Rabu, 01 Juli 2015

MEMBANGUN NEGARA HUKUM (KONTAN)


Membangun Negara Hukum


Komitmen Indonesia  sebagai negara hukum (rechsstaat) sebagaimana tertuang dalam pasal 1 (3) UUD 45  yang berbunyi “Negara Indonesia dalah negara hukum”,  belakangan ini sedang diuji. Masyarakat dibingungkan oleh berbagai silang sengkarut praktek kehidupan bernegara. Tak terkecuali para penegak hukum yang seharusnya mandiri, independent dan non partisan terseret dalam pergolakan dan  cenderung ikut larut dalam arus politik. Berbagai kepentingan bersaing, berbenturan dan berhadap hadapan seperti tidak saling mengenal satu sama lain, saling menjatuhkan dan sibuk mengutamakan ego masing masing. Negara seperti berjalan tanpa arah tujuan apalagi pegangan.


Sedari dahulu telah disadari bahwa  pergolakan dan benturan  antar manusia dan antar kelompok akan selalu terjadi, sebagaimana sinyalemen Mchiavelli (1469-1527), seorang filsuf masa Renaisans yang menggambarkan “Manusia tidak baik sama sekali, secara dasar mereka jahat dan egois, rupa dan sifat mereka berbeda satu sama lain”.  Dan sinyalemen itu diperkuat filsuf lain, Hobes (1588-1679), sebagaimana dicatat dalam teorinya  “pergolakan semua orang”, bahwa “manusia sudah egois sejak lahir disebabkan sifat alamiahnya, mereka akan selalu bertengkar, namun dimaklumi manusia harus menjaga kedamaian dan kelangsungan hidup dari kebencian dan ketidak percayaan yang disebut keegoisan diri”.



Negara Hukum


Kondisi di atas menimbulkan pertanyaan mendasar, benarkah Indonesia ini negara hukum ? Negara yang bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik, dimana seluruh aspeknya telah diatur dalam suatu hirarki perundang undangan yang wajib ditaati. Dalam suatu negara hukum menurut  Mohammad Yamin, yang berkuasa bukanlah manusia lagi melainkan peraturan yang telah disepakati dan dibuat sendiri oleh segenap warga negara.


Membangun negara hukum itu tak akan pernah berujung. Kata Profesor Satjipta Rahardjo, “Mendirikan negara hukum tidak sama dengan memancangkan papan nama dan sim-salabim semuanya selesai, itu baru awal dari pekerjaan besar membangun sebuah proyek raksasa yang bernama negara hukum”. Membanguan negara hukum itu memerlukan pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran yang tak kenal lelah serta partisipasi dan kesadaran dari segenap anggota bangsa tanpa kecuali.


Hukum itu dinamis dan merupakan  cermin keadaan masyarakat saat hukum diciptakan, Hukum itu adalah hasil dari dialektika segenap anggota masyarakat yang dipengaruhi factor luar dan dalam saat  hukum diciptakan. Hukum itu sejatinya adalah kesepakatan komunal untuk mengatur kehidupan bersama.  Merumuskan hukum itu sebuah proses tarik ulur dan tawar menawar, adu konsep adu argumen dan adu kekuatan, namun sekali hukum telah dirumuskan maka tidak lagi dapat ditawa-tawar dan dibelok belokkan sesuai kehendak politik.


Dahulu hokum adalah apa kata Raja,  Raja dianggap sebagai wakil Tuhan, maka titah raja tak terbantahkan sebagai sumber hukum dan itulah hukum mutlak karena otoritasnya tak terbatas. Namun sejalan dengan kehidupan yang semakin meluas dan melebar serta kompleknya  lalu  lintas hubungan antar individu, titah raja dirasa tidak cukup mamadai untuk mengatasi persoalan.  Maka raja mengumpulkan orang cerdik cendekia dari seentero negeri untuk berembuk memutus persoalan bangsa maupun persoalan masyarakat.


Seiring berjalannya waktu mereka mengumpulkan ajaran moral, adat istiadat, berbagai kesepakatan dan keputusan hukum yang kemudian diaabstraksi dalam suatu azas hukum. Dari sana selanjutnya diterjemahan menjadi berbagai norma hukum dan  dikumpulkan dalam suatu kitab hukum (kodifikasi hukum). Putusan-putusan (precedent hokum) dan undang-undang itulah yang dijadikan pedoman dan rujukan dalam mengatasi persoalan.


Jangan menyamakan kaum cerdik pandai kala itu dengan para politisi saat ini, karena para cerdik pandai kala itu benar benar dipilih dari orang-orang yang pada zamannya mumpuni pengetahuannya serta memiliki ketahanan moral yang  telah teruji, sehingga mereka adalah orang-orang terpercaya yang bisa memegang amanah, terbiasa menepati janji dan mengutamakan kepentingan masyarakat. Eksistensi mereka diuji dan diseleksi oleh alam. Untuk menjadi cerdik pandai mereka tidak perlu kampanye, beriklan, membeli suara dukungan atau memfitnah demi menjatuhkan orang lain.  


Hukum dan Kekuasaan


Dalam suatu negara hukum, maka kedudukan hukum menempati posisi tertinggi, kekuasaan harus tunduk kepada hukum bukan sebaliknya hukum tunduk pada kekuasaan. Bila hukum tunduk kepada kekuasaan, maka hukum dapat  dirubah atau dibatalkan menurut kehendak penguasa, dengan kata lain hukum dijadikan alat untuk membenarkan perilaku menyimpang dari penguasa. 


Dalam perkembangan hukum modern, dengan syarat dan prosedur  tertentu presiden atau raja menjadi simbul pemersatu dan memiliki hak istimewa untuk mengundangkan peraturan dan berhak memilih orang orang suci, adil bijaksana yang akan menjadi “tangan kanan” dalam menegakkan hukum. Sebagai contoh, di Indonesia saat ini Jaksa agung dan kepolisian berada di dibawah kekuasaan Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan yang langsung dipilih oleh rakyat. Maka Presiden seharusnya menggunakan posisinya itu sebagai simbul hukum dengan memilih orang-orang terbaik untuk menjadi Jaksa Agung ataupun Kapolri. Karena mereka akan menjadi alat hukum bukan alat politik. Mereka harus jauh dari pengaruh dan kepentingan politik (syahwat berkuasa) dan kepentingan ekonomi para cukong pemburu rente. Jika itu terjadi maka niscaya hukum hanya akan menjadi alat politik untuk melanggengkan dan mengamankan kekuasaan sebagai alat pemaksa dan mengintimidasi. Oleh karena itulah maka wajar saat ini sangat terlihat ambisi  para politisi untuk menempatkan orang-orangnya sebagai “penguasa hukum”.


Refleksi


Kembali ke zaman kini, sekali kita memproklamasikan diri sebagai negara hukum maka berarti hukum adalah panglima. Proklamasi sebagai negara hukum itu tidak sederhana karena membutuhkan kerja keras dan pengorbanan dan pergulatan dari waktu ke waktu. Kunci keberhasilannya adalah pada komitmen dari pemimpin dan para tokoh masyarakat serta segenap rakyatnya. Mereka tidak boleh melanggar dan mundur dari komitmen dengan membelakangi hukum, apalagi kongkalikong berselingkuh menghianati hukum dan memperalatnya untuk kepentingan ego kelompok, koalisi dan golongan.


Setiap terjadi pergesekan dan perbenturan antar anggota masyarakat di suatu negara hukum,  maka larilah mereka   mengadu ke hadapan hukum, mencari rujukan dan dasar dengan harapan mendapat jalan penyelesaian dari hukum. Jika undang-undangnya sudah tidak lagi dianggap mampu untuk menampung kehendak rakyat dan tidak mampu menjadi pedoman dan rujukan bersama dalam bernegara dan mengatasi persoalan bersama sesuai  tuntutan zaman, maka undang-undang bisa direvisi atau bahkan diganti. Merubah undang-undang tidak diharamkan, sebagia contoh kita pernah memberlakukan  tiga konstitusi yakni UUD 45, UUDS, UUD RIS dan kembali ke  UUD 45, bahkan UUD 45 pun pernah dirubah beberapa kali.


Karena pada dasarnya hukum dicipta untuk  manusia bukan hukum untuk hukum. Namun penggantian harus dilakukan dengan tujuan dan cara yang bermoral sesuai tuntutan nurani paling dalam, karena yang adil dan benar itu pasti logis dan bisa diterima oleh akal sehat. Membangun hukum melalui proses try and error itu wajar, namun dengan syarat pembenahan itu terjadi secara alamiah, bukan sengaja dibelokkan untuk kepentingan kekuasaan. Jika tidak dicoba maka kita tidak akan  pernah tahu letak kesalahan dan kelemahan peraturan dan padaakhirnya kita tidak akan pernah menemukan yang terbaik, karena sudah menjadi kodratnya setiap zaman mempunyai karakternya sendiri sesuai keadaan dan tantangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar