Selasa, 30 Juni 2015

MENGAWASI LIFTING MIGAS (KONTAN)


Mengawasi Lifting Migas

Oleh Junaidi Albab Setiawan, Pengamat dan Praktisi Hukum Migas


Salah satu tugas Tim Reformasi Tata Kelola Migas adalah merevisi tata kelola migas sejak dari hulu hingga hilir. Selama ini, untuk urusan hulu pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan mempercayakan kepada SKK migas. SKK migas  adalah pengganti sementara dari BP migas yang dibubarkan oleh MK. Sedang di hilir pemerintah mempercayakan kepada  BPH migas.

Sudah lama kegiatan migas baik di hulu maupun hilir mengalami masalah akut yang terbukti tidak satu rezimpun mampu mengatasinya. Sehingga migas bukan lagi menjadi anugerah bagi seluruh rakyat, melainkan sekelompok saja. Selama ini rakyat diposisikan untuk menanggung kebobrokan  pengelolaan dan  membersihkan sampah dari pesta pora para mafia dan menanggung biayanya berupa harga BBM yang tinggi. 

Pemerintah seperti enggan melakukan perbaikan dan sengaja membuat sistem tata kelola hulu yang rentan KKN. Maka lifting sebagai inti kegiatan hulu harus segera diberikan perhatian khusus, karena penyelenggaraan lifting yang kurang profesional dan kurang transparan akan menyuburkan penyelewengan.

Lifting

Penerimaan negara dari migas sangat tergantung kepada lifting. Maka pengawasan  lifting sejak pemilihan perusahaan penjual minyak (trader) hingga pelaksanaannya menjadi penting. Sebagaimana telah diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kebocoran lifting tetap terjadi sekalipun menteri ESDM telah membangun Sistem Monitoring Lifting Minyak dan Gas Bumi (SMLM) untuk mengawasi produksi dan lifting migas yang dihasilkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) secara transparan, akurat dan mutakhir.     Ditambah lagi dengan pengawasan oleh SKK migas melalui  Crude Oil Monitoring Lifting and Entitlement (COMLE), serta syarat adanya surat jalan penyerahan, Sertifikat jumlah muatan, dan Sertifikat mutu, sebagai syarat lifting dari SKK migas.

Menurut SKK migas, saat ini pihaknya mengawasi 237 titik lifting, tempat dimana Kontraktor menyerahkan migas bagian negara kepada negara dan sekaligus menjadi titik serah  Custody Transfer Point (CTP)  dimana negara menyerahkan minyak kepada trader.   

Trader yang berhak mengikuti lelang terdiri perusahaan dalam dan luar negeri yang terdaftar di SKK Migas (registered bidder) sesuai Pedoman Penunjukan Penjual Minyak Mentah Bagian Negara KPTS 20/BP00000/2003-SO tanggal 15 April 2003 (KPTS-20).  Hingga september 2013 ada 23 trader telah terdaftar. Namun ironisnya hingga akhir tahun 2013, SKK migas tidak mampu menyajikan profil lengkap registered bidder ini secara transparan kepada publik. Sehingga informasi siapakah mereka dan  bagaimana reputasinya di bidang penjualan minyak menjadi sulit diakses. Maka tidak aneh jika SKK migas sulit menjelaskan kepada KPK, apa dan siapa Karnel Oil, Fossus Energy Ltd, Forteks Thailand Co Ltd, World Petrolium Energy,  dll. 


Lemah data ini merupakan celah penyelundupan hukum. Salah satu caranya  adalah membuat perusahaan jadi jadian yang bertujuan khusus untuk ikut lelang (Special purpose vehicle). Perusahaan  ini  biasanya didirikan di luar negeri  oleh orang atau perusahaan dalam satu sindikasi dengan tujuan untuk mendominasi lelang. Akibatnya lelang dikuasai oleh orang atau korporasi yang sama untuk bersekongkol menciptakan persaingan semu dan akibatnya negara sulit menemukan harga tertinggi.



Selain itu, lifting biasanya terjadi di tempat yang sulit dijangkau, padahal pengawasan terhadap akurasi volume lifting menjadi sangat menentukan untuk menghindari permainan. Karena kuantitas tercatat akan menjadi ukuran perhitungan prosentase bagi-hasil sementara antara Kontraktor dengan negara  sesuai Production Sharing Contract (PSC).


Prosentase ini dihitung dengan menggunakan data asumsi perkiraan produksi dari Kontraktor dan mengacu pula kepada Indonesian crude price (ICP) dari Kementerian ESDM, serta asumsi biaya berdasarkan rencana kerja dan anggaran Kontraktor  (Work Program and Budget)  yang telah disetujui SKK Migas.


Karena prosentase bagi hasil sementara akan digunakan untuk menghitung volume minyak bagian negara ditahun berjalan, maka audit untuk memastikan validitas dan akurasi data pendukung dalam membandingkan rencana dibanding fakta, mutlak dilakukan. Terlebih jika terjadi joint lifting dimana minyak bagian negara dan bagian kontraktor dijual bersama. Pada mekanisme ini bagian negara beresiko menjadi lebih kecil.


Kelemahan Lelang


Lifting dimulai dari lelang penunjukan trader. Lelang oleh SKK migas kurang memperhatikan prinsip dan etika lelang. Hingga kini SKK Migas masih menggunakan cara lelang warisan BP Migas, dimana bidder melakukan penawaran melalui faximile. Metode kuno ini sangat rentan KKN. Harga penawar yang sudah masuk, mudah dibocorkan kepada bidder yang telah berkolusi. Atau bidder yang tidak dikehendaki dipersulit mengirimkan penawaran. Entah disengaja atau tidak, dizaman serba computer ini, sistem yang menyuburkan KKN ini justru dipilih oleh SKK migas.  Untuk meningkatkan akutabilitas, transparansi dan fairness, SKK migas harus segera menerapkan e-procurement. 


KPTS-20 mengatur 2 jenis lelang, yakni Pelelangan terbatas dan penunjukan langsung. Pelelangan terbatas dimulai dari pengiriman undangan lelang yang disertai general term and contract  kepada bidder list terdaftar. Dihari yang ditentukan para bidder yang diundang diminta mengirimkan penawaran melalui faximili.   Penawar tertinggi yang  memenuhi syarat akan diberi award sebagai pemenang lelang dan selanjutnya menandatangani seller appointment sales agreement (SASA) dan memenuhisyaratan pembayaran ke rekening negara.


Cara lelang ini menyuburkan KKN. Bidder terdaftar  yang diundang tidak tahu siapa saja yang diundang. Kalaulah diundang, bidder juga tidak tahu siapa pemenangnya dan berapa penawarannya. Metode ini tidak adil dan sulit diukur (unfair and lack accountability). Penyelenggara mudah memainkan lelang, misalnya  undangan lelang  dan pemenangnya diatur hanya kepada yang dikehendaki.


Sedang Penunjukan langsung terjadi jika lelang terbatas gagal dilakukan atau  terdapat alasan cukup menyangkut kepentingan negara, sehingga tidak mudah dilakukan. Penunjukan langsung ini mudah disalahgunakan dengan alasan pembenar yang tidak memenuhi syarat. Alasan pembenar yang sering dipakai dalam rapat shipping coordination (shipcord) yang diikuti oleh SKK migas, PERTAMINA dan Kontraktor, adalah ketidak mampuan kilang PERTAMINA menyerap minyak bagian negara karena maintenance  rutin dan over supply yang dapat menyebabkan tank top (melebihi kapasitas tanki). Alasan tersebut kemudian ditegaskan dalam berita acara shipcord  untuk kemudian menjadi pengabsah penunjukan langsung. Alasan itu sesungguhnya bukanlah alasan krusial sehingga tidak cukup menjadi dasar penunjukan langsung.


Beberapa catatan di atas adalah bahan bagi Tim Reformasi tata kelola migas dalam mengawali tugasnya dan mengkompilasi berbagai permasalahan  hulu dan hilir migas yang selama ini menjadi sarang mafia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar