Selasa, 23 Februari 2021

GUGATAN IMPORT LNG MOZAMBIQUE

 

GUGATAN IMPORT LNG MOZAMBIQUE

Junaidi Albab Setiawan

Advokat, Direktur Pusat Studi Hukum Energi (PUSHENERGY)

 

Tiada uap kalua tidak ada api, sekalipun kabar tentang adanya gugatan dari Mozambik dibantah oleh Pertamina, namun kita tetap harus waspada. Dikabarkan BUMN Pertamina sedang terancam gugatan dari Anadarko Petroleum Corporation (APC) untuk membayar kerugian sekitar Rp 39,5 triliun akibat pembatalan perjanjian jual beli gas alam cair liquefied natural gas (LNG) yang ditandatangani pada Februari 2019. Dalam perjanjian yang akan direalisasikan pada tahun 2024 itu Pertamina berjanji akan mengimpor 1 juta ton (MTPA) gas per tahun dari Mozambik LNG1 Company Pte Ltd dalam jangka waktu 20 tahun (Kontan 17/1/2021). APC adalah perusahaan yang berkedudukan di Delaware Amerika, memiliki anak usaha Anadarko Offshore Holding Co. LLC, berkedudukan di  New Castle Amerika yang mengontrol Anadarko Moçambique Área 1 Ltd dengan hak partisipasi 26,5%.

Gugatan tersebut tentu menarik perhatian masyarakat, namun uniknya disetiap Pertamina bermasalah masyarakat selalu mengaitkannya dengan KKN serta mafia Migas. Spekulasi masyarakat itu tentu diakibatkan oleh catatan reputasi buruk Pertamina dan  ditambah Pertamina sendiri nampak masih belum memiliki pemahaman yang seragam dalam menyikapi gugatan, sehingga masih sibuk  melakukan audit investigasi internal untuk memahami persoalan.

Peristiwa Bisnis Biasa

Sengketa bisnis antar pihak yang terikat hubungan kontrak adalah peristiwa biasa, karena hakekat kontrak adalah perangkat bisnis yang sengaja disiapkan para pihak sebagai rujukan utama dalam mengantisipasi sengketa. Maka lazimnya kontrak yang baik selalu mengatur tentang cara  penyelesaian sengketa. Manakala terjadi sengketa maka  kontrak akan menjadi undang-undang bagi para pembuatnya (pacta sunt servanda).

Saat ini hampir semua kontrak Migas yang melibatkan pihak internasional tidak memilih pengadilan Indonesia sebagai pemutus sengketa. Akibatnya sulit bagi Pertamina berharap terus menjadi “jago kandang dengan berlindung dibalik sentiment nasionalime dan hukum domestik. Yang dipilih adalah kesepakatan-kesepakatan hukum internasional, best practice busines dan good corporate governance. Sehingga mereka lebih memilih alternative dispute resolution (ADR) internasional, seperti Court of Arbitration Of the International Chamber of Commerce (ICC), United Nations Commisions on Internasional Trade Law (UNCITRAL), dan International Centre for Settlement of Investmen Dispute (ICSID), Singapore International Arbitration Centre (SIAC), dll.

Paska penandatanganan kontrak, Pertamina menyampaikan kepada masyarakat bahwa import dilakukan karena LNG Mozambik “berkualitas baik, lebih murah serta term-nya juga bagus”.  Berdasar statemen tersebut dapat diasumsikan pada tahap awal Pertamina telah melakukan studi kelayakan dan Legal Due Diligence (LDD) untuk memitigasi resiko. Pertamina pasti juga sudah meminta pendapat SKK Migas, Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan guna mempertimbangkan berbagai aspek internal dan eksternal, seperti kebutuhan dan produksi LNG dalam negeri, kebijakan dan neraca Gas Indonesia 2016-2035 serta neraca perdagangan Nasional yang hampir selalu defisit (current account deficit).

Di sisi lain APC sebagai produsen menghendaki menemukan pembeli pasti yang terpercaya dan berlangsung lama. Mengingat karakter bisnis hulu Migas yang mahal, berlangsung lama serta diliputi ketidak pastian karena objeknya masih di perut bumi. APC juga menanggung resiko besar karena dalam kontrak demikian dituntut  menentukan jumlah, mutu, jenis, tempat, waktu penyerahan serta harga LNG di depan. Maka kontrak adalah jaminan yang akan berpengaruh kepada keberlangsungan bisnisnya. Berdasar posisi dan kepentingan masing-masing pihak itulah kemudian dirumuskan klausul-klausul kesepakatan sebagaimana tertuang dalam kontrak.

Tengoklah Ke Dalam

Sesungguhnya mudah bagi Pertamina untuk memitigasi resiko bisnis LNG itu, setidaknya Pertamina dapat berkaca pada dirinya sendiri karena pertama, Pertamina berpengalaman menjadi eksportir LNG jangka 20 tahun lebih melalui anak usaha PT. Arun Natural Gas Liquefaction (PT. Arun NGL). Pada 1990an kilang Arun merupakan salah satu penghasil LNG terbesar dunia dengan perkiraan cadangan mencapai 17,1 triliun kaki kubik, yang menempatkan Indonesia menjadi lima besar negara eksportir LNG di dunia, dengan pangsa utama Jepang, Korea, Taiwan, Cina, AS.

Menurut Rio Indrawan dalam tulisannya di Dunia Energi tanggal 9/11/2020,[1] Indonesia juga berpengalaman dalam kesepakatan jual beli LNG antara Pertamina dan WBX dilakukan pada 1973. Saat itu ada lima perusahaan yang sepakat membeli LNG Chubu Electric Co., Kansai Electric Power Co., Kyushu Electric Power Co., Nippon Steel Corp dan Osaka Gas Co. Ltd.. Dari hasil kesepakatan itu juga akhirnya terbangun kilang LNG pertama di Indonesia yang dibangun di Bontang dan waktu itu dibangun hanya dalam waktu 42 bulan.

Toho Gas Co pada 1981 juga ikut menandatangani kesepakatan pembelian LNG dari Bontang. Kemudian pada 2009 Pertamina dan para perusahaan Jepang terrsebut sepakat agar kontrak jual beli LNG menjadi satu kontrak. Pada 1981 ada dua konsumen lain yakni Tokyo Ekectric dan Tohoku Electric juga ikut tandatangani kontrak 20 tahun pembelian LNG dengan Pertamina. Pada tahun 1984 Indonesia menyalip Algeria sebagai negara No 1 pengekspor gas dunia. Selama hampir 20 tahun sejak saat itu Indonesia menjadi negara eksportir terbesar LNG melalui kesepakatan dengan WBX tersebut. Jika pengalaman itu direfleksikan dalam perkara APC maka Pertamina akan lebih mudah mengukur diri guna mencari solusi.

Kedua, Pertamina juga berpengalaman digugat di Arbitrase Jenewa Swiss dan diputus kalah karena membatalkan kontrak secara sepihak  dalam proyek Energi panas bumi Karaha Bodas. Akibatnya dana milik Pertamina di Bank of America sebesar US$ 296 harus menjadi jaminan ganti rugi kepada Karaha Bodas Company (KBC). Upaya Pertamina untuk membendung eksekusi putusan dengan menggunakan hukum domestic nampaknya sia-sia. Luka lama itu tentu sangat membekas dan memberi pelajaran berharga bagi Pertamina agar  tidak terulang lagi.

Ketiga,  Ternyata APC adalah mitra bisnis Pertamina setidaknya sejak  PT. Pertamina Hulu Energi pada tanggal 10 Desember 2012 mengakuisisi tiga anak usaha APC. Akuisisi itu tertuang dalam kesepakatan dengan Anadarko Offshore Holding Company LLC untuk membeli 100% saham Anadarko Ambalat Limited pemilik 33,75% hak partisipasi Blok Ambalat, Anadarko Bukat Limited pemilik 33,75% hak partisipasi Blok Bukat,  dan Anadarko Indonesia Nunukan Company pemilik 35% hak partisipasi Blok Nunukan (Kompas 10/12/12). Berbekal kemitraan itu  upaya penyelesaian sengketa melalui mekanisme Business to Business semestinya lebih mudah dilakukan.

Gerak Cepat

Saat ini masyarakat masih berharap banyak kepada Pertamina, maka jagalah Pertamina layaknya menjaga kepentingan dan marwah bangsa. Yang perlu segera dilakukan  adalah gerak cepat dan focus mengatasi masalah berdasar kontrak dan best practice bisnis. Namun seandainya dari audit investigative ditemukan KKN, belajarlah pada kasus Inospec  Limited dari Delaware yang diinvestigasi oleh Serious Fraud Office (SFO) Inggris, Securities and Exchange Commission (SEC), Departemen Kehakiman dan Keuangan  Amerika karena dugaan KKN di Indonesia dalam impor timbal yang terganjal program langit biru Pertamina dan  investigasi Roll Royce oleh SFO dan Practice Investigation Bureau (CPIB) dalam KKN pengadaan 50 mesin Airbus SAS Garuda Indonesia.

 Jika saat ini Pertamina memiliki bukti-bukti KKN yang kuat maka jangan “setengah hati”, cepatlah membawa permasalahan ke SEC di Amerika mengingat APC adalah perusahaan terbuka dan gunakan Foreign Corruption Practice Act untuk melapor ke penegak hukum Delaware Amerika, ditambah secara simultan melakukan tindakan hukum di Indonesia.