Rabu, 01 Juli 2015

SKK Migas Sebagai BUMN Khusus ? (KONTAN)



SKK Migas Sebagai BUMN Khusus ?
Oleh : Junaidi Albab Setiawan, Praktisi Hukum

Sungguh tidak mudah mewujudkan rekomendasi Tim Reformasi Tatakelola Migas untuk merubah Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menjadi BUMN khusus. Karena masalah utama dalam pengelolaan usaha hulu Migas lebih bersifat fundamental, bukan semata mata  persoalan status dan posisi SKK Migas saat ini.

Masalah sesungguhnya adalah, pertama, karena pengaturan Migas paska reformasi justru mengalami penyimpangan orientasi secara hierarkis, sehingga  terdapat kerancuan antar peraturan, selain itu UU BUMN  juga tidak mengenal BUMN khusus. Kedua, SKK Migas adalah satuan kerja darurat yang bersifat sementara hingga waktu terbitnya peraturan migas yang baru. SKK Migas memiliki keunikan dan dari awal dibuat  untuk mengisi kekosongan hukum dan mengatasi  kebuntuan penanganan kegiatan usaha hulu migas akibat putusan MK yang membatalkan BP Migas. Keberadaan SKK Migas  lebih dimaksud untuk melindungi investor-investor yang sudah  mengikat kontrak dengan BP Migas, sehingga SKK Migas bukanlah lembaga permanen. Setelah terbitnya peraturan baru  seharusnya SKK Migas bubar demi hukum.

Migas Sebagai Komoditas

Sebagai contoh kerancuan adalah perihal tujuan pembentukan BP Migas yang kemudian diteruskan oleh SKK Migas. Menurut Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, SKK Migas adalah pengganti peran BP Migas, maka ada baiknya kita sedikit mundur ke belakang guna melihat ketentuan tentang status dan posisi BP Migas. Dari sana akan terlihat bahwa  UU Migas 2001 sebagai peraturan utama  dengan aturan-aturan  pelaksanaan  tidak nyambung,  terutama  dalam hal tujuan pendirian,  Migas  sebagai komoditas  dan ketentuan tentang Kuasa Pertambangan.

Pertimbangan UU Migas No. 22 Tahun 2001 ( UU Migas 2001), huruf b menegaskan bahwa Migas adalah komoditas. Dengan demikian Migas adalah objek perniagaan, sedang perniagaan adalah kegiatan usaha yang bertujuan untuk mencari keuntungan. Barang siapa yang melakukan kegiatan usaha hulu migas  kemudian memperniagakan hasilnya, maka kegiatan tersebut pasti bertujuan untuk mencari keuntungan.

Ketentuan  mengatur bahwa suatu perusahaan yang akan melakukan eksplorasi maupun eksploitasi,  harus mengikat kontrak kerjasama dengan pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan, dimana peran tersebut sekarang dilakukan oleh SKK Migas. Namun yang rancu kemudian adalah ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No 42 tahun 2002  yang mengatur bahwa BP Migas adalah badan hukum yang tidak bersifat untuk mencari keuntungan. Jika migas adalah komoditas, maka semestinya kegiatan BP Migas dalam menandatangani kontrak kerjasama dengan Kontraktor Kontrak Kerjasama Hulu migas  dan kontrak penjualan minyak mentah bagian Negara bertujuan untuk mencari untung, sesuai pasal 11 (g)  Peraturan Pemerintah 42/2002, yakni memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi Negara. Dengan demikian sebagaimana BP Migas, SKK Migaspun tidak memiliki tujuan yang jelas.

Paradigma Lama

SKK migas merupakan bagian organik dari Kementerian ESDM yang dibentuk untuk mengisi peran BP Migas yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012. Dengan demikian keberadaan SKK Migas sebagaimana BP Migas sesungguhnya tidak memiliki akar konstitusionalitas yang kuat.   

Paska putusan MK yang membubarkan BP Migas, untuk sementara peran BP Migas saat ini digantikan oleh SKK Migas. Sebagaimana ditegaskan dalam  Pasal 1 Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan gas Bumi, bahwa SKK Migas adalah satuan kerja dibawah menteri ESDM yang dibentuk agar tidak terjadi kekosongan hukum hingga diterbitkannya peraturan migas yang baru.

Dengan demikian SKK Migas bukanlah badan hukum mandiri  sebagaimana BP Migas (Pasal 4 PP No. 41 Tahun 2002),  namun organ dari kementerian ESDM yang bertugas membina, mengoordinasikan, dan mengawasi penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu migas. SKK Migas memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh BP Migas, karena selain poisisinya di atas, SKK  Migas dalam bekerjanya diawasi oleh Komisi pengawas yang beranggotakan Menteri ESDM, Wakil Menteri Keuangan, Ketua BKPM dan Wakil Menteri ESDM. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Komisi demikian tidak ditemukan pada BUMN manapun yang sepenuhnya tunduk kepada UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas. 

Selain sebagai  regulator dan pengawas, pemerintah melalui SKK Migas  juga adalah pelaksana kuasa pertambangan yang bertugas diantaranya untuk  menandatangani kontrak bisnis kegiatan usaha hulu migas dengan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) serta  menunjuk perusahaan penjual minyak mentah bagian negara. Dengan demikian sejatinya SKK Migas selain berperan sebagai regulator dan pengawas  juga berperan sebagai operator.

Padahal sesuai putusan MK, seyogyanya pemerintah tidak berbisnis, dan lebih tepat sebagai regulator dan pengawas. Kuasa pertambangan sebaiknya diberikan kepada suatu BUMN yang seluruh sahamnya hanya bisa dimiliki oleh Negara seperti Pertamina tempo dulu yang posisinya diatur dengan tegas dalam ketentuan UU Prp No, 40 tahun 1960 (UU Migas 1960). Karena SKK Migas bukan badan hukum mandiri sebagaimana BP Migas, maka SKK Migas lebih baik focus sebagai bagian khusus pemerintah pada posisi regulator dan pengawas.

Paradigma UU Migas 2001 paska reformasi yang lebih berorientasi pasar terbukti telah  mengakibatkan kita mudah terombang ambing. Jika kita tidak berpegang teguh kepada amanat konstitusi maka rekomendasi apapun hanya akan bersifat tambal sulam dan rapuh.

Kuasa Pertambangan.

Untuk memahami dimana sesungguhnya posisi ideal SKK Migas adalah dengan memahami sejarah penerapan kuasa pertambangan dari waktu ke waktu. Kehadiran pihak ketiga dalam kerjasama penambangan harus tidak mempengaruhi posisi negara sebagai pemilik dan penguasa tunggal yang sah atas sumber daya migas. Negara sebagai pemilik adalah pihak yang memegang kendali utama atas migas. Pengendalian itu berbentuk regulasi, perizinan dan pengawasan. Untuk melaksanakan haknya yang disebutkan dalam UUD 1945, negara memerlukan sarana yang dapat menerima delegasi hak “menguasai” dan hak “mempergunakan”. Penerima delegasi kuasa pertambangan untuk selanjutnya bertugas melaksanakan hak negara dalam praktik nyata.  Peran tersebut saat ini berdasar pasal 4 (2) UU Migas 2001 dijalankan oleh pemerintah.  
 
Sejak Indonesia merdeka, Kuasa Pertambangan selalu diatur hampir di semua ketentuan pengelolaan migas yang pernah berlaku. Pasal 1 huruf h UU Migas  1960 mengartikan  kuasa pertambangan sebagai wewenang yang diberikan kepada perusahaan  negara untuk melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi. Berbeda dengan definisi kuasa pertambangan dalam UU Migas 2001 pasal 1 angka 5 yang menentukan bahwa kuasa pertambangan diberikan kepada pemerintah, UU Migas 1960 justru secara tegas menentukan bahwa kuasa pertambangan diberikan kepada perusahaan negara semata-mata. Lebih jauh hal ini diperjelas dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina.  Pasal 11 ayat (1) menentukan bahwa kuasa pertambangan kepada perusahaan disediakan seluruh wilayah hukum pertambangan Indonesia.

Menjadikan SKK Migas sebagai BUMN khusus untuk berbisnis dalam kegiatan usaha hulu migas sama saja mengulangi sejarah  peran Pertamina tempo dulu dan kembali kepada UU Migas 1960 dimana kuasa pertambangan hanya diberikan kepada perusahaan Negara semata-mata. Posisi ini tentu terhalang oleh ketentuan pasal 4 (3) UU Migas 2001 bahwa kuasa pertambangan diberikan kepada Pemerintah.

Pengaturan tentang kuasa pertambangan migas ini hingga kini masih terus bergeser. Pergeseran ini menandakan bahwa Negara masih mencari posisi hukum yang tepat dalam memberikan kuasa pertambangan. Dan pertanyaan besar dari pencarian itu adalah kepada siapa sebaiknya kuasa pertambangan itu diberikan.   Kepada SKK Migas yang sekaligus berperan sebagai regulator dan pengawas, ataukah kepada BUMN yang sepenuhnya milik negara yang hanya berperan sebagai operator bisnis migas.

CATATAN DARI SIDANG RUDI RUBIANDINI



INDONESIA DALAM DARURAT PENGELOLAAN MIGAS
(Catatan dari sidang Rudy Rubiandini)

Oleh : Junaidi Albab Setiawan
Advokat, Penasehat Hukum Rudy Rubiandini

D
ebat Cawapres beberapa malam lalu semakin menegaskan keberadaan mafia Migas, dan ketidakmampuan kita sebagai bangsa mengatasi masalah itu dan berhenti di wacana saja. Putusan perkara korupsi Rudy Rubiandini (RR) telah menjadi putusan tetap (in kracht van gewijsde) menyusul sikap hokum Jaksa Penuntut Umum KPK yang tidak mengajukan banding terhadap putusan tersebut,  setelah melewati  masa pikir pikir 7 (tujuh) hari sejak diputuskan sebagaimana diatur oleh undang-undang. Tanggapan RR terhadap putusan  tersebut terucap dalam kalimat singkat  bahwa dirinya  “Tidak puas tapi ikhlas”. Ungkapan itu  adalah ungkapan yang paling tepat untuk disampaikan oleh RR  mantan kepala SKK Migas yang tertangkap tangan menerima titipan gratifikasi di rumahnya.  Mengapa iklas dan mengapa tidak puas? Tentu terdapat alasan yang menyertainya. Iklas karena disadari dalam peristiwa ini tangan Tuhanlah yang sedang bekerja, karena pada faktanya dan sulit ditolak kebenarannya bahwa Deviardi pergi  kerumah RR dengan membawa uang gratifikasi dalam jumlah dan bentuk yang tidak normal dan ditinggalkan di rumah RR. Mengapa tidak puas? Karena terlepas dari kenyataan yang harus diterima dengan iklas itu, KPK semestinya lebih mendalami motive apa sehingga  RR bersedia menerima hadiah itu?, dari titik itulah maka permaslahan RR ini akan lebih bermakna bagi pemberantasan korupsi karena dapat memasuki wilayah korupsi  dalam pengelolaan Minyak dan gas (Migas)  yang sesungguhnya, tapi nyatanya masalah utama itu justru kurang mendapatkan perhatian yang serius.

Dalam peristiwa ini, RR semestinya diposisikan sebagai korban keganasan korupsi, mafia Migas,  di dalam perbisnisan Migas. Karena RR adalah pendatang  yang tidak dikehendaki namun berani “berulah” sehingga mengusik ketenangan, kemapanan dan kenyamanan  para  penikmat Migas saat ini.  Karena orang orang itu tidak terlihat nyata, apalagi jika dilihat dari parameter hukum. Namun jika dilihat dari kerusakan yang ditimbulkannya,  Mereka bisa jadi terdiri dari  oknum-oknum stakeholder kunci dari berbagai kepentingan baik sebagai praktisi maupun politisi yang dalam posisinya, berdasarkan aturan kekuasaan maupun sistem  pemerintahan, menguasai semua fungsi dan peran strategis baik karena posisinya dapat berpengaruh dalam menentukan  menentukan  kebijakan Migas. Dan tidak ketinggalan tentu peran  “cukong-cukong” pemburu rente yang menghalalkan segala cara untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari usaha  Migas. Bertahun-tahun mereka telah bersatu padu saling menyokong dan membutuhkan dengan perannya masing-masing dalam satu kepentingan dan pantang untuk diganggu gugat.

Dari berita acara pemeriksaan (BAP)  yang dibuat oleh KPK dalam kasus RR, sudah tersurat dan  tersirat betapa bisnis Migas ini menjadi magnet yang sanggup menarik nama-nama besar dalam dunia politik dan pemerintahan maupun bisnismen dalam dan luar negeri  untuk masuk terlibat bermain di dalamnya.

Di dalam konstitusi  kita ditegaskan bahwa Migas  dikategorikan sebagai  harta kekayaan alam yang langsung dikuasai oleh  negara yang harus dikelola dan dimanfaatkan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat. Namun sejauh ini harapan tersebut masih sebatas harapan yang tak kunjung menjadi kenyataan. Dalam praktek ternyata Migas masih  gagal dimanfaatkan secara maksimal untuk tujuan mensejahterakan rakyat. Hal itu karena  ternyata  para stakeholder utama tidak berdaya berhadapan dengan system politik dan  ekonomi   yang menyandera kemandirian mereka, sehingga yang tumbuh subur justru  perilaku sebaliknya. Hal itu tercermin dari sikap para pelaku yang lebih mengutamakan  kepentingan pribadi, kelompok, golongan dan kepentingan partai masing-masing.  Akibatnya pengelolaan Migas yang menjadi tulang punggung pendapatan Negara dikelola secara tidak professional dan kurang transparan sehingga kurang memberikan hasil yang maksimal. Pengelolaan Migas bagai terkotak-kotak sesuai kepentingan dan kiblat politik pengelolanya. Padahal Migas merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh Negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat tanpa perbedaan.

Saat ini kasus Rudy Rubiandini telah membangunkan kita semua dan memberi kesadaran betapa pengelolaan Migas kita dalam situasi darurat dan jauh dari harapan.  Peristiwa RR itu harus diberi garis bawah dan dijadikan pintu masuk (entry point) dalam mengurai silang sengkarut pengelolaan Migas yang tidak kunjung  membaik dari waktu ke waktu dan dari rezim ke rezim. Kalau ada sekalangan orang  yang mempersempit permasalahan RR dengan pendapat sempit sekedar untuk menghukum RR dengan hukuman yang berat dengan harapan akan berefek jera pada dirinya dan pada yang lain, dan pada ujungnya diharap  dapat mengakhiri  permasalahan Migas, maka pendapat tersebut adalah sungguh keliru. Pidana penjara berapapun lamanya atau bahkan menimpakan seluruh kesalahan dan kebobrokan dalam pengelolaan Migas yang terjadi sejak dahulu dari rezim ke rezim hanya kepundak RR,  yang baru menjabat kepala SKK Migas selama  7 (tujuh) bulan,  tidak akan membawa manfaat bagi penertiban pengelolaan Migas. Karena yang dibutuhkan dan harus segera dilakukan saat ini adalah  menutup rapat-rapat peluang korupsi  di sektor Migas sejak hulu hingga hilir bahkan sejak pembuatan regulasinya.    

Mengingat strategisnya Migas, semestinya  siapapun yang bermaksud  memberantas penyakit  yang telah menahun ini, segera   membuat sebuah desain penertiban yang sistematis dilakukan secara holistic dan serentak, sehingga  menghasilkan manfaat yang besar bagi upaya pemberantasan korupsi di sektor Migas, dan dalam rangka itu orang-orang dengan keahlian khusus dan langka seperti RR dapat dibebani hukuman selaku nara sumber  sebagai  tambahan hukuman, karena dengan hanya mengurung RR di balik jeruji tidak akan mendatangkan manfaat apa-apa bagi pemberantasan korupsi di sektor Migas ini.  Sistem hukuman tambahan  ini memang belum memiliki dasar hokum tapi patut kita pikirkan,  diilhami oleh film Catch Me If You Can,  yang dibintangi Reonaldo DiCaprio, sebuah film drama biograpi kejahatan yang bersumber  dari kisah hidup  Frank Abagnale. Dimana seorang penjahat bank, dengan keahliannya dihukum untuk membantu membongkar   kejahatan sejenis bahkan yang lebih besar, tentu saja dengan kompensasi berupa pengurangan hukuman. Hanya bedang RR bukanlah penjahat seperti Frank.

Upaya penertiban SKK Migas  sebenarnya telah dimulai oleh RR sejak menjabat sebagai kepala SKK Migas,  setelah melakukan  evaluasi dan konsolidasi internal,   pada bulan ke tiga di masa jabatannya RR  telah cukup tegas memecat seorang mantan deputy KPK dari SKK Migas  dan berani mengirimkan “signal” melalui surat resmi kepada KPK  untuk bekerjasama menertibkan SKK Migas, namun rupanya signal itu dipandang sebelah mata dan tidak ditanggapi, karena bagi pihak tertentu signal itu dimaknai sebagai ancaman bagi kepentingan mereka. Upaya awal itu sebenarnya harus segera  didalami. Upaya RR sudah pasti tidak berjalan mulus dan bahkan di internalpun mengalami hambatan dan serangan balik yang cukup keras, bahkan disertai  berbagai upaya menyingkirkan RR dari SKK Migas, upaya perlawanan itu terus terjadi dan dilakukan oleh pihak-pihak yang terancam kepentingannya. Rencana  RR untuk menerapkan e-procurement yang membuat lelang-lelang di dalam pengelolaaan dan pemanfaatan Migas menjadi transparan  dan terukur tentu sangat mengkawatirkan semua pemain Migas,  karena akan menutup peluang intervensi dalam menentukan pemenang lelang,  dll. Belum lagi  upaya membongkar kasus-kasus besar korupsi Migas  dalam pengelolaan Migas yang pernah terjadi, kasus-kasus ini diindikasikan telah menimbulkan kerugian kepada Negara dalam jumlah yang sangat fantastis namun mangkrak dan tidak terurus. Upaya-upaya RR ini tentu dimaksudkan sebagai trigger kearah pembenahan, namun ternyata banyak disalah pahami  dan ditentang oleh berbagai kepentingan yang sudah terlanjur mapan menikmati  Migas dalam system pengelolaan yang korup.

Membongkar kejahatan-kejahatan besar dalam pengelolaan Migas tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang tidak berani menghadang risiko, dan faktanya sejauh ini dokumen-dokumen itu hanya menjadi onggokan kertas tanpa arti,  dan beberapa dokumen itu kini sudah disampaikan oleh RR kepada seluruh komisioner KPK. Saat ini tidak ada manfaatnya seorang RR dengan ilmu dan pengalamannya yang cukup mumpuni di bidang Migas  terkurung dibalik jeruji, tapi  lebih bermanfaat jika RR dimanfaatkan oleh KPK untuk membongkar lebih jauh gurita korupsi di bidang Migas. Para pelaku kakap korupsi di dunia Migas ini sesungguhnya masih berkeliaran dengan segala status dan kehormatannya  dan orang-orang itulah bahkan yang memiliki potensi daya rusak yang dahsyat karena kemampuan financial dan kekuatan politiknya. Inilah kiranya hal-hal utama yang membuat RR tidak puas.
Bidang Migas ini telah dikelola dan dipimpin oleh orang-orang besar di pemerintah, nama-nama besar seperti  Poernomo Yusgiantoro yang pernah menjabat sebagai menteri Pertambangan dan Energi di beberapa kabinet sejak 2001 sampai dengan 2009 bahkan saat ini masih menjabat dalam jabatan strategis sebagai  menteri  Pertahanan,  kemudian Koentoro Mangkusubroto sekarang  Kepala UKP4 (Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) yang berhasil memimpin restorasi Aceh dan Nias dari bencana Tsunami , dan bahkan tidak kurang Presiden RI dalam dua kali masa jabatan  sampai sekarang  Susilo Bambang Yudoyono (SBY)  adalah bekas menteri  ESDM.  Namun ironisnya  hingga sekarang pengelolaan bidang Migas ini gagal menghasilkan orang-orang besar yang mampu menerapkan  system pengelolaan yang transparan, accountable dan berorientasi kepada penghasilan Migas yang maksimal bagi Negara demi  kemaslahatan seluruh rakyat. Bahkan ditengarai sistem yang dipakai saat ini masih menimbulkan potensi koruptif karena mudah diintervensi dari luar dan mudah disalahgunakan untuk kepentingan segelintir para pelaku pengelola dan pembisnis minyak. Jika tidak dilakukan pembenahan dan pemberantasan secara  terpadu dan massif maka sampai kapanpun permasalahan korupsi dalam pemanfaatan Migas ini akan terus terjadi dan berulang bagai “kutukan” bagi bangsa ini.

Inilah beberapa titik rawan  yang perlu diwaspadai dalam pengelolaan Migas, yakni  pada penunjukan wilayah kerja dan kontrak kerja sama, pengawasan proses produksi, perpanjangan kontrak kerjasama, manipulasi data cost recovery, pipeline, transportasi terutama sewa tanker (shiping), lelang pengadaan dan  lelang penunjukan penjual Migas bagian Negara, penjualan di luar Kontrak production sharing di laut lepas, dll. Saat ini  kendali atas semua urusan  itu  ada ditangan   Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (disingkat: SKK Migas), adalah institusi yang dibentuk oleh Pemerintah RI melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Badan ini menggantikan BP.MIGAS yang dibubarkan Mahkamah Konstitusi pada 13 November 2012 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. SKK Migas bertugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama. Pembentukan lembaga ini dimaksudkan supaya pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.  

Dalam tugasanya SKK Migas menyelenggarakan fungsi sebagai kepanjangan tangan Negara, sebagai pemilik, pengatur, pelaku dan pengawas di bawah koordinasi kementerian ESDM , menyangkut hal-hal sebagai berikut; 1. Penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama; 2. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; 3. Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan untuk mendapatkan persetujuan;  memberikan persetujuan rencana pengembangan selain sebagaimana dimaksud dalam poin sebelumnya;  memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; 4. Melaksanakan monitoring dan melaporkan pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;   dan 5. Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.

Fungsi ini sangat strategis dan menjadi pusat daya tarik bagi para pelaku bisnis Migas. Seseorang atapun badan lembaga yang dipercaya untuk mengelola  Migas diibaratkan seperti gula. Seorang kepala SKK Migas misalnya,  hanya dengan  duduk di kantor tanpa harus berbuat sesuatu, orang akan datang tanpa diminta, menghampiri dan menawarkan berbagai hadiah dan  fasilitas dengan motivenya masing-masing. Dengan situasi dan kondisi itu pula maka selama ini  SKK Migas dianggap sebagai lahan basah yang mendatangkan uang melimpah  jika ukurannya hanya  sekedar  kepentingan pribadi dan sekelompok organisasi. Sehingga pengelola Migas termasuk SKK Migas kerap diposisikan sebagai  “sapi perah” sumber pelicin untuk memuluskan kepentingan bisnis, politis maupun  kepentingan hubungan  lintas pemerintahan. Pernah diawal RR menjabat sebagai kepala SKK Migas, RR dikagetkan oleh tagihan hutang sebesar 1 juta US dollar yang konon diwarisi dari pendahulunya.  Seorang Kepala SKK Migas dalam posisinya, dipaksa oleh keadaan untuk mengakomodir kepentingan itu, lebih tidak berdaya lagi jika “tekanan” itu dilakukan dengan meminjam tangan oknum penguasa atau oknum-oknum dalam lingkaran kekuasaan.  Dan pada akhirnya, jalan keluar untuk menghindar dari tekanan itu pilihannya  hanya dua, yakni mundur dari jabatan  atau melawan yang berarti siap mati. Hal  itu sama artinya bahwa penguasa Migas yang sesungguhnya saat ini bukanlah Negara dalam artian teoritis ketatanegaraan, namun gabungan dari kekuatan politik dalam maupun luar negeri, termasuk didalamnya oknum-oknum yang dekat ataupun memiliki akses kepada penguasa dan kekuatan bisnis  yang dikuasai oleh beberapa gelintir orang dari dalam negeri maupun asing. Hal ini tidak mengherankan karena Migas merupakan komoditas yang sangat menghasilkan keuntungan dan dinilai penting tidak saja pada masa lalu dan saat ini, tetapi masih akan berperan sebagai penyumbang terbesar energi dunia beberapa decade ke depan.
Tanpa kerja besar berupa penataan ulang pengelolaan Migas secara lebih berperi kerakyatan, modern dan terbuka maka permasalahan Migas ini tidak akan pernah selesai. Migas berperan stategis dalam menopang ekonomi dan menggerakkan pembangunan Indonesia karena posisinya sebagai sumber pendapatan terbesar diluar pajak, Migas bukanlah komoditi biasa, selain nilai ekonomisnya yang tinggi Migas juga dikenal sebagai alat politik, bahkan dikenal adagium “siapa menguasai Migas dialah penguasa yang sesungguhnya”. Sekalipun konstitusi kita sudah menggariskan dengan sangat tegas bahwa sebagai penguasa tunggal Migas adalah negara, namun ternyata kekuasaan Negara itu masih dengan mudah dibelokkan, disalah gunakan dan disalah tafsirkan.