Selasa, 30 Juni 2015

MENGAWASI LIFTING MIGAS (KONTAN)


Mengawasi Lifting Migas

Oleh Junaidi Albab Setiawan, Pengamat dan Praktisi Hukum Migas


Salah satu tugas Tim Reformasi Tata Kelola Migas adalah merevisi tata kelola migas sejak dari hulu hingga hilir. Selama ini, untuk urusan hulu pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan mempercayakan kepada SKK migas. SKK migas  adalah pengganti sementara dari BP migas yang dibubarkan oleh MK. Sedang di hilir pemerintah mempercayakan kepada  BPH migas.

Sudah lama kegiatan migas baik di hulu maupun hilir mengalami masalah akut yang terbukti tidak satu rezimpun mampu mengatasinya. Sehingga migas bukan lagi menjadi anugerah bagi seluruh rakyat, melainkan sekelompok saja. Selama ini rakyat diposisikan untuk menanggung kebobrokan  pengelolaan dan  membersihkan sampah dari pesta pora para mafia dan menanggung biayanya berupa harga BBM yang tinggi. 

Pemerintah seperti enggan melakukan perbaikan dan sengaja membuat sistem tata kelola hulu yang rentan KKN. Maka lifting sebagai inti kegiatan hulu harus segera diberikan perhatian khusus, karena penyelenggaraan lifting yang kurang profesional dan kurang transparan akan menyuburkan penyelewengan.

Lifting

Penerimaan negara dari migas sangat tergantung kepada lifting. Maka pengawasan  lifting sejak pemilihan perusahaan penjual minyak (trader) hingga pelaksanaannya menjadi penting. Sebagaimana telah diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kebocoran lifting tetap terjadi sekalipun menteri ESDM telah membangun Sistem Monitoring Lifting Minyak dan Gas Bumi (SMLM) untuk mengawasi produksi dan lifting migas yang dihasilkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) secara transparan, akurat dan mutakhir.     Ditambah lagi dengan pengawasan oleh SKK migas melalui  Crude Oil Monitoring Lifting and Entitlement (COMLE), serta syarat adanya surat jalan penyerahan, Sertifikat jumlah muatan, dan Sertifikat mutu, sebagai syarat lifting dari SKK migas.

Menurut SKK migas, saat ini pihaknya mengawasi 237 titik lifting, tempat dimana Kontraktor menyerahkan migas bagian negara kepada negara dan sekaligus menjadi titik serah  Custody Transfer Point (CTP)  dimana negara menyerahkan minyak kepada trader.   

Trader yang berhak mengikuti lelang terdiri perusahaan dalam dan luar negeri yang terdaftar di SKK Migas (registered bidder) sesuai Pedoman Penunjukan Penjual Minyak Mentah Bagian Negara KPTS 20/BP00000/2003-SO tanggal 15 April 2003 (KPTS-20).  Hingga september 2013 ada 23 trader telah terdaftar. Namun ironisnya hingga akhir tahun 2013, SKK migas tidak mampu menyajikan profil lengkap registered bidder ini secara transparan kepada publik. Sehingga informasi siapakah mereka dan  bagaimana reputasinya di bidang penjualan minyak menjadi sulit diakses. Maka tidak aneh jika SKK migas sulit menjelaskan kepada KPK, apa dan siapa Karnel Oil, Fossus Energy Ltd, Forteks Thailand Co Ltd, World Petrolium Energy,  dll. 


Lemah data ini merupakan celah penyelundupan hukum. Salah satu caranya  adalah membuat perusahaan jadi jadian yang bertujuan khusus untuk ikut lelang (Special purpose vehicle). Perusahaan  ini  biasanya didirikan di luar negeri  oleh orang atau perusahaan dalam satu sindikasi dengan tujuan untuk mendominasi lelang. Akibatnya lelang dikuasai oleh orang atau korporasi yang sama untuk bersekongkol menciptakan persaingan semu dan akibatnya negara sulit menemukan harga tertinggi.



Selain itu, lifting biasanya terjadi di tempat yang sulit dijangkau, padahal pengawasan terhadap akurasi volume lifting menjadi sangat menentukan untuk menghindari permainan. Karena kuantitas tercatat akan menjadi ukuran perhitungan prosentase bagi-hasil sementara antara Kontraktor dengan negara  sesuai Production Sharing Contract (PSC).


Prosentase ini dihitung dengan menggunakan data asumsi perkiraan produksi dari Kontraktor dan mengacu pula kepada Indonesian crude price (ICP) dari Kementerian ESDM, serta asumsi biaya berdasarkan rencana kerja dan anggaran Kontraktor  (Work Program and Budget)  yang telah disetujui SKK Migas.


Karena prosentase bagi hasil sementara akan digunakan untuk menghitung volume minyak bagian negara ditahun berjalan, maka audit untuk memastikan validitas dan akurasi data pendukung dalam membandingkan rencana dibanding fakta, mutlak dilakukan. Terlebih jika terjadi joint lifting dimana minyak bagian negara dan bagian kontraktor dijual bersama. Pada mekanisme ini bagian negara beresiko menjadi lebih kecil.


Kelemahan Lelang


Lifting dimulai dari lelang penunjukan trader. Lelang oleh SKK migas kurang memperhatikan prinsip dan etika lelang. Hingga kini SKK Migas masih menggunakan cara lelang warisan BP Migas, dimana bidder melakukan penawaran melalui faximile. Metode kuno ini sangat rentan KKN. Harga penawar yang sudah masuk, mudah dibocorkan kepada bidder yang telah berkolusi. Atau bidder yang tidak dikehendaki dipersulit mengirimkan penawaran. Entah disengaja atau tidak, dizaman serba computer ini, sistem yang menyuburkan KKN ini justru dipilih oleh SKK migas.  Untuk meningkatkan akutabilitas, transparansi dan fairness, SKK migas harus segera menerapkan e-procurement. 


KPTS-20 mengatur 2 jenis lelang, yakni Pelelangan terbatas dan penunjukan langsung. Pelelangan terbatas dimulai dari pengiriman undangan lelang yang disertai general term and contract  kepada bidder list terdaftar. Dihari yang ditentukan para bidder yang diundang diminta mengirimkan penawaran melalui faximili.   Penawar tertinggi yang  memenuhi syarat akan diberi award sebagai pemenang lelang dan selanjutnya menandatangani seller appointment sales agreement (SASA) dan memenuhisyaratan pembayaran ke rekening negara.


Cara lelang ini menyuburkan KKN. Bidder terdaftar  yang diundang tidak tahu siapa saja yang diundang. Kalaulah diundang, bidder juga tidak tahu siapa pemenangnya dan berapa penawarannya. Metode ini tidak adil dan sulit diukur (unfair and lack accountability). Penyelenggara mudah memainkan lelang, misalnya  undangan lelang  dan pemenangnya diatur hanya kepada yang dikehendaki.


Sedang Penunjukan langsung terjadi jika lelang terbatas gagal dilakukan atau  terdapat alasan cukup menyangkut kepentingan negara, sehingga tidak mudah dilakukan. Penunjukan langsung ini mudah disalahgunakan dengan alasan pembenar yang tidak memenuhi syarat. Alasan pembenar yang sering dipakai dalam rapat shipping coordination (shipcord) yang diikuti oleh SKK migas, PERTAMINA dan Kontraktor, adalah ketidak mampuan kilang PERTAMINA menyerap minyak bagian negara karena maintenance  rutin dan over supply yang dapat menyebabkan tank top (melebihi kapasitas tanki). Alasan tersebut kemudian ditegaskan dalam berita acara shipcord  untuk kemudian menjadi pengabsah penunjukan langsung. Alasan itu sesungguhnya bukanlah alasan krusial sehingga tidak cukup menjadi dasar penunjukan langsung.


Beberapa catatan di atas adalah bahan bagi Tim Reformasi tata kelola migas dalam mengawali tugasnya dan mengkompilasi berbagai permasalahan  hulu dan hilir migas yang selama ini menjadi sarang mafia.

DILEMA DIREKSI BUMN


KEGELISAHAN DIREKSI BUMN

Direksi BUMN saat ini sedang mengalami kegelisahan yang teramat sangat. Kerja keras mereka dalam menjalankan bisnis negara bagai tersandra. Mereka merasa diperlakukan secara tidak adil dan dihadapkan hanya pada dua pilihan, jika untung mereka disanjung jika buntung mereka di pasung.

Dari segi jumlah sudah terlalu banyak direktur BUMN menjadi tersangka dalam berbagai perkara korupsi bisnis. Sebut misalnya Direktur Utama  PT. Sang Hyang Sri (Persero), PT. Angkasa Pura I (Persero), PT,  Pos Indonesia (Persero), PT. Sucofindo (Persero) dan banyak lagi. Fenomena ini harus segera dikaji oleh  Kementerian BUMN untuk mencari tahu apa yang salah, dan tidak terlalu cepat berujar “serahkan saja kepada proses hukum”.

Peristiwa pergeseran tanggung jawab korporasi menjadi tanggung jawab pribadi dan berlanjut menjadi pesakitan tentu menyurutkan gairah kerja direksi dan berimbas kepada daya saing BUMN.  Karenanya, sebelum persepsi semakin salah dan korban terus bertambah, harus dicari penyebabnya dan menempatkan kegiatan BUMN di mata hukum dan bisnis secara bijaksana.

 

Bisnis Itu Lex Speciailis

Tulisan ini tidak menempatkan BUMN seolah “anak mas” yang kebal hukum, terlebih masih banyak ditemukan direktur BUMN yang “bermain-main” dengan pekerjaannya. Namun lebih menyorot kegiatan bisnis yang berkarakter  khusus (lex specialis), sehingga dalam menangani korupsi bisnis harus dilakukan dengan cara khusus pula. Penegak hukum tidak bisa menilai salah benar suatu kegiatan bisnis dengan pengetahuan  yang sempit. Jangan ada penegakan hukum yang melebihi kompetensi, apalagi menghukum karena dipaksa oleh sistem atau termotivasi oleh  euphoria anti korupsi.

Sistem penegakan hukum kita memaksa para penegak hukum dengan pengetahuan bidang bisnis yang terbatas,   harus menentukan benar salahnya tindakan bisnis yang kompleks. Dalam waktu 1 x 24 jam mereka dituntut  menjadi ahli pertambangan, konstruksi, perbankan, bandara, pelabuhan, perkebunan, dls. Selanjutnya dengan pengetahuannya itu menjadi penentu nasib  direktur yang sudah merintis karir berpuluh tahun.  

Hampir semua direktur BUMN tersangka korupsi bisnis mengklaim bahwa yang dilakukannya telah sesuai dengan tanggung jawabnya  dari perspektif bisnis. Bahkan ada seorang direktur BUMN seusai diperiksa KPK berani berseloroh, justru negaralah yang semestinya memberikan penghargaan atas effort yang sudah dia lakukan.

Namun di sisi lain, penegak hukum tetap bekerja dengan caranya dan  memandang tindakan dan kerugian BUMN sebagai kerugian negara, karenanya tergolong korupsi. Selama ini untuk menemukan sifat melawan hukum  suatu peristiwa, penegak hukum terbiasa bertumpu kepada formalitas dan mencari pembenar dari bunyi pasal dengan mempadu padankan peristiwa dengan bunyi unsur-unsur pasal.

 

Kerugian bisnis sebagai Kerugian negara

Dalam praktek sering terjadi beda tafsir antara BUMN dengan penegak hukum soal corporate loss menjadi state loss. Kesenjangan ini  harus diatasi  tanpa harus  menafikan tugas dan wewenang masing masing.

Memang modal BUMN sebagian atau seluruhnya berasal dari kekayaan negara, namun kekayaan itu telah dipisahkan untuk modal bisnis sesuai tujuan pendirian BUMN baik sebagai Badan Hukum Perseroan Terbatas (persero) maupun Perusahaan Umum (Perum). Sehingga keuntungannya harus diterima sebagai keuntungan bisnis bergitupun ruginya. Tujuan utama BUMN sebagai badan usaha adalah untuk mencari keuntungan yang pada gilirannya akan menjadi keuntungan negara. Tidak satupun ketentuan di dunia ini yang mewajibkan berbisnis harus untung, karena untung dan rugi adalah keniscayaan dalam bisnis.

 

Dilema Direksi Dan daya Saing

Direksi adalah salah satu organ perseroan terbatas (PT) selain Dewan Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Direksi berwenang dan bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sesuai  maksud dan tujuan perseroan. Sehingga direktur adalah orang yang dianggap cakap dan dapat dipercaya karena berkemampuan  melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pengelola perusahaan. Tindakan dan keputusan direksi, sepanjang berdasarkan prinsip fiduciary duty dan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, tidak layak untuk dinilai atau dipertanyakan oleh pihak lain.    

Karenanya penting bagi aparat penegak hukum untuk memahami karakter bisnis ini. Jangan lupa bahwa Perseroan dengan tujuan pendiriannya adalah sebab dari keberadaan direksi, sehingga tidak mudah untuk membalik tanggung jawab pengurusan perusahaan menjadi tanggung jawab pribadi.   

Direksi juga dituntut mampu memanfaatkan seluruh potensi yang ada pada perusahaan untuk dalam waktu yang terbatas  merebut peluang bisnis demi keuntungan perusahaan. Direksi harus  melakukan praktik bisnis yang adil dan bersaing dengan cara yang pantas.  Tindakan direksi  yang  kritis dan strategis akan  sangat berpengaruh kepada pendapatan maupun pertumbuhan sebuah perusahaan.

Peluang tidak akan pernah datang dua kali, maka direktur dituntut untuk  mengambil keputusan bisnis dengan kecepatan dan ketepatan. Tepat karena  tindakannya  didasari perhitungan sesuai waktu, aturan dan kelaziman bisnis yang bisa dipertanggung jawabkan. Sehingga tidak mudah menyalahkan direksi jika tindakannya berujung rugi. Jika BUMN merugi tidak serta merta lalu dianggap korupsi. Kesenjangan pemahaman inilah yang kini mengakibatkan banyak direktur BUMN tersungkur diujung pedang para penegak hukum.

Situasi ini membuat direksi BUMN gelisah dan gamang dalam mengambil keputusan yang berkonsekwensi bisnis dan hukum. Sehingga berakibat BUMN kurang luwes bertindak, kurang cepat merebut peluang bisnis dan hampir selalu tertinggal dibanding swasta.

Dalam ilmu hukum bisnis, terhadap direksi dikenal sebuah doktrin yang disebut Business judgment rule, yang mengajarkan bahwa pertimbangan bisnis anggota direksi tidak dapat ditantang atau diganggu gugat atau ditolak oleh pengadilan atau pemegang saham. Para anggota direksi tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis oleh anggota direksi yang bersangkutan sekalipun pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu (Sutan Remi Sjahdeni, 2001).

Jalan Tengah

Kesenjangan ini bisa diatasi dengan  mendirikan dewan etik dan pertimbangan bisnis yang bertugas untuk menguji dan mengukur kegiatan bisnis berdasar standar operasional bisnis. Dewan ini harus independen, bukan pihak terafeliasi, yang terdiri dari ahli bisnis, ahli hukum dan perguruan tinggi.

Pendapat  dewan etik harus menjadi rujukan ada tidaknya perbuatan melawan hukum dari perpektif korupsi bisnis. Sebelum menetapkan seorang direktur BUMN sebagai tersangka dalam perkara korupsi bisnis, penegak hukum harus melewati proses pendahuluan ini (dismissal proses), untuk memastikan kerugian perusahaan terjadi dalam batas yang wajar dan lazim, bukan disebabkan oleh karena KKN, kecerobohan dan kurang professionalnya direksi.

 

JUNAIDI ALBAB SETIAWAN, Praktisi Hukum

Sabtu, 27 Juni 2015

Production Sharing Contract



PERGESERAN TUJUAN DAN PENERIMA KUASA PERTAMBANGAN
DALAM KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI
PADA KONTRAK PRODUCTION SHARING

A.          Latar Belakang Masalah
Pengelolaan minyak dan gas bumi (selanjutnya disebut migas) sebagai sumber daya alam seharusnya didasarkan pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).  Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dengan ayat 3 pasal 33  UUD 1945, maka bangsa Indonesia memberi kekuasaan kepada Negara Republik Indonesia untuk mengatur, mengurus, memelihara dan menggunakan kekayaan nasional tersebut sebaik-baiknya agar tercapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Adapun wewenang Negara untuk menguasai itu meliputi penguasaan, walaupun demikian tidak melayani, apabila Negara pelaksanaan kekuasaan itu kepada yang dapat menjalankannya, asalkan Negara dapat menjamin hubungan bangsa Indonesia dengan wilayah yang abadi itu serta kedudukan Negara Republik Indonesia yang diberikan hak menguasai kekayaan nasional tersebut.[1]   
Terkait dengan migas, ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut memberikan penegasan bahwa migas yang terkandung di bumi Indonesia adalah salah satu kekayaan alam yang langsung dikuasai negara. Penegasan tersebut selain merupakan pernyataan kepemilikan, juga merupakan maklumat bahwa pengupayaan, pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam tersebut hanya dapat dilakukan oleh negara. Negara dalam hal ini adalah satu satunya pihak yang oleh konstitusi diberi amanah untuk menguasai, mengatur, mengurus, memelihara dan mempergunakan kekayaan alam tersebut untuk tujuan mencapai kemakmuran rakyat.[2]  
Ada dua kata kunci di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di atas, yakni kata “dikuasai” dan “dipergunakan”. Kata “dikuasai” merupakan penunjuk dasar kewenangan Negara, dimana Negara, menurut Abrar Saleng, adalah sebagai teritori yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga masyarakat hukum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus dan memelihara pemanfaatan seluruh potensi sumberdaya alam yang ada dalam wilayahnya secara intern.[3]  Pendek kata Negara menjadi pengendali utama satu-satunya atas kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia.
Negara adalah badan hukum publik yang dapat mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia yang dapat melimpahkan ataupun mendelegasikan kekuasaannya (rechtsbevoegheid). Menurut Apeldoorn, Negara, propinsi, kotapraja, dan lain sebagainya adalah badan hukum. Hanya saja pendiriannya tidak dilakukan secara khusus, melainkan tumbuh secara historis.[4]  Dalam kaitan ini Negara yang diwakili pemerintah dianggap sebagai badan hukum, karena pemerintah menjalankan kegiatan komersial (act jure gestionisi). Selanjutnya dalam pasal 1654 KUH Perdata disebutkan:
“Semua badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa mengurangi perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasi atau menundukkannya kepada tata cara tertentu”.
    
Sementara itu pengertian Badan Hukum bisa dilihat dari doktrin ilmu hukum, menurut Nindyo Pramono Badan Hukum adalah sesuatu yang oleh hukum diakui atau dianggap sebagai subjek hukum seperti halnya orang, subjek hukum adalah penyandang, pembawa hak dan kewajiban, dengan ciri-ciri hukum memiliki kekayaan terpisah, tujuan tertentu, kepentingan sendiri dan organisasi teratur.[5] Sedang menurut Rochmat Soemitro, rechtperson adalah suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang pribadi. Menurut Sri Soedewi Masjchoen sebagaimana di kutip dari Salim H. S, berpendapat bahwa yang di maksudkan dengan badan hukum adalah Kumpulan orang-orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu badan, yaitu (1). berwujud himpunan, dan (2) harta kekayaan yang di sendirikan untuk tujuan tertentu, dan ini di kenal dengan yayasan. Dari kedua pendapat ini, maka jelas terlihat bahwa sebuah badan hukum selalu berkaitan dengan harta kekayaan.[6]
Adapun kata “dipergunakan” mengandung perintah konstitusi kepada negara untuk menggunakan dan memanfaatkan kekayaan alam yang antara lain berupa migas untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Perintah yang diamanatkan UUD 45 berisi keadaan berbuat, berkehendak agar sesuai dengan tujuannya.[7]
Menurut Sri Edi Swasono, Dalam alam globalisasi saat ini maka perkataan “dukuasai” tidak akan menjadi effective tanpa diikuti dengan pengertian “dimiliki” terhadap cabang-cabang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak itu. Subjek matter atau isu subtantif daripada pasal 33 ini adalah “dikuasai”. Jadi bila tujuan “menguasai” tidak tercapai karena tidak “memiliki”, maka kondisi “dimiliki oleh Negara” harus imperative diwujudkan secara nyata demi effectivenya kondisi “dikuasai oleh Negara”.[8]  
Mengingat migas merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan oleh manusia, maka migas akan selalu dicari dan diupayakan pengadaannya. Karena migas semakin lama semakin berkurang dan langka, maka migas menjadi komoditas bernilai ekonomis tinggi. Dalam kondisi seperti ini negara mempunyai peran yang penting dalam pengelolaan migas sesuai dengan amanat konstitusi untuk menciptakan cita-cita keadilan social dalam bidang ekonomi. Sejalan dengan itu, menurut Syaiful Bakhri, Migas merupakan public utilities yang sangat dibutuhkan masyarakat, sementara barang subtitusi belum banyak tersedia, sehingga diperlukan peran (intervensi) pemerintah.[9]    
Amanat konstitusi yang menempatkan negara untuk menguasai dan mempergunakan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia ini juga menjadi landasan utama seluruh peraturan-peraturan yang mengatur tentang migas di Indonesia. Amanat itu menjadi pertimbangan utama diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Selanjutnya disebut UU Migas) yang berlaku saat ini. Terakhir yang masih berlaku, di dalam huruf b pertimbangan UU Migas disebutkan :
“minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh Negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat”.

Penjelasan di atas paling tidak menekankan beberapa hal, yakni:  Pertama, migas adalah sumber daya alam strategis: Kedua, migas adalah komoditas vital; dan Ketiga, migas berperan penting dalam perekonomian nasional.
Komoditas sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah barang dagangan utama atau benda niaga.[10] Dengan demikian, UU Migas sesungguhnya menempatkan migas sebagai barang dagangan atau barang niaga yang menjadi objek perniagaan untuk mencari keuntungan atau laba. Sedangkan kedudukan kontrak dalam suatu perniagaan adalah salah salah satu sarana berniaga, yang menurut Ridwan Khairandy, Pada prinsipnya kontrak terdiri dari satu atau serangkaian janji yang dibuat para pihak dalam kontrak.[11]   yang dibuat dan dirumuskan para pihak dalam kontrak, perihal segala sesuatu berkaitan dengan kepentingan para pihak. Menurut hukum, yang dapat menjadi objek kontrak adalah barang sesuatu yang apat dinilai dengan uang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1332 KUH Perdata bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok dalam suatu perjanjian.
Karena migas adalah komoditas, maka baik negara atau yang mewakilinya yang menjalin kontrak dengan Badan Usaha[12] atau Bentuk Usaha Tetap[13]  untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas dan selanjutnya memperniagakannya, sesungguhnya sedang melakukan kegiatan yang bertujuan untuk mencari keuntungan atau laba. Keuntungan tersebut berupa selisih lebih antara harga penjualan yang lebih besar dari harga pembelian atau biaya produksi[14] (eksplorasi dan eksploitasi). Dalam posisi ini, mengingat keterbatasan sumber daya dan dana namun juga mengingat migas berperan penting dalam perekonomian nasional, maka negara berupaya untuk tidak mengeluarkan biaya eksplorasi dan eksploitasi yang  memiliki risiko tinggi. Walaupun negara tidak mengeluarkan tersebut dan juga tidak menangung risiko akibat kegiatan tersebut, namun negara tetap memiliki komitmen untuk melakukan penggantian dari migas yang dihasilkan. Tujuan negara adalah untuk mendapatkan Migas sebagaimana diinginkannya dengan risiko yang terkecil.
Untuk mewujudkan hak negara atas migas dan memanfaatkannya demi sebesar-besar kemakmuran rakyat bukanlah hal yang sederhana dan mudah dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan akan kemampuan Indonesia dalam melakukan eksplorasi eksploitasi. Keterbatasan juga terjadi pada sektor pembiayaan kegiatan tersebut. Di sisi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas merupakan kegiatan padat modal, padat teknologi dan mengandung risiko investasi yang besar.
Penguasaan kekayaan alam berupa migas yang masih berada di dalam kandungan bumi Indonesia adalah dengan kegiatan usaha eksplorasi dan selanjutnya eksploitasi.[15] Oleh karena itu, kata eksplorasi dan eksploitasi selalu termuat di dalam peraturan-peraturan perundangan yang pernah dibuat dalam rangka pengaturan dan pemanfaatan migas. Misalnya, Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang pendirian PERTAMINA, Undang-undang No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang No. 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1968 (Lembaran-Negara Tahun 1968 No. 44), Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi.
Paling tidak, ada empat faktor yang membuat industri hulu migas berbeda dengan industri lainnya, antara lain: Pertama, lamanya waktu antara saat terjadinya pengeluaran (expenditure) dengan pendapatan (revenue); Kedua, keputusan yang dibuat berdasarkan risiko dan ketidakpastian tinggi serta melibatkan teknologi canggih; Ketiga, sektor ini memerlukan investasi biaya yang relatif besar; Keempat, namun dibalik semua risiko tersebut, industri migas juga menjanjikan keuntungan yang sangat besar.[16]
Dengan kondisi atau sebagaimana tersebut, kehadiran investasi asing menjadi hal yang sangat penting. Pengusahaan migas membuka ruang bagi investor asing.  Hal ini bertujuan untuk keperluan pemanfaatan migas secara optimal namun dengan risiko yang terkecil bagi negara.   
Kehadiran pihak ketiga dalam kerjasama penambangan harus tidak mempengaruhi posisi negara sebagai pemilik dan penguasa tunggal yang sah atas sumber daya migas. Negara sebagai pemilik adalah pihak yang memegang kendali utama atas migas. Untuk melaksanakan haknya yang disebutkan dalam UUD 1945, negara memerlukan kepanjangan tangan yang dapat menerima delegasi hak “menguasai” dan hak “mempergunakan”. Penerima delegasi kuasa pertambangan untuk selanjutnya bertugas melaksanakan hak negara dalam praktik nyata. Termasuk dalam kategori adalah membuat kontrak kerjasama dalam bentuk kontrak bagi hasil atau production sharing contract (PSC).[17]  Peran tersebut saat ini dijalankan oleh pemerintah dengan sarana hukum yang disebut sebagai kuasa pertambangan. Dengan batasan bahwa yang diberikan dengan kuasa pertambangan hanyalah kekuasaan untuk melaksanakan usaha pertambangan dan tidak memberikan hak pertambangan kepada pemegang kuasa pertambangan.[18]
Kuasa Pertambangan menurut pasal 1 angka 5 UU Migas adalah wewenang yang diberikan negara kepada pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi.  
Kuasa Pertambangan tersebut selain diatur di dalam UU Migas juga diatur hampir di semua ketentuan pengelolaan migas yang pernah berlaku sejak Indonesia merdeka. Pasal 1 huruf h, Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.  Selanjutnya disebut Perpu No. 44 Tahun 1960. BAB I, Pasal 1 tentang Istilah-istilah, huruf j undang-undang tersebut mengartikan  kuasa pertambangan sebagai wewenang yang diberikan kepada perusahaan negara untuk melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi.
Berbeda dengan definisi kuasa pertambangan dalam UU Migas, Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 menentukan bahwa kuasa pertambangan doberikan perusahaan negara.[19] Lebih jauh hal ini diperjelas dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.  Pasal 11 ayat (1) menentukan bahwa kuasa pertambangan kepada perusahaan disediakan seluruh wilayah hukum pertambangan Indonesia, sepanjang mengenai pertambangan minyak dan gas bumi. Selanjutnya disebutkan di ayat (2), Kepada perusahaan diberikan kuasa pertambangan yang batas-batas wilayahnya serta syarat-syaratnya ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri.
Pemberian Kuasa Pertambangan kepada perusahaan negara dan Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi  tercatat dalam Undang-undang Migas yang pernah berlaku di Indonesia, dalam Perpu No. 44 Prp. Tahun 1960. Di dalam pertimbangan dinyatakan:
 mengingat pentingnya minyak dan gas bumi baik bagi kesejahteraan rakyat maupun untuk pertahanan dan keamanan Nasional”, ditentukan bahwa pengusahaan minyak dan gas bumi hanya dapat diselenggarakan oleh Negara dan pelaksanaan pengusahaannya hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Negara.”

Selanjutnya untuk memfasilitasi ketentuan tersebut, kemudian dibentuk (Perusahaan Negara) P.N. PERTAMINA. Hal ini dimaksudkan sebagai tindak lanjut dari amanat konstitusi untuk mempergunakan migas bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, yakni dengan cara membatasi bahwa pihak yang berhak melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia adalah perusahaan  negara yang dibentuk untuk tujuan itu.
Dalam sejarah tercatat kuasa pertambangan ini pernah diberikan kepada pihak yang berbeda-beda. Menurut Perpu No 44 Tahun 1960 memberikan kuasa pertambangan kepada perusahaan negara. Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Pendirian Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi nasional memberikan kuasa pertambangan kepada perusahaan.[20] Kemudian Undang-Undang Migas memberikan kuasa pertambangan kepada pemerintah.[21] Kuasa pertambangan yang diberikan kepada pemerintah berdasar UU Migas tersebut dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Dalam perkembangannya, ketentuan mengenai BP Migas tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Untuk sementara saat ini tugas-tugas BP Migas itu dilaksanakan oleh Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Sejarah pemberian kuasa pertambangan ini dimulai pada 20 Agustus 1968 ketika Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia (PN PERMINA) yang bergerak di bidang produksi digabung dengan  Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Nasional (PN PERTAMIN) yang bergerak di bidang pemasaran. Peleburan kedua perusahaan tersebut melahirkan Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional  disingkat PN PERTAMINA (selanjutnya disebut Pertamina). Penyatuan itu dimaksudkan guna menyatukan tenaga, modal, dan sumber daya yang kala itu sangat terbatas.
Pertamina adalah badan hukum[22] yang kegiatannya untuk melakukan usaha di bidang migas dari hulu hingga hilir sebagaimana diatur Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1968. Pasal ini menyatakan bahwa perusahaan adalah badan hukum[23] yang berhak melakukan usaha-usaha berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pertamina merupakan perusahaan (bedrijef)[24] berbentuk badan hukum yang didirikan dengan tujuan tertentu[25] yakni untuk mencari keuntungan/laba (profit oriented) yang akan digunakan untuk memakmurkan rakyat. Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1968 tentang tujuan dan lapangan usaha perusahaan menentukan:
“Perusahaan adalah suatu kesatuan produksi jang turut membangun Ekonomi Nasional berdasarkan Pantjasila dengan djalan menghasilkan laba baik berupa devisa dan ataupun rupiah bagi Negara demi kemakmuran dan kesedjahteraan rakjat”.

Dari tahun ke tahun tingkat perkembangan dan kemajuan usaha yang telah dicapai oleh Pertamina cukup memuaskan.[26]Hal ini dikarenakan Pertamina merupakan satu-satunya perusahaan negara yang ditugaskan untuk menampung dan melaksanakan semua kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia. Pertamina pada waktu itu berkembang dan telah mencapai suatu tingkat kesatuan usaha yang meliputi berbagai cabang pengusahaan minyak dan gas bumi (suatu integrated state oil company) di Indonesia.
Untuk terus memperkuat keadaan itu, pemerintah kemudian menerbitkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971, dimana di dalamnya mengatur perubahan PN PERTAMINA menjadi Perusahaan Pertambangan Minyak Nasional. Di dalam Undang-undang ini diatur peran Pertamina sebagai satu-satunya perusahaan negara yang ditugaskan melaksanakan pengusahaan migas mulai dari mengelola dan menghasilkan migas dari ladang-ladang minyak di seluruh wilayah Indonesia, mengolahnya menjadi berbagai produk dan menyediakan serta melayani kebutuhan bahan bakar minyak dan gas di seluruh Indonesia.
Berkaitan dengan kuasa pertambangan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 menentukan bahwa kepada perusahaan disediakan seluruh wilayah hukum pertambangan Indonesia, sepanjang mengenai pertambangan minyak dan gas bumi Kemudian ayat (2) pasal tersebut menentukan lagi bahwa kepada perusahaan diberikan Kuasa Pertambangan yang batas-batas wilayahnya serta syarat-syaratnya ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri. Selanjutnya di Pasal 12 ditentukan bahwa perusahaan dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk "Kontrak Production Sharing".
Pengertian wilayah hukum pertambangan Indonesia menurut Pasal 1 huruf j Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 adalah seluruh kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan Indonesia, menurut peraturan  pemerintah pengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 1960 dan daerah-daerah kontinental dari kepulauan Indonesia”.
Dengan ketentuan di atas jelas hanya Pertamina sebelum era UU Migas yang menjadi pemegang kuasa pertambangan atas seluruh migas di wilayah negara Republik Indonesia.
Dengan posisi Pertamina saat itu, semua perusahaan pertambangan migas yang hendak menjalankan usaha di Indonesia wajib bekerja sama dengan Pertamina. Dengan fungsi itu pula Pertamina memiliki posisi ganda baik sebagai regulator maupun operator. Di dalam posisi sebagai regulator, Pertamina merupakan regulator bagi mitra yang menjalin kerja sama melalui mekanisme Kontrak Kerja Sama (KKS) di wilayah kerja (WK) Pertamina. Kemudian Pertamina juga bertindak sebagai operator karena Pertamina juga menggarap sendiri sebagian wilayah kerjanya.[27]
Sejalan dengan dinamika industri migas di dalam negeri, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001. Sebagai konsekuensi penerapan Undang-Undang tersebut, Pertamina beralih bentuk menjadi P.T Pertamina (Persero) dan melepaskan peran gandanya. Peran regulator diserahkan kepada suatu Badan Pelaksana  sedangkan Pertamina hanya memegang satu peran sebagai operator murni. Peran regulator di sektor hulu selanjutnya dijalankan oleh Badan Pelaksana Hulu Migas yang dibentuk pada tahun 2002.[28]
Setelah terbitnya Undang-Undang Migas dan kemudian disusul dengan perubahan Pertamina menjadi perusahaan perseroan, yakni PT Pertamina (Persero) berdasarkan PP No. 31 Tahun 2003 Pada 17 September 2003, maka PT. PERTAMINA tidak lagi memiliki kewenangan sebagai pelaksana kuasa pertambangan Migas dari pemerintah sebagai wakil negara. Posisi PT Pertamina digantikan oleh suatu Badan Pelaksana, BP Migas.
 BP Migas adalah badan pelaksana yang dimaksud Pasal 1 angka 23 UU Migas. Pasal 1 angka 23 UU Migas tersebut menentukan Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi.  BP Migas berdasar Pasal 45 ayat (1) UU Migas jo Pasal 2 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2002 adalah badan hukum milik Negara.
Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2002, BP Migas adalah badan hukum tidak bersifat untuk mencari keuntungan dan memiliki fungsi melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu migas milik Negara sehingga dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar besar kemakmuran rakyat. 
Dengan didirikannya badan pelaksana dalam bentuk badan hukum ini, maka kewenangan pengawasan dan pembinaan kegiatan kontrak kerjasama (KKS) yang sebelumnya dipegang oleh Pertamina beralih kepada pemerintah. Kuasa pertambangan yang dipegang oleh pemerintah tersebut dilaksanakan oleh BP Migas yang berbentuk badan hukum namun tidak memiliki tujuan mencari keuntungan.
Pasal 4 ayat (3) UU Migas menentukan bahwa pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan membentuk badan pelaksana sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3.  Badan pelaksana menurut Pasal 44 ayat (1) dan 44 ayat (2) UU Migas melakukan pengawasan kegiatan hulu migas (eksplorasi dan eksploitasi). Pengawasan kegiatan hulu dilakukan agar pengambilan sumber daya alam migas milik negara memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tugas badan pelaksana sebagaimana ditentukan Pasal 44 ayat (3) UU Migas adalah: Pertama, memberikan pertimbangan kepada menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama; Kedua,  melaksanakan kontrak kerja sama; dan Ketiga, mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksi dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan. Dengan demikian, UU Migas  menegaskan bahwa badan ini menjadi kepanjangan tangan pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan dalam melaksanakan KKS dalam kegiatan hulu migas.
Salah satu tugas BP Migas yang patut dicermati adalah tugas melaksanakan KKS. BP Migas menurut Undang-undang Migas adalah badan hukum yang dibentuk pemerintah untuk melaksanakan kuasa pertambangan yang diberikan oleh negara kepada pemerintah. Sebagai badan hukum dan pihak dalam suatu kontrak, BP Migas dapat dibebani kewajiban atau prestasi sebagaimana diatur dalam kontrak. Setelah BP Migas menandatangani kontrak seketika itu negara terikat pada  seluruh isi kontrak yang berarti negara kehilangan kebebasan untuk melakukan regulasi atau kebijakan yang bertentangan dengan isi kontrak.  
Isi kontrak mengikat para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda). Kontrak merupakan undang-undang bagi para yang membuat kontrak. Pada prinsipnya kontrak adalah kesepakatan yang terdiri dari satu atau serangkaian janji yang dibuat para pihak dalam kontrak.[29] Esensi dari kontrak itu sendiri adalah kesepakatan (agreement)[30]. Dengan melibatkan diri dalam suatu kontrak terhadap pihak lain, maka kepada BP Migas harus diperlakukan sebagai subjek hukum biasa dan menundukkan diri dalam ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang kontrak dan hal-hal yang diatur dalam kontrak. Jika BP Migas gagal dalam memenuhi prestasi yang ditentukan dalam KKS, maka BP Migas terikat pada konsekuensi hukum akibat adanya wanprestasi baik berdasar kontrak itu sendiri maupun peraturan perundang-undangan seperti KUHPerdata.
Di sisi yang lain, BP Migas secara struktural adalah kepanjangan tangan pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan dari negara. Dengan demikian, secara tidak langsung Negara yang menanggung konsekuensi hukum dari hubungan hukum yang timbul dari kontrak tersebut. 
Eksistensi, tugas, dan fungsi BP Migas dalam Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU Migas telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan No.: 36/PUU-X/2012.
Untuk sementara peran BP Migas saat ini digantikan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi SKK Migas. SKK Migas adalah lembaga sementara pengganti peran dan tugas dan fungsi BP Migas agar tidak terjadi kekosongan hukum sampai adanya UU Migas yang baru. Pasal 1Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2012  menyatakan:
Pelaksanaan tugas, fungsi, dan organisasi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dialihkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi, sampai dengan diterbitkannya peraturan yang baru.

Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2013 dinyatakan bahwa penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, sampai dengan diterbitkannya undang-undang baru di bidang minyak dan gas bumi, dilaksanakan oleh satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dan untuk selanjutnya dalam Peraturan Presiden ini disebut SKK Migas.
Dengan putusan MK yang membatalkan pasal-pasal yang menjadi dasar pembentukan serta fungsi dan tugas BP Migas, tersirat suatu pesan bahwa negara sedang berada dalam suatu kebimbangan mengenai kepada siapa sebenarnya negara akan mendelegasikan hak menguasai terhadap migas. Apakah kepada suatu perusahaan negara atau kepada perusahaan perseroan yang semuanya merupakan badan usaha berbentuk badan hukum yang berorientasi kepada laba atau kepada semacam badan pelaksana yang berbadan hukum, tetapi tidak berorientasi nirlaba?
Kebijakan negara untuk menggantikan fungsi dan tugas BP Migas lebih membingungkan lagi dengan pembentukan SKK Migas yang berada langsung di bawah kendali Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan tugas dan fungsi sama dengan BP Migas. Dengan tugas-tugas sebagaimana diatur dalam Pasa13 Peraturan Menteri ESDM No. 9 Tahun 2013. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, SKK Migas menyelenggarakan fungsi:
a.   memberikan pertimbangan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sarna;
b.   melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama;
c.   mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam  suatu Wilayah Kerja kepada Menteri Energi dan sumber Daya Mineral untuk mendapatkan persetujuan;
d.   memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf c;
e.   memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
f.    melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; dan
g.   menunjuk penjual minyak bumi dan/ atau gas bumi bagian Negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar- besarnya bagi Negara.

Dilihat dari peraturan-peraturan yang mengatur peralihan BP Migas kepada SKK Migas, dapat disimpulkan bahwa yang dialihkan adalah fungsi dan tugas namun tidak disertai penegasan apakah SKK Migas ini badan hukum ataukah bukan, sebagaimana status yang disandang oleh BP Migas. Dengan kaburnya status ini maka dapat disimpulkan bahwa SKK Migas adalah bagian struktural organik dari Kementerian ESDM namun tidak ditentukan mengenai bentuk atau status SKK Migas ini secara hukum, apakah sebagai suatu Badan Hukum ataukah bukan. Artinya, segala kegiatan hukum yang dilakukan SKK Migas dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana BP Migas, mulai saat itu menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM (pemerintah sebagai penerima kuasa pertambangan).
Pengalihan tugas dan fungsi BP Migas kepada SKK Migas ini membawa konsekuensi yuridis diantaranya: Pertama, sebagaimana BP Migas, SKK Migas bukan bertujuan untuk mencari laba; Kedua, segala Kontrak Kerja Sama yang ditandatangani antara BP Migas dan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir, dan Ketiga, seluruh proses pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang sedang ditangani oleh BP Migas dilanjutkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dijalankan oleh SKK Migas.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini bentuk pendelegasian wewenang pelaksanaan hak negara selaku penguasa migas dilakukan melalui sarana hukum yang disebut kuasa pertambangan. Pemberian kuasa pertambangan ini dalam perkembangannya hingga saat ini nampak terus bergeser. Pergeseran ini menandakan masih terjadinya pencarian format hukum kuasa pertambangan yang belum selesai hingga hari ini. Pertanyaan yang muncul adalah, menurut konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada, kepada siapa sebaiknya kuasa pertambangan itu diberikan. Demikian juga berkaitan tujuan pemberian kuasa pertambangan. Apakah tujuan pemberian kuasa pertambangan kepada penerimanya tersebut sesungguhnya dimaksudkan untuk mencari laba  (profit oriented) atau bukan?
Peristiwa hukum di atas tentu menimbulkan pertanyaan yang cukup mendasar terutama menyangkut, mengapa terjadi beberapa kali perubahan kebijakan hukum tentang siapa yang diberikan kuasa untuk mewakili negara dalam kegiatan usaha Hulu Migas. Perubahan tersebut tentu saja mengandung konsekuensi hukum yang berbeda beda pula. Penelitian ini akan mendalami konsekuensi hukum dilihat dari aspek penerapannya  dari waktu ke waktu di bawah payung hukum yang berubah-ubah.
Hingga saat ini Negara belum berhasil merumuskan suatu aturan yang baku bagaimana dan siapa yang pantas diberi wewenang mewakili negara berkaitan hak menguasai negara atas migas.


[1] Lihat penjelasan Atas Undang-undang No. 44 Tahun 1960 Tentang Pertambangan  Minyak Dan Gas Bumi, bagian Umum, angka 1.
[2] Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya, Setara Press, Malang, 2013, halaman 2.
[3] Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, cetakan kedua, UII Press, Yogyakarta, halaman 8. 
[4] L.J Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Noor Komala, Jakarta, 1982, hlm 164.
[5] Nindyo Pramono, Pembahasan RUU Tentang Usaha Perseorangan dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum, hlml 5,  http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/782_prof%20nindyo.pdf
[6] Sarah S. Kuahaty, Pemerintah Sebagai Subjek Hukum …………………. Jurnal Sasi Vol. 17 No. 3 Bulan Juli-September 2011, hlm 2.  
[7] Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta, 2009, hlm. 3.
[8] Sri Edi Swasono, dalam Elli Ruslina, dasar Perekonomian Indonesia Dalam Penyimpangan Mandat Konstitusi UUD Negara Tahun 1945, Total Media, Yogyakarta, 2013, halaman x  
[9] Syaiful Bakhri, Hukum Migas Telaah Penggunaan Hukum Pidana dalam Perundang-undangan, Total Media, Yogyakarta, 2012, hlm 11.
[10]Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan – Balai Pustaka, Jakarta,1997, hlm 515. Lihat juga Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hlm 331.
[11] Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan (Bagaian Pertama), FH UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 57.
[12] Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lihat Pasal 1 angka 17 UU Migas.
[13] Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lihat Pasal 1 angka 18 UU Migas.
[15]Pasal 4 Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi, jo pasal 3 (a) dan pasal 5 (1a dan 1b) Undang-undang No. 22  Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, juncto Pasal 5 (3) Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1968 (Lembaran-Negara tahun 1968 No. 44).
[16]Benny Lubiantara, Ekonomi Migas Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2012, hlm. 5.
[17] Istilah resmi yang dipakai UU Migas adalah kontrak kerjasama (KKS). KKS ini oleh Pasal 1 angka 19 didefinisikan sebagai kontrak bagi hasil atau kontrak kerjasama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
[18] Penjelasan pasal 11 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1960.
[19]Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dn Gas Bumi, Pasal 3 ayat (2)Usaha pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan Negara semata-mata.
/
[20]Undang-Undang No. 8 Tahun 1971Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara Pasal 11 ayat (1) Kepada Perusahaan disediakan seluruh wilayah hukum pertambangan  Indonesia, sepanjang mengenai pertambangan minyak dan gas bumi. (2) Kepada Perusahaan diberikan Kuasa Pertambangan yang batas-batas wilayahnya serta syarat-syaratnya ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri. 
[21]Undang-undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2001, Tentang Minyak dan gas Bumi,  Pasal 4 ayat  (1) Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. (2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.
[22] Nindyo Pramono, Pembahasan RUU Tentang Usaha Perseorangan dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum, hlml 5,  http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/782_prof%20nindyo.pdf
[23] Badan Hukum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) disebut zedelijk lichaam. Menurut KUHPerdata, yang dimaksud dengan badan hukum (rechtspersoon) adalah sesuatu yang oleh hukum diakui atau dianggap sebagai subjek hukum sebagaimana orang. Lihat
[24] Setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan oleh orang perorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara republik Indonesia ( Ps 1 (1) UU No.8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan.
[25] Nindyo Pramono, op.cit., Pembahasan RUU Tentang Usaha Perseorangan dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum, hlm 5.
[26]Diuraikan dalam Pertimbangan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971, huruf  b.
[27]Tahun 1957 Tonggak Sejarah Pertamina,  http://www.Pertamina-ep.com/Tentang-PEP/Sekilas-Perusahaan/Sejarah-Kami
[29]Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), FH UII Press, 2013, hlm. 57. 
[30] Ibid.