INDONESIA DAN OPEC
Junaidi Albab Setiawan / Advokat
Pengamat Hukum Migas
Peneliti pada Centre of Study for
Indonesian Leadership (CSIL)
Di akhir bulan Nopember 2016 lalu, bertempat
di Wina, Indonesia kembali meminta agar keanggotaannya di OPEC (Organization of Petroleum Exporting
Countries) di bekukan. Permohonan pembekuan ini adalah kali kedua yang pernah diajukan
oleh Indonesia kepada OPEC. Hubungan Indonesia dan OPEC ibarat kisah kasih
antara dua insan yang saling jatuh cinta, namun mengalami putus nyambung akibat
pasang surutnya kehidupan. Kalau pada awalnya cintanya tulus saling melengkapi,
namun belakangan Indonesia ibarat “cowok matre” yang selalu menghindar saat
diajak berkomitmen dalam suka dan duka, karena hanya mau bagian suka dari pada
dukanya.
Dari catatan sejarah, Indonesia
menjadi anggota OPEC pada Desember 1962. Kemudian pada Mei 2008 Indonesia mengajukan
surat untuk keluar dengan alasan saat
itu telah menjadi net importer minyak dan tidak mampu memenuhi kuota produksi yang
telah ditetapkan. Alasan itu masuk akal karena sebagaimana namanya, OPEC adalah
organisasi yang menghimpun negara-negara pengekspor bukan pengimpor minyak. Setelah
melalui serangkaian pembicaraan, pengunduran
diri itu diterima dan Indonesia dibekukan keanggotaannya (suspended).
Kemudian sekalipun masih tetap dalam posisi
sebagai importir minyak, di awal pemerintahan Jokowi Indonesia kembali bersikeras
mengajukan diri menjadi anggota OPEC dan diterima kembali. Kini belum lagi
genap 3 tahun sebagai anggota kembali, Indonesia dengan pertimbangan domestik
kembali meminta dibekukan lagi keanggotaannya untuk sementara (temporary
suspend). Pengunduran diri itu akibat keputusan OPEC yang meminta Indonesia
untuk memotong sekitar 5 persen dari produksinya, atau sekitar 37.000 bph. Indonesia
tentu saja tidak mampu memenuhi dan menolak dengan pertimbangan kemampuan anggaran
APBN 2017 yang masih sangat bergantung
dari hasil minyak. Di dalam rencana anggaran, produksi minyak di 2017 hanya
turun sebesar 5.000 bph (barel/hari) dibandingkan 2016. Sedang penurunan
produksi minyak di APBN 2017 sudah mempertimbangkan dengan ketat kebutuhan
penerimaan negara dari sektor migas, jika dipaksakan mengikuti pengurangan produksi
secara proporsional sesuai kesepakatan OPEC maka akan terjadi defisit anggaran
bahkan dapat berujung krisis.
Kesepakatan pengurangan produksi yang
diambil oleh OPEC dilatar belakangi oleh kondisi saat ini pasar minyak global
sedang mengalami tekanan hebat karena sedang menghadapi ketidak seimbangan dan
tekanan volatilitas dari sisi penawaran akibat turunnya harga minyak dunia.
Akibatnya industri perminyakan terpaksa melakukan pengurangan investasi yang
berdampak kepada turunnya produksi dan kepastian
pemenuhan komitmen dari para produsen yang pada akhirnya akan merusak
keseimbangan global.
Kondisi pasar saat ini kacau-balau
dan cenderung merusak produsen dan juga konsumen, sehingga menjadi ancaman perekonomian
bagi negara produsen, menghambat investasi industri dan membahayakan keamanan
energi dalam memenuhi permintaan energi dunia. Situasai itu memaksa OPEC untuk melindungi
anggotanya dan mengambil peran dalam menciptakan keseimbangan sesuai dengan
tujuan organisasi, yakni memenuhi kebutuhan dunia akan minyak bumi dengan harga
yang stabil dan menentukan kebijakan-kebijakan untuk melindungi negara-negara
anggota dan menjamin kesinambungan pasokan minyak kepada negara-negara konsumen
serta pengembalian modal yag adil bagi investor di industri minyak.
Salah satu cara untuk menjaga
stabilitas pasar minyak internasional adalah melalui penentuan kuota (batas
tertinggi) produksi minyak berdasarkan kesepakatan negara anggota. Dan pemangkasan
kuota produksi itu disepakati menjadi pilihan langkah untuk ikut mengatasi
merosotnya harga minyak dunia. Disini OPEC memegang peranan penting dalam
mengatasi permasalahan perminyakan global
yang tidak normal dan cenderung merusak. Dalam kurun waktu satu tahun terakhir
saja, terus terjadi koreksi penurunan harga hingga mencapai 50 persen. Dengan
klangkah itu terbukti harga minyak dunia melonjak 14 persen, dalam waktu tiga
hari saja harga minyak dunia ditutup menguat ke level tertinggi dalam 17 bulan
pada level 51,68 dollar AS per barrel pada Jumat (2/12/2016).
Berdirinya OPEC
Venezuela merupakan negara pertama
yang memprakarsai pembentukan OPEC pada tahun 1949. OPEC didirikan pada
September 1960 di Baghdad oleh Venezuela, Saudi Arabia, Irak, Iran dan Kuwait.
Berdirinya organisasi OPEC salah satunya dipicu oleh dominasi “The Seven Sister” yang terdiri dari Royal Dutch Shell - lebih
dikenal sebagai Shell dari Belanda, Anglo Persian Oil Company - menjadi British
Petroleum ( BP ) dari Inggris, Standart
Oil - kemudian menjadi Esso ( Exxon ), Chevron,
Mobil, Texaco dan Gulf Oil berasal dari AS yang menguasai industri minyak dan secara
sepihak menetapkan harga minyak dipasar internasional (Enrico Mattei, 1950). Pasca
Perang Dunia II sampai tahun 70-an " Seven Sisters" menguasai 85%
pengelolaan minya dunia. Situasi itu
tentu mengkhawatirkan negara negara produsen yang akhirnya berhimpun ke dalam
OPEC.
Reputasi Indonesia sebagai anggota
OPEC satu satunya dari Asia, sungguh tidak bisa dinafikan. Sejak Menjadi Anggota OPEC
Tahun 1962, Indonesia Ikut berperan aktif dalam penentuan arah dan kebijakan
OPEC. Sejak berdirinya sekretariat OPEC di Wina Tahun 1965, Indonesia sangat
aktif terlibat dalam kegiatan OPEC. Indonesia bahkan pernah ditunjuk sebagai
Sekjen OPEC dan Presiden Konferensi OPEC pada tahun 2004. Keanggotaan Indonesia
di OPEC waktu itu memberikan berbagai keuntungan politis.
Sebagai anggota OPEC, Indonesia
pernah memiliki posisi tawar yang sangat tinggi dan strategis serta kontak yang
lebih luas dengan negara-negara produsen dan mengangkat citra dan kredibilitas
Indonesia di mata dunia. Solidarita antar anggota juga berlangsung baik, semua
negara memiliki visi dan misi yang kurang lebih sama di dalam bingkai OPEC,
sehingga OPEC mampu menjadi wahana bersama untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat anggota. Bahkan OPEC Fund telah memberikan bantuan dana darurat sebesar
1,2 Juta Euro, dimana separuhnya disumbangkan untuk rehabilitasi dan
rekonstruksi Aceh dan Sumatera Utara yang dilanda Tsunami pada akhir tahun
2004.
Namun kini takdir telah membawa
Indonesia kedalam situasi yang berbeda. Indonesia bukan lagi tergolong negara
pengekport minyak, justru sebaliknya kini menjadi negara pengimport minyak
untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya. Situasi sudah sangat berbeda
dan harus disikapi dengan bijak dan
dengan pendekatan yang komprehensip.
Apa yang Dicari
Harus disadari oleh pemerintah
Indonesia, suatu organisasi selalu dibentuk untuk mencapai suatu tujuan
tertentu yang disepakati. Diantaranya
untuk saling mengisi kekurangan masing-masing negara, meningkatkan perekonomian
seluruh anggota guna meningkatkan taraf hidup rakyat di negara-negara anggota,
memperluas hubungan dan mempererat persahabatan dan meningkatkan devisa negara.
Tujuan itu pulalah yang akan
menentukan cara untuk meraihnya. Didalamnya diatur suatu kesepakatan dan
rambu-rambu pembatas yang wajib ditaati oleh anggota. Karenanya keluar masuk
pada suatu organsasi internasional tentu bukanlah prestasi yang baik, justru
sebaliknya merusak reputasi membanggakan yang telah terpatri. Hal itu
menunjukkan lemahnya landasan dan petimbangan ketika memutuskan untuk bergabung
kembali. Terlebih lagi jika keluarnya dari organisasi justru selalu dilakukan tepat
pada saat-saat dituntut untuk memenuhi komitmennya sebagai anggota, untuk melakukan
prestasi tertentu yang diputuskan bersama. Stigma negative yang didapat
Indonesia tentu adalah negeri yang mudah lari dari tanggung jawab dan hanya mau
mengejar keuntungan saja.
Organisasi manapun dibentuk untuk
saling melengkapi dan menguatkan, sehingga ada tambah kurang. Disaat saat sulit
ada kerelaan untuk berkorban, termasuk dalam hal ini mengorbankan kepentingan
domestiknya untuk suatu tujuan yang lebih besar yang disepakati dalam
organisasi. Jika sedari awal kemampuan kita untuk tunduk pada komitmen bersama sudah
tidak memungkinkan berdasarkan ukuran-ukuran objektif yang wajar, maka untuk
apa memaksakan diri menjadi anggota.
Jika motif keanggotaanya adalah dalam
rangka membuka jaringan dan memudahkan komunikasi dengan negara produsen di
internal OPEC, alasan itu tetap tidak cukup kuat sebagai landasan. OPEC
bukanlah produsen tunggal minyak dunia, terlebih lagi tanpa harus menjadi
anggota Indonesia tetap bisa menjalin komunikasi dagang secara individual
dengan negara-negara produsen minyak
baik anggota maupun non anggota. Pada posisi bukan sebagai anggota justru membuat Indonesia menjadi lebih luwes
bermanuver mencari produsen yang paling menguntungkan bagi kepentingan
domestiknya. Maka slogan-slogan kedaulatan
energi, kemandirian energi dan kepentingan domestic seharusnya membuat kita
pandai mengukur diri dengan lebih banyak melihat ke dalam sebelum bertindak
keluar.
Merosotnya harga minyak belakangan
ini bukan semata mata persoalan supply dan demand, namun justru didominasi oleh
masalah geopolitik dan anarkisme perburuan “emas hitam” yang jumlahnya semakin
menipis. Perburuan yang dipelopori oleh Amerika Serikat dan China itu kini menyulut jenis persaingan baru yang
mengancam stabilitas dunia. Instabilitas di berbagai kawasan belahan dunia, adu
domba, perang saudara, invasi militer juga ditengarai diakibatkan oleh motif itu. Situasi itu tentu
menjadi tantangan bagi OPEC. Selain OPEC juga terdapat negara negara penghasil
lainnya seperti Rusia, Kanada dan negara-negara bekas Uni Soviet yang memiliki
cadangan minyak yang cukup besar. Oleh karenanya OPEC bukanlah pemain tunggal
di pasar minyak dunia. Situasi itu juga menjadikan teori-teori ekonomi pasar
sering menjadi tidak berlaku dan sulit menjadi pegangan.
Memaksakan diri menjadi anggota dalam
situasi demikian, adalah suatu tindakan yang gegabah dan justru berakibat
kontraproduktif dan menurunkan kredibilitas di mata negara-negara anggota
lainnya. Maka pertimbangkan kembali keanggotaan Indonesia di OPEC. Lebih bijak jika kita berbenah kedalam
sebelum bertindak keluar, mengoptimalkan semua potensi, menyusun kekuatan riil
berdasar apa yang ada dan apa yang kita punya. Dengan pertimbangan itu akan
lebih baik jika Indonesia berdiri di posisi bebas sehingga terjaga
fleksibilitas untuk mengambil manfaat ke organisasi manapun yang paling
menguntungkan, tanpa perlu terikat komitmen-komitmen yang membebani dan tidak
mampu dipenuhi. Dengan pilihan itu Indonesia
akan dipandang sebagi jomblo sejati yang
selalu menarik, terhormat dan mandiri.



