Membangun Negara Hukum
Komitmen Indonesia sebagai negara hukum (rechsstaat) sebagaimana tertuang
dalam pasal 1 (3) UUD 45 yang berbunyi “Negara
Indonesia dalah negara hukum”, belakangan ini sedang diuji. Masyarakat
dibingungkan oleh berbagai silang sengkarut praktek kehidupan bernegara. Tak
terkecuali para penegak hukum yang seharusnya mandiri, independent dan non partisan
terseret dalam pergolakan dan cenderung
ikut larut dalam arus politik. Berbagai kepentingan bersaing, berbenturan dan
berhadap hadapan seperti tidak saling mengenal satu sama lain, saling
menjatuhkan dan sibuk mengutamakan ego masing masing. Negara seperti berjalan
tanpa arah tujuan apalagi pegangan.
Sedari dahulu telah disadari bahwa pergolakan dan benturan antar manusia dan antar kelompok akan selalu
terjadi, sebagaimana sinyalemen Mchiavelli
(1469-1527), seorang filsuf masa Renaisans yang menggambarkan “Manusia
tidak baik sama sekali, secara dasar mereka jahat dan egois, rupa dan sifat
mereka berbeda satu sama lain”. Dan sinyalemen
itu diperkuat filsuf lain, Hobes
(1588-1679), sebagaimana dicatat dalam teorinya “pergolakan semua orang”, bahwa “manusia
sudah egois sejak lahir disebabkan sifat alamiahnya, mereka akan selalu bertengkar,
namun dimaklumi manusia harus menjaga kedamaian dan kelangsungan hidup dari
kebencian dan ketidak percayaan yang disebut keegoisan diri”.
Negara Hukum
Kondisi di atas menimbulkan pertanyaan
mendasar, benarkah Indonesia ini negara hukum ? Negara yang bersandar pada
keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil
dan baik, dimana seluruh aspeknya telah diatur dalam suatu hirarki perundang
undangan yang wajib ditaati. Dalam suatu negara hukum menurut Mohammad
Yamin, yang berkuasa bukanlah manusia lagi melainkan peraturan yang telah
disepakati dan dibuat sendiri oleh segenap warga negara.
Membangun negara hukum itu tak akan pernah
berujung. Kata Profesor Satjipta Rahardjo, “Mendirikan negara hukum tidak sama dengan
memancangkan papan nama dan sim-salabim semuanya selesai, itu baru awal dari
pekerjaan besar membangun sebuah proyek raksasa yang bernama negara hukum”.
Membanguan negara hukum itu memerlukan pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran
yang tak kenal lelah serta partisipasi dan kesadaran dari segenap anggota
bangsa tanpa kecuali.
Hukum itu dinamis dan merupakan cermin keadaan masyarakat saat hukum
diciptakan, Hukum itu adalah hasil dari dialektika segenap anggota masyarakat
yang dipengaruhi factor luar dan dalam saat
hukum diciptakan. Hukum itu sejatinya adalah kesepakatan komunal untuk
mengatur kehidupan bersama. Merumuskan
hukum itu sebuah proses tarik ulur dan tawar menawar, adu konsep adu argumen dan
adu kekuatan, namun sekali hukum telah dirumuskan maka tidak lagi dapat
ditawa-tawar dan dibelok belokkan sesuai kehendak politik.
Dahulu hokum adalah apa kata Raja, Raja dianggap sebagai wakil Tuhan, maka titah
raja tak terbantahkan sebagai sumber hukum dan itulah hukum mutlak karena otoritasnya
tak terbatas. Namun sejalan dengan kehidupan yang semakin meluas dan melebar
serta kompleknya lalu lintas hubungan antar individu, titah raja
dirasa tidak cukup mamadai untuk mengatasi persoalan. Maka raja mengumpulkan orang cerdik cendekia
dari seentero negeri untuk berembuk memutus persoalan bangsa maupun persoalan
masyarakat.
Seiring berjalannya waktu mereka mengumpulkan
ajaran moral, adat istiadat, berbagai kesepakatan dan keputusan hukum yang
kemudian diaabstraksi dalam suatu azas hukum. Dari sana selanjutnya
diterjemahan menjadi berbagai norma hukum dan dikumpulkan dalam suatu kitab hukum
(kodifikasi hukum). Putusan-putusan (precedent hokum) dan undang-undang itulah
yang dijadikan pedoman dan rujukan dalam mengatasi persoalan.
Jangan menyamakan kaum cerdik pandai kala itu
dengan para politisi saat ini, karena para cerdik pandai kala itu benar benar
dipilih dari orang-orang yang pada zamannya mumpuni pengetahuannya serta
memiliki ketahanan moral yang telah
teruji, sehingga mereka adalah orang-orang terpercaya yang bisa memegang
amanah, terbiasa menepati janji dan mengutamakan kepentingan masyarakat. Eksistensi
mereka diuji dan diseleksi oleh alam. Untuk menjadi cerdik pandai mereka tidak
perlu kampanye, beriklan, membeli suara dukungan atau memfitnah demi
menjatuhkan orang lain.
Hukum
dan Kekuasaan
Dalam suatu negara hukum, maka kedudukan hukum menempati
posisi tertinggi, kekuasaan harus tunduk kepada hukum bukan sebaliknya hukum
tunduk pada kekuasaan. Bila hukum tunduk kepada kekuasaan, maka hukum dapat dirubah atau dibatalkan menurut kehendak
penguasa, dengan kata lain hukum dijadikan alat untuk membenarkan perilaku menyimpang
dari penguasa.
Dalam perkembangan hukum modern, dengan syarat
dan prosedur tertentu presiden atau raja
menjadi simbul pemersatu dan memiliki hak istimewa untuk mengundangkan peraturan
dan berhak memilih orang orang suci, adil bijaksana yang akan menjadi “tangan
kanan” dalam menegakkan hukum. Sebagai contoh, di Indonesia saat ini Jaksa
agung dan kepolisian berada di dibawah kekuasaan Presiden sebagai kepala negara
dan pemerintahan yang langsung dipilih oleh rakyat. Maka Presiden seharusnya
menggunakan posisinya itu sebagai simbul hukum dengan memilih orang-orang
terbaik untuk menjadi Jaksa Agung ataupun Kapolri. Karena mereka akan menjadi
alat hukum bukan alat politik. Mereka harus jauh dari pengaruh dan kepentingan
politik (syahwat berkuasa) dan kepentingan ekonomi para cukong pemburu rente. Jika
itu terjadi maka niscaya hukum hanya akan menjadi alat politik untuk
melanggengkan dan mengamankan kekuasaan sebagai alat pemaksa dan mengintimidasi.
Oleh karena itulah maka wajar saat ini sangat terlihat ambisi para politisi untuk menempatkan orang-orangnya
sebagai “penguasa hukum”.
Refleksi
Kembali ke zaman kini, sekali kita memproklamasikan
diri sebagai negara hukum maka berarti hukum adalah panglima. Proklamasi sebagai
negara hukum itu tidak sederhana karena membutuhkan kerja keras dan pengorbanan
dan pergulatan dari waktu ke waktu. Kunci keberhasilannya adalah pada komitmen
dari pemimpin dan para tokoh masyarakat serta segenap rakyatnya. Mereka tidak
boleh melanggar dan mundur dari komitmen dengan membelakangi hukum, apalagi
kongkalikong berselingkuh menghianati hukum dan memperalatnya untuk kepentingan
ego kelompok, koalisi dan golongan.
Setiap terjadi pergesekan dan perbenturan antar
anggota masyarakat di suatu negara hukum,
maka larilah mereka mengadu ke
hadapan hukum, mencari rujukan dan dasar dengan harapan mendapat jalan
penyelesaian dari hukum. Jika undang-undangnya sudah tidak lagi dianggap mampu
untuk menampung kehendak rakyat dan tidak mampu menjadi pedoman dan rujukan
bersama dalam bernegara dan mengatasi persoalan bersama sesuai tuntutan zaman, maka undang-undang bisa
direvisi atau bahkan diganti. Merubah undang-undang tidak diharamkan, sebagia
contoh kita pernah memberlakukan tiga
konstitusi yakni UUD 45, UUDS, UUD RIS dan kembali ke UUD 45, bahkan UUD 45 pun pernah dirubah
beberapa kali.
Karena pada dasarnya hukum dicipta untuk manusia bukan hukum untuk hukum. Namun penggantian harus dilakukan dengan tujuan
dan cara yang bermoral sesuai tuntutan nurani paling dalam, karena yang adil
dan benar itu pasti logis dan bisa diterima oleh akal sehat. Membangun hukum
melalui proses try and error itu wajar, namun dengan syarat pembenahan itu terjadi
secara alamiah, bukan sengaja dibelokkan untuk kepentingan kekuasaan. Jika
tidak dicoba maka kita tidak akan pernah
tahu letak kesalahan dan kelemahan peraturan dan padaakhirnya kita tidak akan
pernah menemukan yang terbaik, karena sudah menjadi kodratnya setiap zaman
mempunyai karakternya sendiri sesuai keadaan dan tantangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar