SKK Migas Sebagai BUMN
Khusus ?
Oleh : Junaidi Albab
Setiawan, Praktisi Hukum
Sungguh tidak mudah
mewujudkan rekomendasi Tim Reformasi Tatakelola Migas untuk merubah Satuan
Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menjadi
BUMN khusus. Karena masalah utama dalam pengelolaan usaha hulu Migas lebih
bersifat fundamental, bukan semata mata
persoalan status dan posisi SKK Migas saat ini.
Masalah sesungguhnya
adalah, pertama, karena pengaturan
Migas paska reformasi justru mengalami penyimpangan orientasi secara hierarkis,
sehingga terdapat kerancuan antar peraturan,
selain itu UU BUMN juga tidak mengenal
BUMN khusus. Kedua, SKK Migas adalah
satuan kerja darurat yang bersifat sementara hingga waktu terbitnya peraturan migas
yang baru. SKK Migas memiliki keunikan dan dari awal dibuat untuk mengisi kekosongan hukum dan
mengatasi kebuntuan penanganan kegiatan
usaha hulu migas akibat putusan MK yang membatalkan BP Migas. Keberadaan SKK Migas lebih dimaksud untuk melindungi
investor-investor yang sudah mengikat
kontrak dengan BP Migas, sehingga SKK Migas bukanlah lembaga permanen. Setelah
terbitnya peraturan baru seharusnya SKK
Migas bubar demi hukum.
Migas Sebagai Komoditas
Sebagai contoh kerancuan
adalah perihal tujuan pembentukan BP Migas yang kemudian diteruskan oleh SKK
Migas. Menurut Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan
Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, SKK Migas
adalah pengganti peran BP Migas, maka ada baiknya kita sedikit mundur ke
belakang guna melihat ketentuan tentang status dan posisi BP Migas. Dari sana akan
terlihat bahwa UU Migas 2001 sebagai
peraturan utama dengan aturan-aturan pelaksanaan tidak nyambung, terutama
dalam hal tujuan pendirian, Migas sebagai komoditas dan ketentuan tentang Kuasa Pertambangan.
Pertimbangan UU Migas No.
22 Tahun 2001 ( UU Migas 2001), huruf b menegaskan bahwa Migas adalah komoditas.
Dengan demikian Migas adalah objek
perniagaan, sedang perniagaan adalah kegiatan usaha yang bertujuan untuk
mencari keuntungan. Barang siapa yang melakukan kegiatan usaha hulu migas kemudian memperniagakan hasilnya, maka
kegiatan tersebut pasti bertujuan untuk mencari keuntungan.
Ketentuan mengatur bahwa suatu perusahaan yang akan melakukan eksplorasi maupun
eksploitasi, harus mengikat kontrak
kerjasama dengan pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan, dimana peran
tersebut sekarang dilakukan oleh SKK Migas. Namun yang rancu kemudian adalah
ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No 42 tahun 2002 yang mengatur bahwa BP Migas adalah badan
hukum yang tidak bersifat untuk mencari
keuntungan. Jika migas adalah komoditas, maka semestinya kegiatan BP Migas
dalam menandatangani kontrak kerjasama dengan Kontraktor Kontrak Kerjasama Hulu
migas dan kontrak penjualan minyak mentah
bagian Negara bertujuan untuk mencari untung, sesuai pasal 11 (g) Peraturan Pemerintah 42/2002, yakni memberikan
keuntungan sebesar-besarnya bagi
Negara. Dengan demikian sebagaimana BP Migas, SKK Migaspun tidak memiliki
tujuan yang jelas.
Paradigma Lama
SKK migas merupakan bagian
organik dari Kementerian ESDM yang dibentuk untuk mengisi peran BP Migas yang
dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal
13 November 2012. Dengan demikian keberadaan SKK Migas sebagaimana BP Migas
sesungguhnya tidak memiliki akar konstitusionalitas yang kuat.
Paska putusan MK yang
membubarkan BP Migas, untuk sementara peran BP Migas saat ini digantikan oleh SKK
Migas. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
1 Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan
Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan gas Bumi, bahwa SKK
Migas adalah satuan kerja dibawah menteri ESDM yang dibentuk agar tidak terjadi
kekosongan hukum hingga diterbitkannya peraturan migas yang baru.
Dengan
demikian SKK Migas bukanlah badan hukum
mandiri sebagaimana BP Migas (Pasal 4 PP No. 41 Tahun 2002), namun organ dari kementerian ESDM yang
bertugas membina, mengoordinasikan, dan mengawasi
penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu migas. SKK Migas memiliki
keunikan yang tidak dimiliki oleh BP Migas, karena selain poisisinya di atas,
SKK Migas dalam bekerjanya diawasi
oleh Komisi pengawas yang beranggotakan Menteri ESDM, Wakil Menteri Keuangan,
Ketua BKPM dan Wakil Menteri ESDM. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Peraturan Presiden No. 9
Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi. Komisi demikian tidak ditemukan pada BUMN manapun yang sepenuhnya
tunduk kepada UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas.
Selain
sebagai regulator dan pengawas,
pemerintah melalui SKK Migas juga adalah
pelaksana kuasa pertambangan yang bertugas diantaranya untuk menandatangani kontrak bisnis kegiatan usaha
hulu migas dengan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) serta menunjuk perusahaan penjual minyak mentah
bagian negara. Dengan demikian sejatinya SKK Migas selain berperan sebagai
regulator dan pengawas juga berperan sebagai
operator.
Padahal
sesuai putusan MK, seyogyanya pemerintah tidak berbisnis, dan lebih tepat
sebagai regulator dan pengawas. Kuasa pertambangan sebaiknya diberikan kepada
suatu BUMN yang seluruh sahamnya hanya bisa dimiliki oleh Negara seperti
Pertamina tempo dulu yang posisinya diatur dengan tegas dalam ketentuan UU Prp
No, 40 tahun 1960 (UU Migas 1960). Karena SKK Migas bukan badan hukum mandiri
sebagaimana BP Migas, maka SKK Migas lebih baik focus sebagai bagian khusus pemerintah
pada posisi regulator dan pengawas.
Paradigma UU Migas 2001 paska reformasi yang lebih
berorientasi pasar terbukti telah
mengakibatkan kita mudah terombang
ambing. Jika kita tidak berpegang teguh kepada amanat konstitusi maka
rekomendasi apapun hanya akan bersifat tambal sulam dan rapuh.
Kuasa Pertambangan.
Untuk memahami dimana sesungguhnya posisi ideal SKK
Migas adalah dengan memahami sejarah penerapan kuasa pertambangan dari waktu ke
waktu. Kehadiran pihak ketiga
dalam kerjasama penambangan harus tidak mempengaruhi posisi negara sebagai
pemilik dan penguasa tunggal yang sah atas sumber daya migas. Negara sebagai
pemilik adalah pihak yang memegang kendali utama atas migas. Pengendalian itu berbentuk regulasi,
perizinan dan pengawasan. Untuk
melaksanakan haknya yang disebutkan dalam UUD 1945, negara memerlukan sarana yang dapat menerima delegasi hak “menguasai” dan hak
“mempergunakan”. Penerima delegasi kuasa pertambangan untuk selanjutnya
bertugas melaksanakan hak negara dalam praktik nyata. Peran tersebut saat ini berdasar pasal 4 (2) UU Migas 2001 dijalankan oleh pemerintah.
Sejak
Indonesia merdeka, Kuasa Pertambangan selalu diatur hampir di semua ketentuan pengelolaan migas yang pernah
berlaku. Pasal 1 huruf h UU Migas 1960
mengartikan kuasa pertambangan sebagai wewenang
yang diberikan kepada perusahaan negara untuk
melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi. Berbeda dengan definisi kuasa
pertambangan dalam UU Migas 2001 pasal
1 angka 5 yang menentukan bahwa kuasa pertambangan diberikan
kepada pemerintah,
UU Migas 1960 justru secara tegas menentukan
bahwa kuasa pertambangan diberikan kepada
perusahaan
negara semata-mata. Lebih jauh hal ini diperjelas dalam
Undang-undang No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina. Pasal
11 ayat (1) menentukan bahwa kuasa pertambangan kepada perusahaan disediakan
seluruh wilayah hukum pertambangan Indonesia.
Menjadikan SKK Migas sebagai BUMN khusus untuk
berbisnis dalam kegiatan usaha hulu migas sama saja mengulangi sejarah peran Pertamina tempo dulu dan kembali kepada
UU Migas 1960 dimana kuasa pertambangan hanya diberikan kepada perusahaan
Negara semata-mata. Posisi ini tentu terhalang oleh ketentuan pasal 4 (3) UU
Migas 2001 bahwa kuasa pertambangan diberikan kepada Pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar