INDONESIA DALAM DARURAT PENGELOLAAN MIGAS
(Catatan dari sidang Rudy Rubiandini)
Oleh : Junaidi Albab Setiawan
Advokat, Penasehat Hukum Rudy Rubiandini
|
D
|
ebat Cawapres beberapa
malam lalu semakin menegaskan keberadaan mafia Migas, dan ketidakmampuan kita
sebagai bangsa mengatasi masalah itu dan berhenti di wacana saja. Putusan perkara
korupsi Rudy Rubiandini (RR) telah menjadi putusan tetap (in kracht van gewijsde)
menyusul sikap hokum Jaksa Penuntut Umum KPK yang tidak mengajukan banding
terhadap putusan tersebut, setelah
melewati masa pikir pikir 7 (tujuh) hari
sejak diputuskan sebagaimana diatur oleh undang-undang. Tanggapan RR terhadap
putusan tersebut terucap dalam kalimat
singkat bahwa dirinya “Tidak puas tapi ikhlas”. Ungkapan itu adalah ungkapan yang paling tepat untuk
disampaikan oleh RR mantan kepala SKK Migas
yang tertangkap tangan menerima titipan gratifikasi di rumahnya. Mengapa iklas dan mengapa tidak puas? Tentu
terdapat alasan yang menyertainya. Iklas karena disadari dalam
peristiwa ini tangan Tuhanlah yang sedang bekerja, karena pada faktanya dan
sulit ditolak kebenarannya bahwa Deviardi pergi
kerumah RR dengan membawa uang gratifikasi dalam jumlah dan bentuk yang
tidak normal dan ditinggalkan di rumah RR. Mengapa tidak puas? Karena terlepas
dari kenyataan yang harus diterima dengan iklas itu, KPK semestinya lebih
mendalami motive apa sehingga RR
bersedia menerima hadiah itu?, dari titik itulah maka permaslahan RR ini akan
lebih bermakna bagi pemberantasan korupsi karena dapat memasuki wilayah korupsi
dalam pengelolaan Minyak dan gas (Migas)
yang sesungguhnya, tapi nyatanya masalah
utama itu justru kurang mendapatkan perhatian yang serius.
Dalam peristiwa ini, RR
semestinya diposisikan sebagai korban keganasan korupsi, mafia Migas, di dalam perbisnisan Migas. Karena RR adalah
pendatang yang tidak dikehendaki namun berani
“berulah” sehingga mengusik ketenangan, kemapanan dan kenyamanan para
penikmat Migas saat ini. Karena
orang orang itu tidak terlihat nyata, apalagi jika dilihat dari parameter
hukum. Namun jika dilihat dari kerusakan yang ditimbulkannya, Mereka bisa jadi terdiri dari oknum-oknum stakeholder kunci dari berbagai
kepentingan baik sebagai praktisi maupun politisi yang dalam posisinya, berdasarkan
aturan kekuasaan maupun sistem pemerintahan, menguasai semua fungsi dan peran
strategis baik karena posisinya dapat berpengaruh dalam menentukan menentukan kebijakan Migas. Dan tidak ketinggalan tentu
peran “cukong-cukong” pemburu rente yang
menghalalkan segala cara untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari usaha Migas. Bertahun-tahun mereka telah bersatu
padu saling menyokong dan membutuhkan dengan perannya masing-masing dalam satu
kepentingan dan pantang untuk diganggu gugat.
Dari berita acara
pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh KPK
dalam kasus RR, sudah tersurat dan tersirat betapa bisnis Migas ini menjadi
magnet yang sanggup menarik nama-nama besar dalam dunia politik dan pemerintahan
maupun bisnismen dalam dan luar negeri untuk masuk terlibat bermain di dalamnya.
Di dalam konstitusi kita ditegaskan bahwa Migas dikategorikan sebagai harta kekayaan alam yang langsung dikuasai
oleh negara yang harus dikelola dan dimanfaatkan
untuk sebesar besar kemakmuran rakyat. Namun sejauh ini harapan tersebut masih
sebatas harapan yang tak kunjung menjadi kenyataan. Dalam praktek ternyata Migas
masih gagal dimanfaatkan secara maksimal
untuk tujuan mensejahterakan rakyat. Hal itu karena ternyata para stakeholder utama tidak berdaya berhadapan
dengan system politik dan ekonomi yang
menyandera kemandirian mereka, sehingga yang tumbuh subur justru perilaku sebaliknya. Hal itu tercermin dari sikap
para pelaku yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok, golongan dan kepentingan
partai masing-masing. Akibatnya pengelolaan
Migas yang menjadi tulang punggung pendapatan Negara dikelola secara tidak
professional dan kurang transparan sehingga kurang memberikan hasil yang maksimal.
Pengelolaan Migas bagai terkotak-kotak sesuai kepentingan dan kiblat politik
pengelolanya. Padahal Migas merupakan sumber daya alam strategis tidak
terbarukan yang dikuasai oleh Negara serta merupakan komoditas vital yang
menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam
perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat tanpa perbedaan.
Saat ini kasus Rudy
Rubiandini telah membangunkan kita semua dan memberi kesadaran betapa
pengelolaan Migas kita dalam situasi darurat dan jauh dari harapan. Peristiwa RR itu harus diberi garis bawah dan
dijadikan pintu masuk (entry point) dalam mengurai silang sengkarut pengelolaan
Migas yang tidak kunjung membaik dari
waktu ke waktu dan dari rezim ke rezim. Kalau ada sekalangan orang yang mempersempit permasalahan RR dengan
pendapat sempit sekedar untuk menghukum RR dengan hukuman yang berat dengan
harapan akan berefek jera pada dirinya dan pada yang lain, dan pada ujungnya
diharap dapat mengakhiri permasalahan Migas, maka pendapat tersebut adalah
sungguh keliru. Pidana penjara berapapun lamanya atau bahkan menimpakan seluruh
kesalahan dan kebobrokan dalam pengelolaan Migas yang terjadi sejak dahulu dari
rezim ke rezim hanya kepundak RR, yang
baru menjabat kepala SKK Migas selama 7
(tujuh) bulan, tidak akan membawa manfaat
bagi penertiban pengelolaan Migas. Karena yang dibutuhkan dan harus segera
dilakukan saat ini adalah menutup
rapat-rapat peluang korupsi di sektor Migas
sejak hulu hingga hilir bahkan sejak pembuatan regulasinya.
Mengingat strategisnya Migas,
semestinya siapapun yang bermaksud memberantas penyakit yang telah menahun ini, segera membuat
sebuah desain penertiban yang sistematis dilakukan secara holistic dan
serentak, sehingga menghasilkan manfaat
yang besar bagi upaya pemberantasan korupsi di sektor Migas, dan dalam rangka
itu orang-orang dengan keahlian khusus dan langka seperti RR dapat dibebani
hukuman selaku nara sumber sebagai tambahan hukuman, karena dengan hanya
mengurung RR di balik jeruji tidak akan mendatangkan manfaat apa-apa bagi
pemberantasan korupsi di sektor Migas ini.
Sistem hukuman tambahan ini
memang belum memiliki dasar hokum tapi patut kita pikirkan, diilhami oleh film Catch Me If You Can,
yang dibintangi Reonaldo
DiCaprio, sebuah film drama biograpi kejahatan yang bersumber dari kisah hidup Frank Abagnale. Dimana seorang penjahat bank,
dengan keahliannya dihukum untuk membantu membongkar kejahatan sejenis bahkan yang lebih besar,
tentu saja dengan kompensasi berupa pengurangan hukuman. Hanya bedang RR bukanlah penjahat seperti Frank.
Upaya penertiban SKK Migas
sebenarnya telah dimulai oleh RR sejak
menjabat sebagai kepala SKK Migas, setelah melakukan evaluasi dan konsolidasi internal, pada
bulan ke tiga di masa jabatannya RR telah cukup tegas memecat seorang mantan
deputy KPK dari SKK Migas dan berani
mengirimkan “signal” melalui surat resmi kepada KPK untuk bekerjasama menertibkan SKK Migas, namun
rupanya signal itu dipandang sebelah mata dan tidak ditanggapi, karena bagi
pihak tertentu signal itu dimaknai sebagai ancaman bagi kepentingan mereka.
Upaya awal itu sebenarnya harus segera didalami. Upaya RR sudah pasti tidak berjalan
mulus dan bahkan di internalpun mengalami hambatan dan serangan balik yang cukup
keras, bahkan disertai berbagai upaya
menyingkirkan RR dari SKK Migas, upaya perlawanan itu terus terjadi dan
dilakukan oleh pihak-pihak yang terancam kepentingannya. Rencana RR untuk menerapkan e-procurement yang membuat
lelang-lelang di dalam pengelolaaan dan pemanfaatan Migas menjadi transparan dan terukur tentu sangat mengkawatirkan semua
pemain Migas, karena akan menutup peluang
intervensi dalam menentukan pemenang lelang,
dll. Belum lagi upaya membongkar
kasus-kasus besar korupsi Migas dalam
pengelolaan Migas yang pernah terjadi, kasus-kasus ini diindikasikan telah
menimbulkan kerugian kepada Negara dalam jumlah yang sangat fantastis namun
mangkrak dan tidak terurus. Upaya-upaya RR ini tentu dimaksudkan sebagai
trigger kearah pembenahan, namun ternyata banyak disalah pahami dan ditentang oleh berbagai kepentingan yang
sudah terlanjur mapan menikmati Migas
dalam system pengelolaan yang korup.
Membongkar kejahatan-kejahatan
besar dalam pengelolaan Migas tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang tidak
berani menghadang risiko, dan faktanya sejauh ini dokumen-dokumen itu hanya
menjadi onggokan kertas tanpa arti, dan
beberapa dokumen itu kini sudah disampaikan oleh RR kepada seluruh komisioner KPK.
Saat ini tidak ada manfaatnya seorang RR dengan ilmu dan pengalamannya yang
cukup mumpuni di bidang Migas terkurung
dibalik jeruji, tapi lebih bermanfaat
jika RR dimanfaatkan oleh KPK untuk membongkar lebih jauh gurita korupsi di
bidang Migas. Para pelaku kakap korupsi di dunia Migas ini sesungguhnya masih
berkeliaran dengan segala status dan kehormatannya dan orang-orang itulah bahkan yang memiliki
potensi daya rusak yang dahsyat karena kemampuan financial dan kekuatan
politiknya. Inilah kiranya hal-hal utama yang membuat RR tidak puas.
Bidang Migas ini telah
dikelola dan dipimpin oleh orang-orang besar di pemerintah, nama-nama besar seperti Poernomo Yusgiantoro yang pernah menjabat
sebagai menteri Pertambangan dan Energi di beberapa kabinet sejak 2001 sampai
dengan 2009 bahkan saat ini masih menjabat dalam jabatan strategis sebagai menteri Pertahanan, kemudian Koentoro Mangkusubroto sekarang Kepala UKP4 (Unit Kerja Presiden bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) yang berhasil memimpin restorasi Aceh
dan Nias dari bencana Tsunami , dan bahkan tidak kurang Presiden RI dalam dua
kali masa jabatan sampai sekarang Susilo Bambang Yudoyono (SBY) adalah bekas menteri ESDM.
Namun ironisnya hingga sekarang
pengelolaan bidang Migas ini gagal menghasilkan orang-orang besar yang mampu
menerapkan system pengelolaan yang
transparan, accountable dan berorientasi kepada penghasilan Migas yang maksimal
bagi Negara demi kemaslahatan seluruh rakyat.
Bahkan ditengarai sistem yang dipakai saat ini masih menimbulkan potensi
koruptif karena mudah diintervensi dari luar dan mudah disalahgunakan untuk
kepentingan segelintir para pelaku pengelola dan pembisnis minyak. Jika tidak
dilakukan pembenahan dan pemberantasan secara terpadu dan massif maka sampai kapanpun
permasalahan korupsi dalam pemanfaatan Migas ini akan terus terjadi dan
berulang bagai “kutukan” bagi bangsa ini.
Inilah beberapa titik
rawan yang perlu diwaspadai dalam
pengelolaan Migas, yakni pada penunjukan
wilayah kerja dan kontrak kerja sama, pengawasan proses produksi, perpanjangan
kontrak kerjasama, manipulasi data cost recovery, pipeline, transportasi
terutama sewa tanker (shiping), lelang pengadaan dan lelang penunjukan penjual Migas bagian
Negara, penjualan di luar Kontrak production sharing di laut lepas, dll. Saat
ini kendali atas semua urusan itu ada
ditangan Satuan Kerja Khusus
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (disingkat: SKK Migas),
adalah institusi yang dibentuk oleh Pemerintah RI melalui Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi. Badan ini menggantikan BP.MIGAS yang dibubarkan
Mahkamah Konstitusi pada 13 November 2012 karena dianggap bertentangan dengan
UUD 1945. SKK Migas bertugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak
dan gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama. Pembentukan lembaga ini
dimaksudkan supaya pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik
negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dalam
tugasanya SKK Migas menyelenggarakan fungsi sebagai kepanjangan tangan Negara, sebagai
pemilik, pengatur, pelaku dan pengawas di bawah koordinasi kementerian ESDM ,
menyangkut hal-hal sebagai berikut; 1. Penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta
Kontrak Kerja Sama; 2. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; 3. Mengkaji
dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan untuk mendapatkan persetujuan; memberikan persetujuan rencana pengembangan
selain sebagaimana dimaksud dalam poin sebelumnya; memberikan persetujuan rencana kerja dan
anggaran; 4. Melaksanakan monitoring dan melaporkan pelaksanaan Kontrak Kerja
Sama; dan 5. Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau
gas bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi
negara.
Fungsi
ini sangat strategis dan menjadi pusat daya tarik bagi para pelaku bisnis Migas.
Seseorang atapun badan lembaga yang dipercaya untuk mengelola Migas diibaratkan seperti gula. Seorang kepala
SKK Migas misalnya, hanya dengan duduk di kantor tanpa harus berbuat sesuatu,
orang akan datang tanpa diminta, menghampiri dan menawarkan berbagai hadiah dan
fasilitas dengan motivenya
masing-masing. Dengan situasi dan kondisi itu pula maka selama ini SKK Migas dianggap sebagai lahan basah yang
mendatangkan uang melimpah jika
ukurannya hanya sekedar kepentingan pribadi dan sekelompok organisasi.
Sehingga pengelola Migas termasuk SKK Migas kerap diposisikan sebagai “sapi perah” sumber pelicin untuk memuluskan
kepentingan bisnis, politis maupun kepentingan
hubungan lintas pemerintahan. Pernah
diawal RR menjabat sebagai kepala SKK Migas, RR dikagetkan oleh tagihan hutang
sebesar 1 juta US dollar yang konon diwarisi dari pendahulunya. Seorang Kepala SKK Migas dalam posisinya,
dipaksa oleh keadaan untuk mengakomodir kepentingan itu, lebih tidak berdaya
lagi jika “tekanan” itu dilakukan dengan meminjam tangan oknum penguasa atau
oknum-oknum dalam lingkaran kekuasaan. Dan pada akhirnya, jalan keluar untuk
menghindar dari tekanan itu pilihannya hanya
dua, yakni mundur dari jabatan atau
melawan yang berarti siap mati. Hal itu
sama artinya bahwa penguasa Migas yang sesungguhnya saat ini bukanlah Negara
dalam artian teoritis ketatanegaraan, namun gabungan dari kekuatan politik
dalam maupun luar negeri, termasuk didalamnya oknum-oknum yang dekat ataupun
memiliki akses kepada penguasa dan kekuatan bisnis yang dikuasai oleh beberapa gelintir orang
dari dalam negeri maupun asing. Hal ini tidak mengherankan karena Migas
merupakan komoditas yang sangat menghasilkan keuntungan dan dinilai penting
tidak saja pada masa lalu dan saat ini, tetapi masih akan berperan sebagai
penyumbang terbesar energi dunia beberapa decade ke depan.
Tanpa
kerja besar berupa penataan ulang pengelolaan Migas secara lebih berperi
kerakyatan, modern dan terbuka maka permasalahan Migas ini tidak akan pernah
selesai. Migas berperan stategis dalam menopang ekonomi dan menggerakkan
pembangunan Indonesia karena posisinya sebagai sumber pendapatan terbesar
diluar pajak, Migas bukanlah komoditi biasa, selain nilai ekonomisnya yang
tinggi Migas juga dikenal sebagai alat politik, bahkan dikenal adagium “siapa
menguasai Migas dialah penguasa yang sesungguhnya”. Sekalipun konstitusi kita
sudah menggariskan dengan sangat tegas bahwa sebagai penguasa tunggal Migas
adalah negara, namun ternyata kekuasaan Negara itu masih dengan mudah dibelokkan,
disalah gunakan dan disalah tafsirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar