipasi situasi itu dengan penemuan sumur-sumur minyak baru atau
beralih ke sumber-sumber energi baru seperti nuklir, panas bumi, air, angin,
surya, biogas dll, maka suatu saat yang bisa diperkirakan waktunya, kita akan
mengahadapi masalah serius berupa krisisi energi.
Kedua,
permintaan akan Migas cederung terus meningkat seiring dengan peningkatan
pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk. Sementara sebaliknya produksi Migas
terus mengalami penurunan. Itu pertanda kemandirian energi negara sedang terancam dan karenanya
Indonesia akan semakin tergantung dari impor sumber energi primer. Perlu dipahami minyak mentah baru akan menjadi
barang bernilai tinggi jika telah diberdayakan secara maksimal melalui suatu
proses yang disebut pengolahan di kilang-kilang Minyak. Ironisnya, untuk
menutup kekurangan BBM saat ini Indonesia mengimpor dari Singapura, negeri yang
tidak memiliki sumber daya alam Migas namun mampu menjadi produsen BBM terbesar
dunia. Pesan moralnya adalah menyedot
minyak tanpa didukung infrastruktur pengolahan yang memadai akan menimbulkan
biaya tinggi dan ketergantungan asing. Seandainya Indonesia sejak semula mampu
menggunakan biaya pengembangan secara optimal untuk penemuan sumur sumur baru
dan membangun kilang, maka masalah impor bisa teratasi.
Ketiga,
Indonesia masih memiliki potensi produksi gas alam yang cukup besar. Namun Indonesia
lebih suka mengekspor gas dari pada mengkonsumsi sendiri. Masalahnya masih
seputar keterbatasan infrastruktur jaringan
gas dan pola pikir masyarakat dan spesifikasi alat-alat produksi masih
berorientasi BBM. Maka menggiatkan
penggunaan Gas untuk menggantikan BBM sebagai sumber energi dalam negeri mutlak
lebih digiatkan.
Keempat,
Tata Kelola Migas labil dan tidak mengakar kepada konstitusi. Untuk
mengatasinya perlu dimulai dengan membangun tata kelola Migas yang kokoh
berdasar UU Migas baru, sementara pembahasan UU Migas baru itu tidak kunjung
selesai sejak tahun 2012. Presiden juga pernah membentuk Tim Reformasi Tata
Kelola Migas dan berhasil merumuskan 12
rekomendasi yang mengarah kepada terwujudnya kemandirian energi. Setelah sekian
lama maka pemerintah perlu mengevaluasi apakah rekomendasi itu sudah dijalankan
atau hanya dianggap sekedar angin lalu.
Komoditi Konstitusi
Bisnis Migas adalah
bisnis yang menjanjikan keuntungan super besar, wajar jika menjadi incaran para
pemburu rente. Mereka akan melakukan segala cara, termasuk diantaranya memasuki
partai politik untuk mempengaruhi kebijakan. Gayung bersambut, sebaliknya
partai politik ditengah sistem demokrasi liberal dan kapitalistik memerlukan
dana besar untuk bisa bertahan hidup, apalagi mampu bersaing. Jika keduanya bersimbiose maka akan menjadi ancaman serius bagi negara. Seorang
politisi senior mengungkapkan sinyalemennya di UI, bahwa sistem bernegara di Indonesia kian
kompetitif karena setiap urusan bergantung pada uang. Money is power, bukan
aklak, bukan kepribadian, bukan attitude, bukan juga ilmu pengetahuan. Above
all, money is power (Kompas 4/8/2019). Maka pidato Presiden tentang impor Migas yang
disampaikan dalam suatu perhelatan
partai adalah tepat untuk menjawab situasi itu, sekaligus mengingatkan siapapun,
utamanya para politisi, bahwa Migas adalah komoditi yang dilindungi oleh konstitusi,
karena di dalamnya terkandung hajat hidup rakyat, ketahahan energi dan
kedaulatan Negara. Karenanya jangan pernah bermain-main dengan impor Migas.