Rabu, 01 Juli 2015

SKK Migas Sebagai BUMN Khusus ? (KONTAN)



SKK Migas Sebagai BUMN Khusus ?
Oleh : Junaidi Albab Setiawan, Praktisi Hukum

Sungguh tidak mudah mewujudkan rekomendasi Tim Reformasi Tatakelola Migas untuk merubah Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menjadi BUMN khusus. Karena masalah utama dalam pengelolaan usaha hulu Migas lebih bersifat fundamental, bukan semata mata  persoalan status dan posisi SKK Migas saat ini.

Masalah sesungguhnya adalah, pertama, karena pengaturan Migas paska reformasi justru mengalami penyimpangan orientasi secara hierarkis, sehingga  terdapat kerancuan antar peraturan, selain itu UU BUMN  juga tidak mengenal BUMN khusus. Kedua, SKK Migas adalah satuan kerja darurat yang bersifat sementara hingga waktu terbitnya peraturan migas yang baru. SKK Migas memiliki keunikan dan dari awal dibuat  untuk mengisi kekosongan hukum dan mengatasi  kebuntuan penanganan kegiatan usaha hulu migas akibat putusan MK yang membatalkan BP Migas. Keberadaan SKK Migas  lebih dimaksud untuk melindungi investor-investor yang sudah  mengikat kontrak dengan BP Migas, sehingga SKK Migas bukanlah lembaga permanen. Setelah terbitnya peraturan baru  seharusnya SKK Migas bubar demi hukum.

Migas Sebagai Komoditas

Sebagai contoh kerancuan adalah perihal tujuan pembentukan BP Migas yang kemudian diteruskan oleh SKK Migas. Menurut Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, SKK Migas adalah pengganti peran BP Migas, maka ada baiknya kita sedikit mundur ke belakang guna melihat ketentuan tentang status dan posisi BP Migas. Dari sana akan terlihat bahwa  UU Migas 2001 sebagai peraturan utama  dengan aturan-aturan  pelaksanaan  tidak nyambung,  terutama  dalam hal tujuan pendirian,  Migas  sebagai komoditas  dan ketentuan tentang Kuasa Pertambangan.

Pertimbangan UU Migas No. 22 Tahun 2001 ( UU Migas 2001), huruf b menegaskan bahwa Migas adalah komoditas. Dengan demikian Migas adalah objek perniagaan, sedang perniagaan adalah kegiatan usaha yang bertujuan untuk mencari keuntungan. Barang siapa yang melakukan kegiatan usaha hulu migas  kemudian memperniagakan hasilnya, maka kegiatan tersebut pasti bertujuan untuk mencari keuntungan.

Ketentuan  mengatur bahwa suatu perusahaan yang akan melakukan eksplorasi maupun eksploitasi,  harus mengikat kontrak kerjasama dengan pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan, dimana peran tersebut sekarang dilakukan oleh SKK Migas. Namun yang rancu kemudian adalah ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No 42 tahun 2002  yang mengatur bahwa BP Migas adalah badan hukum yang tidak bersifat untuk mencari keuntungan. Jika migas adalah komoditas, maka semestinya kegiatan BP Migas dalam menandatangani kontrak kerjasama dengan Kontraktor Kontrak Kerjasama Hulu migas  dan kontrak penjualan minyak mentah bagian Negara bertujuan untuk mencari untung, sesuai pasal 11 (g)  Peraturan Pemerintah 42/2002, yakni memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi Negara. Dengan demikian sebagaimana BP Migas, SKK Migaspun tidak memiliki tujuan yang jelas.

Paradigma Lama

SKK migas merupakan bagian organik dari Kementerian ESDM yang dibentuk untuk mengisi peran BP Migas yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012. Dengan demikian keberadaan SKK Migas sebagaimana BP Migas sesungguhnya tidak memiliki akar konstitusionalitas yang kuat.   

Paska putusan MK yang membubarkan BP Migas, untuk sementara peran BP Migas saat ini digantikan oleh SKK Migas. Sebagaimana ditegaskan dalam  Pasal 1 Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan gas Bumi, bahwa SKK Migas adalah satuan kerja dibawah menteri ESDM yang dibentuk agar tidak terjadi kekosongan hukum hingga diterbitkannya peraturan migas yang baru.

Dengan demikian SKK Migas bukanlah badan hukum mandiri  sebagaimana BP Migas (Pasal 4 PP No. 41 Tahun 2002),  namun organ dari kementerian ESDM yang bertugas membina, mengoordinasikan, dan mengawasi penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu migas. SKK Migas memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh BP Migas, karena selain poisisinya di atas, SKK  Migas dalam bekerjanya diawasi oleh Komisi pengawas yang beranggotakan Menteri ESDM, Wakil Menteri Keuangan, Ketua BKPM dan Wakil Menteri ESDM. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Komisi demikian tidak ditemukan pada BUMN manapun yang sepenuhnya tunduk kepada UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas. 

Selain sebagai  regulator dan pengawas, pemerintah melalui SKK Migas  juga adalah pelaksana kuasa pertambangan yang bertugas diantaranya untuk  menandatangani kontrak bisnis kegiatan usaha hulu migas dengan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) serta  menunjuk perusahaan penjual minyak mentah bagian negara. Dengan demikian sejatinya SKK Migas selain berperan sebagai regulator dan pengawas  juga berperan sebagai operator.

Padahal sesuai putusan MK, seyogyanya pemerintah tidak berbisnis, dan lebih tepat sebagai regulator dan pengawas. Kuasa pertambangan sebaiknya diberikan kepada suatu BUMN yang seluruh sahamnya hanya bisa dimiliki oleh Negara seperti Pertamina tempo dulu yang posisinya diatur dengan tegas dalam ketentuan UU Prp No, 40 tahun 1960 (UU Migas 1960). Karena SKK Migas bukan badan hukum mandiri sebagaimana BP Migas, maka SKK Migas lebih baik focus sebagai bagian khusus pemerintah pada posisi regulator dan pengawas.

Paradigma UU Migas 2001 paska reformasi yang lebih berorientasi pasar terbukti telah  mengakibatkan kita mudah terombang ambing. Jika kita tidak berpegang teguh kepada amanat konstitusi maka rekomendasi apapun hanya akan bersifat tambal sulam dan rapuh.

Kuasa Pertambangan.

Untuk memahami dimana sesungguhnya posisi ideal SKK Migas adalah dengan memahami sejarah penerapan kuasa pertambangan dari waktu ke waktu. Kehadiran pihak ketiga dalam kerjasama penambangan harus tidak mempengaruhi posisi negara sebagai pemilik dan penguasa tunggal yang sah atas sumber daya migas. Negara sebagai pemilik adalah pihak yang memegang kendali utama atas migas. Pengendalian itu berbentuk regulasi, perizinan dan pengawasan. Untuk melaksanakan haknya yang disebutkan dalam UUD 1945, negara memerlukan sarana yang dapat menerima delegasi hak “menguasai” dan hak “mempergunakan”. Penerima delegasi kuasa pertambangan untuk selanjutnya bertugas melaksanakan hak negara dalam praktik nyata.  Peran tersebut saat ini berdasar pasal 4 (2) UU Migas 2001 dijalankan oleh pemerintah.  
 
Sejak Indonesia merdeka, Kuasa Pertambangan selalu diatur hampir di semua ketentuan pengelolaan migas yang pernah berlaku. Pasal 1 huruf h UU Migas  1960 mengartikan  kuasa pertambangan sebagai wewenang yang diberikan kepada perusahaan  negara untuk melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi. Berbeda dengan definisi kuasa pertambangan dalam UU Migas 2001 pasal 1 angka 5 yang menentukan bahwa kuasa pertambangan diberikan kepada pemerintah, UU Migas 1960 justru secara tegas menentukan bahwa kuasa pertambangan diberikan kepada perusahaan negara semata-mata. Lebih jauh hal ini diperjelas dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina.  Pasal 11 ayat (1) menentukan bahwa kuasa pertambangan kepada perusahaan disediakan seluruh wilayah hukum pertambangan Indonesia.

Menjadikan SKK Migas sebagai BUMN khusus untuk berbisnis dalam kegiatan usaha hulu migas sama saja mengulangi sejarah  peran Pertamina tempo dulu dan kembali kepada UU Migas 1960 dimana kuasa pertambangan hanya diberikan kepada perusahaan Negara semata-mata. Posisi ini tentu terhalang oleh ketentuan pasal 4 (3) UU Migas 2001 bahwa kuasa pertambangan diberikan kepada Pemerintah.

Pengaturan tentang kuasa pertambangan migas ini hingga kini masih terus bergeser. Pergeseran ini menandakan bahwa Negara masih mencari posisi hukum yang tepat dalam memberikan kuasa pertambangan. Dan pertanyaan besar dari pencarian itu adalah kepada siapa sebaiknya kuasa pertambangan itu diberikan.   Kepada SKK Migas yang sekaligus berperan sebagai regulator dan pengawas, ataukah kepada BUMN yang sepenuhnya milik negara yang hanya berperan sebagai operator bisnis migas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar