Sabtu, 05 Desember 2020

DUALISME REZIM HUKUM HULU MIGAS (KOMPAS 4 DESEMBER 2020)

Dualisme Rezim Hukum Bisnis Hulu Migas

Junaidi Albab Setiawan

Advocat, Praktisi dan Pengamat Hukum Migas

 

Perubahan penting yang diusung oleh UU Cipta Kerja dalam bidang Migas adalah diterapkannya kembali rezim izin/konsesi dalam kegiatan usaha hulu Migas. Perubahan itu tertuang dalam klaster ESDM, Pasal 40 (hal 226), yang merubah pasal 5 UU Migas Tahun 2001 dengan tambahan ayat (1) yang  berbunyi: “Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat”. Selanjutnya pengertian kegiatan usaha Migas diterangkan lebih rinci oleh ayat (2) yang berbunyi: “Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi terdiri atas Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir.” Dengan berlakunya ketentuan di atas maka  terhadap bisnis hulu Migas berlaku dua rezim hukum, yakni berdasar izin/konsesi dan kontrak kerjasama sesuai pasal 6 (1) UU Migas 2001.

Pemberlakuan kembali sistem izin/konsesi adalah langkah mundur yang akan semakin menimbulkan masalah dalam tata Kelola hulu Migas. Sistem ini rawan disalah gunakan (KKN) dan berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Kehadiran sistem izin/konsesi mengakibatkan dualisme dan tumpang tindih pengaturan tata kelola hulu Migas yang memperlemah kepastian hukum. Untuk dapat berfungsi sistem ini masih memerlukan aturan pelaksana baru yang kompleks serta pengawasan yang ketat.

Konsesi

Sistem izin/konsesi pernah berlaku di zaman pemerintahan kolonial Belanda berdasarkan "Indische Mijnwet", Staatsblad tahun 1899 No. 214. Setelah Indonesia merdeka keberlakuan sistem ini mendapat penolakan keras dari para tokoh bangsa lewat “Mosi Teuku Mohammad Hasan” dan kemudian menghasilkan Keputusan DPRS No. 47/K/1951, dimana Negara pada 13 September 1951 membentuk  Panitia Negara untuk Urusan Pertambangan  (PNUP).

Dari penyelidikan PNUP ditemukan adanya kelemahan pengaturan dan pengawasan dalam sistem izin/konsesi, akibatnya para pemegang konsesi bertindak terlalu bebas dan curang dalam melaporkan biaya operasional dan hasil penambangan Migas. Selanjutnya Panitia juga berhasil merumuskan UU No. 44 Tahun 1960 Tentang Migas. Oleh undang-undang tersebut sistem izin/konsesi diganti “kuasa pertambangan” dengan menerapkan “Kontrak Karya” yang kemudian berkembang menjadi “Kontrak Bagi Hasil” hingga saat ini.

Dahulu kehadiran sistem kontrak juga mendapatkan penolakan dari perusahaan-perusahaan Migas yang sudah terlanjur diuntungkan oleh sistem konsesi. Perselisihan tersebut akhirnya dapat diselesaikan dalam perundingan antara pemerintah Indonesia dengan Caltex, Stanvac dan Shell, berlangsung di Tokyo pada tanggal 1 Juni 1963, dikenal sebagai Tokyo Heads of Agreement.  Perusahan-perusahaan akhirnya tunduk hak konsesi miliknya diubah menjadi “Kontrak Karya” berhadapan dengan PN. PERMINA, PN PERTAMIN dan PN PERMIGAN sebagai kepanjangan tangan Negara.

Perbedaan dan Kelemahan

Izin/konsesi (verguning) adalah perbuatan hukum administrasi negara yang bersegi satu, berupa persetujuan dari penguasa yang diberi wewenang oleh undang-undang, untuk dalam keadaan tertentu merubah hal yang dilarang menjadi boleh dilakukan (relaxation legis). Izin/konsesi memiliki sifat monopolistis, karena berdasar alasan subjektif, izin/konsesi dapat diberikan oleh pemberi izin/konsesi  kepada siapa saja yang dikehendaki dan dapat pula  dicabut kapan saja bilamana pemberi izin/konsesi menghendaki.

Akibatnya izin/konsesi berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dan resiko politik yang tinggi bagi perusahaan, karena  perusahaan harus “pandai-pandai” menjaga hubungan baik dengan pemberi izin/konsesi (Pemerintah Pusat). Padahal umur pemerintah berjangka singkat, dibanding umur bisnis hulu Migas yang berjangka lama dan menuntut kepastian hukum, sehingga sistem ini rawan penyalah gunaan wewenang (detournement de pouvoir).  Sebaliknya dalam sistem ini negara melepas wilayah konsesi kepada perusahaan untuk diekplorasi dan diekploitasi (relinquishment clauses), akibatnya kontrol pemerintah terhadap wilayah konsesi menjadi lemah, sedang posisi perusahaan menjadi kuat, cenderung tertutup dan bertindak curang.

Disisipkannya rezim izin/konsesi dalam  UU Cipta Kerja barangkali dipengaruhi oleh pertimbangan MK point (3.14) perkara No.36/PUU.X/2012. Menurut MK, hubungan antara negara dengan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dilakukan dengan hubungan keperdataan, akan tetapi harus merupakan hubungan yang bersifat publik yaitu berupa pemberian konsesi atau perizinan yang sepenuhnya di bawah kontrol dan kekuasaan negara. Kontrak keperdataan akan mendegradasi kedaulatan negara atas sumber daya alam, dalam hal ini Migas.” Pertimbangan hukum bukanlah amar putusan, namun sebatas pandangan MK terhadap kegiatan usaha hulu Migas yang tidak sepenuhnya benar karena cenderung mengesampingkan aspek keekonomian dunia Migas.

Sesungguhnya kegiatan hulu Migas adalah kegiatan bisnis yang juga diawali dengan analisis untung dan rugi (cost and benefit analysis). Hubungan hukum yang sesuai dengan karakter bisnis hulu Migas adalah hubungan keperdataan dalam bentuk kontrak. Kontrak adalah perangkat bisnis, berupa kesepakatan dua arah antara pihak-pihak yang bertujuan mencari keuntungan dan saling membutuhkan (reciprocal). Dalam kontrak, para pihak berdiri sama tinggi dan tunduk kepada isi kontrak yang mengikat para pihak layaknya undang-undang (pacta sun servanda). Karenanya ketundukan terhadap isi kontrak tidak serta merta dapat diartikan sebagai degradasi kedaulatan negara atas Migas, namun lebih dimaknai sebagi penghormatan kepada kesepakatan (contract sanctity).

UU Migas 2001 menegaskan bahwa Migas adalah komoditas. Sebagai komoditas Migas diniagakan berdasar norma-norma yang berlaku di pasar global dan tidak dapat diniagakan secara tertutup, kecuali jika Negara mampu mengupayakannya sendiri untuk dikonsumsi sendiri. Harus disadari saat ini bandul (pendulum) peradaban dunia menempatkan kapitalisme sedemikian mendominasi perekonomian dunia mengalahkan sosialisme sebagai induk rezim izin/konsesi. Arah gerak zaman menunjukkan bahwa sebagai sistem perekonomian, saat ini kapitalisme begitu kuat  mempengaruhi cara melakukan kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi barang kebutuhan hidup. Situasi itu tidak cukup dihadapi dengan semangat nasionalisme, namun juga menuntut kemampuan Indonesia untuk berselancar di atas arus besar peradaban dengan sikap adaptif dan fleksibel.

Pertimbangkan Kembali

Saat ini bisnis hulu Migas yang dikendalikan melalui kontrak kerja sama sudah menjadi sistem yang mapan. Agar sistem ini lebih produktif yang dibutuhkan adalah penyempurnaan, bukan bongkar pasang aturan. Maka kehadiran rezim hukum izin/konsesi dalam bisnis hulu Migas  sebaiknya dipertimbangkan kembali agar tidak merusak harmoni yang sudah terbangun. 

Senin, 19 Oktober 2020

BUMN KHUSUS HULU MIGAS (KOMPAS 19/10/2020)

 

Junaidi Albab Setiawan

Advocat, Pengamat Hukum Migas

Seminggu sebelum RUU Omnibus Law disahkan DPR, Pemerintah tiba-tiba menarik usulan pembentukan Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK) Hulu Migas dari RUU Omnibus Law. Penarikan itu menandakan Pemerintah masih bersikap maju mundur alias belum memiliki visi dan political will yang mantab untuk memperbaiki tata Kelola Migas. Sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU.X/2012, tata kelola Migas menjadi rancu sehingga sulit menjadi pegangan dalam kegiatan usaha hulu Migas, Sedangkan Migas hingga saat ini masih menjadi penopang utama pembiayaan pembangunan. Karenanya perbaikan tata Kelola Migas seharusnya menjadi prioritas pembahasan di DPR.

Hak Menguasai Negara Atas Migas

Tata kelola Migas adalah turunan dari hak menguasai negara (HMN) atas Migas yang tercantum dalam konstitusi. HMN atas Migas adalah harapan, cita-cita dan cara negara agar Migas dapat menjadi modal pembangunan. Untuk mewujudkan itu maka diperlukan suatu  jembatan hukum yang menghubungkan antara harapan dan cita-cita negara yang bersifat abstrak  (de jure) itu, dengan kegiatan operasional bisnis hulu Migas yang bersifat kongkrit (de facto). Jembatan hukum itu disebut “kuasa usaha pertambangan” atau disingkat “Kuasa Pertambangan” (KP) Migas.

HMN atas Migas adalah turunan dari kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat adalah suatu hak eksklusif yang dimiliki rakyat untuk mewujudkan kepentingannya dalam suatu negara. Sedang kepentingan negara tiada lain adalah kepentingan rakyat yang dibatasi oleh aturan-aturan hukum yang notabene merupakan kesepakatan rakyat sendiri (volonte genarale). Apabila rakyat melalui konstitusi negara menghendaki  Migas  yang terkandung dalam bumi wilayah negara harus dikuasai oleh negara, maka tidak ada jalan lain bagi negara kecuali mewujudkannya dalam bentuk kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang selaras dengan amanat konstitusi.

Sedangkan KP Migas adalah turunan dari HMN atas Migas yang digariskan oleh konstitusi. Maksud KP Migas ini bisa dipelajari dari penjelasan angka 4 UU No 44/Prp/1960 Tentang Migas. Bahwa berhubung Negara hanya mempunyai hak menguasai, maka tidaklah dapat diberikan kepada perusahaan negara hak-hak lain yang lebih dari pada hak menguasai itu. Dengan demikian yang dapat diberikan kepada perusahaan negara adalah sebatas “kuasa usaha” pertambangan atau secara ringkas disebut Kuasa Pertambangan. Ketentuan itu sesuai dengan azas hukum “nemo dat quod non habet” yang berarti negara tidak dapat memberikan sesuatu yang tidak dimilikinya atau tidak dapat negara memberikan alas hak yang lebih baik dari yang dimilikinya.  Karenanya KP Migas bukanlah pemberian hak pertambangan namun sebatas untuk menjalankan usaha pertambangan, maka fokus dari KP Migas ini lebih kepada aspek pemanfaatan dan bisnis bukan aspek kepemilikan.

BUMNK Hulu Migas

Melalui KP Migas, negara yang semula bertatus sebagai subjek hukum publik yang bersifat umum, luas dan abstrak, menjelma menjadi suatu subjek hukum pelaku usaha  BUMNKH Migas yang bersifat khusus, sempit dan dengan tujuan yang kongkrit untuk mendapatkan keuntungan/laba.  Mengingat sejatinya kegiatan usaha hulu Migas adalah kegiatan bisnis atas komoditi yang dilindungi oleh konstitusi, maka KP Migas seharusnya diserahkan kepada suatu BUMNKH Migas, bukan kepada Pemerintah. Menyerahkan KP Migas kepada Pemerintah sebagimana dalam UU No 22 Taun 2001 Tentang Migas  adalah kerancuan yang harus segera dikoreksi. BUMNKH Migas dalam hal ini berperan sebagi Special Purpose Vehicle khusus untuk menjalankan salah satu peran negara sebagai pengelola Migas sesuai Putusan MK No. 002/PPU-I/2003. Berdasar KP Migas kegiatan BUMNKH Migas dalam kerja sama dengan pihak swasta menjadi bersifat busines to busines (B to B), bukan government to business (G to B).

Selain itu pelimpahan wewenang KP Migas kepada BUMNKH Migas juga sejalan dengan visi UU  No 22 Tahun 2001 Tentang Migas sebagaimana tercermin dalam  naskah akademik, risalah pembahasan (memorie van toelichting), daftar inventarisasi masalah (DIM) saat pembahasan  RUU itu di DPR. Menurut Undang-Undang ini, Migas adalah komoditas atau dagangan yang pengusahaannya  tunduk kepada mekanisme pasar. Negara harus membiarkan pasar bekerja sesuai tabiat alamiah dan caranya sendiri dalam menemukan harga.”  Karenanya Undang-undang itu tidak mengatur bisnis Migas namun hanya mengatur sektor Migas, mengingat bisnis Migas bukanlah domain Pemerintah.

Memperbaiki tata kelola Migas harus dimulai dengan memperbaiki rumusan KP Migas. KP Migas yang rancu serta tidak selaras dengan konstitusi akan mengakibatkan kebijakan dan tata kelola Migas berubah-ubah seperti saat ini. Seringnya perubahan tentu tidak menguntungkan negara dan pelaku bisnis Migas khususnya investor dan kontraktor (K3S). Peraturan yang labil akan mengganggu kepastian hukum dan iklim investasi, pada gilirannya juga berpengaruh kepada pendapatan negara dari sektor Migas sehingga mengganggu pembiayaan pembangunan.

Patut disayangkan hingga kini negara belum mampu merumuskan KP Migas yang konstitusional namun adaptif dan fleksibel terhadap kebutuhan pasar. Sekalipun Pemerintah bersama DPR dalam tujuh tahun terakhir sudah membahas RUU Migas baru, namun entah mengapa hingga kini  belum dapat disahkan. Terakhir Pemerintah justru mencoba mengambil jalan pintas dengan menyisipkan pembentukan BUMNK Hulu Migas dalam RUU Omnibus Law, namun secara tiba-tiba ditarik kembali. Situasi ini tentu membuat para pelaku usaha Migas menjadi resah dan gelisah. Lambannya pembenahan pengaturan tata kelola Migas ini membuktikan kebenaran adagium hukum  Het recht think achter de feiten aan”, hukum akan selalu berjalan tertatih-tatih mengikuti kenyataan dan berada satu langkah di belakang realita dan kemajuan zaman.

Rabu, 23 September 2020

TATA KELOLA MIGAS DALAM OMNIBUSLAW

 Oleh : Junaidi Albab Setiawan, Lawyer K3S Terdaftar si SKK Migas

Tidaklah mudah memahami undang-undang, karena tidak hanya sekedar membaca bunyi kata-katanya saja (naar de letter van de wet), tetapi harus pula mencari arti, makna atau tujuannya. Sehingga membaca undang-undang tidaklah cukup dengan membaca pasal-pasalnya saja, tetapi harus dibaca penjelasannya, konsiderannya, bahkan dari risalah pembahasannya di DPR (memorie van tolefting), sehingga dapat dipahami “jiwa”nya (Sudikno Mertokusumo,1987).

Ditengah situasi pandemi COVID19 yang mencekam, DPR tetap bersikeras melakukan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Pada pasal 41, RUU ini menyasar  Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 2001), yang pada intinya  menawarkan suatu tata kelola Migas baru. Upaya perbaikan terhadap UU Migas 2001 ini merupakan tindak lanjut  dari putusan MK No. 36/PUU.X/2012 yang membatalkan 24 Pasal berkenaan dengan  BP Migas berikut frasa-frasa terkait. Putusan itu mengakibatkan  UU Migas 2001 menjadi kehilangan muatan utamanya dan  tata kelola migas menjadi kacau.  

Yang diperlukan saat ini sesungguhnya bukanlah langkah tambal sulam sebagaimana ditawarkan oleh RUU itu, namun lahirnya UU Migas baru yang kuat sekaligus adaptif dengan perkembangan zaman, sebagaimana diamanatkan putusan MK pada amar angka 6. Paska putusan MK, Pemerintah dan DPR sesungguhnya juga sudah berikhtiar menyusun UU Migas baru yang saat ini sudah memasuki tahap finalisasi. Maka Pemerintah dan DPR sebaiknya melanjutkan pembahasan yang sudah berlangsung hampir 7 (tujuh) tahun itu. Dengan masa pembahasan yang panjang dan melibatkan aspirasi banyak pihak akan menghasilkan undang-undang yang  kuat.

Namun upaya yang telah menyita waktu, tenaga, pikiran dan berbiaya mahal itu saat ini justru di-by pass sendiri oleh pemerintah dengan menawarakan aturan parsial melalui RUU Omnibus Law.

 

Tata Kelola UU Migas 2001

Dimata bangsa Indonesia Migas adalah anugerah Tuhan yang vital dan strategis, oleh karenanya Migas dilindungi oleh konstitusi. Berdasarkan UUD 45 pasal 33 ayat (2) dan (3), benda dengan karakter demikian, demi hukum harus dikuasai oleh negara. Namun tafsir hak menguasai negara (HMN) atas Migas itu hingga kini masih menjadi  diskursus  karena tidak ditemukan penjelasannya secara rinci dalam UU Migas 2001. Oleh karenanya undang-undang baru harus mampu menjelaskannya tentang hak menguasai negara itu secara konsepsional lengkap berdasar hierarki perundang-undangan.

Indonesia pernah memiliki 2 undang-undang Migas, yakni UU No 44/PRP Tahun 1960 dan  UU No. 22 Tahun 2001. Kedua undang-undang ini memiliki tafsir tentang HMN atas Migas secara berbeda, sehingga berakibat  berbeda pula dalam menerapkan tata kelola Migas. UU Migas 1960 menilai kegiatan penambangan migas sebagai kegiatan bisnis, sedang UU Migas 2001 menilai sebaliknya tapi justru menyajikan ketentaun rancu yang mengakibatkan blunder yang akhirnya menghasilkan putusan MK No 36 dan lahirnya SKK MIgas. Hal itu menunjukkan hukum itu selalu bergerak mengikuti pergerakan masyarakat, waktu dan tempat “historisch bestimmt”.

Di masa berlakunya UU Migas 1960, mengingat sifat Migas yang dilindungi oleh konstitusi serta Migas sebagai objek bisnis, maka HMN dikuasakan kepada  Pertamina. Berdasarkan wewenang itu Pertamina kemudian berperan sebagai regulator sekaligus operator pengelolaan Migas. Posisi ini menjadikan Pertamina berkembang pesat dan kuat, namun karena lemahnya pengawasan  Pertamina cenderung berperilaku koruptif. Situasi itu berlangsung hingga terjadi gerakan reformasi yang mengganti  UU Migas 1960 dengan UU Migas 2001.

Dalam UU Migas 2001, HMN atas Migas khusus untuk menyelenggarakan ekplorasi dan ekploitasi diserahkan kepada pemerintah. Pemerintah selanjutnya membentuk BP Migas untuk melaksanakannya, sampai akhirnya Badan Pelaksana dihapus dari UU Migas oleh MK. Untuk mengisi kekosongan hukum yang ditinggalkan oleh BP Migas dibentuklah satuan kerja bersifat sementara (SKK migas). Eksistensi SKK Migas terus berlangsung hingga saat ini dan cenderung menjadi lembaga permanen. Kondisi itulah yang saat ini coba diatasi oleh pemerintah lewat RUU omni bus law.

Dari risalah sidang pembahasan UU Migas 2001 diketahui bahwa kelahiran undang-undang ini dimaksudkan agar migas tidak dimonopoli oleh Pertamina dan bisnis Migas dijalankan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat sesuai kaidah perdagangan pasar bebas. Menurut memorie van tolefting, risalah sidang, daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam kesempatan pembahasan, pemerintah berulang kali menyampaikan bahwa UU Migas 2001 bukanlah undang-undang yang mengatur usaha Migas. Pemerintah hanya berperan sebagai pengawas sedang pelakunya adalah perusahaan-perusahaan termasuk Pertamina baru yang sudah dikerdilkan menjadi BUMN Persero.

Tata kelola Migas yang diusung UU Migas 2001 sebenarnya telah menimbulkan kontroversi sejak dalam kandungan karena dinilai bertentangan dengan sila ke 5 Pancasila sebagai “groundnorm” dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 45. Dalam pembahasan RUU ini bahkan diwarnai dengan nota penolakan “Minderheidnota” dari sebagian anggota DPR RI yang mencurigai RUU Migas 2001 sebagai pesanan asing, dibahas secara instant, berkarakter liberal, kapitalis. Sekalipun pada akhirnya minderheidnota ini tetap tidak mampu menahan laju pengesahan.

Rupanya kontroversi itu terus berlanjut, tercermin dari seringnya  UU Migas 2001 dilakukan judicial review di  MK. Setidaknya sudah empat kali MK menerbitkan putusan judicial review UU Migas, yakni Putusan MK No. 002/PPU-I/2003, putusan No. 20/PUU.V/2007, putusan No. 65/PUU.X/2012 dan yang paling fatal akibatnya adalah Putusan MK No.36/PUU.X/2012 yang merubah tata kelola Migas tanpa kepastian hingga sekarang ini.

Tawaran Baru

Tata kelola baru yang ditawarkan RUU Omnibus Law tercantum dalam pasal  4A (1), bahwa :  Kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan. Muatan pasal ini mengandung kelemahan subtansial, karena dalam UU Migas 2001 kuasa pertambangan yang diberikan oleh Negara kepada pemerintah tidak termasuk untuk melakukan kegiatan usaha hulu Migas. Pemerintah hanya diberi kuasa untuk menyelenggarakan ekplorasi dan eksploitasi, bukan kegiatan usaha. Berbeda dengan kuasa pertambangan dalam UU Migas 1960 yang dengan tegas menunjuk Perusahaan Negara untuk menyelenggarakan kegiatan usaha karena menyadari baha kegiatan huu adalah kegiatan usaha / bisnis, ketentuan ini tegas tidak menimbulkan tafsir ganda.

Jika dilihat risalah pembahasan RUU Migas 2001 di DPR, materi ini termasuk yang paling hangat diperdebatkan ditengah suasana “kemarahan” para pembahas kepada Pertamina akibat provokasi dari pemerintah melalui naskah akedemik pengantar pembahasan. Dari sana diketahui adanya motif liberalisasi Migas, bahwa UU Migas 2001 dirancang untuk memisahkan wewenang dan tanggung jawab pemerintah dari perusahaan. Pemerintah tidak mengatur operasional perusahaan dan perusahaan tidak seharusnya melakukan pengaturan sektor. Dengan demikian UU Migas 2001 adalah undang-undang yang mengatur tentang sektor migas dan tidak mengatur perusahaan. Sehingga jika sekarang pemerintah berencana menjadi “penyelenggara” kegiatan usaha maka tidak sejalan lagi dengan “jiwa” UU Migas 2001.

Jika dilihat dari bunyi pasal 4A (2) RUU Omnibus Law, Pemerintah Pusat sebagai pemegang Kuasa Pertambangan dapat membentuk atau menugaskan Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.  Dilihat dari ayat ini, sifat khususnya BUMN yang dibentuk adalah karena diberi beban dan tanggung jawab khusus sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu Migas oleh pemerintah, bukan khusus karena kemandiriannya dalam menjalankan kegiatan usaha. Padahal jka belajar dari pengalaman Pertamina, justru kemandirian itulah yang sangat diperlukan oleh BUMN khusus itu agar lebih focus dan tidak mudah  menjadi sapi perah.

Selain itu dalam ayat ini juga terdapat kata “dapat”, artinya BUMN khusus itu tidak wajib dibentuk, sehingga ayat ini menjadi  ayat “setengah hati”, karena dimungkinkan  pemerintah tidak membentuk BUMN khusus, jika itu terjadi lalu siapakah penyelenggara kegiatan usaha hulu yang mewakili kepentingan negara itu?.

Jalan keluar

Menentukan tata kelola Migas harus dimulai dari merumuskan kuasa pertambangan dalam undang-undang secara tepat. Mengingat kuasa pertambangan adalah acuan yang berfungsi sebagai jembatan hukum yang menghubungkan antara tataran idealita (das sollen) berupa pandangan, harapan dan cita-cita negara dalam memanfaatkan Migas,  dengan kegiatan pemanfaatan di lapangan (das sein). Kegiatan nyata itu dalam prakteknya merupakan kegiatan usaha yang bertujuan mengejar laba, bukan kegiatan pemerintahan. Kegiatan demikian seharusnya  dilakukan oleh suatu badan usaha,  bukan oleh pemerintah. Sehingga negara seharusnya dengan tegas memberikan wewenang usaha  itu kepada badan usaha bukan kepada Pemerintah. 

Kedepan perlu dirumuskan tata kelola baru yang mampu menyelaraskan hubungan antara yang bersifat idealita dengan yang bersifat realita (restitutio in integrum). Suatu tata kelola “jalan tengah” yang menempatkan fungsi usaha dan fungsi pengawasan secara terpisah, namun saling menguatkan.  Sebaiknya negara memberikan wewenang usaha langsung kepada BUMNK hulu Migas bukan kepada pemerintah, sedang pemerintah lebih mengambil peran sebagai  pengatur dan pengawas. Agar transisi kelambagaan ini berlangsung efektif dan efisien, SKK Migas sebaiknya dialih fungsikan menjadi badan pengatur dan pengawas kegiatan usaha hulu Migas yang tetap berada di bawah Kementerian ESDM.

Selain itu juga perlu dipertimbangkan untuk memberi peran yang lebih tegas kepada BUMD Migas dalam UU Migas baru. BUMD adalag  cermin kemandirian, kedaulatan energi yang akan menyentuh langsung potensi dan keunggulan daerah dan manfaatnya langsung kepada masyarakat setempat yang sering diselorohkan “itik mati di lumbung padi”.

Selasa, 21 Januari 2020

IMPORT MIGAS (KOMPAS 18 Januari 2020

Impor Migas
Oleh :
Junaidi Albab Setiawan
(Advokat, Pemerhati Migas)
Saat memperkenalkan Menteri ESDM baru di halaman Istana Negara, Presiden Jokowi berpesan agar Menteri focus bekerja mengurangi import Migas. Tidak berhenti sampai disitu, pesan yang sama diulang kembali oleh Presiden saat memberikan sambutan di acara penutupan kongres partai Nasdem, di JIExpo Kemayoran, Jakarta, bahkan disertai ancaman keras. Kata Presiden, "Jangan ada yang coba-coba menghalangi saya dalam menyelesaikan masalah yang tadi saya sampaikan, pasti saya akan gigit, dengan cara saya”. 

Penyampaian arahan dari seorang Presiden pada suatu perhelatan partai tentu  tidak dilakukan tanpa alasan. Hal itu  menunjukkan betapa penting isi pesan itu bagi semua pihak, tidak terbatas kepada bawahan Presiden, namun juga kepada para politisi. Akibatnya masyarakat tentu bertanya tanya, ada apa dengan import Migas, mengapa harus dikurangi  justru pada saat Negara sedang sangat membutuhkan energi Migas untuk kegiatan pembangunan.

Impor

Istilah ekspor impor pada hakikatnya adalah suatu transaksi sederhana yang tidak lebih dari membeli dan menjual barang antara pengusaha-pengusaha yang berdomisili di negara-negara yang berbeda. Kegiatan ekspor dan impor didasari oleh kondisi bahwa tidak ada suatu negara yang benar-benar mampu mencukupi segala kebutuhannya secara mandiri. Setiap Negara memiliki karakteristik yang berbeda, baik sumber daya alam, iklim, geografi, demografi, struktur ekonomi dan struktur sosial. Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan komoditas yang dihasilkan, komposisi biaya yang diperlukan, kualitas dan kuantitas produk. Hal itulah yang  secara langsung atau tidak langsung membutuhkan pertukaran barang dan atau jasa antar negara.

Begitupun tentang impor Migas, gejala-gejala kekurangan Migas sesungguhnya sudah disadari semenjak Indonesia melewati zaman keemasan Migas di tahun 80-an. Setelah itu produksi Indonesia berangsur merosot hingga menjadi negara net importir Migas. Indonesia bukan tidak memproduksi Migas, namun Migas yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri. Target Reserve Replacement Ratio (RRR) sebesar 100%, hampir selalu meleset.  Dengan jumlah kebutuhan yang terus meningkat dengan rasio yang lebih tinggi dari jumlah produksi membuat Indonesia susah keluar dari impor Migas. Sejak 2014 hingga saat ini jumlah produksi minyak bumi berkisar di angka 700.000 barel per hari (bph) namun jumlah kebutuhan telah mencapai  1,5 juta bph, sehingga masih dibutuhkan 800.000an bph untuk menutup kebutuhan.

Defisit Transasksi Berjalan

Defisit produksi itu semakin menekan neraca berjalan, terlebih saat harga Migas internasional mengalami kenaikan. Migas adalah komoditi internasional karena semua negara di muka bumi ini  membutuhkan Migas. Transaksi lintas negara itu mengakibatkan harga Migas juga mengalami fluktuasi sesuai dinamika industri Migas global. Tidak ada satu negarapun yang mampu menentukan harga Migas sendirian. Pada saat harga tinggi maka jumlah yang harus dibayar juga semakin tinggi.  Dari Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui neraca dagang Indonesia pada April 2019 defisit US$ 2,50 miliar. Angka ini berasal dari ekspor pada April 2019 sebesar US$ 12,6 miliar dan impor sebesar US$ 15,1 miliar dan utamanya impor Migas. Oleh karena itulah saat ini Migas menjadi tertuduh utama penyebab defisit neraca dagang, maka wajar jika Presiden resah mencari jalan penyelesaian.

Segala transaksi perdagangan barang dan jasa serta pendapatan yang berasal dari investasi asing akan tercatat dalam neraca transaksi berjalan. Dalam neraca transaksi berjalan dikenal istilah defisit transaksi berjalan atau current account deficit, yaitu kondisi keuangan negara dengan angka pertumbuhan impor yang lebih tinggi daripada angka pertumbuhan ekspor. Defisit transaksi berjalan juga didefinisikan sebagai suatu keadaan, dimana tingkat tabungan nasional lebih rendah daripada tingkat investasi suatu negara, yang berarti “besar pasak daripada tiang”. Kalau sebuah negara mencatat defisit transaksi berjalan, berarti negara ini menjadi peminjam neto dari negara-negara lain dan karenanya membutuhkan aliran finansial untuk membiayai defisit ini.

Menurut Indonesia investemen, sejak akhir 2011 Indonesia telah dibebani oleh defisit transaksi berjalan struktural yang menguatirkan para pembuat kebijakan maupun para investor (asing). Meskipun pihak berwenang di Indonesia telah mengimplementasikan reformasi kebijakan dan penyesuaian perekonomian di beberapa tahun terakhir, defisit transaksi berjalan Indonesia hanya sedikit berubah. Bank Dunia memprediksi bahwa defisit transaksi berjalan akan tetap berada sedikit di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB), sangat dekat dengan batasan yang memisahkan defisit yang sustainable dan yang unsustainable. Jika situasi itu tidak segera diperbaiki, maka akan berakibat ketekoran ekonomi negara.

Karena Migas menjadi penyumbang tertinggi deficit transasksi berjalan, sebagai  jalan keluar Pemerintah berniat  membatasi impor Migas. Namun sejatinya  impor Migas bukanlah factor tunggal, justru mengurangi impor Migas menjadi sulit pada saat negara  sedang giat-giatnya  membangun dan memerlukan pasokan energi yang cukup. Terlebih  kegiatan produksi Migas adalah kegiatan yang masih bergantung dari actor dan faktor luar negeri.

Kenyataan

Membatasi impor Migas hanyalah salah satu langkah praktis, lebih dari itu harus didahului dengan langkah-langkah substansial sebagai landasan. Sudah kodratnya manusia bergerak membutuhkan energi, maka pemenuhan kebutuhan energi harus menjadi focus pembangunan. Dari dahulu kita sudah mencanangkan slogan “kemandirian  energi”, namun masih sebatas  slogan, belum diikuti langkah-langkah kongkrit yang konsisten, dilandasi regulasi dan kebijakan yang jelas dan terarah.

Ada beberapa kenyataan yang sedang dihadapi Indonesia dan membutuhkan penanganan yang serius  menyangkut sumber energi Migas. Pertama, produksi minyak mentah Indonesia terus mengalami penurunan alamiah (natural decline period), mengingat minyak adalah sumber energi tak terbarukan. Jika kita abai mengantasipasi situasi itu dengan penemuan sumur-sumur minyak baru atau beralih ke sumber-sumber energi baru seperti nuklir, panas bumi, air, angin, surya, biogas dll, maka suatu saat yang bisa diperkirakan waktunya, kita akan mengahadapi masalah serius berupa krisisi energi.

Kedua, permintaan akan Migas cederung terus meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk. Sementara sebaliknya produksi Migas terus mengalami penurunan. Itu pertanda kemandirian  energi negara sedang terancam dan karenanya Indonesia akan semakin tergantung dari impor sumber energi primer.  Perlu dipahami minyak mentah baru akan menjadi barang bernilai tinggi jika telah diberdayakan secara maksimal melalui suatu proses yang disebut pengolahan di kilang-kilang Minyak. Ironisnya, untuk menutup kekurangan BBM saat ini Indonesia mengimpor dari Singapura, negeri yang tidak memiliki sumber daya alam Migas namun mampu menjadi produsen BBM terbesar dunia. Pesan moralnya  adalah menyedot minyak tanpa didukung infrastruktur pengolahan yang memadai akan menimbulkan biaya tinggi dan ketergantungan asing. Seandainya Indonesia sejak semula mampu menggunakan biaya pengembangan secara optimal untuk penemuan sumur sumur baru dan membangun kilang, maka masalah impor bisa teratasi.  

Ketiga, Indonesia masih memiliki potensi produksi gas alam yang cukup besar. Namun Indonesia lebih suka mengekspor gas dari pada mengkonsumsi sendiri. Masalahnya masih seputar  keterbatasan infrastruktur jaringan gas dan pola pikir masyarakat dan spesifikasi alat-alat produksi masih berorientasi BBM.  Maka menggiatkan penggunaan Gas untuk menggantikan BBM sebagai sumber energi dalam negeri mutlak lebih digiatkan.

Keempat, Tata Kelola Migas labil dan tidak mengakar kepada konstitusi. Untuk mengatasinya perlu dimulai dengan membangun tata kelola Migas yang kokoh berdasar UU Migas baru, sementara pembahasan UU Migas baru itu tidak kunjung selesai sejak tahun 2012. Presiden juga pernah membentuk Tim Reformasi Tata Kelola  Migas dan berhasil merumuskan 12 rekomendasi yang mengarah kepada terwujudnya kemandirian energi. Setelah sekian lama maka pemerintah perlu mengevaluasi apakah rekomendasi itu sudah dijalankan atau hanya dianggap sekedar angin lalu.

Komoditi Konstitusi  

Bisnis Migas adalah bisnis yang menjanjikan keuntungan super besar, wajar jika menjadi incaran para pemburu rente. Mereka akan melakukan segala cara, termasuk diantaranya memasuki partai politik untuk mempengaruhi kebijakan. Gayung bersambut, sebaliknya partai politik ditengah sistem demokrasi liberal dan kapitalistik memerlukan dana besar untuk bisa bertahan hidup, apalagi mampu bersaing. Jika keduanya  bersimbiose maka  akan menjadi ancaman serius bagi negara. Seorang politisi senior mengungkapkan sinyalemennya di UI,  bahwa sistem bernegara di Indonesia kian kompetitif karena setiap urusan bergantung pada uang. Money is power, bukan aklak, bukan kepribadian, bukan attitude, bukan juga ilmu pengetahuan. Above all, money is power (Kompas 4/8/2019).  Maka pidato Presiden tentang impor Migas yang disampaikan  dalam suatu perhelatan partai adalah tepat untuk menjawab situasi itu, sekaligus mengingatkan siapapun, utamanya para politisi, bahwa Migas adalah komoditi yang dilindungi oleh konstitusi, karena di dalamnya terkandung hajat hidup rakyat, ketahahan energi dan kedaulatan Negara. Karenanya jangan pernah bermain-main dengan impor Migas.