Senin, 19 Oktober 2020

BUMN KHUSUS HULU MIGAS (KOMPAS 19/10/2020)

 

Junaidi Albab Setiawan

Advocat, Pengamat Hukum Migas

Seminggu sebelum RUU Omnibus Law disahkan DPR, Pemerintah tiba-tiba menarik usulan pembentukan Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK) Hulu Migas dari RUU Omnibus Law. Penarikan itu menandakan Pemerintah masih bersikap maju mundur alias belum memiliki visi dan political will yang mantab untuk memperbaiki tata Kelola Migas. Sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU.X/2012, tata kelola Migas menjadi rancu sehingga sulit menjadi pegangan dalam kegiatan usaha hulu Migas, Sedangkan Migas hingga saat ini masih menjadi penopang utama pembiayaan pembangunan. Karenanya perbaikan tata Kelola Migas seharusnya menjadi prioritas pembahasan di DPR.

Hak Menguasai Negara Atas Migas

Tata kelola Migas adalah turunan dari hak menguasai negara (HMN) atas Migas yang tercantum dalam konstitusi. HMN atas Migas adalah harapan, cita-cita dan cara negara agar Migas dapat menjadi modal pembangunan. Untuk mewujudkan itu maka diperlukan suatu  jembatan hukum yang menghubungkan antara harapan dan cita-cita negara yang bersifat abstrak  (de jure) itu, dengan kegiatan operasional bisnis hulu Migas yang bersifat kongkrit (de facto). Jembatan hukum itu disebut “kuasa usaha pertambangan” atau disingkat “Kuasa Pertambangan” (KP) Migas.

HMN atas Migas adalah turunan dari kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat adalah suatu hak eksklusif yang dimiliki rakyat untuk mewujudkan kepentingannya dalam suatu negara. Sedang kepentingan negara tiada lain adalah kepentingan rakyat yang dibatasi oleh aturan-aturan hukum yang notabene merupakan kesepakatan rakyat sendiri (volonte genarale). Apabila rakyat melalui konstitusi negara menghendaki  Migas  yang terkandung dalam bumi wilayah negara harus dikuasai oleh negara, maka tidak ada jalan lain bagi negara kecuali mewujudkannya dalam bentuk kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang selaras dengan amanat konstitusi.

Sedangkan KP Migas adalah turunan dari HMN atas Migas yang digariskan oleh konstitusi. Maksud KP Migas ini bisa dipelajari dari penjelasan angka 4 UU No 44/Prp/1960 Tentang Migas. Bahwa berhubung Negara hanya mempunyai hak menguasai, maka tidaklah dapat diberikan kepada perusahaan negara hak-hak lain yang lebih dari pada hak menguasai itu. Dengan demikian yang dapat diberikan kepada perusahaan negara adalah sebatas “kuasa usaha” pertambangan atau secara ringkas disebut Kuasa Pertambangan. Ketentuan itu sesuai dengan azas hukum “nemo dat quod non habet” yang berarti negara tidak dapat memberikan sesuatu yang tidak dimilikinya atau tidak dapat negara memberikan alas hak yang lebih baik dari yang dimilikinya.  Karenanya KP Migas bukanlah pemberian hak pertambangan namun sebatas untuk menjalankan usaha pertambangan, maka fokus dari KP Migas ini lebih kepada aspek pemanfaatan dan bisnis bukan aspek kepemilikan.

BUMNK Hulu Migas

Melalui KP Migas, negara yang semula bertatus sebagai subjek hukum publik yang bersifat umum, luas dan abstrak, menjelma menjadi suatu subjek hukum pelaku usaha  BUMNKH Migas yang bersifat khusus, sempit dan dengan tujuan yang kongkrit untuk mendapatkan keuntungan/laba.  Mengingat sejatinya kegiatan usaha hulu Migas adalah kegiatan bisnis atas komoditi yang dilindungi oleh konstitusi, maka KP Migas seharusnya diserahkan kepada suatu BUMNKH Migas, bukan kepada Pemerintah. Menyerahkan KP Migas kepada Pemerintah sebagimana dalam UU No 22 Taun 2001 Tentang Migas  adalah kerancuan yang harus segera dikoreksi. BUMNKH Migas dalam hal ini berperan sebagi Special Purpose Vehicle khusus untuk menjalankan salah satu peran negara sebagai pengelola Migas sesuai Putusan MK No. 002/PPU-I/2003. Berdasar KP Migas kegiatan BUMNKH Migas dalam kerja sama dengan pihak swasta menjadi bersifat busines to busines (B to B), bukan government to business (G to B).

Selain itu pelimpahan wewenang KP Migas kepada BUMNKH Migas juga sejalan dengan visi UU  No 22 Tahun 2001 Tentang Migas sebagaimana tercermin dalam  naskah akademik, risalah pembahasan (memorie van toelichting), daftar inventarisasi masalah (DIM) saat pembahasan  RUU itu di DPR. Menurut Undang-Undang ini, Migas adalah komoditas atau dagangan yang pengusahaannya  tunduk kepada mekanisme pasar. Negara harus membiarkan pasar bekerja sesuai tabiat alamiah dan caranya sendiri dalam menemukan harga.”  Karenanya Undang-undang itu tidak mengatur bisnis Migas namun hanya mengatur sektor Migas, mengingat bisnis Migas bukanlah domain Pemerintah.

Memperbaiki tata kelola Migas harus dimulai dengan memperbaiki rumusan KP Migas. KP Migas yang rancu serta tidak selaras dengan konstitusi akan mengakibatkan kebijakan dan tata kelola Migas berubah-ubah seperti saat ini. Seringnya perubahan tentu tidak menguntungkan negara dan pelaku bisnis Migas khususnya investor dan kontraktor (K3S). Peraturan yang labil akan mengganggu kepastian hukum dan iklim investasi, pada gilirannya juga berpengaruh kepada pendapatan negara dari sektor Migas sehingga mengganggu pembiayaan pembangunan.

Patut disayangkan hingga kini negara belum mampu merumuskan KP Migas yang konstitusional namun adaptif dan fleksibel terhadap kebutuhan pasar. Sekalipun Pemerintah bersama DPR dalam tujuh tahun terakhir sudah membahas RUU Migas baru, namun entah mengapa hingga kini  belum dapat disahkan. Terakhir Pemerintah justru mencoba mengambil jalan pintas dengan menyisipkan pembentukan BUMNK Hulu Migas dalam RUU Omnibus Law, namun secara tiba-tiba ditarik kembali. Situasi ini tentu membuat para pelaku usaha Migas menjadi resah dan gelisah. Lambannya pembenahan pengaturan tata kelola Migas ini membuktikan kebenaran adagium hukum  Het recht think achter de feiten aan”, hukum akan selalu berjalan tertatih-tatih mengikuti kenyataan dan berada satu langkah di belakang realita dan kemajuan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar