Mengapa
Investor Migas Hengkang
Junaidi
Albab Setiawan
Advocat, Doktor
ilmu hukum UGM, 
Direktur Pusat
Studi Hukum Energi (PUSHENERGY) 
Pemerintah
telah menargetkan produksi sebesar satu juta barel minyak (bopd) dan 12 miliar
kaki kubik gas (bscfd) per hari pada 2030. Tekad itu menegaskan kenyataan bahwa
migas masih menjadi sumber  utama
penerimaan negara dan penggerak utama pembangunan. Tanpa upaya luar biasa dalam
menarik investasi, sulit rasanya untuk mencapai target yang ditetapkan dan kenyataanya
lifting justru terus mengalami penurunan dan kesenjangan antara produksi dibanding
konsumsi migas semakin melebar.
Migas
adalah komoditi global, yang menjadi ukuran dalam bisnis ini adalah mekanisme
pasar global yang dilengkapi dengan best practice yang telah
berlaku umum. Sekalipun bisnis migas adalah bisnis antara negara yang diwakili
pemerintah dengan perusahaan, namun jika pemerintah menjalankanya dengan cara lebih
mengedepankan kekuasaan dengan aturan kaku, berbelit serta menutup mata
terhadap dinamika pasar dalam merespon alam, maka Indonesia akan dihukum oleh
pasar dengan hengkangnya para investor. 
Daya
tarik utama bisnis migas adalah  potensi
keuntungan besar dalam iklim usaha yang fair. Namun dibalik potensi keuntungan
besar itu terdapat resiko usaha yang besar pula, karena bisnis hulu  migas membutuhkan waktu yang lama, berbiaya
mahal serta diliputi  ketidakpastian
hasil. Maka Kontraktor Kontrak Kerjasama (K3S) tidak cukup berbekal keahlian
dan data-data sumur, seismic dan komersial, namun lebih dari itu juga harus mampu
membaca fenomena perubahan zaman baik dalam lingkup global maupun nasional dimana
investasi dilakukan. 
Hengkangnya
kontraktor migas meninggalkan komitmen-komitmen bisnis yang telah dibuat dengan
pemerintah (KOMPAS 2 Juni 2021), sesungguhnya merupakan fenomena bisnis biasa,
dimana secara keekonomian investasi itu dipandang tidak menarik lagi. Salah
satunya diakibatkan usia sumur eksisting yang sudah tua (mature), sehingga
mengalami penurunan produksi alamiah sangat tajam. Sedang menurut Menteri ESDM,
tanpa temuan baru Indonesia tinggal memiliki cadangan terbukti (proven) minyak
bumi sebanyak 2,44 miliar barel untuk 9,5 tahun dan cadangan gas 43,6 triliun
untuk 19,9 tahun. 
Ditambah
saat ini hampir seluruh pelaku bisnis migas mengalami kerugian yang cukup besar
akibat wabah covid-19. Wabah yang belum diketahui kapan akan berakhir ini telah
mengakibatkan rendahnya permintaan migas dunia. Wabah mengakibatkan hampir
semua sektor usaha mengalami kemunduran karena daya beli rendah yang berakibat  pertumbuhan ekonomi juga melambat.   Upaya pencegahan wabah dengan membatasi
pergerakan orang mengakibatkan berkurangnya aktivitas industri. Mobilitas
industri yang sangat berkurang mengakibatkan kebutuhan akan migas juga menurun
drastis. 
Momentum
perlambatan ekonomi ini rupanya digunakan oleh kontraktor untuk mengevaluasi
diri sembari secara selektif memilih keputusan bisnis yang tepat dalam menghadapi
tantangan zaman. Maka hengkangnya para kontraktor migas dari Indonesia adalah
keputusan bisnis yang pasti sudah dipertimbangkan secara masak. Selain
pertimbangan ekonomi dan wabah, kontraktor juga mempertimbangan faktor trend energi
ramah lingkungan (clean energy) yang melanda dunia dan factor cadangan migas laut
dalam. 
Faktor
Clean Energy
Secara
global telah disadari bahwa energi fosil adalah penyumbang utama gas rumah kaca
penyebab perubahan iklim akibat meningkatnya pemanasan global yang mengganggu
keseimbangan ekosistem maupun kehidupan manusia dan pada gilirannya mengakibatkan
berbagai bencana alam. Untuk mengatasi itu negara-negara bersepakat melalui Paris
Agreement yang ditandatangani 175 negara pada 22 April 2016, mulai
meninggalkan energi fosil. Untuk tujuan itu pula Indonesia berkomitmen dan
sedang merumuskan kebijakan dan kerangka hukum untuk menyiapkan transisi kepada
pemanfaatan clean energy. 
Pandangan
Indonesia tercermin dalam acara Global Commission on People-Centred Clean
Energy Transitions yang diselenggarakan oleh International Energy
Agency (IEA). Pemerintah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca
yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC),
guna mendukung pencapaian net zero emission. Mengingat transisi
energi merupakan inti pencapaian Sustainable Development Goals
(SDGs), maka dalam Rencana Energi Nasional, porsi energi baru terbarukan
ditargetkan mencapai 23 persen pada tahun 2025 dan 32 persen pada tahun 2050.  
Tekanan
global untuk mengupayakan clean energy secara drastis  juga mulai direspon oleh para pelaku utama
industri migas dunia dengan tindakan nyata. Raksasa industri migas Eropa secara
serius mulai merubah visi dan misinya  sebagai
perusahaan migas menjadi perusahaan energi untuk mengakomodir diversifikasi dan
transformasi ke arah clean energy. Sementara beberapa  raksasa industri migas Amerika mulai selektif
dalam menjalankan bisnis migas. Kebijakan presiden Trump yang tidak peduli
kepada pemanasan global dan berusaha menarik diri dari Paris Agreement,
dirombak oleh presiden Biden dengan perintah eksekutif berupa tekad Amerika untuk
lebih serius dalam melakukan pengurangan emisi global hingga angka nol. Kebijakan
itu direspon oleh perusahaan-perusahaan migas dengan menyeleksi ladang-ladang
migas dengan prospek yang kurang ekonomis, margin kecil dengan tingkat
pengembalian yang rendah, mulai ditinggalkan sembari menyiapkan diri bertransformasi
kepada clean energy. 
Faktor
Laut Dalam
Harus
dipahami bahwa saat ini mencari migas semakin sulit karena potensi sumber migas
yang tersisa berlokasi di laut dalam. Akibatnya untuk memperoleh cadangan migas
saat ini dibutuhkan modal yang besar, sehingga tidak banyak
perusahaan-perusahaan yang berani mengambil resiko itu. 
Pengalaman saat dimulainya eksplorasi migas laut dalam di tahun 2013an banyak kontraktor migas asing yang rugi besar akibat gagal mendapatkan cadangan migas yang ekonomis. Ditambah kemudian proyek Indonesia Deepwater Development (IDD-II) yang dikembangkan oleh Chevron melalui empat production sharing contract yaitu PSC Ganal, Rapak, Makassar Strait dan Muara Bakau, sempat terkatung-katung bahkan ditinggalkan inisiatornya akibat sulitnya menemukan mitra yang berani mengambil resiko. Kesemuanya adalah pelajaran berharga yang menunjukkan betapa sulit dan mahalnya memperoleh migas laut dalam. Situasi itu membuat berkurangnya minat investasi dan investor lebih memilih berpikir ulang sehingga berakibat Indonesia akan semakin sulit memperoleh investor yang berkemampuan. Situasi itu ditambah dengan persaingan antar negara yang berlomba-lomba menyuguhkan tawaran investasi yang lebih atraktif untuk menarik investor.
Perlu diingat bahwa hubungan antara pemerintah dengan kontraktor adalah hubungan bisnis yang tujuan utamanya untuk saling menguntungkan. Untuk membuat agar iklim investasi migas terus menarik bagi investor, maka sebaiknya pemerintah bersikap adaptif lebih luwes menyesuaikan diri dengan fenomena alam dan dinamika pasar global dalam mengupayakan kebutuhan energi. Pemerintah juga harus fleksibel dalam merumuskan aturan-aturan yang pasti, namun juga menghargai posisi masing-masing yang saling membutuhkan. Dan terakhir adalah sikap akomodatif antara pemerintah dan investor terus saling memberikan masukan dan melakukan evaluasi dan koreksi “tambah kurang” saling melengkapi demi terwujudnya kerjasama yang saling menguntungkan, jika perlu memberikan insentif kemudahan usaha. Di atas semuanya itu seluruh kebijakan harus dilengkapi dengan kesadaran akan terbatasnya modal dan kerasnya persaingan bisnis migas, sementara potensi migas Indonesia terus menipis dan terletak di area yang semakin sulit.
