GUGATAN
IMPORT LNG MOZAMBIQUE
Junaidi
Albab Setiawan
Advokat,
Direktur Pusat Studi Hukum Energi (PUSHENERGY)
Tiada
uap kalua tidak ada api, sekalipun kabar tentang adanya gugatan dari Mozambik
dibantah oleh Pertamina, namun kita tetap harus waspada. Dikabarkan BUMN Pertamina
sedang terancam gugatan dari Anadarko Petroleum Corporation (APC) untuk
membayar kerugian sekitar Rp 39,5 triliun akibat pembatalan perjanjian jual
beli gas alam cair liquefied natural gas (LNG) yang ditandatangani pada
Februari 2019. Dalam perjanjian yang akan direalisasikan pada tahun 2024 itu
Pertamina berjanji akan mengimpor 1 juta ton (MTPA) gas per tahun dari Mozambik
LNG1 Company Pte Ltd dalam jangka waktu 20 tahun (Kontan 17/1/2021). APC adalah
perusahaan yang berkedudukan di Delaware Amerika, memiliki anak usaha Anadarko
Offshore Holding Co. LLC, berkedudukan di New Castle Amerika yang mengontrol Anadarko
Moçambique Área 1 Ltd dengan hak partisipasi 26,5%.
Gugatan
tersebut tentu menarik perhatian masyarakat, namun uniknya disetiap Pertamina
bermasalah masyarakat selalu mengaitkannya dengan KKN serta mafia Migas. Spekulasi
masyarakat itu tentu diakibatkan oleh catatan reputasi buruk Pertamina dan ditambah Pertamina sendiri nampak masih belum memiliki
pemahaman yang seragam dalam menyikapi gugatan, sehingga masih sibuk melakukan audit investigasi internal untuk
memahami persoalan.
Peristiwa
Bisnis Biasa
Sengketa
bisnis antar pihak yang terikat hubungan kontrak adalah peristiwa biasa, karena
hakekat kontrak adalah perangkat bisnis yang sengaja disiapkan para pihak sebagai rujukan
utama dalam mengantisipasi sengketa. Maka lazimnya kontrak yang baik selalu mengatur
tentang cara
penyelesaian sengketa. Manakala terjadi
sengketa maka kontrak akan menjadi
undang-undang bagi para pembuatnya (pacta sunt servanda).
Saat
ini hampir semua kontrak Migas yang melibatkan pihak internasional tidak
memilih pengadilan Indonesia sebagai pemutus sengketa. Akibatnya sulit bagi
Pertamina berharap terus menjadi “jago kandang” dengan berlindung dibalik sentiment
nasionalime dan hukum domestik. Yang dipilih adalah kesepakatan-kesepakatan
hukum internasional, best practice busines dan good corporate
governance. Sehingga mereka lebih memilih alternative dispute resolution
(ADR) internasional, seperti Court of Arbitration Of the International
Chamber of Commerce (ICC), United Nations Commisions on Internasional
Trade Law (UNCITRAL), dan International Centre for Settlement of
Investmen Dispute (ICSID), Singapore International Arbitration Centre
(SIAC), dll.
Paska
penandatanganan kontrak, Pertamina menyampaikan kepada masyarakat bahwa import dilakukan
karena LNG Mozambik “berkualitas baik, lebih murah serta term-nya juga
bagus”. Berdasar statemen tersebut
dapat diasumsikan pada tahap awal Pertamina telah melakukan studi kelayakan dan
Legal Due Diligence (LDD) untuk memitigasi resiko. Pertamina pasti juga
sudah meminta pendapat SKK Migas, Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan
guna mempertimbangkan berbagai aspek internal dan eksternal, seperti kebutuhan dan
produksi LNG dalam negeri, kebijakan dan neraca Gas Indonesia 2016-2035 serta
neraca perdagangan Nasional yang hampir selalu defisit (current account
deficit).
Di
sisi lain APC sebagai produsen menghendaki menemukan pembeli pasti yang terpercaya
dan berlangsung lama. Mengingat karakter bisnis hulu Migas yang mahal, berlangsung
lama serta diliputi ketidak pastian karena objeknya masih di perut bumi. APC juga
menanggung resiko besar karena dalam kontrak demikian dituntut menentukan jumlah, mutu, jenis, tempat, waktu
penyerahan serta harga LNG di depan. Maka kontrak adalah jaminan yang akan
berpengaruh kepada keberlangsungan bisnisnya. Berdasar posisi dan kepentingan
masing-masing pihak itulah kemudian dirumuskan klausul-klausul kesepakatan sebagaimana
tertuang dalam kontrak.
Tengoklah
Ke Dalam
Sesungguhnya
mudah bagi Pertamina untuk memitigasi resiko bisnis LNG itu, setidaknya Pertamina
dapat berkaca pada dirinya sendiri karena pertama, Pertamina berpengalaman
menjadi eksportir LNG jangka 20 tahun lebih melalui anak usaha PT. Arun
Natural Gas Liquefaction (PT. Arun NGL). Pada 1990an kilang Arun merupakan
salah satu penghasil LNG terbesar dunia dengan perkiraan cadangan mencapai 17,1
triliun kaki kubik, yang menempatkan Indonesia menjadi lima besar negara
eksportir LNG di dunia, dengan pangsa utama Jepang, Korea, Taiwan, Cina, AS.
Menurut
Rio Indrawan dalam tulisannya di Dunia Energi tanggal 9/11/2020,[1]
Indonesia juga berpengalaman dalam kesepakatan jual beli LNG antara Pertamina
dan WBX dilakukan pada 1973. Saat itu ada lima perusahaan yang sepakat membeli
LNG Chubu Electric Co., Kansai Electric Power Co., Kyushu Electric Power Co.,
Nippon Steel Corp dan Osaka Gas Co. Ltd.. Dari hasil kesepakatan itu juga
akhirnya terbangun kilang LNG pertama di Indonesia yang dibangun di Bontang dan
waktu itu dibangun hanya dalam waktu 42 bulan.
Toho
Gas Co pada 1981 juga ikut menandatangani kesepakatan pembelian LNG dari
Bontang. Kemudian pada 2009 Pertamina dan para perusahaan Jepang terrsebut
sepakat agar kontrak jual beli LNG menjadi satu kontrak. Pada 1981 ada dua
konsumen lain yakni Tokyo Ekectric dan Tohoku Electric juga ikut tandatangani
kontrak 20 tahun pembelian LNG dengan Pertamina. Pada tahun 1984 Indonesia
menyalip Algeria sebagai negara No 1 pengekspor gas dunia. Selama hampir 20
tahun sejak saat itu Indonesia menjadi negara eksportir terbesar LNG melalui
kesepakatan dengan WBX tersebut. Jika pengalaman itu direfleksikan dalam
perkara APC maka Pertamina akan lebih mudah mengukur diri guna mencari solusi.
Kedua,
Pertamina juga berpengalaman digugat di Arbitrase Jenewa Swiss dan diputus
kalah karena membatalkan kontrak secara sepihak dalam proyek Energi panas bumi Karaha Bodas. Akibatnya
dana milik Pertamina di Bank of America sebesar US$ 296 harus menjadi
jaminan ganti rugi kepada Karaha Bodas Company (KBC). Upaya Pertamina untuk
membendung eksekusi putusan dengan menggunakan hukum domestic nampaknya sia-sia.
Luka lama itu tentu sangat membekas dan memberi pelajaran berharga bagi
Pertamina agar tidak terulang lagi.
Ketiga,
Ternyata APC adalah mitra bisnis Pertamina
setidaknya sejak PT. Pertamina Hulu
Energi pada tanggal 10 Desember 2012 mengakuisisi tiga anak usaha APC. Akuisisi
itu tertuang dalam kesepakatan dengan Anadarko Offshore Holding Company LLC
untuk membeli 100% saham Anadarko Ambalat Limited pemilik 33,75% hak
partisipasi Blok Ambalat, Anadarko Bukat Limited pemilik 33,75% hak
partisipasi Blok Bukat, dan Anadarko
Indonesia Nunukan Company pemilik 35% hak partisipasi Blok Nunukan (Kompas
10/12/12). Berbekal kemitraan itu upaya
penyelesaian sengketa melalui mekanisme Business to Business semestinya lebih
mudah dilakukan.
Gerak
Cepat
Saat
ini masyarakat masih berharap banyak kepada Pertamina, maka jagalah Pertamina
layaknya menjaga kepentingan dan marwah bangsa. Yang perlu segera dilakukan adalah gerak cepat dan focus mengatasi
masalah berdasar kontrak dan best practice bisnis. Namun seandainya dari audit
investigative ditemukan KKN, belajarlah pada kasus Inospec Limited dari Delaware yang diinvestigasi
oleh Serious Fraud Office (SFO) Inggris, Securities and Exchange
Commission (SEC), Departemen Kehakiman dan Keuangan Amerika karena dugaan KKN di Indonesia dalam impor
timbal yang terganjal program langit biru Pertamina dan investigasi Roll Royce oleh SFO dan Practice
Investigation Bureau (CPIB) dalam KKN pengadaan 50 mesin Airbus SAS Garuda
Indonesia.
Jika saat ini Pertamina memiliki bukti-bukti
KKN yang kuat maka jangan “setengah hati”, cepatlah membawa
permasalahan ke SEC di Amerika mengingat APC adalah perusahaan terbuka dan
gunakan Foreign Corruption Practice Act untuk melapor ke penegak hukum
Delaware Amerika, ditambah secara simultan melakukan tindakan hukum di
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar