Junaidi
Albab Setiawan
Advocat,
Pengamat Hukum Migas
Seminggu
sebelum RUU Omnibus Law disahkan DPR, Pemerintah tiba-tiba menarik usulan
pembentukan Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK) Hulu Migas dari RUU Omnibus
Law. Penarikan itu menandakan Pemerintah masih bersikap maju mundur alias belum
memiliki visi dan political will yang mantab untuk memperbaiki tata
Kelola Migas. Sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU.X/2012, tata kelola
Migas menjadi rancu sehingga sulit menjadi pegangan dalam kegiatan usaha hulu
Migas, Sedangkan Migas hingga saat ini masih menjadi penopang utama pembiayaan
pembangunan. Karenanya perbaikan tata Kelola Migas seharusnya menjadi prioritas
pembahasan di DPR.
Hak
Menguasai Negara Atas Migas
Tata
kelola Migas adalah turunan dari hak menguasai negara (HMN) atas Migas yang
tercantum dalam konstitusi. HMN atas Migas adalah harapan, cita-cita dan cara
negara agar Migas dapat menjadi modal pembangunan. Untuk mewujudkan itu maka diperlukan
suatu jembatan hukum yang menghubungkan
antara harapan dan cita-cita negara yang bersifat abstrak (de jure) itu, dengan kegiatan operasional
bisnis hulu Migas yang bersifat kongkrit (de facto). Jembatan hukum itu disebut
“kuasa usaha pertambangan” atau disingkat “Kuasa Pertambangan” (KP) Migas.
HMN
atas Migas adalah turunan dari kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat adalah suatu
hak eksklusif yang dimiliki rakyat untuk mewujudkan kepentingannya dalam suatu
negara. Sedang kepentingan negara tiada lain adalah kepentingan rakyat yang
dibatasi oleh aturan-aturan hukum yang notabene merupakan kesepakatan rakyat
sendiri (volonte genarale). Apabila rakyat melalui konstitusi negara menghendaki
Migas yang terkandung dalam bumi wilayah negara
harus dikuasai oleh negara, maka tidak ada jalan lain bagi negara kecuali
mewujudkannya dalam bentuk kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang selaras
dengan amanat konstitusi.
Sedangkan
KP Migas adalah turunan dari HMN atas Migas yang digariskan oleh konstitusi. Maksud
KP Migas ini bisa dipelajari dari penjelasan angka 4 UU No 44/Prp/1960 Tentang
Migas. Bahwa berhubung Negara hanya mempunyai hak menguasai, maka tidaklah
dapat diberikan kepada perusahaan negara hak-hak lain yang lebih dari pada hak
menguasai itu. Dengan demikian yang dapat diberikan kepada perusahaan negara adalah
sebatas “kuasa usaha” pertambangan atau secara ringkas disebut Kuasa
Pertambangan. Ketentuan itu sesuai dengan azas hukum “nemo dat quod non
habet” yang berarti negara tidak dapat memberikan sesuatu yang tidak
dimilikinya atau tidak dapat negara memberikan alas hak yang lebih baik dari
yang dimilikinya. Karenanya KP Migas
bukanlah pemberian hak pertambangan namun sebatas untuk menjalankan usaha
pertambangan, maka fokus dari KP Migas ini lebih kepada aspek pemanfaatan dan
bisnis bukan aspek kepemilikan.
BUMNK
Hulu Migas
Melalui
KP Migas, negara yang semula bertatus sebagai subjek hukum publik yang bersifat
umum, luas dan abstrak, menjelma menjadi suatu subjek hukum pelaku usaha BUMNKH Migas yang bersifat khusus, sempit dan
dengan tujuan yang kongkrit untuk mendapatkan keuntungan/laba. Mengingat sejatinya kegiatan usaha hulu Migas
adalah kegiatan bisnis atas komoditi yang dilindungi oleh konstitusi, maka KP
Migas seharusnya diserahkan kepada suatu BUMNKH Migas, bukan kepada Pemerintah.
Menyerahkan KP Migas kepada Pemerintah sebagimana dalam UU No 22 Taun 2001
Tentang Migas adalah kerancuan yang
harus segera dikoreksi. BUMNKH Migas dalam hal ini berperan sebagi Special
Purpose Vehicle khusus untuk menjalankan salah satu peran negara sebagai
pengelola Migas sesuai Putusan MK No. 002/PPU-I/2003. Berdasar KP Migas kegiatan
BUMNKH Migas dalam kerja sama dengan pihak swasta menjadi bersifat busines to
busines (B to B), bukan government to business (G to B).
Selain
itu pelimpahan wewenang KP Migas kepada BUMNKH Migas juga sejalan dengan visi
UU No 22 Tahun 2001 Tentang Migas
sebagaimana tercermin dalam naskah
akademik, risalah pembahasan (memorie van toelichting), daftar inventarisasi
masalah (DIM) saat pembahasan RUU itu di
DPR. Menurut Undang-Undang ini, Migas adalah komoditas atau dagangan yang
pengusahaannya tunduk kepada mekanisme
pasar. Negara harus membiarkan pasar bekerja sesuai tabiat alamiah dan
caranya sendiri dalam menemukan harga.” Karenanya Undang-undang itu
tidak mengatur bisnis Migas namun hanya mengatur sektor Migas, mengingat bisnis
Migas bukanlah domain Pemerintah.
Memperbaiki
tata kelola Migas harus dimulai dengan memperbaiki rumusan KP Migas. KP Migas yang
rancu serta tidak selaras dengan konstitusi akan mengakibatkan kebijakan dan
tata kelola Migas berubah-ubah seperti saat ini. Seringnya perubahan tentu tidak
menguntungkan negara dan pelaku bisnis Migas khususnya investor dan kontraktor
(K3S). Peraturan yang labil akan mengganggu kepastian hukum dan iklim investasi,
pada gilirannya juga berpengaruh kepada pendapatan negara dari sektor Migas
sehingga mengganggu pembiayaan pembangunan.
Patut
disayangkan hingga kini negara belum mampu merumuskan KP Migas yang
konstitusional namun adaptif dan fleksibel terhadap kebutuhan pasar. Sekalipun Pemerintah
bersama DPR dalam tujuh tahun terakhir sudah membahas RUU Migas baru, namun
entah mengapa hingga kini belum dapat
disahkan. Terakhir Pemerintah justru mencoba mengambil jalan pintas dengan menyisipkan
pembentukan BUMNK Hulu Migas dalam RUU Omnibus Law, namun secara tiba-tiba
ditarik kembali. Situasi ini tentu membuat para pelaku usaha Migas menjadi
resah dan gelisah. Lambannya pembenahan pengaturan tata kelola Migas ini membuktikan
kebenaran adagium hukum “Het recht
think achter de feiten aan”, hukum akan selalu berjalan tertatih-tatih
mengikuti kenyataan dan berada satu langkah di belakang realita dan kemajuan
zaman.