Selasa, 21 Januari 2020

IMPORT MIGAS (KOMPAS 18 Januari 2020

Impor Migas
Oleh :
Junaidi Albab Setiawan
(Advokat, Pemerhati Migas)
Saat memperkenalkan Menteri ESDM baru di halaman Istana Negara, Presiden Jokowi berpesan agar Menteri focus bekerja mengurangi import Migas. Tidak berhenti sampai disitu, pesan yang sama diulang kembali oleh Presiden saat memberikan sambutan di acara penutupan kongres partai Nasdem, di JIExpo Kemayoran, Jakarta, bahkan disertai ancaman keras. Kata Presiden, "Jangan ada yang coba-coba menghalangi saya dalam menyelesaikan masalah yang tadi saya sampaikan, pasti saya akan gigit, dengan cara saya”. 

Penyampaian arahan dari seorang Presiden pada suatu perhelatan partai tentu  tidak dilakukan tanpa alasan. Hal itu  menunjukkan betapa penting isi pesan itu bagi semua pihak, tidak terbatas kepada bawahan Presiden, namun juga kepada para politisi. Akibatnya masyarakat tentu bertanya tanya, ada apa dengan import Migas, mengapa harus dikurangi  justru pada saat Negara sedang sangat membutuhkan energi Migas untuk kegiatan pembangunan.

Impor

Istilah ekspor impor pada hakikatnya adalah suatu transaksi sederhana yang tidak lebih dari membeli dan menjual barang antara pengusaha-pengusaha yang berdomisili di negara-negara yang berbeda. Kegiatan ekspor dan impor didasari oleh kondisi bahwa tidak ada suatu negara yang benar-benar mampu mencukupi segala kebutuhannya secara mandiri. Setiap Negara memiliki karakteristik yang berbeda, baik sumber daya alam, iklim, geografi, demografi, struktur ekonomi dan struktur sosial. Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan komoditas yang dihasilkan, komposisi biaya yang diperlukan, kualitas dan kuantitas produk. Hal itulah yang  secara langsung atau tidak langsung membutuhkan pertukaran barang dan atau jasa antar negara.

Begitupun tentang impor Migas, gejala-gejala kekurangan Migas sesungguhnya sudah disadari semenjak Indonesia melewati zaman keemasan Migas di tahun 80-an. Setelah itu produksi Indonesia berangsur merosot hingga menjadi negara net importir Migas. Indonesia bukan tidak memproduksi Migas, namun Migas yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri. Target Reserve Replacement Ratio (RRR) sebesar 100%, hampir selalu meleset.  Dengan jumlah kebutuhan yang terus meningkat dengan rasio yang lebih tinggi dari jumlah produksi membuat Indonesia susah keluar dari impor Migas. Sejak 2014 hingga saat ini jumlah produksi minyak bumi berkisar di angka 700.000 barel per hari (bph) namun jumlah kebutuhan telah mencapai  1,5 juta bph, sehingga masih dibutuhkan 800.000an bph untuk menutup kebutuhan.

Defisit Transasksi Berjalan

Defisit produksi itu semakin menekan neraca berjalan, terlebih saat harga Migas internasional mengalami kenaikan. Migas adalah komoditi internasional karena semua negara di muka bumi ini  membutuhkan Migas. Transaksi lintas negara itu mengakibatkan harga Migas juga mengalami fluktuasi sesuai dinamika industri Migas global. Tidak ada satu negarapun yang mampu menentukan harga Migas sendirian. Pada saat harga tinggi maka jumlah yang harus dibayar juga semakin tinggi.  Dari Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui neraca dagang Indonesia pada April 2019 defisit US$ 2,50 miliar. Angka ini berasal dari ekspor pada April 2019 sebesar US$ 12,6 miliar dan impor sebesar US$ 15,1 miliar dan utamanya impor Migas. Oleh karena itulah saat ini Migas menjadi tertuduh utama penyebab defisit neraca dagang, maka wajar jika Presiden resah mencari jalan penyelesaian.

Segala transaksi perdagangan barang dan jasa serta pendapatan yang berasal dari investasi asing akan tercatat dalam neraca transaksi berjalan. Dalam neraca transaksi berjalan dikenal istilah defisit transaksi berjalan atau current account deficit, yaitu kondisi keuangan negara dengan angka pertumbuhan impor yang lebih tinggi daripada angka pertumbuhan ekspor. Defisit transaksi berjalan juga didefinisikan sebagai suatu keadaan, dimana tingkat tabungan nasional lebih rendah daripada tingkat investasi suatu negara, yang berarti “besar pasak daripada tiang”. Kalau sebuah negara mencatat defisit transaksi berjalan, berarti negara ini menjadi peminjam neto dari negara-negara lain dan karenanya membutuhkan aliran finansial untuk membiayai defisit ini.

Menurut Indonesia investemen, sejak akhir 2011 Indonesia telah dibebani oleh defisit transaksi berjalan struktural yang menguatirkan para pembuat kebijakan maupun para investor (asing). Meskipun pihak berwenang di Indonesia telah mengimplementasikan reformasi kebijakan dan penyesuaian perekonomian di beberapa tahun terakhir, defisit transaksi berjalan Indonesia hanya sedikit berubah. Bank Dunia memprediksi bahwa defisit transaksi berjalan akan tetap berada sedikit di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB), sangat dekat dengan batasan yang memisahkan defisit yang sustainable dan yang unsustainable. Jika situasi itu tidak segera diperbaiki, maka akan berakibat ketekoran ekonomi negara.

Karena Migas menjadi penyumbang tertinggi deficit transasksi berjalan, sebagai  jalan keluar Pemerintah berniat  membatasi impor Migas. Namun sejatinya  impor Migas bukanlah factor tunggal, justru mengurangi impor Migas menjadi sulit pada saat negara  sedang giat-giatnya  membangun dan memerlukan pasokan energi yang cukup. Terlebih  kegiatan produksi Migas adalah kegiatan yang masih bergantung dari actor dan faktor luar negeri.

Kenyataan

Membatasi impor Migas hanyalah salah satu langkah praktis, lebih dari itu harus didahului dengan langkah-langkah substansial sebagai landasan. Sudah kodratnya manusia bergerak membutuhkan energi, maka pemenuhan kebutuhan energi harus menjadi focus pembangunan. Dari dahulu kita sudah mencanangkan slogan “kemandirian  energi”, namun masih sebatas  slogan, belum diikuti langkah-langkah kongkrit yang konsisten, dilandasi regulasi dan kebijakan yang jelas dan terarah.

Ada beberapa kenyataan yang sedang dihadapi Indonesia dan membutuhkan penanganan yang serius  menyangkut sumber energi Migas. Pertama, produksi minyak mentah Indonesia terus mengalami penurunan alamiah (natural decline period), mengingat minyak adalah sumber energi tak terbarukan. Jika kita abai mengantasipasi situasi itu dengan penemuan sumur-sumur minyak baru atau beralih ke sumber-sumber energi baru seperti nuklir, panas bumi, air, angin, surya, biogas dll, maka suatu saat yang bisa diperkirakan waktunya, kita akan mengahadapi masalah serius berupa krisisi energi.

Kedua, permintaan akan Migas cederung terus meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk. Sementara sebaliknya produksi Migas terus mengalami penurunan. Itu pertanda kemandirian  energi negara sedang terancam dan karenanya Indonesia akan semakin tergantung dari impor sumber energi primer.  Perlu dipahami minyak mentah baru akan menjadi barang bernilai tinggi jika telah diberdayakan secara maksimal melalui suatu proses yang disebut pengolahan di kilang-kilang Minyak. Ironisnya, untuk menutup kekurangan BBM saat ini Indonesia mengimpor dari Singapura, negeri yang tidak memiliki sumber daya alam Migas namun mampu menjadi produsen BBM terbesar dunia. Pesan moralnya  adalah menyedot minyak tanpa didukung infrastruktur pengolahan yang memadai akan menimbulkan biaya tinggi dan ketergantungan asing. Seandainya Indonesia sejak semula mampu menggunakan biaya pengembangan secara optimal untuk penemuan sumur sumur baru dan membangun kilang, maka masalah impor bisa teratasi.  

Ketiga, Indonesia masih memiliki potensi produksi gas alam yang cukup besar. Namun Indonesia lebih suka mengekspor gas dari pada mengkonsumsi sendiri. Masalahnya masih seputar  keterbatasan infrastruktur jaringan gas dan pola pikir masyarakat dan spesifikasi alat-alat produksi masih berorientasi BBM.  Maka menggiatkan penggunaan Gas untuk menggantikan BBM sebagai sumber energi dalam negeri mutlak lebih digiatkan.

Keempat, Tata Kelola Migas labil dan tidak mengakar kepada konstitusi. Untuk mengatasinya perlu dimulai dengan membangun tata kelola Migas yang kokoh berdasar UU Migas baru, sementara pembahasan UU Migas baru itu tidak kunjung selesai sejak tahun 2012. Presiden juga pernah membentuk Tim Reformasi Tata Kelola  Migas dan berhasil merumuskan 12 rekomendasi yang mengarah kepada terwujudnya kemandirian energi. Setelah sekian lama maka pemerintah perlu mengevaluasi apakah rekomendasi itu sudah dijalankan atau hanya dianggap sekedar angin lalu.

Komoditi Konstitusi  

Bisnis Migas adalah bisnis yang menjanjikan keuntungan super besar, wajar jika menjadi incaran para pemburu rente. Mereka akan melakukan segala cara, termasuk diantaranya memasuki partai politik untuk mempengaruhi kebijakan. Gayung bersambut, sebaliknya partai politik ditengah sistem demokrasi liberal dan kapitalistik memerlukan dana besar untuk bisa bertahan hidup, apalagi mampu bersaing. Jika keduanya  bersimbiose maka  akan menjadi ancaman serius bagi negara. Seorang politisi senior mengungkapkan sinyalemennya di UI,  bahwa sistem bernegara di Indonesia kian kompetitif karena setiap urusan bergantung pada uang. Money is power, bukan aklak, bukan kepribadian, bukan attitude, bukan juga ilmu pengetahuan. Above all, money is power (Kompas 4/8/2019).  Maka pidato Presiden tentang impor Migas yang disampaikan  dalam suatu perhelatan partai adalah tepat untuk menjawab situasi itu, sekaligus mengingatkan siapapun, utamanya para politisi, bahwa Migas adalah komoditi yang dilindungi oleh konstitusi, karena di dalamnya terkandung hajat hidup rakyat, ketahahan energi dan kedaulatan Negara. Karenanya jangan pernah bermain-main dengan impor Migas.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar