Rabu, 01 Juli 2015

PERTAMINA DI PERSIMPANGAN JALAN (KONTAN)


Pertamina Di Simpang Jalan

Oleh : Albab Setiawan, Praktisi Hukum,

Mahasiswa S3 Ilmu Hukum UGM


Untuk mewujudkan kedaulatan energi bangsa, tugas mendesak Pemerintah saat ini adalah segera membawa Pertamina kembali ke jalan yang benar. Jalan yang dicita citakan oleh para pendiri bangsa sebagaimana tertuang dalam konstitusi. Sekalipun upaya itu akan berhadapan dengan situasi pelik, karena kita tidak memiliki UU migas yang bervisi jelas sebagai penjabaran konstitusi.

Banyak kalangan menilai  UU No 22 Tahun 2001 (UU Migas 2001) tidak mengakar dan kurang bobot legitimasinya sebagai penopang terwujudnya kedaulatan energi bangsa. Terlebih paska putusan MK yang membatalkan ketentuan tentang pelaksanaan  hak menguasai negara atas migas membuat UU Migas 2001 menjadi cacat format dan kehilangan orientasi.

Ironisnya UU ini juga melucuti kewenangan negara dalam mengusahakan migas melalui Pertamina. Paska reformasi, Pertamina diarahkan  oleh UU Migas 2001  menjadi perusahaan biasa yang berorientasi  bisnis semata. Padahal Pertamina mengemban misi khusus sebagai tangan negara dalam memanfaatkan migas untuk kemakmuran bangsa.

Sekalipun setelah misi khususnya dilucuti Pertamina mampu meraih capaian yang cukup cemerlang ke  urutan 122 dalam Fortune Global 500 pada tahun 2013. Namun akibatnya Pertamina menjadi  lebih berorientasi pasar. Di angan-angan para pengurusnya saat ini adalah mencari untung sebesar besarnya sekalipun konsekwensinya harus  membawa Pertamina  tidak sepenuhnya dalam jangkauan negara.

Cara yang diwacanakan adalah privatisasi atau berbagai  corporate action lain kearah itu. Kecurigaan masyarakat semakin bertambah dengan ditunjuknya seorang Direktur Utama yang tidak berlatar belakang migas, yang sebelumnya “berprestasi” melepas 49 % saham PT. Semen Indonesia kepada swasta mayoritas asing.  Senasib dengan PT. Perusahaan Negara (PGN) yang 43.04 % sahamnya telah dimiliki oleh swasta dan 82 % nya asing. Strategi ini tentu mengkhawatirkan karena semakin tidak nyambung dengan cita cita konstitusi yang menempatkan Pertamina terintegrasi dengan tata ekonomi negara.


Pertamina Menurut Konstitusi

Apa yang diinginkan oleh Negara kepada Pertamina dapat dilihat dari konstitusi. Ketentuan Pasal 33 ayat (2 dan 3) UUD 1945 memberi penegasan bahwa migas yang terkandung di bumi Indonesia adalah salah satu kekayaan alam yang langsung dikuasai oleh negara. Penegasan tersebut merupakan  maklumat bahwa pengupayaan dan pemanfaatan kekayaan alam tersebut hanya dapat dilakukan oleh negara. Negara adalah satu satunya pihak yang oleh konstitusi diberi amanah untuk menguasai dan mengatur pemanfaatannya  untuk  kemakmuran rakyat.

Maksud ketentuan itu dapat dilihat dari  catatan sejarah  perumusan (memorie van toelichting) pasal 33 ayat (3) UUD 45. Berawal ketika R. Soepomo melontarkan idenya di sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945, menurutnya : “dalam Negara Indonesia baru, dengan sendirinya menurut keadaan sekarang, perusahaan-perusahaan sebagai lalu lintas, electriciteit, perusahaan alas rimba harus diurus oleh Negara sendiri. Begitupun tentang hal tanah, pada hakekatnya Negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yang penting untuk Negara akan diurus oleh Negara sendiri”.    Dengan demikian maksud  konstitusi adalah memberi tugas kepada negara  untuk mengurus sendiri kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia dan menguasai hajat hidup rakyat.

Hak negara atas migas sebagaimana ditetapkan dalam konstitusi selanjutnya dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang migas. Kita pernah memiliki dua UU migas yang berbeda visi, yaitu UU Migas 1960 dan UU Migas 2001. Sejalan dengan maksud konstitusi, di dalam pasal 2  UU Migas 1960  masih diatur bahwa segala bahan galian migas  yang ada di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang langsung dikuasai oleh negara.  Kemudian diatur di pasal 3, bahwa pertambangan minyak dan gas bumi hanya diusahakan oleh negara dan usaha pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan Negara semata-mata. 

Untuk menjembatani hak menguasai negara dan  pelaksanaannya oleh Perusahaan Negara, maka dirumuskanlah kuasa pertambangan. Kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan oleh negara kepada Perusahaan Negara untuk melaksanakan usaha pertambangan migas. Disinilah seharusnya Pertamina berada, yakni sebagai pelaksana kuasa pertambangan yang merupakan derivasi dan terintegrasi dengan amanat konstitusi.

Begitupun UU Pertamina no 8 tahun 1971 dan peraturan turunannya  masih memegang teguh amanat konstitusi. Menurut UU ini tujuan Pertamina adalah membangun dan melaksanakan pengusahaan minyak dan gas bumi dalam arti seluas-luasnya untuk sebesar besar kemakmuran rakyat sebagaimana di sebut dalam konsiderannya.


Ironi UU Migas 2001

Namun yang terjadi kemudian UU Migas 2001 justru memutus hubungan antara  negara dengan Pertamina. Pertamina semula bernama Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional (P.N. PERTAMINA) yang merupakan hasil fusi  dua perusahaan yakni Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia (PERTAMIN) dengan Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Nasional (PERMINA). P.N. Pertamina kemudian  dirubah menjadi Pertamina berdasar UU No 8 tahun 71 dan  klimaknya  pada tanggal 09 Oktober 2003 berdasar UU Migas 2001 Pertamina dirubah lagi menjadi Perseroan Terbatas PT. Pertamina (Persero) yang sepenuhnya tunduk kepada Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, PP No. 12 tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) dan PP No.31 Tahun 2003  tentang Pengalihan Bentuk PERTAMINA Menjadi Perusahaan Perseroan.

Maksud pendirian  PT. Pertamina (Persero) adalah untuk menyelenggarakan usaha di bidang migas serta usaha lain yang terkait atau menunjang kegiatan usaha di bidang migas. Adapun tujuan  PT. Pertamina adalah untuk mengusahakan keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perseroan secara efektif dan efisien. Sehingga PT. Pertamina tidak lagi menjadi satu-satunya perusahaan negara yang menguasai migas karena kegiatan usaha migas diserahkan kepada mekanisme pasar berdasarkan prinsip-prinsip komersial yang kuat.

Selain itu, kuasa pertambangan tidak lagi diberikan kepada Pertamina namun kepada Pemerintah (Pasal 4 ayat 2 UU Migas 2001) yang selanjutnya berdasarkan kontrak, pemerintah bisa memberikan kepada siapapun. UU Migas 2001 yang melucuti keistimewaan Pertamina ini semakin membuat Pertamina meninggalkan amanat dan tugas konstitusionalnya.

Jalan Pulang

Hingga kini kita belum berhasil menemukan cara pengelolaan migas yang terbaik menurut konstitusi.  Dan yang terjadi justru  membawa Pertamina menjauh dari tujuan awal pendiriannya. Pemerintah tidak boleh lupa bahwa Pertamina tidak tiba tiba berumur 57 tahun dan menjadi perusahaan besar seperti sekarang ini. Kebesaran itu dibangun melalui pengorbanan rakyat dan jatuh bangun dalam perlindungan negara.

Karenanya perbaikan harus segera dimulai dengan merumuskan UU Migas yang sejalan dengan konstitusi dan mengembalikan Pertamina sebagaimana dicita citakan oleh para pendiri bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar