Rabu, 07 Desember 2016

INDONESIA DAN OPEC (KOMPAS 8 Desember 2016)


INDONESIA DAN OPEC

Junaidi Albab Setiawan / Advokat Pengamat Hukum Migas

Peneliti pada Centre of Study for Indonesian Leadership (CSIL)

 

Di akhir bulan Nopember 2016 lalu, bertempat di Wina, Indonesia kembali meminta agar keanggotaannya di OPEC  (Organization of Petroleum Exporting Countries) di bekukan. Permohonan pembekuan ini adalah kali kedua yang pernah diajukan oleh Indonesia kepada OPEC. Hubungan Indonesia dan OPEC ibarat kisah kasih antara dua insan yang saling jatuh cinta, namun mengalami putus nyambung akibat pasang surutnya kehidupan. Kalau pada awalnya cintanya tulus saling melengkapi, namun belakangan Indonesia ibarat “cowok matre” yang selalu menghindar saat diajak berkomitmen dalam suka dan duka, karena hanya mau bagian suka dari pada dukanya.  

Dari catatan sejarah, Indonesia menjadi anggota OPEC pada Desember 1962. Kemudian pada Mei 2008 Indonesia mengajukan surat untuk keluar dengan alasan  saat itu telah menjadi net importer minyak dan tidak mampu memenuhi kuota produksi yang telah ditetapkan. Alasan itu masuk akal karena sebagaimana namanya, OPEC adalah organisasi yang menghimpun negara-negara pengekspor bukan pengimpor minyak. Setelah melalui serangkaian pembicaraan,  pengunduran diri itu diterima dan Indonesia dibekukan keanggotaannya (suspended).

Kemudian sekalipun masih tetap dalam posisi sebagai importir minyak, di awal pemerintahan Jokowi Indonesia kembali bersikeras mengajukan diri menjadi anggota OPEC dan diterima kembali. Kini belum lagi genap 3 tahun sebagai anggota kembali, Indonesia dengan pertimbangan domestik kembali meminta dibekukan lagi keanggotaannya untuk sementara (temporary suspend). Pengunduran diri itu akibat keputusan OPEC yang meminta Indonesia untuk memotong sekitar 5 persen dari produksinya, atau sekitar 37.000 bph. Indonesia tentu saja tidak mampu memenuhi dan menolak dengan pertimbangan kemampuan anggaran  APBN 2017 yang masih sangat bergantung dari hasil minyak. Di dalam rencana anggaran, produksi minyak di 2017 hanya turun sebesar 5.000 bph (barel/hari) dibandingkan 2016. Sedang penurunan produksi minyak di APBN 2017 sudah mempertimbangkan dengan ketat kebutuhan penerimaan negara dari sektor migas, jika dipaksakan mengikuti pengurangan produksi secara proporsional sesuai kesepakatan OPEC maka akan terjadi defisit anggaran bahkan dapat berujung krisis.

Kesepakatan pengurangan produksi yang diambil oleh OPEC dilatar belakangi oleh kondisi saat ini pasar minyak global sedang mengalami tekanan hebat karena sedang menghadapi ketidak seimbangan dan tekanan volatilitas dari sisi penawaran akibat turunnya harga minyak dunia. Akibatnya industri perminyakan terpaksa melakukan pengurangan investasi yang berdampak kepada turunnya produksi dan  kepastian pemenuhan komitmen dari para produsen yang pada akhirnya akan merusak keseimbangan global.

Kondisi pasar saat ini kacau-balau dan cenderung merusak produsen dan juga konsumen, sehingga menjadi ancaman perekonomian bagi negara produsen, menghambat investasi industri dan membahayakan keamanan energi dalam memenuhi permintaan energi dunia. Situasai itu memaksa OPEC untuk melindungi anggotanya dan mengambil peran dalam menciptakan keseimbangan sesuai dengan tujuan organisasi, yakni memenuhi kebutuhan dunia akan minyak bumi dengan harga yang stabil dan menentukan kebijakan-kebijakan untuk melindungi negara-negara anggota dan menjamin kesinambungan pasokan minyak kepada negara-negara konsumen serta pengembalian modal yag adil bagi investor di industri minyak.

Salah satu cara untuk menjaga stabilitas pasar minyak internasional adalah melalui penentuan kuota (batas tertinggi) produksi minyak berdasarkan kesepakatan negara anggota. Dan pemangkasan kuota produksi itu disepakati menjadi pilihan langkah untuk ikut mengatasi merosotnya harga minyak dunia. Disini OPEC memegang peranan penting dalam mengatasi permasalahan  perminyakan global yang tidak normal dan cenderung merusak. Dalam kurun waktu satu tahun terakhir saja, terus terjadi koreksi penurunan harga hingga mencapai 50 persen. Dengan klangkah itu terbukti harga minyak dunia melonjak 14 persen, dalam waktu tiga hari saja harga minyak dunia ditutup menguat ke level tertinggi dalam 17 bulan pada level 51,68 dollar AS per barrel pada Jumat (2/12/2016).

Berdirinya OPEC    

Venezuela merupakan negara pertama yang memprakarsai pembentukan OPEC pada tahun 1949. OPEC didirikan pada September 1960 di Baghdad oleh Venezuela, Saudi Arabia, Irak, Iran dan Kuwait. Berdirinya organisasi OPEC salah satunya dipicu oleh dominasi  “The Seven Sister”  yang terdiri dari Royal Dutch Shell - lebih dikenal sebagai Shell dari Belanda, Anglo Persian Oil Company - menjadi British Petroleum ( BP ) dari Inggris,  Standart Oil - kemudian menjadi Esso ( Exxon ),  Chevron, Mobil, Texaco dan Gulf Oil berasal dari AS yang menguasai industri minyak dan secara sepihak menetapkan harga minyak dipasar internasional (Enrico Mattei, 1950). Pasca Perang Dunia II sampai tahun 70-an " Seven Sisters" menguasai 85% pengelolaan minya dunia.  Situasi itu tentu mengkhawatirkan negara negara produsen yang akhirnya berhimpun ke dalam OPEC.

Reputasi Indonesia sebagai anggota OPEC satu satunya dari Asia, sungguh  tidak bisa dinafikan. Sejak Menjadi Anggota OPEC Tahun 1962, Indonesia Ikut berperan aktif dalam penentuan arah dan kebijakan OPEC. Sejak berdirinya sekretariat OPEC di Wina Tahun 1965, Indonesia sangat aktif terlibat dalam kegiatan OPEC. Indonesia bahkan pernah ditunjuk sebagai Sekjen OPEC dan Presiden Konferensi OPEC pada tahun 2004. Keanggotaan Indonesia di OPEC waktu itu memberikan berbagai keuntungan politis.

Sebagai anggota OPEC, Indonesia pernah memiliki posisi tawar yang sangat tinggi dan strategis serta kontak yang lebih luas dengan negara-negara produsen dan mengangkat citra dan kredibilitas Indonesia di mata dunia. Solidarita antar anggota juga berlangsung baik, semua negara memiliki visi dan misi yang kurang lebih sama di dalam bingkai OPEC, sehingga OPEC mampu menjadi wahana bersama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat anggota. Bahkan OPEC Fund telah memberikan bantuan dana darurat sebesar 1,2 Juta Euro, dimana separuhnya disumbangkan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Sumatera Utara yang dilanda Tsunami pada akhir tahun 2004.

Namun kini takdir telah membawa Indonesia kedalam situasi yang berbeda. Indonesia bukan lagi tergolong negara pengekport minyak, justru sebaliknya kini menjadi negara pengimport minyak untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya. Situasi sudah sangat berbeda dan  harus disikapi dengan bijak dan dengan pendekatan yang komprehensip.        

 

Apa yang Dicari

Harus disadari oleh pemerintah Indonesia, suatu organisasi selalu dibentuk untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang disepakati.   Diantaranya untuk saling mengisi kekurangan masing-masing negara, meningkatkan perekonomian seluruh anggota guna meningkatkan taraf hidup rakyat di negara-negara anggota, memperluas hubungan dan mempererat persahabatan dan meningkatkan devisa negara.

Tujuan itu pulalah yang akan menentukan cara untuk meraihnya. Didalamnya diatur suatu kesepakatan dan rambu-rambu pembatas yang wajib ditaati oleh anggota. Karenanya keluar masuk pada suatu organsasi internasional tentu bukanlah prestasi yang baik, justru sebaliknya merusak reputasi membanggakan yang telah terpatri. Hal itu menunjukkan lemahnya landasan dan petimbangan ketika memutuskan untuk bergabung kembali. Terlebih lagi jika keluarnya dari organisasi justru selalu dilakukan tepat pada saat-saat dituntut untuk memenuhi komitmennya sebagai anggota, untuk melakukan prestasi tertentu yang diputuskan bersama. Stigma negative yang didapat Indonesia tentu adalah negeri yang mudah lari dari tanggung jawab dan hanya mau mengejar keuntungan saja.

Organisasi manapun dibentuk untuk saling melengkapi dan menguatkan, sehingga ada tambah kurang. Disaat saat sulit ada kerelaan untuk berkorban, termasuk dalam hal ini mengorbankan kepentingan domestiknya untuk suatu tujuan yang lebih besar yang disepakati dalam organisasi. Jika sedari awal kemampuan kita untuk tunduk pada komitmen bersama sudah tidak memungkinkan berdasarkan ukuran-ukuran objektif yang wajar, maka untuk apa memaksakan diri menjadi anggota.

Jika motif keanggotaanya adalah dalam rangka membuka jaringan dan memudahkan komunikasi dengan negara produsen di internal OPEC, alasan itu tetap tidak cukup kuat sebagai landasan. OPEC bukanlah produsen tunggal minyak dunia, terlebih lagi tanpa harus menjadi anggota Indonesia tetap bisa menjalin komunikasi dagang secara individual dengan negara-negara produsen minyak  baik anggota maupun non anggota. Pada posisi bukan sebagai anggota  justru membuat Indonesia menjadi lebih luwes bermanuver mencari produsen yang paling menguntungkan bagi kepentingan domestiknya.  Maka slogan-slogan kedaulatan energi, kemandirian energi dan kepentingan domestic seharusnya membuat kita pandai mengukur diri dengan lebih banyak melihat ke dalam sebelum bertindak keluar.

Merosotnya harga minyak belakangan ini bukan semata mata persoalan supply dan demand, namun justru didominasi oleh masalah geopolitik dan anarkisme perburuan “emas hitam” yang jumlahnya semakin menipis. Perburuan yang dipelopori oleh Amerika Serikat dan China itu  kini menyulut jenis persaingan baru yang mengancam stabilitas dunia. Instabilitas di berbagai kawasan belahan dunia, adu domba, perang saudara, invasi militer juga ditengarai  diakibatkan oleh motif itu. Situasi itu tentu menjadi tantangan bagi OPEC. Selain OPEC juga terdapat negara negara penghasil lainnya seperti Rusia, Kanada dan negara-negara bekas Uni Soviet yang memiliki cadangan minyak yang cukup besar. Oleh karenanya OPEC bukanlah pemain tunggal di pasar minyak dunia. Situasi itu juga menjadikan teori-teori ekonomi pasar sering menjadi tidak berlaku dan sulit menjadi pegangan.

Memaksakan diri menjadi anggota dalam situasi demikian, adalah suatu tindakan yang gegabah dan justru berakibat kontraproduktif dan menurunkan kredibilitas di mata negara-negara anggota lainnya. Maka pertimbangkan kembali keanggotaan Indonesia di OPEC.  Lebih bijak jika kita berbenah kedalam sebelum bertindak keluar, mengoptimalkan semua potensi, menyusun kekuatan riil berdasar apa yang ada dan apa yang kita punya. Dengan pertimbangan itu akan lebih baik jika Indonesia berdiri di posisi bebas sehingga terjaga fleksibilitas untuk mengambil manfaat ke organisasi manapun yang paling menguntungkan, tanpa perlu terikat komitmen-komitmen yang membebani dan tidak mampu dipenuhi.  Dengan pilihan itu Indonesia akan  dipandang sebagi jomblo sejati yang selalu menarik, terhormat dan mandiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar