PERGESERAN TUJUAN DAN PENERIMA
KUASA PERTAMBANGAN
DALAM KEGIATAN
USAHA HULU MINYAK
DAN GAS BUMI
PADA
KONTRAK
PRODUCTION SHARING
A.
Latar Belakang
Masalah
Pengelolaan minyak dan gas bumi (selanjutnya
disebut migas) sebagai sumber daya alam seharusnya didasarkan pada Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut
UUD 1945). Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya dikuasai
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dengan ayat 3 pasal 33 UUD 1945, maka bangsa Indonesia memberi
kekuasaan kepada Negara Republik Indonesia untuk mengatur, mengurus, memelihara
dan menggunakan kekayaan nasional tersebut sebaik-baiknya agar tercapai
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Adapun wewenang Negara untuk
menguasai itu meliputi penguasaan, walaupun demikian tidak melayani, apabila
Negara pelaksanaan kekuasaan itu kepada yang dapat menjalankannya, asalkan
Negara dapat menjamin hubungan bangsa Indonesia dengan wilayah yang abadi itu
serta kedudukan Negara Republik Indonesia yang diberikan hak menguasai kekayaan
nasional tersebut.[1]
Terkait dengan migas, ketentuan Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 tersebut memberikan penegasan bahwa migas yang terkandung di
bumi Indonesia adalah salah satu kekayaan alam yang langsung dikuasai negara.
Penegasan tersebut selain merupakan pernyataan kepemilikan, juga merupakan
maklumat bahwa pengupayaan, pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam tersebut
hanya dapat dilakukan oleh negara. Negara dalam hal ini adalah satu satunya
pihak yang oleh konstitusi diberi amanah untuk menguasai, mengatur, mengurus,
memelihara dan mempergunakan kekayaan alam tersebut untuk tujuan mencapai
kemakmuran rakyat.[2]
Ada dua kata kunci di dalam Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 di atas, yakni kata “dikuasai” dan “dipergunakan”. Kata
“dikuasai” merupakan penunjuk dasar kewenangan Negara, dimana Negara, menurut
Abrar Saleng, adalah sebagai teritori yang memiliki karakter sebagai suatu
lembaga masyarakat hukum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan
untuk mengatur, mengurus dan memelihara pemanfaatan seluruh potensi sumberdaya
alam yang ada dalam wilayahnya secara intern.[3] Pendek kata Negara menjadi pengendali utama
satu-satunya atas kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia.
Negara adalah badan hukum publik yang
dapat mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia yang dapat melimpahkan
ataupun mendelegasikan kekuasaannya (rechtsbevoegheid).
Menurut Apeldoorn, Negara, propinsi,
kotapraja, dan lain sebagainya adalah badan hukum. Hanya saja pendiriannya
tidak dilakukan secara khusus, melainkan tumbuh secara historis.[4] Dalam kaitan ini Negara yang diwakili pemerintah
dianggap sebagai badan hukum, karena pemerintah menjalankan kegiatan komersial
(act jure gestionisi). Selanjutnya dalam pasal 1654 KUH Perdata disebutkan:
“Semua badan
hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk
melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa mengurangi perundang-undangan yang
mengubah kekuasaan itu, membatasi atau menundukkannya kepada tata cara
tertentu”.
Sementara itu pengertian Badan Hukum
bisa dilihat dari doktrin ilmu hukum, menurut Nindyo Pramono Badan Hukum adalah sesuatu yang oleh hukum diakui
atau dianggap sebagai subjek hukum seperti halnya orang, subjek hukum adalah
penyandang, pembawa hak dan kewajiban, dengan ciri-ciri hukum memiliki kekayaan
terpisah, tujuan tertentu, kepentingan sendiri dan organisasi teratur.[5]
Sedang menurut Rochmat Soemitro, rechtperson adalah suatu badan
yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang pribadi.
Menurut Sri Soedewi Masjchoen sebagaimana di kutip dari Salim H. S, berpendapat
bahwa yang di maksudkan dengan badan hukum adalah Kumpulan orang-orang yang
bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu badan, yaitu (1). berwujud
himpunan, dan (2) harta kekayaan yang di sendirikan untuk tujuan tertentu, dan
ini di kenal dengan yayasan. Dari kedua pendapat ini, maka jelas terlihat bahwa
sebuah badan hukum selalu berkaitan dengan harta kekayaan.[6]
Adapun kata “dipergunakan” mengandung
perintah konstitusi kepada negara untuk menggunakan dan memanfaatkan kekayaan
alam yang antara lain berupa migas untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Perintah
yang diamanatkan UUD 45 berisi keadaan berbuat, berkehendak agar sesuai dengan
tujuannya.[7]
Menurut Sri Edi Swasono, Dalam alam
globalisasi saat ini maka perkataan “dukuasai” tidak akan menjadi effective
tanpa diikuti dengan pengertian “dimiliki” terhadap cabang-cabang penting bagi
Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak itu. Subjek matter atau isu
subtantif daripada pasal 33 ini adalah “dikuasai”. Jadi bila tujuan “menguasai”
tidak tercapai karena tidak “memiliki”, maka kondisi “dimiliki oleh Negara”
harus imperative diwujudkan secara nyata demi effectivenya kondisi “dikuasai
oleh Negara”.[8]
Mengingat migas merupakan komoditas yang
sangat dibutuhkan oleh manusia, maka migas akan selalu dicari dan diupayakan
pengadaannya. Karena migas semakin lama semakin berkurang dan langka, maka migas
menjadi komoditas bernilai ekonomis tinggi. Dalam kondisi seperti ini negara
mempunyai peran yang penting dalam pengelolaan migas sesuai dengan amanat
konstitusi untuk menciptakan cita-cita keadilan social dalam bidang ekonomi.
Sejalan dengan itu, menurut Syaiful Bakhri, Migas merupakan public utilities
yang sangat dibutuhkan masyarakat, sementara barang subtitusi belum banyak
tersedia, sehingga diperlukan peran (intervensi) pemerintah.[9]
Amanat konstitusi yang menempatkan negara
untuk menguasai dan mempergunakan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi
Indonesia ini juga menjadi landasan utama seluruh peraturan-peraturan yang
mengatur tentang migas di Indonesia. Amanat itu menjadi pertimbangan utama
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
(Selanjutnya disebut UU Migas) yang berlaku saat ini. Terakhir yang masih
berlaku, di dalam huruf b pertimbangan UU Migas disebutkan :
“minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis
tidak terbarukan yang dikuasai oleh Negara serta merupakan komoditas vital yang
menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam
perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal
memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat”.
Penjelasan di atas paling tidak
menekankan beberapa hal, yakni: Pertama, migas adalah sumber daya alam
strategis: Kedua, migas adalah
komoditas vital; dan Ketiga, migas
berperan penting dalam perekonomian nasional.
Komoditas sendiri menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah barang dagangan utama atau benda niaga.[10]
Dengan demikian, UU Migas sesungguhnya
menempatkan migas sebagai barang dagangan atau barang niaga yang menjadi objek
perniagaan untuk mencari keuntungan atau laba. Sedangkan kedudukan kontrak
dalam suatu perniagaan adalah salah salah satu sarana berniaga, yang menurut Ridwan Khairandy, Pada prinsipnya
kontrak terdiri dari satu atau serangkaian janji yang dibuat para pihak dalam
kontrak.[11] yang dibuat
dan dirumuskan para pihak dalam kontrak, perihal segala sesuatu berkaitan
dengan kepentingan para pihak. Menurut hukum, yang dapat menjadi objek kontrak
adalah barang sesuatu yang apat dinilai dengan uang, sebagaimana diatur dalam Pasal
1332 KUH Perdata bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang
dapat menjadi pokok dalam suatu perjanjian.
Karena migas
adalah komoditas, maka baik negara atau yang mewakilinya yang menjalin kontrak
dengan Badan Usaha[12]
atau Bentuk Usaha Tetap[13]
untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi migas dan selanjutnya memperniagakannya, sesungguhnya sedang
melakukan kegiatan yang bertujuan untuk mencari keuntungan atau laba.
Keuntungan tersebut berupa selisih lebih antara harga
penjualan yang lebih besar dari harga pembelian atau biaya produksi[14]
(eksplorasi dan eksploitasi). Dalam posisi ini, mengingat keterbatasan sumber daya
dan dana namun juga mengingat migas
berperan penting dalam perekonomian nasional, maka negara berupaya untuk tidak mengeluarkan
biaya eksplorasi dan eksploitasi yang memiliki risiko tinggi. Walaupun negara tidak
mengeluarkan tersebut dan juga tidak menangung risiko akibat kegiatan tersebut,
namun negara tetap memiliki komitmen untuk melakukan penggantian dari migas
yang dihasilkan. Tujuan negara adalah
untuk mendapatkan Migas sebagaimana diinginkannya dengan risiko yang terkecil.
Untuk mewujudkan hak negara atas migas
dan memanfaatkannya demi sebesar-besar kemakmuran rakyat bukanlah hal yang
sederhana dan mudah dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan akan
kemampuan Indonesia dalam melakukan eksplorasi eksploitasi. Keterbatasan juga
terjadi pada sektor pembiayaan kegiatan tersebut. Di
sisi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas merupakan kegiatan padat modal,
padat teknologi dan mengandung risiko investasi yang besar.
Penguasaan kekayaan alam berupa migas
yang masih berada di dalam kandungan bumi Indonesia adalah dengan kegiatan
usaha eksplorasi dan selanjutnya eksploitasi.[15] Oleh
karena itu, kata eksplorasi dan eksploitasi selalu termuat di dalam peraturan-peraturan
perundangan yang pernah dibuat dalam rangka pengaturan dan pemanfaatan migas.
Misalnya, Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang pendirian PERTAMINA, Undang-undang No. 44 Prp. Tahun 1960
tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang No. 15 Tahun 1962
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1962
tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, Peraturan
Pemerintah No. 27 Tahun 1968 (Lembaran-Negara Tahun 1968 No. 44), Undang-Undang No. 8 Tahun 1971
tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, dan Undang-Undang No.
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi.
Paling
tidak, ada empat faktor yang membuat industri hulu migas berbeda dengan
industri lainnya, antara lain: Pertama,
lamanya waktu antara saat terjadinya pengeluaran (expenditure) dengan pendapatan (revenue);
Kedua, keputusan yang dibuat
berdasarkan risiko dan ketidakpastian tinggi serta melibatkan teknologi canggih;
Ketiga, sektor ini memerlukan
investasi biaya yang relatif besar; Keempat,
namun dibalik semua risiko tersebut, industri migas juga menjanjikan keuntungan
yang sangat besar.[16]
Dengan kondisi atau sebagaimana
tersebut, kehadiran investasi asing menjadi hal yang sangat penting. Pengusahaan
migas membuka ruang bagi investor asing. Hal ini bertujuan untuk keperluan pemanfaatan
migas secara optimal namun dengan risiko yang terkecil bagi negara.
Kehadiran
pihak ketiga dalam kerjasama penambangan harus tidak mempengaruhi posisi negara
sebagai pemilik dan penguasa tunggal yang sah atas sumber daya migas. Negara
sebagai pemilik adalah pihak yang memegang kendali utama atas migas. Untuk
melaksanakan haknya yang disebutkan dalam UUD 1945, negara memerlukan
kepanjangan tangan yang dapat menerima delegasi hak “menguasai” dan hak “mempergunakan”.
Penerima delegasi kuasa pertambangan untuk selanjutnya bertugas melaksanakan hak
negara dalam praktik nyata. Termasuk dalam kategori adalah membuat kontrak
kerjasama dalam bentuk kontrak bagi hasil atau production sharing contract (PSC).[17] Peran tersebut saat ini dijalankan oleh pemerintah
dengan sarana hukum yang disebut sebagai kuasa pertambangan. Dengan batasan
bahwa yang diberikan dengan kuasa pertambangan hanyalah kekuasaan untuk
melaksanakan usaha pertambangan dan tidak memberikan hak pertambangan kepada
pemegang kuasa pertambangan.[18]
Kuasa
Pertambangan menurut pasal 1 angka 5 UU Migas
adalah wewenang yang diberikan negara kepada
pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi.
Kuasa
Pertambangan tersebut selain diatur di dalam UU Migas
juga diatur hampir di semua ketentuan pengelolaan migas yang pernah berlaku sejak
Indonesia merdeka. Pasal 1 huruf h, Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi. Selanjutnya disebut
Perpu No. 44 Tahun 1960. BAB
I, Pasal 1 tentang Istilah-istilah, huruf j undang-undang tersebut mengartikan kuasa pertambangan sebagai wewenang yang diberikan kepada perusahaan
negara untuk melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi.
Berbeda
dengan definisi kuasa pertambangan dalam UU Migas,
Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 menentukan bahwa kuasa pertambangan
doberikan perusahaan negara.[19]
Lebih jauh hal ini diperjelas dalam
Undang-undang No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi Negara. Pasal 11 ayat (1) menentukan bahwa
kuasa pertambangan kepada perusahaan disediakan seluruh wilayah hukum
pertambangan Indonesia, sepanjang mengenai pertambangan minyak dan gas bumi.
Selanjutnya disebutkan di ayat (2), Kepada perusahaan diberikan kuasa pertambangan
yang batas-batas wilayahnya serta syarat-syaratnya ditetapkan oleh Presiden
atas usul Menteri.
Pemberian
Kuasa Pertambangan
kepada perusahaan negara dan Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi tercatat dalam Undang-undang Migas yang pernah
berlaku di Indonesia, dalam Perpu No. 44 Prp. Tahun 1960. Di
dalam pertimbangan dinyatakan:
“mengingat
pentingnya minyak dan gas bumi baik
bagi kesejahteraan rakyat maupun untuk pertahanan dan keamanan Nasional”, ditentukan
bahwa pengusahaan minyak dan gas bumi hanya dapat diselenggarakan oleh Negara
dan pelaksanaan pengusahaannya hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Negara.”
Selanjutnya untuk memfasilitasi
ketentuan tersebut, kemudian dibentuk (Perusahaan Negara)
P.N. PERTAMINA. Hal ini dimaksudkan sebagai tindak lanjut dari amanat
konstitusi untuk mempergunakan migas bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat,
yakni dengan cara membatasi bahwa
pihak yang berhak melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia
adalah perusahaan negara yang dibentuk
untuk tujuan itu.
Dalam
sejarah tercatat kuasa pertambangan ini pernah diberikan kepada pihak yang
berbeda-beda. Menurut Perpu No 44 Tahun 1960 memberikan kuasa pertambangan kepada
perusahaan negara. Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Pendirian Perusahaan Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi nasional memberikan
kuasa pertambangan kepada perusahaan.[20]
Kemudian Undang-Undang Migas memberikan kuasa pertambangan kepada pemerintah.[21] Kuasa pertambangan yang diberikan kepada pemerintah berdasar UU Migas tersebut dilaksanakan
oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
Dalam perkembangannya, ketentuan mengenai BP Migas tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Untuk sementara saat ini tugas-tugas BP Migas
itu dilaksanakan oleh Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak
dan Gas Bumi (SKK Migas).
Sejarah pemberian kuasa pertambangan ini
dimulai pada 20 Agustus 1968 ketika Perusahaan Negara Pertambangan Minyak
Indonesia (PN PERMINA) yang bergerak di bidang produksi digabung dengan Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Nasional
(PN PERTAMIN) yang bergerak di bidang pemasaran. Peleburan kedua perusahaan
tersebut melahirkan Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Nasional disingkat PN PERTAMINA
(selanjutnya disebut Pertamina). Penyatuan itu dimaksudkan guna menyatukan
tenaga, modal, dan sumber daya yang kala itu sangat terbatas.
Pertamina adalah badan hukum[22] yang
kegiatannya untuk melakukan usaha di bidang migas dari hulu hingga hilir
sebagaimana diatur Pasal 3 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 27 tahun 1968.
Pasal ini menyatakan bahwa perusahaan adalah badan hukum[23] yang berhak melakukan usaha-usaha
berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini.
Pertamina merupakan perusahaan (bedrijef)[24]
berbentuk badan hukum yang didirikan dengan tujuan tertentu[25]
yakni untuk mencari keuntungan/laba (profit
oriented) yang akan digunakan untuk memakmurkan rakyat. Pasal 5 ayat (1) Peraturan
Pemerintah No. 27 Tahun 1968 tentang tujuan dan lapangan usaha perusahaan
menentukan:
“Perusahaan
adalah suatu kesatuan produksi jang turut membangun Ekonomi Nasional
berdasarkan Pantjasila dengan djalan menghasilkan laba baik berupa devisa dan
ataupun rupiah bagi Negara demi kemakmuran dan kesedjahteraan rakjat”.
Dari tahun ke tahun tingkat perkembangan dan kemajuan
usaha yang telah dicapai oleh Pertamina cukup memuaskan.[26]Hal
ini dikarenakan Pertamina merupakan satu-satunya perusahaan negara yang
ditugaskan untuk menampung dan melaksanakan semua kegiatan pengusahaan minyak
dan gas bumi di Indonesia. Pertamina pada waktu itu berkembang dan telah
mencapai suatu tingkat kesatuan usaha yang meliputi berbagai cabang pengusahaan
minyak dan gas bumi (suatu integrated state
oil company) di Indonesia.
Untuk terus memperkuat keadaan itu, pemerintah
kemudian menerbitkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971, dimana di dalamnya
mengatur perubahan PN PERTAMINA menjadi Perusahaan Pertambangan Minyak
Nasional. Di dalam Undang-undang ini
diatur peran Pertamina sebagai satu-satunya perusahaan negara yang ditugaskan melaksanakan
pengusahaan migas mulai dari mengelola dan menghasilkan migas dari
ladang-ladang minyak di seluruh wilayah Indonesia, mengolahnya menjadi berbagai
produk dan menyediakan serta melayani kebutuhan bahan bakar minyak dan gas di
seluruh Indonesia.
Berkaitan dengan kuasa pertambangan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang
No. 8 Tahun 1971 menentukan bahwa kepada perusahaan disediakan seluruh wilayah hukum
pertambangan Indonesia, sepanjang mengenai pertambangan minyak dan gas bumi
Kemudian ayat (2) pasal tersebut menentukan lagi bahwa kepada perusahaan diberikan
Kuasa Pertambangan yang batas-batas wilayahnya serta syarat-syaratnya
ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri. Selanjutnya di Pasal 12 ditentukan
bahwa perusahaan dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk
"Kontrak Production Sharing".
Pengertian wilayah hukum pertambangan
Indonesia menurut Pasal 1 huruf j Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 adalah seluruh kepulauan Indonesia, tanah di
bawah perairan Indonesia, menurut peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang
No. 4 Tahun 1960 dan daerah-daerah
kontinental dari kepulauan Indonesia”.
Dengan
ketentuan di atas jelas hanya Pertamina sebelum era UU Migas yang menjadi
pemegang kuasa pertambangan atas seluruh migas di wilayah negara Republik Indonesia.
Dengan posisi Pertamina saat itu, semua
perusahaan pertambangan migas yang hendak menjalankan usaha di Indonesia wajib
bekerja sama dengan Pertamina. Dengan fungsi itu pula Pertamina memiliki posisi
ganda baik sebagai regulator maupun operator. Di
dalam posisi sebagai regulator, Pertamina merupakan regulator bagi mitra yang
menjalin kerja sama melalui mekanisme Kontrak Kerja Sama (KKS) di wilayah kerja
(WK) Pertamina. Kemudian
Pertamina juga bertindak sebagai
operator karena Pertamina juga menggarap sendiri sebagian wilayah kerjanya.[27]
Sejalan dengan dinamika industri migas di
dalam negeri, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001. Sebagai
konsekuensi penerapan Undang-Undang tersebut, Pertamina beralih bentuk menjadi P.T Pertamina
(Persero) dan melepaskan peran gandanya. Peran regulator diserahkan kepada
suatu Badan Pelaksana
sedangkan Pertamina hanya memegang satu peran sebagai operator murni.
Peran regulator di sektor hulu selanjutnya dijalankan oleh Badan Pelaksana Hulu
Migas yang dibentuk pada tahun 2002.[28]
Setelah terbitnya Undang-Undang Migas
dan kemudian disusul dengan perubahan Pertamina menjadi perusahaan perseroan,
yakni PT Pertamina (Persero) berdasarkan PP No. 31 Tahun 2003 Pada 17 September
2003, maka PT. PERTAMINA tidak lagi memiliki kewenangan sebagai pelaksana kuasa
pertambangan Migas dari pemerintah sebagai wakil negara. Posisi
PT Pertamina
digantikan oleh suatu Badan
Pelaksana, BP Migas.
BP Migas adalah badan
pelaksana yang dimaksud Pasal 1 angka 23 UU Migas.
Pasal 1 angka 23 UU Migas tersebut menentukan Badan Pelaksana adalah suatu badan
yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak
dan Gas Bumi. BP Migas
berdasar Pasal 45 ayat (1) UU Migas jo
Pasal 2 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2002 adalah badan hukum milik Negara.
Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah
No. 41 Tahun 2002, BP Migas adalah badan hukum tidak bersifat untuk mencari
keuntungan dan memiliki fungsi melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu
migas milik Negara sehingga dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang
maksimal bagi negara untuk sebesar besar kemakmuran rakyat.
Dengan didirikannya badan pelaksana
dalam bentuk badan hukum ini, maka kewenangan pengawasan dan pembinaan kegiatan
kontrak kerjasama (KKS) yang sebelumnya dipegang oleh Pertamina beralih kepada pemerintah.
Kuasa pertambangan yang dipegang oleh pemerintah tersebut dilaksanakan oleh BP Migas
yang berbentuk badan hukum namun tidak memiliki tujuan mencari keuntungan.
Pasal 4 ayat (3) UU Migas menentukan
bahwa pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan membentuk badan pelaksana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3.
Badan pelaksana menurut Pasal 44 ayat (1) dan 44 ayat (2) UU Migas
melakukan pengawasan kegiatan hulu migas (eksplorasi dan eksploitasi).
Pengawasan kegiatan hulu dilakukan agar pengambilan sumber daya alam migas
milik negara memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tugas badan pelaksana sebagaimana ditentukan
Pasal 44 ayat (3) UU Migas adalah: Pertama,
memberikan pertimbangan kepada menteri atas kebijaksanaannya dalam hal
penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama; Kedua, melaksanakan kontrak kerja
sama; dan Ketiga, mengkaji dan menyampaikan
rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksi dalam suatu Wilayah Kerja
kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan. Dengan demikian, UU Migas
menegaskan bahwa badan ini menjadi
kepanjangan tangan pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan dalam
melaksanakan KKS dalam kegiatan hulu migas.
Salah satu tugas BP Migas
yang patut dicermati adalah tugas melaksanakan KKS. BP Migas
menurut Undang-undang Migas adalah badan hukum yang dibentuk pemerintah untuk
melaksanakan kuasa pertambangan yang diberikan oleh negara kepada pemerintah.
Sebagai badan hukum dan pihak dalam suatu kontrak, BP Migas
dapat dibebani kewajiban atau prestasi sebagaimana diatur dalam kontrak. Setelah BP Migas
menandatangani kontrak seketika itu negara terikat pada seluruh isi kontrak yang berarti negara
kehilangan kebebasan untuk melakukan regulasi atau kebijakan yang bertentangan
dengan isi kontrak.
Isi kontrak mengikat para pihak yang
membuatnya (pacta sunt servanda). Kontrak
merupakan undang-undang bagi para yang membuat kontrak. Pada prinsipnya kontrak
adalah kesepakatan yang terdiri dari satu atau serangkaian janji yang dibuat
para pihak dalam kontrak.[29] Esensi
dari kontrak itu sendiri adalah kesepakatan (agreement)[30].
Dengan melibatkan diri dalam suatu kontrak terhadap pihak lain, maka kepada BP Migas
harus diperlakukan sebagai subjek hukum biasa dan menundukkan diri dalam
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang kontrak dan hal-hal yang diatur
dalam kontrak. Jika
BP Migas
gagal dalam memenuhi prestasi yang ditentukan dalam KKS, maka BP Migas terikat
pada konsekuensi hukum akibat adanya wanprestasi baik berdasar kontrak itu
sendiri maupun peraturan perundang-undangan seperti KUHPerdata.
Di
sisi yang lain, BP
Migas secara struktural adalah
kepanjangan tangan pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan dari negara.
Dengan demikian, secara tidak langsung Negara yang menanggung konsekuensi hukum
dari hubungan hukum yang timbul dari kontrak tersebut.
Eksistensi, tugas, dan fungsi BP Migas
dalam Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal
45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU Migas telah dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan No.: 36/PUU-X/2012.
Untuk sementara peran BP Migas saat ini
digantikan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi SKK Migas. SKK Migas adalah lembaga sementara pengganti peran dan
tugas dan fungsi BP Migas agar tidak terjadi kekosongan hukum sampai adanya UU Migas
yang baru. Pasal 1Peraturan
Presiden No. 95 Tahun 2012 menyatakan:
Pelaksanaan tugas, fungsi, dan organisasi Badan Pelaksana
Kegiatan Usaha
Hulu Minyak
dan Gas Bumi dialihkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang minyak dan gas bumi, sampai dengan diterbitkannya peraturan yang baru.
Selanjutnya
dalam Pasal
2 ayat (1) Peraturan
Presiden No. 9 Tahun 2013 dinyatakan bahwa penyelenggaraan
pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1, sampai dengan diterbitkannya undang-undang baru di bidang minyak dan
gas bumi, dilaksanakan oleh satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu
minyak dan gas bumi dan untuk selanjutnya dalam Peraturan Presiden ini disebut
SKK Migas.
Dengan putusan MK yang membatalkan
pasal-pasal yang menjadi dasar pembentukan serta fungsi dan tugas BP Migas,
tersirat suatu pesan bahwa negara sedang berada dalam suatu kebimbangan
mengenai kepada siapa sebenarnya negara akan mendelegasikan hak menguasai
terhadap migas. Apakah kepada suatu perusahaan negara atau kepada perusahaan
perseroan yang semuanya merupakan badan usaha berbentuk badan hukum yang
berorientasi kepada laba atau kepada semacam badan pelaksana yang berbadan
hukum, tetapi tidak berorientasi nirlaba?
Kebijakan negara untuk menggantikan
fungsi dan tugas BP Migas lebih membingungkan lagi dengan pembentukan SKK Migas
yang berada langsung di bawah kendali Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM)
dengan tugas dan fungsi sama dengan BP Migas.
Dengan tugas-tugas sebagaimana diatur dalam Pasa13 Peraturan Menteri ESDM No. 9 Tahun 2013. Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, SKK Migas
menyelenggarakan fungsi:
a. memberikan
pertimbangan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atas
kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sarna;
b. melaksanakan
penandatanganan Kontrak Kerja Sama;
c. mengkaji
dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan
diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja
kepada Menteri Energi dan sumber Daya Mineral untuk mendapatkan persetujuan;
d. memberikan
persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf
c;
e. memberikan
persetujuan rencana kerja dan anggaran;
f. melaksanakan
monitoring dan melaporkan kepada menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengenai
pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; dan
g. menunjuk
penjual minyak bumi dan/ atau gas bumi bagian Negara yang dapat memberikan
keuntungan sebesar- besarnya bagi Negara.
Dilihat dari peraturan-peraturan yang
mengatur peralihan BP Migas kepada SKK Migas, dapat disimpulkan bahwa yang
dialihkan adalah fungsi dan tugas namun tidak disertai penegasan apakah SKK
Migas ini badan hukum ataukah bukan, sebagaimana status yang disandang oleh BP
Migas. Dengan kaburnya status ini maka dapat disimpulkan bahwa SKK Migas adalah
bagian struktural organik dari Kementerian
ESDM namun tidak ditentukan mengenai
bentuk atau status SKK Migas ini secara hukum, apakah sebagai suatu Badan Hukum
ataukah bukan. Artinya, segala kegiatan hukum yang dilakukan SKK Migas dalam
rangka menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana BP
Migas, mulai saat itu menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM
(pemerintah sebagai penerima kuasa pertambangan).
Pengalihan
tugas dan fungsi BP Migas kepada SKK Migas ini membawa konsekuensi yuridis diantaranya:
Pertama, sebagaimana BP Migas, SKK
Migas bukan bertujuan untuk mencari laba; Kedua,
segala Kontrak Kerja Sama yang ditandatangani antara BP Migas dan Badan
Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir,
dan Ketiga, seluruh proses pengelolaan
kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang sedang ditangani oleh BP Migas
dilanjutkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
minyak dan gas bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
dijalankan oleh SKK Migas.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa hingga saat ini bentuk pendelegasian wewenang pelaksanaan hak negara
selaku penguasa migas dilakukan melalui sarana hukum yang disebut kuasa pertambangan.
Pemberian kuasa pertambangan ini dalam perkembangannya hingga saat ini nampak
terus bergeser. Pergeseran ini menandakan masih terjadinya pencarian format hukum
kuasa pertambangan yang belum selesai hingga hari ini. Pertanyaan yang muncul adalah, menurut
konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada, kepada siapa sebaiknya
kuasa pertambangan itu diberikan. Demikian juga berkaitan tujuan pemberian
kuasa pertambangan. Apakah tujuan pemberian kuasa pertambangan kepada
penerimanya tersebut sesungguhnya dimaksudkan untuk mencari laba (profit
oriented) atau bukan?
Peristiwa
hukum di atas tentu menimbulkan pertanyaan yang cukup mendasar terutama
menyangkut, mengapa terjadi beberapa kali perubahan kebijakan hukum tentang siapa
yang diberikan kuasa untuk mewakili negara dalam kegiatan usaha Hulu Migas.
Perubahan tersebut tentu saja mengandung konsekuensi hukum yang berbeda beda pula. Penelitian ini akan mendalami konsekuensi hukum
dilihat dari aspek penerapannya dari
waktu ke waktu di bawah payung hukum yang berubah-ubah.
Hingga saat ini Negara belum berhasil merumuskan
suatu aturan yang baku bagaimana dan siapa yang pantas diberi wewenang mewakili
negara berkaitan hak menguasai negara atas migas.
[1]
Lihat penjelasan Atas Undang-undang
No. 44 Tahun 1960 Tentang Pertambangan
Minyak Dan Gas Bumi, bagian Umum, angka 1.
[2]
Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya, Setara Press, Malang, 2013, halaman 2.
[3]
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, cetakan kedua, UII Press, Yogyakarta, halaman
8.
[4]
L.J Van Apeldoorn,
Pengantar Ilmu Hukum, Noor Komala, Jakarta, 1982, hlm 164.
[5]
Nindyo
Pramono,
Pembahasan RUU Tentang Usaha Perseorangan dan Badan Usaha
Bukan Badan
Hukum, hlml 5, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/782_prof%20nindyo.pdf
[6]
Sarah
S. Kuahaty, Pemerintah
Sebagai Subjek Hukum …………………. Jurnal Sasi Vol. 17 No. 3 Bulan
Juli-September 2011, hlm 2.
[7] Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total
Media, Yogyakarta, 2009, hlm. 3.
[8]
Sri Edi Swasono, dalam Elli Ruslina, dasar Perekonomian Indonesia Dalam
Penyimpangan Mandat Konstitusi UUD Negara Tahun 1945, Total Media, Yogyakarta,
2013, halaman x
[9] Syaiful Bakhri, Hukum Migas
Telaah Penggunaan Hukum Pidana dalam Perundang-undangan, Total Media,
Yogyakarta, 2012, hlm 11.
[10]Kamus
Besar Bahasa Indonesia,
edisi kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan – Balai Pustaka,
Jakarta,1997, hlm 515. Lihat juga Eko Endarmoko, Tesaurus
Bahasa Indonesia, Gramedia
Pustaka Utama,
Jakarta, 2006, hlm 331.
[11] Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak
Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan (Bagaian Pertama), FH UII Press,
Yogyakarta, 2013, hlm 57.
[12] Badan Usaha adalah perusahaan
berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus
menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
serta bekerja dan berkedudukan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Lihat Pasal 1
angka 17 UU Migas.
[13] Bentuk
Usaha Tetap
adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Lihat Pasal 1 angka 18 UU Migas.
[15]Pasal 4 Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang
Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi, jo pasal 3 (a) dan pasal 5 (1a dan 1b)
Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang
Minyak dan Gas Bumi, juncto Pasal 5
(3) Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1968 (Lembaran-Negara tahun 1968 No. 44).
[16]Benny Lubiantara,
Ekonomi Migas Tinjauan
Aspek Komersial
Kontrak Migas,
PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2012, hlm. 5.
[17]
Istilah resmi yang dipakai UU Migas
adalah kontrak kerjasama (KKS). KKS ini oleh Pasal 1 angka 19 didefinisikan
sebagai kontrak bagi hasil atau kontrak kerjasama lain dalam kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara hasilnya
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
[18] Penjelasan pasal 11 Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1960.
[19]Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dn Gas
Bumi, Pasal
3 ayat (2)Usaha pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan
Negara semata-mata.
/
[20]Undang-Undang No. 8 Tahun 1971Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak Dan
Gas Bumi Negara Pasal
11 ayat (1) Kepada Perusahaan disediakan seluruh wilayah hukum pertambangan Indonesia, sepanjang mengenai pertambangan
minyak dan gas bumi. (2) Kepada
Perusahaan diberikan Kuasa
Pertambangan yang batas-batas wilayahnya serta syarat-syaratnya ditetapkan oleh
Presiden atas usul Menteri.
[21]Undang-undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2001, Tentang
Minyak dan gas Bumi, Pasal 4 ayat (1) Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya
alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum
Pertambangan Indonesia merupakan
kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. (2) Penguasaan oleh negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai
pemegang Kuasa
Pertambangan.
[22]
Nindyo
Pramono,
Pembahasan RUU Tentang Usaha Perseorangan dan Badan Usaha
Bukan Badan
Hukum, hlml 5,
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/782_prof%20nindyo.pdf
[23]
Badan Hukum di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) disebut zedelijk lichaam. Menurut
KUHPerdata, yang dimaksud dengan
badan hukum (rechtspersoon) adalah sesuatu yang oleh hukum diakui atau dianggap
sebagai subjek hukum sebagaimana orang. Lihat
[24]
Setiap bentuk usaha yang
melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh
keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan oleh orang perorangan maupun
badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan
dan berkedudukan dalam wilayah Negara republik Indonesia ( Ps 1 (1) UU No.8 Tahun
1997 Tentang Dokumen Perusahaan.
[25]
Nindyo Pramono,
op.cit., Pembahasan RUU Tentang
Usaha Perseorangan
dan Badan Usaha Bukan
Badan Hukum, hlm 5.
[26]Diuraikan dalam Pertimbangan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1971, huruf b.
[27]Tahun 1957 Tonggak Sejarah
Pertamina,
http://www.Pertamina-ep.com/Tentang-PEP/Sekilas-Perusahaan/Sejarah-Kami
[29]Ridwan Khairandy,
Hukum Kontrak
Indonesia dalam Perspektif
Perbandingan (Bagian Pertama),
FH UII Press, 2013, hlm. 57.
[30]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar