Pertamina
Di Simpang Jalan
Oleh
: Albab Setiawan, Praktisi Hukum,
Mahasiswa
S3 Ilmu Hukum UGM
Untuk
mewujudkan kedaulatan energi bangsa, tugas mendesak Pemerintah saat ini adalah segera
membawa Pertamina kembali ke jalan yang benar. Jalan yang dicita citakan oleh para
pendiri bangsa sebagaimana tertuang dalam konstitusi. Sekalipun upaya itu akan
berhadapan dengan situasi pelik, karena kita tidak memiliki UU migas yang
bervisi jelas sebagai penjabaran konstitusi.
Banyak
kalangan menilai UU No 22 Tahun 2001 (UU
Migas 2001) tidak mengakar dan kurang bobot legitimasinya sebagai penopang
terwujudnya kedaulatan energi bangsa. Terlebih paska putusan MK yang
membatalkan ketentuan tentang pelaksanaan hak menguasai negara atas migas membuat UU
Migas 2001 menjadi cacat format dan kehilangan orientasi.
Ironisnya
UU ini juga melucuti kewenangan negara dalam mengusahakan migas melalui
Pertamina. Paska reformasi, Pertamina diarahkan oleh UU Migas 2001 menjadi perusahaan biasa yang berorientasi bisnis semata. Padahal Pertamina mengemban
misi khusus sebagai tangan negara dalam memanfaatkan migas untuk kemakmuran
bangsa.
Sekalipun
setelah misi khususnya dilucuti Pertamina mampu meraih capaian yang cukup
cemerlang ke urutan 122 dalam Fortune
Global 500 pada tahun 2013. Namun akibatnya Pertamina menjadi lebih berorientasi pasar. Di angan-angan para
pengurusnya saat ini adalah mencari untung sebesar besarnya sekalipun konsekwensinya
harus membawa Pertamina tidak sepenuhnya dalam jangkauan negara.
Cara
yang diwacanakan adalah privatisasi atau berbagai corporate action lain kearah itu. Kecurigaan
masyarakat semakin bertambah dengan ditunjuknya seorang Direktur Utama yang tidak
berlatar belakang migas, yang sebelumnya “berprestasi” melepas 49 % saham PT.
Semen Indonesia kepada swasta mayoritas asing.
Senasib dengan PT. Perusahaan Negara (PGN) yang 43.04 % sahamnya telah dimiliki
oleh swasta dan 82 % nya asing. Strategi ini tentu mengkhawatirkan karena semakin
tidak nyambung dengan cita cita konstitusi yang menempatkan Pertamina
terintegrasi dengan tata ekonomi negara.
Pertamina
Menurut Konstitusi
Apa
yang diinginkan oleh Negara kepada Pertamina dapat dilihat dari konstitusi. Ketentuan
Pasal 33 ayat (2 dan 3) UUD 1945 memberi penegasan bahwa migas yang terkandung
di bumi Indonesia adalah salah satu kekayaan alam yang langsung dikuasai oleh negara.
Penegasan tersebut merupakan maklumat
bahwa pengupayaan dan pemanfaatan kekayaan alam tersebut hanya dapat dilakukan
oleh negara. Negara adalah satu satunya pihak yang oleh konstitusi diberi amanah
untuk menguasai dan mengatur pemanfaatannya untuk kemakmuran rakyat.
Maksud
ketentuan itu dapat dilihat dari catatan
sejarah perumusan (memorie van toelichting)
pasal 33 ayat (3) UUD 45. Berawal ketika R. Soepomo melontarkan idenya di sidang
BPUPKI pada 31 Mei 1945, menurutnya : “dalam
Negara Indonesia baru, dengan sendirinya menurut keadaan sekarang,
perusahaan-perusahaan sebagai lalu lintas, electriciteit, perusahaan alas rimba
harus diurus oleh Negara sendiri. Begitupun tentang hal tanah, pada hakekatnya
Negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang
yang penting untuk Negara akan diurus oleh Negara sendiri”. Dengan demikian maksud konstitusi adalah memberi tugas kepada negara untuk mengurus sendiri kekayaan alam yang terkandung
di bumi Indonesia dan menguasai hajat hidup rakyat.
Hak
negara atas migas sebagaimana ditetapkan dalam konstitusi selanjutnya
dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang migas. Kita pernah
memiliki dua UU migas yang berbeda visi, yaitu UU Migas 1960 dan UU Migas 2001.
Sejalan dengan maksud konstitusi, di dalam pasal 2 UU Migas 1960
masih diatur bahwa segala bahan galian migas yang ada di dalam wilayah hukum pertambangan
Indonesia merupakan kekayaan nasional yang langsung dikuasai oleh negara. Kemudian diatur di pasal 3, bahwa pertambangan
minyak dan gas bumi hanya diusahakan oleh negara dan usaha pertambangan minyak dan gas
bumi dilaksanakan
oleh Perusahaan Negara semata-mata.
Untuk
menjembatani hak menguasai negara dan
pelaksanaannya oleh Perusahaan Negara, maka dirumuskanlah kuasa
pertambangan. Kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan oleh
negara kepada Perusahaan Negara untuk melaksanakan usaha pertambangan migas.
Disinilah seharusnya Pertamina berada, yakni sebagai pelaksana kuasa pertambangan yang
merupakan derivasi dan terintegrasi dengan amanat konstitusi.
Begitupun
UU Pertamina no 8 tahun 1971 dan peraturan turunannya masih memegang teguh amanat konstitusi.
Menurut UU ini tujuan Pertamina adalah membangun dan melaksanakan pengusahaan
minyak dan gas bumi dalam arti seluas-luasnya untuk sebesar besar kemakmuran
rakyat sebagaimana di sebut dalam konsiderannya.
Ironi
UU Migas 2001
Namun
yang terjadi kemudian UU Migas 2001 justru memutus hubungan antara negara dengan Pertamina. Pertamina semula
bernama Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional (P.N.
PERTAMINA) yang merupakan hasil fusi dua
perusahaan yakni Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia (PERTAMIN) dengan
Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Nasional (PERMINA). P.N. Pertamina
kemudian dirubah menjadi Pertamina
berdasar UU No 8 tahun 71 dan klimaknya pada tanggal 09 Oktober 2003 berdasar UU Migas
2001 Pertamina dirubah lagi menjadi Perseroan Terbatas PT. Pertamina (Persero) yang
sepenuhnya tunduk kepada Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, PP No. 12
tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) dan PP No.31 Tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk PERTAMINA Menjadi
Perusahaan Perseroan.
Maksud
pendirian PT. Pertamina (Persero) adalah
untuk menyelenggarakan usaha di bidang migas serta usaha lain yang terkait atau
menunjang kegiatan usaha di bidang migas. Adapun tujuan PT. Pertamina adalah untuk mengusahakan
keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perseroan secara efektif dan efisien.
Sehingga PT. Pertamina tidak lagi menjadi satu-satunya perusahaan negara yang
menguasai migas karena kegiatan usaha migas diserahkan kepada
mekanisme pasar berdasarkan prinsip-prinsip komersial yang
kuat.
Selain
itu, kuasa pertambangan tidak lagi diberikan kepada Pertamina namun kepada
Pemerintah (Pasal 4 ayat 2 UU Migas 2001) yang selanjutnya berdasarkan kontrak,
pemerintah bisa memberikan kepada siapapun. UU Migas 2001 yang melucuti
keistimewaan Pertamina ini semakin membuat Pertamina meninggalkan amanat dan
tugas konstitusionalnya.
Jalan
Pulang
Hingga
kini kita belum berhasil menemukan cara pengelolaan migas yang terbaik menurut
konstitusi. Dan yang terjadi justru membawa Pertamina menjauh dari tujuan awal
pendiriannya. Pemerintah tidak boleh lupa bahwa Pertamina tidak tiba tiba
berumur 57 tahun dan menjadi perusahaan besar seperti sekarang ini. Kebesaran
itu dibangun melalui pengorbanan rakyat dan jatuh bangun dalam perlindungan
negara.
Karenanya
perbaikan harus segera dimulai dengan merumuskan UU Migas yang sejalan dengan
konstitusi dan mengembalikan Pertamina sebagaimana dicita citakan oleh para
pendiri bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar