Rabu, 23 September 2020

TATA KELOLA MIGAS DALAM OMNIBUSLAW

 Oleh : Junaidi Albab Setiawan, Lawyer K3S Terdaftar si SKK Migas

Tidaklah mudah memahami undang-undang, karena tidak hanya sekedar membaca bunyi kata-katanya saja (naar de letter van de wet), tetapi harus pula mencari arti, makna atau tujuannya. Sehingga membaca undang-undang tidaklah cukup dengan membaca pasal-pasalnya saja, tetapi harus dibaca penjelasannya, konsiderannya, bahkan dari risalah pembahasannya di DPR (memorie van tolefting), sehingga dapat dipahami “jiwa”nya (Sudikno Mertokusumo,1987).

Ditengah situasi pandemi COVID19 yang mencekam, DPR tetap bersikeras melakukan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Pada pasal 41, RUU ini menyasar  Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 2001), yang pada intinya  menawarkan suatu tata kelola Migas baru. Upaya perbaikan terhadap UU Migas 2001 ini merupakan tindak lanjut  dari putusan MK No. 36/PUU.X/2012 yang membatalkan 24 Pasal berkenaan dengan  BP Migas berikut frasa-frasa terkait. Putusan itu mengakibatkan  UU Migas 2001 menjadi kehilangan muatan utamanya dan  tata kelola migas menjadi kacau.  

Yang diperlukan saat ini sesungguhnya bukanlah langkah tambal sulam sebagaimana ditawarkan oleh RUU itu, namun lahirnya UU Migas baru yang kuat sekaligus adaptif dengan perkembangan zaman, sebagaimana diamanatkan putusan MK pada amar angka 6. Paska putusan MK, Pemerintah dan DPR sesungguhnya juga sudah berikhtiar menyusun UU Migas baru yang saat ini sudah memasuki tahap finalisasi. Maka Pemerintah dan DPR sebaiknya melanjutkan pembahasan yang sudah berlangsung hampir 7 (tujuh) tahun itu. Dengan masa pembahasan yang panjang dan melibatkan aspirasi banyak pihak akan menghasilkan undang-undang yang  kuat.

Namun upaya yang telah menyita waktu, tenaga, pikiran dan berbiaya mahal itu saat ini justru di-by pass sendiri oleh pemerintah dengan menawarakan aturan parsial melalui RUU Omnibus Law.

 

Tata Kelola UU Migas 2001

Dimata bangsa Indonesia Migas adalah anugerah Tuhan yang vital dan strategis, oleh karenanya Migas dilindungi oleh konstitusi. Berdasarkan UUD 45 pasal 33 ayat (2) dan (3), benda dengan karakter demikian, demi hukum harus dikuasai oleh negara. Namun tafsir hak menguasai negara (HMN) atas Migas itu hingga kini masih menjadi  diskursus  karena tidak ditemukan penjelasannya secara rinci dalam UU Migas 2001. Oleh karenanya undang-undang baru harus mampu menjelaskannya tentang hak menguasai negara itu secara konsepsional lengkap berdasar hierarki perundang-undangan.

Indonesia pernah memiliki 2 undang-undang Migas, yakni UU No 44/PRP Tahun 1960 dan  UU No. 22 Tahun 2001. Kedua undang-undang ini memiliki tafsir tentang HMN atas Migas secara berbeda, sehingga berakibat  berbeda pula dalam menerapkan tata kelola Migas. UU Migas 1960 menilai kegiatan penambangan migas sebagai kegiatan bisnis, sedang UU Migas 2001 menilai sebaliknya tapi justru menyajikan ketentaun rancu yang mengakibatkan blunder yang akhirnya menghasilkan putusan MK No 36 dan lahirnya SKK MIgas. Hal itu menunjukkan hukum itu selalu bergerak mengikuti pergerakan masyarakat, waktu dan tempat “historisch bestimmt”.

Di masa berlakunya UU Migas 1960, mengingat sifat Migas yang dilindungi oleh konstitusi serta Migas sebagai objek bisnis, maka HMN dikuasakan kepada  Pertamina. Berdasarkan wewenang itu Pertamina kemudian berperan sebagai regulator sekaligus operator pengelolaan Migas. Posisi ini menjadikan Pertamina berkembang pesat dan kuat, namun karena lemahnya pengawasan  Pertamina cenderung berperilaku koruptif. Situasi itu berlangsung hingga terjadi gerakan reformasi yang mengganti  UU Migas 1960 dengan UU Migas 2001.

Dalam UU Migas 2001, HMN atas Migas khusus untuk menyelenggarakan ekplorasi dan ekploitasi diserahkan kepada pemerintah. Pemerintah selanjutnya membentuk BP Migas untuk melaksanakannya, sampai akhirnya Badan Pelaksana dihapus dari UU Migas oleh MK. Untuk mengisi kekosongan hukum yang ditinggalkan oleh BP Migas dibentuklah satuan kerja bersifat sementara (SKK migas). Eksistensi SKK Migas terus berlangsung hingga saat ini dan cenderung menjadi lembaga permanen. Kondisi itulah yang saat ini coba diatasi oleh pemerintah lewat RUU omni bus law.

Dari risalah sidang pembahasan UU Migas 2001 diketahui bahwa kelahiran undang-undang ini dimaksudkan agar migas tidak dimonopoli oleh Pertamina dan bisnis Migas dijalankan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat sesuai kaidah perdagangan pasar bebas. Menurut memorie van tolefting, risalah sidang, daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam kesempatan pembahasan, pemerintah berulang kali menyampaikan bahwa UU Migas 2001 bukanlah undang-undang yang mengatur usaha Migas. Pemerintah hanya berperan sebagai pengawas sedang pelakunya adalah perusahaan-perusahaan termasuk Pertamina baru yang sudah dikerdilkan menjadi BUMN Persero.

Tata kelola Migas yang diusung UU Migas 2001 sebenarnya telah menimbulkan kontroversi sejak dalam kandungan karena dinilai bertentangan dengan sila ke 5 Pancasila sebagai “groundnorm” dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 45. Dalam pembahasan RUU ini bahkan diwarnai dengan nota penolakan “Minderheidnota” dari sebagian anggota DPR RI yang mencurigai RUU Migas 2001 sebagai pesanan asing, dibahas secara instant, berkarakter liberal, kapitalis. Sekalipun pada akhirnya minderheidnota ini tetap tidak mampu menahan laju pengesahan.

Rupanya kontroversi itu terus berlanjut, tercermin dari seringnya  UU Migas 2001 dilakukan judicial review di  MK. Setidaknya sudah empat kali MK menerbitkan putusan judicial review UU Migas, yakni Putusan MK No. 002/PPU-I/2003, putusan No. 20/PUU.V/2007, putusan No. 65/PUU.X/2012 dan yang paling fatal akibatnya adalah Putusan MK No.36/PUU.X/2012 yang merubah tata kelola Migas tanpa kepastian hingga sekarang ini.

Tawaran Baru

Tata kelola baru yang ditawarkan RUU Omnibus Law tercantum dalam pasal  4A (1), bahwa :  Kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan. Muatan pasal ini mengandung kelemahan subtansial, karena dalam UU Migas 2001 kuasa pertambangan yang diberikan oleh Negara kepada pemerintah tidak termasuk untuk melakukan kegiatan usaha hulu Migas. Pemerintah hanya diberi kuasa untuk menyelenggarakan ekplorasi dan eksploitasi, bukan kegiatan usaha. Berbeda dengan kuasa pertambangan dalam UU Migas 1960 yang dengan tegas menunjuk Perusahaan Negara untuk menyelenggarakan kegiatan usaha karena menyadari baha kegiatan huu adalah kegiatan usaha / bisnis, ketentuan ini tegas tidak menimbulkan tafsir ganda.

Jika dilihat risalah pembahasan RUU Migas 2001 di DPR, materi ini termasuk yang paling hangat diperdebatkan ditengah suasana “kemarahan” para pembahas kepada Pertamina akibat provokasi dari pemerintah melalui naskah akedemik pengantar pembahasan. Dari sana diketahui adanya motif liberalisasi Migas, bahwa UU Migas 2001 dirancang untuk memisahkan wewenang dan tanggung jawab pemerintah dari perusahaan. Pemerintah tidak mengatur operasional perusahaan dan perusahaan tidak seharusnya melakukan pengaturan sektor. Dengan demikian UU Migas 2001 adalah undang-undang yang mengatur tentang sektor migas dan tidak mengatur perusahaan. Sehingga jika sekarang pemerintah berencana menjadi “penyelenggara” kegiatan usaha maka tidak sejalan lagi dengan “jiwa” UU Migas 2001.

Jika dilihat dari bunyi pasal 4A (2) RUU Omnibus Law, Pemerintah Pusat sebagai pemegang Kuasa Pertambangan dapat membentuk atau menugaskan Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.  Dilihat dari ayat ini, sifat khususnya BUMN yang dibentuk adalah karena diberi beban dan tanggung jawab khusus sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu Migas oleh pemerintah, bukan khusus karena kemandiriannya dalam menjalankan kegiatan usaha. Padahal jka belajar dari pengalaman Pertamina, justru kemandirian itulah yang sangat diperlukan oleh BUMN khusus itu agar lebih focus dan tidak mudah  menjadi sapi perah.

Selain itu dalam ayat ini juga terdapat kata “dapat”, artinya BUMN khusus itu tidak wajib dibentuk, sehingga ayat ini menjadi  ayat “setengah hati”, karena dimungkinkan  pemerintah tidak membentuk BUMN khusus, jika itu terjadi lalu siapakah penyelenggara kegiatan usaha hulu yang mewakili kepentingan negara itu?.

Jalan keluar

Menentukan tata kelola Migas harus dimulai dari merumuskan kuasa pertambangan dalam undang-undang secara tepat. Mengingat kuasa pertambangan adalah acuan yang berfungsi sebagai jembatan hukum yang menghubungkan antara tataran idealita (das sollen) berupa pandangan, harapan dan cita-cita negara dalam memanfaatkan Migas,  dengan kegiatan pemanfaatan di lapangan (das sein). Kegiatan nyata itu dalam prakteknya merupakan kegiatan usaha yang bertujuan mengejar laba, bukan kegiatan pemerintahan. Kegiatan demikian seharusnya  dilakukan oleh suatu badan usaha,  bukan oleh pemerintah. Sehingga negara seharusnya dengan tegas memberikan wewenang usaha  itu kepada badan usaha bukan kepada Pemerintah. 

Kedepan perlu dirumuskan tata kelola baru yang mampu menyelaraskan hubungan antara yang bersifat idealita dengan yang bersifat realita (restitutio in integrum). Suatu tata kelola “jalan tengah” yang menempatkan fungsi usaha dan fungsi pengawasan secara terpisah, namun saling menguatkan.  Sebaiknya negara memberikan wewenang usaha langsung kepada BUMNK hulu Migas bukan kepada pemerintah, sedang pemerintah lebih mengambil peran sebagai  pengatur dan pengawas. Agar transisi kelambagaan ini berlangsung efektif dan efisien, SKK Migas sebaiknya dialih fungsikan menjadi badan pengatur dan pengawas kegiatan usaha hulu Migas yang tetap berada di bawah Kementerian ESDM.

Selain itu juga perlu dipertimbangkan untuk memberi peran yang lebih tegas kepada BUMD Migas dalam UU Migas baru. BUMD adalag  cermin kemandirian, kedaulatan energi yang akan menyentuh langsung potensi dan keunggulan daerah dan manfaatnya langsung kepada masyarakat setempat yang sering diselorohkan “itik mati di lumbung padi”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar