Oleh : Junaidi Albab Setiawan, Lawyer K3S Terdaftar si SKK Migas
Tidaklah mudah memahami undang-undang, karena tidak hanya sekedar
membaca bunyi kata-katanya saja (naar de letter van de wet), tetapi harus pula
mencari arti, makna atau tujuannya. Sehingga membaca undang-undang tidaklah
cukup dengan membaca pasal-pasalnya saja, tetapi harus dibaca penjelasannya,
konsiderannya, bahkan dari risalah pembahasannya di DPR (memorie van
tolefting), sehingga dapat dipahami “jiwa”nya (Sudikno Mertokusumo,1987).
Ditengah situasi pandemi COVID19 yang mencekam, DPR tetap
bersikeras melakukan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta
Kerja. Pada pasal 41, RUU ini menyasar
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas
2001), yang pada intinya menawarkan
suatu tata kelola Migas baru. Upaya perbaikan terhadap UU Migas 2001 ini
merupakan tindak lanjut dari putusan MK No. 36/PUU.X/2012 yang membatalkan 24 Pasal
berkenaan dengan BP Migas berikut frasa-frasa
terkait. Putusan itu mengakibatkan UU
Migas 2001 menjadi kehilangan muatan utamanya dan tata kelola migas menjadi kacau.
Yang diperlukan saat ini sesungguhnya bukanlah langkah tambal
sulam sebagaimana ditawarkan oleh RUU itu, namun lahirnya UU Migas baru yang
kuat sekaligus adaptif dengan perkembangan zaman, sebagaimana diamanatkan putusan
MK pada amar angka 6. Paska putusan MK, Pemerintah dan DPR sesungguhnya juga sudah
berikhtiar menyusun UU Migas baru yang saat ini sudah memasuki tahap
finalisasi. Maka Pemerintah dan DPR sebaiknya melanjutkan pembahasan yang sudah
berlangsung hampir 7 (tujuh) tahun itu. Dengan masa pembahasan yang panjang dan
melibatkan aspirasi banyak pihak akan menghasilkan undang-undang yang kuat.
Namun upaya yang telah menyita waktu, tenaga, pikiran dan berbiaya
mahal itu saat ini justru di-by pass sendiri oleh pemerintah dengan menawarakan
aturan parsial melalui RUU Omnibus Law.
Tata
Kelola UU Migas 2001
Dimata bangsa Indonesia Migas adalah anugerah Tuhan yang vital dan
strategis, oleh karenanya Migas dilindungi oleh konstitusi. Berdasarkan UUD 45 pasal
33 ayat (2) dan (3), benda dengan karakter demikian, demi hukum harus dikuasai
oleh negara. Namun tafsir hak menguasai negara (HMN) atas Migas itu hingga kini
masih menjadi diskursus karena tidak ditemukan penjelasannya secara
rinci dalam UU Migas 2001. Oleh karenanya undang-undang baru harus mampu menjelaskannya
tentang hak menguasai negara itu secara konsepsional lengkap berdasar hierarki
perundang-undangan.
Indonesia pernah memiliki 2 undang-undang Migas, yakni UU No
44/PRP Tahun 1960 dan UU No. 22 Tahun 2001.
Kedua undang-undang ini memiliki tafsir tentang HMN atas Migas secara berbeda,
sehingga berakibat berbeda pula dalam
menerapkan tata kelola Migas. UU Migas 1960 menilai kegiatan penambangan migas
sebagai kegiatan bisnis, sedang UU Migas 2001 menilai sebaliknya tapi justru
menyajikan ketentaun rancu yang mengakibatkan blunder yang akhirnya
menghasilkan putusan MK No 36 dan lahirnya SKK MIgas. Hal itu menunjukkan hukum
itu selalu bergerak mengikuti pergerakan masyarakat, waktu dan tempat “historisch
bestimmt”.
Di masa berlakunya UU Migas 1960, mengingat sifat Migas yang
dilindungi oleh konstitusi serta Migas sebagai objek bisnis, maka HMN dikuasakan
kepada Pertamina. Berdasarkan wewenang
itu Pertamina kemudian berperan sebagai regulator sekaligus operator
pengelolaan Migas. Posisi ini menjadikan Pertamina berkembang pesat dan kuat,
namun karena lemahnya pengawasan Pertamina
cenderung berperilaku koruptif. Situasi itu berlangsung hingga terjadi gerakan
reformasi yang mengganti UU Migas 1960
dengan UU Migas 2001.
Dalam UU Migas 2001, HMN atas Migas khusus untuk menyelenggarakan
ekplorasi dan ekploitasi diserahkan kepada pemerintah. Pemerintah selanjutnya
membentuk BP Migas untuk melaksanakannya, sampai akhirnya Badan Pelaksana
dihapus dari UU Migas oleh MK. Untuk mengisi kekosongan hukum yang ditinggalkan
oleh BP Migas dibentuklah satuan kerja bersifat sementara (SKK migas). Eksistensi
SKK Migas terus berlangsung hingga saat ini dan cenderung menjadi lembaga
permanen. Kondisi itulah yang saat ini coba diatasi oleh pemerintah lewat RUU omni
bus law.
Dari risalah sidang pembahasan UU Migas 2001 diketahui bahwa kelahiran
undang-undang ini dimaksudkan agar migas tidak dimonopoli oleh Pertamina dan bisnis
Migas dijalankan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat sesuai kaidah
perdagangan pasar bebas. Menurut memorie van tolefting, risalah sidang, daftar
inventarisasi masalah (DIM) dalam kesempatan pembahasan, pemerintah berulang
kali menyampaikan bahwa UU Migas 2001 bukanlah undang-undang yang mengatur
usaha Migas. Pemerintah hanya berperan sebagai pengawas sedang pelakunya adalah
perusahaan-perusahaan termasuk Pertamina baru yang sudah dikerdilkan menjadi
BUMN Persero.
Tata kelola Migas yang diusung UU Migas 2001 sebenarnya telah
menimbulkan kontroversi sejak dalam kandungan karena dinilai bertentangan
dengan sila ke 5 Pancasila sebagai “groundnorm” dan Pasal 33 ayat (2)
dan (3) UUD 45. Dalam pembahasan RUU ini bahkan diwarnai dengan nota penolakan “Minderheidnota”
dari sebagian anggota DPR RI yang mencurigai RUU Migas 2001 sebagai pesanan
asing, dibahas secara instant, berkarakter liberal, kapitalis. Sekalipun pada
akhirnya minderheidnota ini tetap tidak mampu menahan laju pengesahan.
Rupanya kontroversi itu terus berlanjut, tercermin dari seringnya UU Migas 2001 dilakukan judicial review
di MK. Setidaknya sudah empat kali MK
menerbitkan putusan judicial review UU Migas, yakni Putusan MK No.
002/PPU-I/2003, putusan No. 20/PUU.V/2007, putusan No. 65/PUU.X/2012 dan yang
paling fatal akibatnya adalah Putusan MK No.36/PUU.X/2012 yang merubah tata
kelola Migas tanpa kepastian hingga sekarang ini.
Tawaran
Baru
Tata kelola baru yang ditawarkan RUU Omnibus Law tercantum dalam
pasal 4A (1), bahwa : Kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi diselenggarakan
oleh Pemerintah Pusat sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan. Muatan pasal
ini mengandung kelemahan subtansial, karena dalam UU Migas 2001 kuasa
pertambangan yang diberikan oleh Negara kepada pemerintah tidak termasuk untuk
melakukan kegiatan usaha hulu Migas. Pemerintah hanya diberi kuasa untuk
menyelenggarakan ekplorasi dan eksploitasi, bukan kegiatan usaha. Berbeda
dengan kuasa pertambangan dalam UU Migas 1960 yang dengan tegas menunjuk Perusahaan
Negara untuk menyelenggarakan kegiatan usaha karena menyadari baha kegiatan huu
adalah kegiatan usaha / bisnis, ketentuan ini tegas tidak menimbulkan tafsir
ganda.
Jika dilihat risalah pembahasan RUU Migas 2001 di DPR, materi ini
termasuk yang paling hangat diperdebatkan ditengah suasana “kemarahan” para pembahas
kepada Pertamina akibat provokasi dari pemerintah melalui naskah akedemik
pengantar pembahasan. Dari sana diketahui adanya motif liberalisasi Migas, bahwa
UU Migas 2001 dirancang untuk memisahkan wewenang dan tanggung jawab pemerintah
dari perusahaan. Pemerintah tidak mengatur operasional perusahaan dan
perusahaan tidak seharusnya melakukan pengaturan sektor. Dengan demikian UU
Migas 2001 adalah undang-undang yang mengatur tentang sektor migas dan tidak
mengatur perusahaan. Sehingga jika sekarang pemerintah berencana menjadi
“penyelenggara” kegiatan usaha maka tidak sejalan lagi dengan “jiwa” UU Migas
2001.
Jika dilihat dari bunyi pasal 4A (2) RUU Omnibus Law, Pemerintah
Pusat sebagai pemegang Kuasa Pertambangan dapat membentuk atau menugaskan Badan
Usaha Milik Negara Khusus sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas
bumi. Dilihat dari ayat ini, sifat
khususnya BUMN yang dibentuk adalah karena diberi beban dan tanggung jawab khusus
sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu Migas oleh pemerintah, bukan khusus
karena kemandiriannya dalam menjalankan kegiatan usaha. Padahal jka belajar
dari pengalaman Pertamina, justru kemandirian itulah yang sangat diperlukan
oleh BUMN khusus itu agar lebih focus dan tidak mudah menjadi sapi perah.
Selain itu dalam ayat ini juga terdapat kata “dapat”, artinya
BUMN khusus itu tidak wajib dibentuk, sehingga ayat ini menjadi ayat “setengah hati”, karena dimungkinkan pemerintah tidak membentuk BUMN khusus, jika
itu terjadi lalu siapakah penyelenggara kegiatan usaha hulu yang mewakili
kepentingan negara itu?.
Jalan
keluar
Menentukan tata kelola Migas harus dimulai dari merumuskan kuasa
pertambangan dalam undang-undang secara tepat. Mengingat kuasa pertambangan
adalah acuan yang berfungsi sebagai jembatan hukum yang menghubungkan antara tataran
idealita (das sollen) berupa pandangan, harapan dan cita-cita negara dalam
memanfaatkan Migas, dengan kegiatan pemanfaatan
di lapangan (das sein). Kegiatan nyata itu dalam prakteknya merupakan kegiatan
usaha yang bertujuan mengejar laba, bukan kegiatan pemerintahan. Kegiatan
demikian seharusnya dilakukan oleh suatu
badan usaha, bukan oleh pemerintah.
Sehingga negara seharusnya dengan tegas memberikan wewenang usaha itu kepada badan usaha bukan kepada
Pemerintah.
Kedepan perlu dirumuskan tata kelola baru yang mampu menyelaraskan
hubungan antara yang bersifat idealita dengan yang bersifat realita (restitutio
in integrum). Suatu tata kelola “jalan tengah” yang menempatkan fungsi
usaha dan fungsi pengawasan secara terpisah, namun saling menguatkan. Sebaiknya negara memberikan wewenang usaha langsung
kepada BUMNK hulu Migas bukan kepada pemerintah, sedang pemerintah lebih mengambil
peran sebagai pengatur dan pengawas. Agar
transisi kelambagaan ini berlangsung efektif dan efisien, SKK Migas sebaiknya dialih
fungsikan menjadi badan pengatur dan pengawas kegiatan usaha hulu Migas yang
tetap berada di bawah Kementerian ESDM.
Selain itu juga perlu dipertimbangkan untuk memberi peran yang
lebih tegas kepada BUMD Migas dalam UU Migas baru. BUMD adalag cermin kemandirian, kedaulatan energi yang
akan menyentuh langsung potensi dan keunggulan daerah dan manfaatnya langsung
kepada masyarakat setempat yang sering diselorohkan “itik mati di lumbung
padi”.