Rabu, 07 Desember 2016

INDONESIA DAN OPEC (KOMPAS 8 Desember 2016)


INDONESIA DAN OPEC

Junaidi Albab Setiawan / Advokat Pengamat Hukum Migas

Peneliti pada Centre of Study for Indonesian Leadership (CSIL)

 

Di akhir bulan Nopember 2016 lalu, bertempat di Wina, Indonesia kembali meminta agar keanggotaannya di OPEC  (Organization of Petroleum Exporting Countries) di bekukan. Permohonan pembekuan ini adalah kali kedua yang pernah diajukan oleh Indonesia kepada OPEC. Hubungan Indonesia dan OPEC ibarat kisah kasih antara dua insan yang saling jatuh cinta, namun mengalami putus nyambung akibat pasang surutnya kehidupan. Kalau pada awalnya cintanya tulus saling melengkapi, namun belakangan Indonesia ibarat “cowok matre” yang selalu menghindar saat diajak berkomitmen dalam suka dan duka, karena hanya mau bagian suka dari pada dukanya.  

Dari catatan sejarah, Indonesia menjadi anggota OPEC pada Desember 1962. Kemudian pada Mei 2008 Indonesia mengajukan surat untuk keluar dengan alasan  saat itu telah menjadi net importer minyak dan tidak mampu memenuhi kuota produksi yang telah ditetapkan. Alasan itu masuk akal karena sebagaimana namanya, OPEC adalah organisasi yang menghimpun negara-negara pengekspor bukan pengimpor minyak. Setelah melalui serangkaian pembicaraan,  pengunduran diri itu diterima dan Indonesia dibekukan keanggotaannya (suspended).

Kemudian sekalipun masih tetap dalam posisi sebagai importir minyak, di awal pemerintahan Jokowi Indonesia kembali bersikeras mengajukan diri menjadi anggota OPEC dan diterima kembali. Kini belum lagi genap 3 tahun sebagai anggota kembali, Indonesia dengan pertimbangan domestik kembali meminta dibekukan lagi keanggotaannya untuk sementara (temporary suspend). Pengunduran diri itu akibat keputusan OPEC yang meminta Indonesia untuk memotong sekitar 5 persen dari produksinya, atau sekitar 37.000 bph. Indonesia tentu saja tidak mampu memenuhi dan menolak dengan pertimbangan kemampuan anggaran  APBN 2017 yang masih sangat bergantung dari hasil minyak. Di dalam rencana anggaran, produksi minyak di 2017 hanya turun sebesar 5.000 bph (barel/hari) dibandingkan 2016. Sedang penurunan produksi minyak di APBN 2017 sudah mempertimbangkan dengan ketat kebutuhan penerimaan negara dari sektor migas, jika dipaksakan mengikuti pengurangan produksi secara proporsional sesuai kesepakatan OPEC maka akan terjadi defisit anggaran bahkan dapat berujung krisis.

Kesepakatan pengurangan produksi yang diambil oleh OPEC dilatar belakangi oleh kondisi saat ini pasar minyak global sedang mengalami tekanan hebat karena sedang menghadapi ketidak seimbangan dan tekanan volatilitas dari sisi penawaran akibat turunnya harga minyak dunia. Akibatnya industri perminyakan terpaksa melakukan pengurangan investasi yang berdampak kepada turunnya produksi dan  kepastian pemenuhan komitmen dari para produsen yang pada akhirnya akan merusak keseimbangan global.

Kondisi pasar saat ini kacau-balau dan cenderung merusak produsen dan juga konsumen, sehingga menjadi ancaman perekonomian bagi negara produsen, menghambat investasi industri dan membahayakan keamanan energi dalam memenuhi permintaan energi dunia. Situasai itu memaksa OPEC untuk melindungi anggotanya dan mengambil peran dalam menciptakan keseimbangan sesuai dengan tujuan organisasi, yakni memenuhi kebutuhan dunia akan minyak bumi dengan harga yang stabil dan menentukan kebijakan-kebijakan untuk melindungi negara-negara anggota dan menjamin kesinambungan pasokan minyak kepada negara-negara konsumen serta pengembalian modal yag adil bagi investor di industri minyak.

Salah satu cara untuk menjaga stabilitas pasar minyak internasional adalah melalui penentuan kuota (batas tertinggi) produksi minyak berdasarkan kesepakatan negara anggota. Dan pemangkasan kuota produksi itu disepakati menjadi pilihan langkah untuk ikut mengatasi merosotnya harga minyak dunia. Disini OPEC memegang peranan penting dalam mengatasi permasalahan  perminyakan global yang tidak normal dan cenderung merusak. Dalam kurun waktu satu tahun terakhir saja, terus terjadi koreksi penurunan harga hingga mencapai 50 persen. Dengan klangkah itu terbukti harga minyak dunia melonjak 14 persen, dalam waktu tiga hari saja harga minyak dunia ditutup menguat ke level tertinggi dalam 17 bulan pada level 51,68 dollar AS per barrel pada Jumat (2/12/2016).

Berdirinya OPEC    

Venezuela merupakan negara pertama yang memprakarsai pembentukan OPEC pada tahun 1949. OPEC didirikan pada September 1960 di Baghdad oleh Venezuela, Saudi Arabia, Irak, Iran dan Kuwait. Berdirinya organisasi OPEC salah satunya dipicu oleh dominasi  “The Seven Sister”  yang terdiri dari Royal Dutch Shell - lebih dikenal sebagai Shell dari Belanda, Anglo Persian Oil Company - menjadi British Petroleum ( BP ) dari Inggris,  Standart Oil - kemudian menjadi Esso ( Exxon ),  Chevron, Mobil, Texaco dan Gulf Oil berasal dari AS yang menguasai industri minyak dan secara sepihak menetapkan harga minyak dipasar internasional (Enrico Mattei, 1950). Pasca Perang Dunia II sampai tahun 70-an " Seven Sisters" menguasai 85% pengelolaan minya dunia.  Situasi itu tentu mengkhawatirkan negara negara produsen yang akhirnya berhimpun ke dalam OPEC.

Reputasi Indonesia sebagai anggota OPEC satu satunya dari Asia, sungguh  tidak bisa dinafikan. Sejak Menjadi Anggota OPEC Tahun 1962, Indonesia Ikut berperan aktif dalam penentuan arah dan kebijakan OPEC. Sejak berdirinya sekretariat OPEC di Wina Tahun 1965, Indonesia sangat aktif terlibat dalam kegiatan OPEC. Indonesia bahkan pernah ditunjuk sebagai Sekjen OPEC dan Presiden Konferensi OPEC pada tahun 2004. Keanggotaan Indonesia di OPEC waktu itu memberikan berbagai keuntungan politis.

Sebagai anggota OPEC, Indonesia pernah memiliki posisi tawar yang sangat tinggi dan strategis serta kontak yang lebih luas dengan negara-negara produsen dan mengangkat citra dan kredibilitas Indonesia di mata dunia. Solidarita antar anggota juga berlangsung baik, semua negara memiliki visi dan misi yang kurang lebih sama di dalam bingkai OPEC, sehingga OPEC mampu menjadi wahana bersama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat anggota. Bahkan OPEC Fund telah memberikan bantuan dana darurat sebesar 1,2 Juta Euro, dimana separuhnya disumbangkan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Sumatera Utara yang dilanda Tsunami pada akhir tahun 2004.

Namun kini takdir telah membawa Indonesia kedalam situasi yang berbeda. Indonesia bukan lagi tergolong negara pengekport minyak, justru sebaliknya kini menjadi negara pengimport minyak untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya. Situasi sudah sangat berbeda dan  harus disikapi dengan bijak dan dengan pendekatan yang komprehensip.        

 

Apa yang Dicari

Harus disadari oleh pemerintah Indonesia, suatu organisasi selalu dibentuk untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang disepakati.   Diantaranya untuk saling mengisi kekurangan masing-masing negara, meningkatkan perekonomian seluruh anggota guna meningkatkan taraf hidup rakyat di negara-negara anggota, memperluas hubungan dan mempererat persahabatan dan meningkatkan devisa negara.

Tujuan itu pulalah yang akan menentukan cara untuk meraihnya. Didalamnya diatur suatu kesepakatan dan rambu-rambu pembatas yang wajib ditaati oleh anggota. Karenanya keluar masuk pada suatu organsasi internasional tentu bukanlah prestasi yang baik, justru sebaliknya merusak reputasi membanggakan yang telah terpatri. Hal itu menunjukkan lemahnya landasan dan petimbangan ketika memutuskan untuk bergabung kembali. Terlebih lagi jika keluarnya dari organisasi justru selalu dilakukan tepat pada saat-saat dituntut untuk memenuhi komitmennya sebagai anggota, untuk melakukan prestasi tertentu yang diputuskan bersama. Stigma negative yang didapat Indonesia tentu adalah negeri yang mudah lari dari tanggung jawab dan hanya mau mengejar keuntungan saja.

Organisasi manapun dibentuk untuk saling melengkapi dan menguatkan, sehingga ada tambah kurang. Disaat saat sulit ada kerelaan untuk berkorban, termasuk dalam hal ini mengorbankan kepentingan domestiknya untuk suatu tujuan yang lebih besar yang disepakati dalam organisasi. Jika sedari awal kemampuan kita untuk tunduk pada komitmen bersama sudah tidak memungkinkan berdasarkan ukuran-ukuran objektif yang wajar, maka untuk apa memaksakan diri menjadi anggota.

Jika motif keanggotaanya adalah dalam rangka membuka jaringan dan memudahkan komunikasi dengan negara produsen di internal OPEC, alasan itu tetap tidak cukup kuat sebagai landasan. OPEC bukanlah produsen tunggal minyak dunia, terlebih lagi tanpa harus menjadi anggota Indonesia tetap bisa menjalin komunikasi dagang secara individual dengan negara-negara produsen minyak  baik anggota maupun non anggota. Pada posisi bukan sebagai anggota  justru membuat Indonesia menjadi lebih luwes bermanuver mencari produsen yang paling menguntungkan bagi kepentingan domestiknya.  Maka slogan-slogan kedaulatan energi, kemandirian energi dan kepentingan domestic seharusnya membuat kita pandai mengukur diri dengan lebih banyak melihat ke dalam sebelum bertindak keluar.

Merosotnya harga minyak belakangan ini bukan semata mata persoalan supply dan demand, namun justru didominasi oleh masalah geopolitik dan anarkisme perburuan “emas hitam” yang jumlahnya semakin menipis. Perburuan yang dipelopori oleh Amerika Serikat dan China itu  kini menyulut jenis persaingan baru yang mengancam stabilitas dunia. Instabilitas di berbagai kawasan belahan dunia, adu domba, perang saudara, invasi militer juga ditengarai  diakibatkan oleh motif itu. Situasi itu tentu menjadi tantangan bagi OPEC. Selain OPEC juga terdapat negara negara penghasil lainnya seperti Rusia, Kanada dan negara-negara bekas Uni Soviet yang memiliki cadangan minyak yang cukup besar. Oleh karenanya OPEC bukanlah pemain tunggal di pasar minyak dunia. Situasi itu juga menjadikan teori-teori ekonomi pasar sering menjadi tidak berlaku dan sulit menjadi pegangan.

Memaksakan diri menjadi anggota dalam situasi demikian, adalah suatu tindakan yang gegabah dan justru berakibat kontraproduktif dan menurunkan kredibilitas di mata negara-negara anggota lainnya. Maka pertimbangkan kembali keanggotaan Indonesia di OPEC.  Lebih bijak jika kita berbenah kedalam sebelum bertindak keluar, mengoptimalkan semua potensi, menyusun kekuatan riil berdasar apa yang ada dan apa yang kita punya. Dengan pertimbangan itu akan lebih baik jika Indonesia berdiri di posisi bebas sehingga terjaga fleksibilitas untuk mengambil manfaat ke organisasi manapun yang paling menguntungkan, tanpa perlu terikat komitmen-komitmen yang membebani dan tidak mampu dipenuhi.  Dengan pilihan itu Indonesia akan  dipandang sebagi jomblo sejati yang selalu menarik, terhormat dan mandiri.

Rabu, 16 November 2016

REFORMASI BESAR DI ESDM (KOMPAS 17-11-2016)


Oleh : Junaidi Albab Setiawan

Paska pelantikan Ignatius Jonan dan Arcandra Thahar sebagai menteri dan wakil menteri ESDM, dari akun tweeter Presiden meluncur tweet : “Ignatius Jonan dan Archandra Tahar, keduanya professional, kompeten, dan berani untuk reformasi besar di ESDM”. Kicauan itu menggambarkan tingkat kepercayaan Presiden kepada kedua pejabat itu dan keyakinannya telah memilih dan menempatkan orang yang tepat yang diyakini mampu mereformasi kementerian yang strategis itu. Kementerian ini dalam kurun waktu 2 tahun terakhir kini, telah melewati berbagai kontroversi dan penggantian hingga 4 kali menteri ESDM, mulai dari Sudirman Said, Archandra, Luhut Binsar dan kini Jonan.

Presiden juga nampak sangat menginginkan segera dilakukan reformasi besar di lingkungan ESDM. Reformasi seperti apakah itu dan mengapa slogan reformasi ini menjadi pilihan. Mari kita coba memahaminya dengan pendekatan terhadap hakekat reformasi dan menganalisis  berbagai peristiwa dan masalah strategis  yang berkaitan dengan bidang kerja kementerian ini, utamanya dari perspektive sumber daya migas.

Reformasi

Jika ditilik dari sejarahnya, gerakan reformasi  di Indonesia muncul sebagai akibat merosotnya tingkat kepercayaan rakyat kepada rezim orde baru akibat krisis multidimensi.  Yang ingin dicapai oleh gerakan reformasi kala itu adalah perubahan kehidupan dalam bidang politik yang semakin demokratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan, kehidupan ekonomi yang semakin makmur dan sejahtera merata, keberlakuan hukum yang adil dan sederajat, serta kehidupan  sosial dan budaya yang mejadikan manusia Indonesia semakin mandiri dan berintegritas. Setelah jatuhnya rezim orde baru, Reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak bisa  ditawar- tawar lagi dan oleh karena itu hampir seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya gerakan reformasi tersebut (Jawahir Tanthowi, 2012).

Namun reformasi bukanlah gerakan bebas nilai, konstitusi dan aturan hukum pelaksanaannya tetap menjadi acuan utama gerakan ini. Maka dalam kurun waktu singkat sejak Indonesia mencanangkan gerakan reformasi, lahirlah puluhan Undang-undang baru yang diharapkan mampu menjamin dan menjaga konstitusionalitas gerakan reformasi, seperti UU Persaingan Usaha yang Sehat No. 5/1999, UU Migas No. 22/2001, UU BUMN No. 19/2003, UU Energi NO. 30/2007, UU Minerba No. 4/2009, dll.

Gerakan reformasi juga muncul akibat kebangkrutan ekonomi yang akhirnya memaksa Indonesia pada tanggal 20 Januari 2000 berhutang kepada IMF. Dan sebagimana ghalibnya debitor, Indonesia harus menundukkan diri kepada skema dan syarat hutang yang ditentukan oleh IMF selaku kreditor. Efek samping dari hubungan ini adalah IMF membawa nilai-nilai kapitalisme, individualisme  dan liberalisme ekonomi yang dalam prakteknya banyak bertentangan  dengan nilai-nilai konstitusi. Yang kini terjadi justru nilai-nilai bawaan itulah yang mendominasi perilaku bangsa Indonesia dalam berekonomi. Akibatnya muncul kemajuan ekonomi semu dalam barisan angka-angka (statistic) di atas kertas, karena yang terlihat di alam nyata justru semakin melebarnya kesenjangan kesejahteraan karena terjadi akumulasi modal pada segelintir orang. Modal kapital menjadi parameter keberhasilan dalam seluruh tatanan kehidupan. Barang siapa menguasai modal maka dia akan menguasai seluruh lini kehidupan.

Oleh karenanya, jika dilihat dari situasi sekarang maka reformasi yang dikehendaki presiden  dalam bidang ESDM semestinya adalah suatu upaya keras mengembalikan konstitusionalitas bidang ESDM dengan cara membenahi Undang-undang dan menegakkan aturan dan membenahi sumber daya manusia agar tidak menyimpang dari cita cita berbangsa dan bernegara.

Benahi undang-undang

Saat ini pemerintah seringkali terjebak dalam situasi delematis antara idealita  di satu sisi,  dengan  realita dan pragmatisme di sisi lain.  Diambil sebagai contoh dalam urusan migas, karena migas adalah komoditi vital dan strategis di lingkup bidang tugas ESDM yang paling bermasalah, maka UU Migas NO. 22 tahun 2001 perlu mendapatkan prioritas untuk segera dibenahi. Terlebih lagi setelah UU itu dikoreksi oleh MK, kita tidak lagi memiliki UU migas yang lengkap dan mumpuni. UU  Migas yang berlaku saat ini sudah tidak layak pakai, karena sudah tidak sistematis dan utuh. Selain itu UU Migas 2001 adalah contoh undang-undang yang beraliran liberal, sekalipun dalam pertimbangannya  terdapat kalimat-kaliman penegasan seperti  “dikuasai oleh negara”,  “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, “yang paling menguntungkan bagi negara”, dll, namun undang-undang ini juga mengusung liberalisasi migas dengan menempatkan migas sebagai komoditi bebas sebagaimana layaknya komoditi lain. Pengertian komoditi adalah barang dagangan yang diperjual belikan dan bekerja berdasarkan prinsip ekonomi. Selain itu UU ini juga menempatkan negara untuk tunduk kepada rezim hukum kontrak. Maka yang berlaku sesungguhnya adalah negara tidak lagi sepenuhnya berdaulat terhadap migas, namun mengikuti arus hukum pasar yang bersumber dari asas kebebasan berkontrak (pacta sunk servanda). Tarik menarik antara amanah konstitusi dan desakan pasar ini nampaknya akan selalu menempatkan pemerintah dalam posisi dilematis.

Diwaktu lain di sector hilir, sebagai contoh baru-baru ini Presiden mencanangkan kebijakan “satu harga premium Rp. 6.500,-“ di Papua. Jika dilihat dari perspektive konstitusi dan  pemerataan kesejahtaeraan bagi seluruh rakyat, kebijakan ini sah dan masuk akal dan pemerintah bahkan demi keadilan dan pemerataan wajib menemukan caranya. Namun jika dilihat dari perspektive bisnis, kebijakan tersebut mejadi tidak masuk akal karena tidak ekonomis dan pasti rugi. Kebijakan itu memaksa PT. Pertamina (Persero) sebagai BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas  (PT) untuk merugi, sedangkan  menurut para penegak hukum, menyengaja membuat BUMN rugi adalah perbuatan melawan hukum karena dimata mereka BUMN tidak boleh rugi. Artinya di saat yang sama kebijakan ini juga memaksa Pertamina untuk mundur ke belakang, menengok kembali peran dan tanggung jawabnya sebagai BUMN  yang tidak semata-mata untuk  menumpuk keuntungan (profit oriented), namun juga sebagai agen negara dalam mewujudkan pemerataan kesejahteraan dalam satu bingkai NKRI, sebagaimana tujuan BUMN sebelum masa reformasi. Padahal sejak Pertamina berubah mengikuti ketentuan UU PT dan UU BUMN, peran sosial itu sudah dikubur menjadi sebatas Corporate Social Responsibility (CSR).

Selain itu, migas dalam perspective UU Migas 22/2001 adalah komoditas inelastic karena menguasai hajat hidup orang banyak, seberapapun harga yang berlaku terhadap komoditas ini maka masyarakat akan tetap membelinya dalam jumlah yang relative sama. Itu artinya kebutuhan migas tidak berkurang bahkan akan bertambah seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Akibatnya semua mata pemburu rente akan mengarah ke sana karena bisnis migas menjanjikan keuntungan besar. Mengingat posisi strategis migas tersebut maka keberadaannya juga akan berpengaruh kuat kepada kehidupan sosial politik. Berangkat dari  situ jika migas hanya dilihat dari kepentingan bisnis ala UU migas 2001, maka sangat mungkin migas akan dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir pemilik modal atau mafia migas, dan akibatnya “hak menguasai negara” atas sumber daya alam vital dan strategis yang bermakna mengatur, mengurus dan mengawasi untuk dipergunakan sebesar besar kemakmuran rakyat menjadi terdistorsi. Dari sini maka kedepan harus segera dirumuskan batasan dan panduan tentang penerapan “hak menguasai negara” yang menjadi amanah konstitusi tersebut dalam praktek bisnis sebagai pegangan.

Membenahi SDM

Pimpinan KPK berencana berangkat ke Amerika Serikat untuk bertemu Federal Bureau of Investigation (FBI) guna mendalami hasil audit internal MaxPower mengenai dugaan suap kepada Pejabat bidang energi Indonesia tahun 2012-2015 (Kompas 8/11/16). Kasus ini mirip dengan kasus “Program Langit Biru” dimana pengadilan Inggris dan Amerika Serikat, menemukan adanya suap terhadap pejabat di Indonesia terkait pelarangan bensin bertimbal. Sekalipun didukung data dari Serious Fraud Office/SFO (Inggris) dan The Securities and Exchange Commission (AS), dan putusan 26 Maret 2010, Hakim Lord Justice Thomas dari pengadilan di Inggris, kasus itu tetap saja mandek di Indonesia. (Kompas 12 Agustus 2010)

Berita semacam ini masih terus saja muncul dan meneguhkan pesimisme kita bahwa pengelolaan migas dan minerba sampai kapanpun akan selalu diwarnai kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Untuk mengatasi persoalan itu, sejak orde baru sampai sekarang pemerintah sering kali membuat Tim Tim penyelesaian independen, informal dan berada diluar sistem, seperti “Komisi Empat” yang beranggotakan Herman Johannes, I.J. Kasimo, Mr. Wilopo, Anwar Tjokroaminoto, untuk menyelidiki penyelewengan di Pertamina tahun 70an, selanjutnya dibentuk Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP) 2 Februari 1970. Dan yang terakhir masih hangat diingatan kita pembentukan Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang diketuai oleh Faisal Basri. Pembentukan tim-tim semacam ini sekalipun telah menghasilkan beberapa rekomendasi, namun tetap saja buntu tidak berujung memuaskan. 

Dalam banyak kasus, negara seperti tidak berdaya. Lihat misalnya dalam kasus TPPI di Kepolisian yang telah menetapkan bekas direktur TPPI, kepala BP Migas dan sekretarisnya sebagai tersangka dan selanjutnya mereka ditahan namun kemudian ditangguhkan penahanannya. Berdasarkan asas presumption of innocence, mereka belum tentu bersalah, namun kasus ini belum menunjukkan tanda tanda penyelesaian di depan persidangan yang adil dan transparan. Ini tentu tidak berimbang dengan berita kerugian negara hingga puluhan triliun rupiah dan saat pengeledahan yang menyertakan jumlah pasukan besar dengan senjata lengkap ke kantor SKK Migas. Contoh lainnya adalah dalam kasus “papa minta saham” yang kini memasuki tahap mencari tafsir tentang prosedur mempergunakan alat bukti rekaman hingga melibatkan MK. Kasus ini juga tidak lagi bisa dipahami arahnya oleh masyarakat, karena pemeriksaan pada inti persoalan saja belum lagi dilakukan secara lengkap dan terang, namun kini masyarakat malah tergiring oleh opini dan “retorika hukum” untuk menyimpulkan bahwa hukumnya yang salah bukan orangnya. Kasus Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) kini juga memasuki babak ketidak pastian, setelah kementerian ESDM menyerahkan kepada KPK hasil audit dari auditor asing KordaMentha yang berhasil menemukan beberapa masalah, namun anehnya temuan ini bertolak belakang dengan hasil audit BPK yang justru tidak menemukan masalah (Kompas, 16-11-2015).

Dalam bidang minerba negara juga harus segera melakukan audit berbagai perusahaan pertambangan minerba di daerah agar tidak dikuasai oleh kroni-kroni pejabat daerah, dengan cara memberikan izin hanya kepada orang-orang yang dikehendaki.  Selain itu pemerintah juga sedang mempertaruhkan kewibawaannya dalam penerapan ketentuan membangun smelter yang tertuang dalam Undang-Undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Ketentuan ini mengatur ekspor bahan tambang yang belum dimurnikan dan larangan bagi perusahaan tambang di Indonesia untuk mengekspor bahan tambang mentah mulai Januari 2014. Aturan itu tentu dibuat dengan maksud agar kekayaan minerba bisa maksimal bagi kepentingan bangsa dan negara. Namun dengan alasan relaksasi karena kesulitan keuangan negara, ketentuan Undang-undang ini mulai dilanggar dengan memberikan izin eksport. Rekomendasi perpanjangan persetujuan ekspor konsentrat Freeport diperpanjang hingga 11 Januari 2017, setelah izin tersebut habis pada 8 Agustus 2016. ESDM memberikan Surat Persetujuan Ekspor (SPE) ke Kementerian Perdagangan pada 10 Agustus 2016.

Maka kesimpulannya jika saja reformasi besar yang dimaksud Presiden itu dimaknai memperbaiki seluruh lingkup ESDM dengan cara menyempurnakan perundang-undangan dan konsistensi dalam penerapannya, penyempurnaan kelembagaan dan mekanisme operasional serta membersihkan ESDM dari praktek KKN, maka reformasi itu menjadi sejalan dengan tujuan dan hakekat reformasi yang sesungguhnya dan itulah yang ditunggu tunggu oleh masyarakat.

Sabtu, 24 September 2016

UU Migas Merah Putih (Kompas 17=6-2015)


UU Migas Merah Putih

 

Oleh : Junaidi Albab Setiawan

Pengamat dan Praktisi Hukum Migas

 

UU Migas  yang lengkap dan komprehnsip menjadi kebutuhan yang sangat mendesak saat ini. UU Migas No 22 tahun 2001 tidak lagi mampu menjawab kebutuhan bangsa karena secara konseptual dianggap menyimpang dari konstitusi dan secara operasional tidak lagi mampu mengarahkan pemanfaatan migas bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sekaligus mampu melindungi  kepentingan investor.

Di tahun 2015 Rancangan perubahan UU Migas 2001 masuk dalam Program Legeslasi nasional (Prolegnas). Semangatnya adalah mengembalikan UU migas  yang sejalan dengan filosofi dan konstitusi bangsa Indonesia. Presiden RI ke 5 Megawati Soekarno Putri pada acara seminar nasional "Migas untuk Kemandirian Energi" di Gedung Kompleks Parlemen (27/2/2013), mengusulkan UU migas khas Indonesia sebagai UU Migas Merah Putih. 

Keingianan untuk melahirkan UU Merah Putih itu kemudian juga muncul  dalam Visi Misi dan Program Pemerintah Jokowi.  Yaitu pada point 7  “Sembilan Agenda Prioritas”, serta dalam rencana implementasai Tri Sakti,  di angka 3 (2) disebutkan bahwa  “dalam jangka menengah, Pemerintah Jokowi akan merevisi UU Migas Merah Putih yang berkarakter membangun kapasitas nasional yang akan mampu memberikan kepastian hukum secara permanen”. Secara tegas, rezim ini berkomitmen akan mendorong lahirnya UU Migas yang berbasis  pada pasal 33 UUD 1945 dengan ruh TRISAKTI.

 

Arti penting UU Migas

Mengingat migas adalah salah satu hajat hidup rakyat yang berjumlah terbatas dan tidak terbarukan dan pendapatan dari sektor migas penting untuk menopang pembangunan bangsa, maka UU migas harus mampu menjadi acuan dalam pemanfaatan migas nasional. Undang-undang ini harus bersumber kepada konstitusi yang merupakah arah dan tujuan didirikannya Negara. UU Migas yang tidak sejalan dengan konstitusi akan beresiko mudah berubah (labil), terombang-ombang mengikuti desakan zaman dan itulah yang terjadi pada UU Migas Tahun 2001 yang berlaku saat ini.

Pemanfaatan Migas sangat membutuhkan aturan kuat yang mampu melewati batas rezim. Aturan itu harus mampu menjadi landasan yang kokoh sekaligus payung hukum dalam   aktivitas pemanfaatan migas yang berkarakter jangka panjang. Aturan yang lemah juga akan berakibat kurangnya minat  investasi di bidang Migas yang memiliki karakter unik berbeda dari bisnis lain. Paling tidak ada empat factor yang membuat industri hulu migas unik, karena  (i). lamanya rentang waktu antara saat terjadinya pengeluaran (Expenditure) dengan pendapatan (revenue), (ii). Keputusan yang dibuat berdasarkan risiko dan ketidakpastian tinggi serta melibatkan teknologi canggih, (iii). Sector ini memerlukan biaya capital yang cukup besar, namun (iv). Dibalik semua risiko industri migas juga menjanjikan keuntungan yang cukup tinggi (Benny Lubiantara, 2012).

Faktanya Indonesia menghadapi keterbatasan dalam hal dana dan kemampuan, sehingga membuka ruang bagi investor asing dalam ekplorasi dan ekploitasi migas merupakan keniscayaan.  Sehingga UU Migas harus bersangkutan dengan aturan investasi yang memberikan jaminan kepada investor agar terbebas dari risiko perubahan politik dan peraturan. Sehingga  UU migas  tidak berorientasi local semata, namun harus mampu mengakomodir hadirnya investasi asing yang sudah pasti mensyaratkan suatu kepastian hukum.

Aturan dalam UU Migas  harus juga mengatur struktur kelembagaan dan birokrasi dalam pengelolaan migas yang meliputi pengaturan kebijakan umum, perizinan,  pengawasan serta pengaturan pemanfaatan dan distribusi yang maksimal yang berorientasi bagi sebesar besar kemakmuran rakyat. Diantaranya dengan mendirikan suatu National Oil Company (NOC) yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara, sebagai pelaksana kuasa pertambangan.  

UU Migas juga harus mengatur distribusi yang adil dalam hal pemanfaatan migas secara proporsional. Adil dalam artian sesuai kebutuhan riil yang wajib memperhatikan aspek  pemerataan pembangunan dan karakter giografis Indonesia sebagai negeri kepulauan.

 

UU Migas Nomor 22 tahun 2001

UU Migas tahun 2001 yang berlaku sekarang adalah produk reformasi yang perumusannya diwarnai oleh pengaruh liberalisme, khususnya IMF sebagai kreditor  yang memiliki agenda khusus. Pada saat itu Indonesia sedang “tersandera” akibat hutang-hutang peninggalan rezim lama, ditambah adanya perampokan uang Negara (BLBI) oleh para penghianat bangsa pada saat ekonomi Indonesia sedang sekarat.  Akibatnya kita tidak cukup bebas untuk bisa mengekpresikan keinginan kita bahkan dalam hal menyesuaikan isi undang-undang dengan bunyi konstitusi sekalipun.

UU Migas sekarang berorientasi pasar yang dalam kosiderannya dengan tegas memposisikan Migas sebagai komoditi. Sebagai komoditi tentu sangat bergantung kepada mekanisme pasar yang bertujuan mencari untung berdasar penawaran dan permintaan. Peran negara menjadi tereduksi atau bahkan cenderung ditiadakan dan akibatnya perlindungan terhadap posisi  migas bagi hajat hidup rakyat  menjadi terabaikan.

Beberapa ketentuan pokok UU Migas 2001 telah dikoreksi oleh putusan MK No. 36/PUU-X/2012-MK, pasal 1 anga 23, pasal 4 (3), pasal 41 (2), Pasal 44, pasal 45, pasal 48 (1), pasal 59 huruf a, pasal 61, pasal 63 serta pasal 11 (1). Dalam putusan ini, yang dibatalkan meliputi aturan-aturan  yang bersifat strategis termasuk aturan kelembagaan hulu migas (BP Migas).  Akibatnya UU Migas yang ada menjadi “centang perenang” dan tidak layak lagi menjadi acuan hukum. Saat ini aturan migas menjadi tambal sulam yang lebih didominasi oleh peraturan-peraturan operasional, sehingga secara essensial pemanfaatan dan  pengelolan migas berjalan tanpa arah dan tujuan jelas.

Menteri ESDM dan Ketahanan Energi (Kompas 24 September 2016)


Menteri ESDM Dan Ketahanan Energi

Oleh : Junaidi Albab Setiawan

Advokat / Pengamat Hukum Migas

Kegaduhan seputar sosok menteri ESDM belakangan ini  sebenarnya membawa konsekwensi yang luas. Selain membuang energi sia-sia juga menunjukkan betapa kita selama ini hanya pandai menguras sumber energi namun lemah  dalam mengurus energi. Untuk bergerak maju Kementerian ini sesungguhnya sedang sangat membutuhkan menteri yang kuat, kesinambungan kebijakan, konsistensi program dan dasar hukum yang kokoh serta tekad bersama seluruh rakyat untuk bersatu mewujudkan ketahanan energi.

Kementerian ini termasuk kementerian stategis yang tidak sekedar bertugas mengejar  Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tinggi, namun lebih dari itu juga ditantang untuk mewujudkan ketahanan  energi bangsa ditengah situasi krisis energi global yang semakin menggejala. Sementara berbagai perundangan dan kebijakan yang ada belum mampu memadukan sikap dan kepedulian dari semua komponen bangsa untuk mewujudkan ketahanan energi dan membangun kesadaran dalam menghadapai krisis energi yang kian menghampiri.

Oleh karenanya kementerian ini sangat membutuhkan menteri yang kuat dalam mengemban misi nasional untuk mewujudkan kedaulatan energi, seorang nasionalis handal yang paham konstitusi dan bukan sekedar pemain pasar. Karenanya siapapun yang akan ditunjuk untuk mengemban jabatan menteri ESDM, akan menjadi cermin keberpihakan dan keseriusan pemerintah dalam mengelola sumber daya energi nasional.  

Rujukan

Sebagai pembantu Presiden, seorang menteri seharusnya berpegang teguh  kepada visi, misi Presiden ketika berkampanye. Pemerintah Jokowi-JK mengusung visi “Jalan perubahan untuk Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian”. Sebuah visi besar yang tidak mudah untuk diwujudkan jika dilihat dari situasi dan kondisi Indonesia sekarang. Namun janji adalah janji, sekali telah diikrarkan maka  selanjutnya akan menjadi pegangan dan  alat bagi rakyat dalam mengevaluasi kinerja Pemerintah.

Dari visinya kita bisa menarik pesan bahwa pemerintah memandang Indonesia sedang menghadapi tiga masalah besar.  Salah satunya adalah “kelemahan sendi perekonomian bangsa yang disebabkan oleh kesenjangan sosial, kesenjangan antar wilayah, kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi yang berlebihan, ketergantungan dalam hal pangan, energi, keuangan dan teknonologi”. Ketergantungan energi adalah masalah serius dan disitulah peran menteri ESDM diperlukan. Kementerian ESDM adalah salah satu motor penggerak perekonomian negara, kegagalan departemen ini dalam menjalankan tugasnya untuk melepaskan bangsa ini dari ketergantungan energi akan berakibat mandeknya roda perekonomian yang berdampak multi dimensi.

Maka penggantian menteri ESDM ditengah masa jabatan tentu sangat merugikan, terlebih jika disertai kontroversi yang mengundang kegaduhan. Karena saat ini menteri dituntut untuk segera menyatukan seluruh potensi, mengumpulkan informasi dan memetakan masalah-masalah diseputar tugas dan fungsi kementerian. Menteri harus segera mengumpulkan dan mendengar berbagai kepentingan, mulai dari Dewan Energi Nasional (DEN) yang telah menyusun Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), DPR RI, Komite Eksplorasi Nasional (KEN), SKK Migas, BPH Migas, investor pengusaha, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S), BUMN dan BUMD Migas, Asosiasi pemerintah daerah penghasil migas, KPK dan penegak hukum. Dan tidak kalah penting mensinergikan temuan-temuan  penelitian dari pusat-pusat studi energi berbagai perguruan tinggi. Dengan mendengar dan memahami semua informasi, maka kebijakan yang diambil akan lebih Indonesiawi, komprehensif dan dapat meliputi semua kepentingan.

Diambang Krisis Energi

Sejak Indonesia merdeka kita terus mencanangkan semboyan untuk mewujudkan kedaulatan energi, namun pengertian kedaulatan energi nampaknya terlalu abstrak sehingga menjadi bias dalam prakteknya. Tafsirnya tergantung pada arah angin kebijakan penguasa berhembus dan biasanya beda pemerintahan beda pula kebijakan. Akibatnya kebijakan yang diambil berdifat sektoral dan tidak berkedinambungan.

Saat ini kita berada diambang krisis energi yang secara alamiah akan berpengaruh kepada konstelasi global. Karenanya tantangan Kementerian ESDM ke depan adalah mewujudkan ketahanan energi dan  menyiapkan simulasi dalam menghadapi krisis. Membangun kesadaran krisis harus terus dikampanyekan kepada seluruh rakyat. Sejalan dengan visi pemerintah yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan sekaligus pelaku utama pembangunan. Pesan itu sesungguhnya sudah sangat jelas namun sulit dipahami oleh pemimpin yang kurang menghayati karakter jatidiri bangsa dan cenderung berorientasi pasar. Realisasinya juga akan bertambah sulit jika pemimpin mengusung agenda tersembunyi dan masyarakat tidak memiliki pemahaman yang cukup terhadap permasalahan.

Kedaulatan energi yang diinginkan visi pemerintah kali ini bukanlan kedaulatan dalam keterisolasian, namun justru berangkat dari kesadaran saling ketergantungan antar sektor, antar warga bahkan antar negara. Sehingga kuncinya adalah kepada komitmen kebersamaan sebagai bangsa dan pemimpin yang kuat, berkarakter dan tidak mudah  terombang ambing oleh desakan-desakan kepentingan pragmatis. Dalam mewujudkan ketahanan energi, pemerintah harus pandai-pandai mengukur diri dalam ketersediaan sumber daya, pengetahuan, keahlian dan kemampuan. Serta bersatu padu menyamakan pemahaman dan langkah ke depan dengan keterbukaan informasi,  komunikasi dan koordinasi lintas sektor.

Tanda tanda krisis

Selama ini kita terbiasa berpikir dan bekerja dengan orientasi migas. Sementara migas akan semakin hilang dari perut bumi karena habisnya persediaan dan sifatnya yang tidak terbarukan. Lembaga konsultan Norwegia Rystad Energi menyampaikan hasil penelitiannya bahwa dengan kecepatan produksi saat ini, maka cadangan minyak dunia hanya akan bertahan selama 70 tahun. Sementara International Energi Agency (IEA) memperkirakan rendahnya harga minyak akan menurunkan efisiensi energi dan memicu produksi migas dan mesin berbahan bakar migas. Data IEA menunjukkan investasi di sektor minyak menurun pada 2015 dan kemudian menurun di 2016. Ini merupakan penurunan dua kali berturut turut pertama dalam tiga dekade yang diakibatkan oleh menipisnya persediaan dan sulitnya lapangan pengeboran sehingga memerlukan biaya tinggi yang tidak sebanding dengan nilai jual karena harga minyak dunia terus mengalami penurunan akibat over supply akibat tidak terkontrolnya produksi minyak dunia.

Di dalam negeri, saat ini migas masih menjadi penopang  utama pembangunan sebagai sumber pendapatan tertinggi negara diluar pajak. Namun persediaan migas makin berkurang dari waktu kewaktu. Cadangan minyak diperkirakan hanya cukup sampai 11 tahun ke depan sementara cadangan gas diperkirakan akan cukup sampai 50 tahun ke depan. Menurut SKK migas, tanpa adanya upaya pencarian sumur baru, produksi minyak mentah akan turun rata-rata 20 persen per tahun. Dalam kondisi tersebut, produksi minyak mentah Indonesia pada tiga sampai lima tahun ke depan akan turun hingga 500.000 barel per hari.

Peranan migas makin berkurang dan Investasi sektor migas semakin mahal dan sulit, sementara harga minyak dunia terus mengalami penurunan drastis. Sumber gas yang ada belum dimaksimalkan ditambah penemuan cadangan yang terbatas jumlahnya. Situasi itu kini membuat pemerintah tunggang langgang. Untuk menjaga agar defisit anggaran tidak mencapai angka 3 %,  pemerintah dan DPR salah satunya bersepakat menurunkan besaran cost recovery dari US $ 11,9 milyar menjadi US $ 8 milyar dalam RAPBNP 2016 dan untuk itu SKK migas meminta agar asumsi lifting minyak dikurangkan dari 800 ribu barel per hari ke angka 740 hingga 760 ribu barel perhari, sementara produksi gas pada angka 1,1 hingga 1,2 juta barel setara minyak per hari dengan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sektar US$ 40 sd US$ 50 per barel Akibatnya investasi migas akan semakin tidak menarik bagi investor.

Produksi minyak turun sementara produksi gas mengalami kenaikan, namun daya serap masyarakat terhadap gas belum memadai karena transisi dari BBM ke BBG tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur hingga ketengah-tengah masyarakat. BUMD migas hulu dan hilir yang semestinya dijadikan ujung tombak  karena memiliki akses dan pengaruh langsung kepada kesejahteraan masyarakat lokal, justru dibiarkan mati perlahan didalam tekanan persaingan pasar bebas yang tidak seimbang serta regulasi yang tidak berpihak. Indonesia diperkirakan akan menjadi net gas importer pada tahun 2030. Konsumsi  migas terus meningkat, bahkan terus didukung dengan kebijakan subsidi BBM walaupun kemampuan keuangan negara sedang lemah. Dan ironisnya konsumsi yang tinggi itu tidak bisa dipenuhi dari hasil produksi sendiri, namun bergantung kepada minyak import.

Di bidang minerba kebijakan baru besaran royalty, divestasi dan larangan ekport konsentrat dan kewajiban membangun smelter masih berjalan lambat dan ditandai ketidak taatan investor dan lemahnya nilai tawar pemerintah. Sekalipun ditunjang kebijakan kenaikan royalty komoditas minerba, emas naik dari 1 % menjadi 3,75 %, tembaga naik dari 3,75 % menjadi 4 %, perak naik dari 1 % menjadi 3,25  %, nikel naik dari 0,9 % menjadi 2 %, logam naik 0,7 menjadi 1,5 %, namun belum bisa berjalan secara effective dalam membantu keuangan negara.

Indonesia juga memiliki berbagai sumber Energi baru terbarukan (EBT) seperti micro hydro, biomasa, energi matahari, angin, nuklir dan panas bumi. Namun pengembangan EBT terlihat masih menghadapi kendala terutama dari rendahnya kesadaran masyarakat terhadap arti penting EBT bagi masa depan Indonesia. Sementara pemerintah kurang massif dalam mengkampanyekan EBT, namun sebaliknya justru cenderung memfasilitasi rakusnya pasar dan sikap konsumtif masyarakat kepada bahan bakar fosil. Pemerintah harus secara massif mendorong EBT lebih ke depan dengan program-program lintas sektoral yang komprehensif di bawah payung kesadaran menghadapapi krisis.

Beberapa catatan di atas mengingatkan kita betapa krisis energi sudah menghampiri kita.  Marilah kita manfaatkan waktu yang tersisa untuk bersatu padu mewujudkan ketahanan energi.  Untuk menghadapinya diperlukan kesadaran bersama dan kebijakan yang kuat  dan berkesinambungan dari Menteri ESDM dibawah pemerintahan yang berwibawa, kuat dan berdaulat dengan tujuan memenuhi hak-hak dasar warga negara.

Kamis, 22 September 2016





Merumuskan Posisi SKK Migas


Merumuskan Posisi SKK Migas
(koran Kontan 9 September 2016)

Oleh : Junaidi Albab Setiawan

Advokat / Pengamat Hukum Migas

Saat ini DPR RI  sedang melakukan  revisi terhadap UU Migas No 22 tahun 2001 sesuai prolegnas 2016. Salah satu poin revisi yang sedang dibicarakan adalah posisi Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). Muncul berbagai pendapat tentang apa dan bagaimana sebaiknya  SKK Migas diposisikan. Ada yang berpandangan agar SKK Migas dikembalikan ke Pertamina, ada juga yang berpendapat agar dibubarkan saja dan ada pula yang berpikir agar dijadikan BUMN khusus bisnis hulu dan langsung dibawah kendali Presiden.

Terlepas dari berbagai pandangan dengan masing-masing argumentasinya, satu yang pasti dari perbedaan tersebut menunjukkan dikalangan legislator masih belum ditemukan kesepahaman mengenai apa, mengapa dan bagaimana SKK Migas diposisikan di mata hukum. Padahal penempatan pembangunan energi migas dan listrik sebagai salah satu dari pilar megastuktur selain maritim, pangan dan papan, oleh pemerintah Jokowi, menuntut adanya UU Migas dan lembaga pendukung yang kuat. 

 

Posisi SKK Migas

SKK Migas dibentuk berdasar Peraturan Presiden No. 9/2013 sebagai tindak lanjut dari Perpres  95/2012 tentang pengalihan pelaksanaan tugas dan fungsi kegiatan usaha hulu migas yang terbit pada tanggal 13 November 2012. Hari yang sama dengan saat  putusan MK No. 36/PUU/XI/2012 yang membubarkan BP Migas dibacakan. Menurut ketentuan itu SKK Migas adalah lembaga yang bersifat darurat untuk mengisi kekosongan hukum akibat putusan MK. Pembentukan itu  didasari oleh alasan agar paska dibubarkannya BP Migas, iklim investasi tidak terganggu dan kepastian hukum tetap terjaga di kalangan kontraktor bisnis hulu migas.

Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut maka pemerintah berdasarkan Pasal 4 (1) UUD 45 mengambil alih fungsi badan Pelaksana dan melimpahkannya ke kementerian ESDM. Langkah itu sesuai bunyi amar putusan Mahkamah Konstitusi, pada huruf 1.7 bahwa : Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan oleh Pemerintah Cq. Kementerian terkait sampai diundangkannya undang-undang yang baru yang mengatur hal tersebut.

Namun selanjutnya pemerintah membentuk satuan kerja khusus yang disebut SKK Migas yang berperan mengambil alih fungsi dan tanggung jawab BP Migas, pembentukan SKK Migas ini sesungguhnya menimbulkan kerancuan.  Jika mengikuti bunyi putusan MK dan Perpres 95/2012, peran dan tanggung jawab itu seharusnya dilaksanakan oleh kementerian ESDM.  Posisi SKK Migas yang rancu ini harus segera diluruskan oleh UU Migas baru agar sejalan dengan sistem pengelolaan hulu hilir Migas, ketentuan perundang-undangan dan putusan MK. Bergaduh mencari posisi SKK Migas tidak berlandaskan kepada hal-hal prinsip ibarat membangun rumah tanpa menimbang pondasinya.

Negara dan UU Migas

Dalam merumuskan posisi, fungsi dan peran SKK Migas seharusnya jangan pernah bergeser dari amanat konstitusi. Sepanjang ketentuan pasal 33 ayat 2 dan 3 belum berubah, maka Migas bukanlah komoditi bebas dan posisi SKK Migas pada dasarnya adalah instrument kepanjangan tangan negara. Migas yang didapat dari dalam bumi Indonesia maupun migas yang diimport yang selanjutnya  masuk dalam cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak tetap dibawah penguasaan dan kendali negara dan dilaksanakan oleh suatu lembaga pelaksana melalui mekanisme “Kuasa Pertambangan”.

Mengapa harus negara yang menguasai migas, mari kita cermati uraian Bung Karno dalam menjelaskan peran Migas di mata negara. “Manusia untuk hidup harus bergerak, untuk bergerak butuh energi, energi didapatkan dari sumber energi dan salah satu sumber energi adalah Migas”.  Saat ini migas masih menjadi kebutuhan utama rakyat. Kebutuhan konsumsi BBM mencapai 400 juta barel per tahun dan diperkirakan konsumsi minyak nasional pada 2024 mencapai 2,6 juta barel per hari (Katadata 2015). Kita bayangkan seandainya sumber energi ini dikuasai segelintir orang yang bermodal kuat, maka akan terjadi tirani, kekacauan dan kesenjangan yang merugikan kepentingan kolektif bangsa. Oleh karenanya menjadi logis ketika founding father menetapkan agar sumber daya alam startegis hanya boleh dikuasai oleh negara.

Lalu bagaimana Migas diposisikan ditengah laju bergesernya Indonesia menjadi negara kapitalis semu (ersatz capitalism, Kunio Yoshihara 1988) akibat desakan pasar bebas yang menguasai praktek ekonomi saat ini. Jika kita konsisten merujuk kepada sistem ekonomi Pancasila, maka menurut Muhammad Hatta, berjalannya roda ekonomi tidak ketat seperti sistem ekonomi etatisme ataupun liberal. Ia adalah kebebasan dengan tanggung jawab, keteraturan tanpa mematikan inisiatif rakyat, mengejar masyarakat adil dan makmur atas dasar landasan demokrasi ekonomi. Karena Negara adalah organisasi rakyat yang berbeda beda latar belakang dan kepentingannya, maka tanggung jawab penguasaan atas kekayaan alam strategis dan menguasai hajat hidup rakyat dipercayakan kepada Negara dan Negara diwajibkan menyelenggarakan dengan cara yang berkeadilan sekalipun diperlukan keterlibatan aparat ekonomi negara namun tidak mematikan inisiatif rakyat. Maka pengelolaan migas oleh negara menurut sistem ini tetap membuka peluang partisipasi swasta.

Kuasa Pertambangan Migas

Posisi SKK Migas juga sangat bergantung kepada rumusan tentang “Kuasa Pertambangan” Migas. Untuk menjembatani cita-cita ideal negara sebagai penguasa migas dengan kegiatan nyata berupa eksplorasi dan eksploitasi dan distribusi, diperlukan jembatan hukum yang disebut “Kuasa Pertambangan”. Sehingga sebelum menentukan dimana posisi SKK Migas maka pembentuk Undang-undang harus mampu merumuskan pengertian kuasa pertambangan ini terlebih dahulu. Ironisnya hingga kini kita belum mampu merumuskan pengertian kuasa pertambangan yang kokoh serta mewakili kehendak negara.  

Jika kita kilas balik, pada awalnya definisi kuasa pertambangan menurut UU Migas Nomor 44/PRP/1960 adalah “Wewenang yang diberikan kepada Perusahaan Negara untuk melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi.” Jelas dari  definisi itu yang dikuasakan adalah “melaksanakan usaha”. Sedangkan usaha pertambangan migas tersebut meliputi kegiatan pengelolaan berupa: (1) Ekplorasi, (2) Eksploitasi, (3) Pemurnian, (4) Pengangkutan dan (5) Penjualan.

Dahulu di awal kemerdekaan,  situasi ekonomi yang sulit membuat para pemimpin harus mencari jalan keluar. Saat itu pemerintah  memandang migas sebagai potensi pendapatan, namun sebagai negara baru, Indonesia masih  lemah dalam pengaturan, permodalan, keahlian dan ketiadaan perangkat infrastruktur pendukung.  Dimasa penjajahan, pertambangan migas dilakukan dengan cara memberikan konsesi kepada perusahaan pertambangan dan diatur dalam Indische Mijnwet Staatblad 1899 No. 214. Perusahaan berkuasa penuh sebagi pemilik (right in rem) nyaris tanpa pengawasan, negara hanya mendapatkan royalty yang tidak sepadan. Maka setelah merdeka, Perusahaan dipaksa tunduk kepada negara.

Maka UU Migas 1960 memusatkan kuasa pertambangan kepada suatu badan usaha yakni Pertamina berdasar UU No 8 tahun 1971. Kepada Pertamina diberikan wewenang menjalankan bisnis migas yang meliputi  seluruh wilayah hukum pertambangan Indonesia. Saat itu Pertamina berperan ganda sebagai regulator sekaligus operator. Namun dalam prakteknya posisi dominan Pertamina ini ternyata rawan disalah gunakan. Akhirnya Pertamina dianggap gagal mengemban wewenang kuasa pertambangan.

Akibatnya paska reformasi rumusan Kuasa Pertambangan dirubah dengan menerbitkan UU Migas baru No 22 tahun 2001. Menurut UU Migas No.22/ tahun 2001, Kuasa Pertambangan adalah, Wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi.” UU Migas 2001 memberikan kuasa pertambangan kepada pemerintah bukan lagi kepada perusahaan. Wewenang yang diserahkan kepada pemerintah adalah untuk menyelenggarakan kegiatan usaha hulu migas. Kegiatan hulu migas selanjutnya dipercayakan kepada Badan Pelaksana, suatu badan hukum milik negara yang tidak bertujuan mencari keuntungan namun secara kontradiktif memiliki tugas untuk menandatangani kontrak usaha hulu migas, padahal dimata hukum, kontrak dan keuntungan itu bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan ( ……. KUHPerdata).

Selanjutnya karena alasan inkonstitusional, ketentuan tentang Badan pelaksana ini dibatalkan oleh putusan MK No. 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012. Wewenang badan pelaksana oleh putusan MK kemudian dialihkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan bidang migas sampai diterbitkannya UU Migas baru. Untuk itulah kemudian terbit Perpres 95/2012 yang mengatur tentang pengalihan pelaksanaan tugas dan fungsi kegiatan usaha hulu migas kepada menteri ESDM dan dilanjutkan dengan terbitnya Perpres  No. 9/2013, yang mengatur kegiatan usaha hulu migas diselenggarakan oleh SKK Migas.

Kedua perpres ini sesungguhnya saling bertentangan. Perpres 95/2012 mengalihkan pelaksanaan tugas, fungsi dan organisasi Badan pelaksana kepada Kementerian ESDM, sedang Perpres 9/2013 (ps 2) pelaksanaan tugas pengelolaan kegiatan usaha hulu migas dilaksanakan oleh SKK Migas, sedang menteri hanya bertugas membina, mengkoordinir dan mengawasi namun tidak melaksanakan. Padahal perintah putusan MK adalah agar fungsi dan tugas badan Pelaksana dilaksanakan oleh Kementerian ESDM.

Pemerintah saat itu rupanya gagal paham, akibatnya keberadaan SKK migas justru menyalahi perintah putusan MK. Kesalahan ini semakin diperparah dengan pembentukan Komisi Pengawas SKK Migas yang dipimpin oleh menteri ESDM yang seharusnya menjadi pelaksana, ditambah ketentuan Kepala SKK Migas diangkat dan diberhentikan dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Sehingga tidak salah jika situasi ini selanjutnya disalah pahami oleh para legislator seolah-olah SKK Migas bukan merupakan organ dari kementerian ESDM namun suatu badan baru dibawah Presiden selayaknya BP Migas dahulu.
Posisi SKK Migas sangat tergantung kepada landasan filosifis dan peraturan-peraturan dasar Migas.  SKK Migas dengan model sekarang tidak bisa dipertahankan karena tidak taat asas bahkan melangkahi putusan MK. Posisi SKK Migas kedepan sangat ditentukan oleh rumusan kuasa pertambangan dalam UU Migas baru. Jika kuasa pertambangan tetap diberikan kepada pemerintah maka SKK Migas sebaiknya dikembalikan menjadi organ kementerian ESDM yang khusus bertugas mengurusi regulasai, perizinan dan pengawasan kegiatan hulu migas. Sedangkan untuk menjalankan usaha hulu dilakukan oleh BUMN yang dapat  bekerja dengan perusahaan manapun yang memiliki keahlian dan modal, mengingat kegiatan usaha hulu migas adalah padat modal serta beresiko tinggi dan penuh ketidak pastian.