Kegiatan
Kepelabuhanan Belawan Terancam
(Harian Analisa Medan 4 Juni 2015)
Oleh : Junaidi Albab Setiawan
Perencanaan dan kegiatan kepelabuhanan di pebuhan Belawan
terancam berantakan. Akibatnya program “Poros Maritim” yang dicanangkan pemerintah
Jokowi-JK dalam Nawa Cita untuk mewujudkan
Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan
kepentingan nasional, akan
terkendala dan sulit untuk dilaksanakan.
Kita tentu masih ingat pidato Presiden Joko Widodo belum lama
ini di Kuala Tanjung yang menargetkan
operasional kawasan terpadu Kuala Tanjung–Sei Mangkei dilaksanakan dalam dua
tahun mendatang. Dan menurut pasal 8 Peraturan Menteri Perhubungan No. 21 tahun
2012, Rencana Induk Pengembangan Pelabuhan Belawan (RIPPB), Pelabuhan Kuala Tanjung adalah pelabuhan
pendukung dari pelabuhan Belawan.
Kata Jokowi, “Saya tidak ingin mundur lagi,” proyek itu
merupakan yang pertama dan sangat ambisius namun realistis untuk diwujudkan
dengan dikerjakan secara bersama-sama dan gotong royong”.
Namun ironisnya, belum lagi pencanangan proyek oleh Presiden ini seumur jagung. Rencana mulia itu harus menghadapi kenyataan pahit berupa eksekusi lahan pelabuhan oleh
Pengadilan Negeri Medan. Masyarakat Sumatera Utara dan sekitarnya barang kali
belum begitu mahfum dan faham terhadap ancaman serius yang mengancam kegiatan
kepelabuhanan di Pelabuhan Belawan tersebut.
Pada tanggal 6 Mei 2015, Pengadilan Negeri Medan telah
mengirimkan juru sitanya untuk melakukan eksekusi putusan pengadilan yang salah
satu amarnya menyatakan tidak sah dan tidak berlaku sertifikat HPL milik PT. Pelindo I di lahan
pelabuhan Belawan seluas 278,15 Hektar.
Pengembangan pelabuhan Belawan diatur dalam suatu Rencana Induk Pengembangan Pelabuhan (RIPPB)
yang menjadi pedoman dalam melakukan pembangunan dan pengembangan Pelabuhan
Belawan yang mencakup keseluruhan kebutuhan dan penggunaan daratan serta
perairan untuk kegiatan kepelabuhanan dan kegiatan penunjang pelabuhan dengan
mempertimbangkan aspek-aspek teknis, pertahanan keamanan, sosial budaya serta
aspek-aspek terkait lainnya
Menurut Pasal 2 RIPPB diatur bahwa “Untuk menyelenggarakan kegiatan kepelabuhanan
pada pelabuhan Belawan yang meliputi
pelayanan jasa kepelabuhanan,
pelaksanaan kegiatan ekonomi dan pemerintahan lainnya serta pengembangannya
sesuai rencana induk pada Pelabuhan Belawan, dibutuhkan areal daratan seluas
785 Ha serta areal perairan seluas
29,411,37 ha.
Sehingga dapatlah kita bayangkan jika sertifikat lahan seluas
273,15 Ha yang merupakan lahan strategis pelabuhan Belawan, yang berperan sebagai pintu keluar dan masuk bahan pokok hidup dan
keperluan pembangunan infrastruktur serta kebutuhan BBM ke wilayah Sumatera
Utara dan sekitarnya tersebut dieksekusi oleh Pengadilan, lalu sebagian
diserahkan kepada pihak swasta. Maka yang akan terjadi adalah konsep
perencanaan pengembangan pelabuhan yang terintegrasi akan mengalami kekacauan.
Eksekusi ini adalah akibat dari putusan Kasasi Mahkamah Agung
dalam perkara perdata No. 2843-K/Pdt/2013 Juncto No. 375/Pdt/2012/PT.Mdn juncto
No. 561/Pdt.G.Int/2011/PN.Mdn, yang
merupakan putusan pengadilan yang dinilai tidak adil dan tidak berpihak kepada
kepentingan umum dan pembangunan.
Pengadilan telah memutuskan bahwa Sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) seluas 273,15 Ha,
No. 1/Belawan I atas nama PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero), tidak sah dan
tidak berlaku. Dengan amar putusan selengkapnya adalah sebagai berikut : “Menyatakan
tidak sah dan tidak berkekuatan hukum sertifikat Hak Pengelolaan Lahan No.
1/Belawan I atas nama Tergugat I (Pelindo 1) yang diterbitkan oleh Tergugat 2
(Kantor Pertanahan Medan) tanggal 3 Maret 1993”.
Pelabuhan Belawan dan Poros Maritim
Kita, khususnya masyarakat Sumatera Utara perlu memahami niat
luhur pemerintah dalam mencanangkan program pembangunan poros maritim yang
menjadi salah satu program unggulan pemerintah dan perlu juga memahami dimanakah posisi palabuhan Belawan
dalam hal itu. Poros maritim adalah program realistis yang berangkat dari
kenyataan bahwa Indonesia adalah negara maritim kepulauan yang 2/3 wilayahnya
berupa lautan. Ini konsep keunggulan geo strategis berbasis kekayaan bahari,
dengan semboyan “Jalesveva jayamahe”
yang berarti di laut kita jaya.
Indonesia adalah negara
maritim terbesar di dunia, dimana sektor
kelautan bisa menghasilkan seperempat APBN setara lima ratus triliun, namun
belum dikelola dengan baik dan optimal. Untuk mewujudkannya harus dibangun
armada dan keterampilan serta sentra industri pengolahan dan perdagangan
berbasis komunitas kelautan di sedikitnya sepuluh wilayah (zona) maritim.
Dalam poros maritim pelabuhan bukan sekedar berfungsi sebagai
fasilitas transportasi laut namun sekaligus menanggung fungsi ekonomi politik
sosial dan budaya serta pertahanan dan keamanan (epolisosbudhankam). Karena di pelabuhah juga terdapat instrumen
lain yang bertugas untuk mewujudkan komitmen memperkuat kapasitas dan kemampuan
deteksi serta penindakan di lautan untuk menegakkan kedaulatan maritim -
memberantas aksi perompak, pencurian ikan, perusakan terumbu karang, wisata
bahari liar, illegal logging dan human trafficking hingga penyelundupan yang
setiap tahun telah merugikan negara hingga 300 triliun. Mari kita bayangkan, apa yang akan terjadi jika fungsi strategis lahan
pelabuhan ini setelah eksekusi oleh
pengadilan sebagian selanjutnya diserahkan dan dikuasai oleh pihak swasta.
Konsep poros maritim Jokowi adalah konsep realistis yang menjadikan Indonesia sebagai simpul utama
distribusi asia pasifik. sebagaimana singapura yang menjadi pusat perdagangan,
transportasi dan telekomunikasi. Kita punya kesempatan mengambil alih peran itu
dengan mengubah dominasi supply chain yang diciptakan dari dalam negeri dengan
komoditas dan kekuatan pasar sendiri yang saling mencukupi. Di era globalisasi,
Indonesia harus menjadi tuan di negeri sendiri.
Upaya mewujudkan Poros Maritim tidak main-main dan telah di tetapkan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2015-2019. RPJMN 2015-2019 mengedepankan
masyarakat sebagai prioritas dalam pembangunannya. Fokus pada kemaritiman pada pemerintah Jokowi
juga terlihat menjadi prioritas pembangunan infrastruktur dasar. Target tahun
2019 akan menambah jumlah pelabuhan menjadi 450 atau meningkat sebanyak 60
persen dengan rata-rata-rata penambahan 34 pelabuhan setahun. Pembangunan
kelautan tersebut akan signifikan membantu mengatasi sejumlah persoalan bangsa,
baik kemiskinan maupun disparitas pembangunan antar wilayah.
Posisi Pelabuhan Belawan Dalam
Kontek Poros Maritim
Pelabuhan
Belawan merupakan salah satu pelabuhan utama di Indonesia yang memiliki lokasi
yang sangat strategis karena karena letaknya di pintu masuk selat Malaka, hanya
berjarak 13,5 km dari jalur pelayaran internasional. Pengembangan pelabuhan
Belawan sangat berarti karena menegaskan posisi geoekonomi Indonesia yang
sangat strategis di tengah lintasan perdagangan dunia. Dengan posisinya
tersebut maka 45 persen dari seluruh komoditas dan produk yang diperdagangkan
di dunia dengan nilai 1.500 trilyun dolar AS/tahun dikapalkan melalui ALKI
(Alur Laut Kepulauan Indonesia). Keunggulan letak itu sejauh ini belum mampu
dimanfaatkan secara maksimal, jauh tertinggal dibanding pelabuhan Port Klang di Malaysia, pelabuhan Singapore dan sekarang disusul pelabuhan Tanjung Pelepas di Malaysia
Pelabuhan
ini terletak di sebuah daratan semenanjung yang merupakan muara pertemuan dua
sungai yaitu sungai belawan dan sungai Deli, secara adminitratif kewilayahan
berada di kawasan daerah Pemerintah Kota Medan. Upaya peningkatan kemampuan seperti
optimalisasi lahan yang ada untuk peningkatan fasilitas pelabuhan dan
penambahan eksesebilitas, namun memiliki keterbatasan ketersediaan lahan dan aksesebilitas ke
daerah belakang (pendukung). Lahan yang ada hanya dapat mengakomodasi
pengembangan pelabuhan sampai kapasitas tertentu, dengan kata lain pengembangan
pelabuhan belawan hanya sampai pada kapasitas tertentu pula, sehingga sangatlah nyata bahwa lahan
menjadi factor utama/penentu dalam pengembangan pelabuhan Belawan.
Pasal
2 RIPPB, mengatur bahwa untuk menyelenggarakan kegiatan kepelabuhanan pada
pelabuhan Belawan yang meliputi
pelayanan jasa kepelabuhanan,
pelaksanaan kegiatan ekonomi dan pemerintahan lainnya serta pengembangannya
sesuai rencana induk pada Pelabuhan Belawan dibutuhkan areal daratan seluas 785
Ha serta areal perairan seluas 29,411,37
Ha.
PT.
Pelabuhan Indonesia I (Persero) adalah Badan Usaha
Milik Negara yang bergerak di bidang jasa kepelabuhanan yang mengoperasikan
pelabuhan-pelabuhan di 4 (empat) propinsi antara lain NAD, Sumatera Utara, Riau
dan Kepulauan Riau.
Di Pelabuhan Belawan, Pelindo I telah mengoperasikan pelabuhan
sejak zaman Hindia Belanda berdasarkan : a). Haven Bedriff, pada masa Pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan
tahun 1945; b). Jawatan
Pelabuhan dari tahun 1945 sampai dengan tahun 1950; c). Perusahaan Negara Pelabuhan (PN Pelabuhan) dari tahun
1960 sampai
dengan tahun 1969 berdasarkan Undang-undang No. 19 Prp. tahun 1960; d). Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP) dari tahun 1969 sampai
dengan tahun 1983 berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor : 18 Tahun 1969 tentang Pembubaran Perusahaan Negara Pelabuhan
dan Pengalihan Pembinaannya Kedalam Organisasi Pembinaan Pelabuhan; e). Perusahaan Umum Pelabuhan I dari tahun 1983 sampai
dengan tahun 1991 berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor : 14 Tahun 1983 tanggal 30 April 1983 jo. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun
1985 tanggal 5 Pebruari 1985 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pelabuhan I ; f). PT.
Pelabuhan Indonesia I (Persero) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun
1991 tanggal 19 Oktober 1991 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum
Pelabuhan I menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
Mengingat pentingnya lahan dalam kegiatan kepelabuhanan. Pelindo I telah memperoleh sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Belawan I
tanggal 03 Maret 1993 seluas 278,15 Ha di Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan
Kota Medan berdasarkan:
a). Staatsblad No. 99 Tahun 1918 (Lembaran Negara
NEDERLANDSCH INDIE) telah ditetapkan batas-batas tanah pelabuhan Belawan. b).
Surat Keputusan Bersama Menteri Perhubungan Menteri Dalam Negeri No.191Tahun 1969
dan No. SK.83/0/1969 tanggal 27 Desember 1969 tentang penyediaan penggunaan tanah
untuk kepentingan pelabuhan.
c). Surat Keputusan Bersama Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Perhubungan No. 14 Tahun 1982 No. KM.70/Ac/01/PHB.82 tanggal 14
Januari 1982 ditetapkan kembali batas-batas daerah lingkungan
kerja pelabuhan Belawan. d). Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Pusat No.
41/HPL/BPN/1991 telah menetapkan Pemberian Hak
Pengelolaan atas tanah kepada Perum Pelabuhan I. Dengan demikian,
Pelindo I adalah badan hukum yang menguasai pelabuhan secara sah, factual
menguasai fisik tanah secara terus menerus dan memanfaatkannya secara efective
untuk kepentingan umum dan kepentingan negara (epoleksosbudhankam).
Akibat Eksekusi
Bahwa
Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor : 2843 K/Pdt/2013, tanggal 19 Maret 2014
sudah pasti akan menimbulkan kekacauan hukum, dengan dibatalkannya HPL atas
nama PT. Pelindo I seluas 278,15 Ha berarti tanah tersebut sepenuhnya tidak
bertuan, menjadi kawasan liar dan membuka peluang kepada para mafia tanah untuk
menjarah tanah yang sejak zaman Hindia Belanda telah dikuasai PT. PELINDO I
(Persero) tersebut.
Putusan
Kasasi juga memicu munculnya gugatan
baru dari pihak yang dimenangkan
pengadilan untuk mengajukan gugatan baru dengan mencari lokasi-lokasi yang
dianggap kosong. Serta pihak lain yang sekarang sedang menguasai fisik tanah
karena sewa, pinjam pakai dll, dengan cara mengklaim tanah tersebut adalah miliknya.
Putusan
Kasasi tersebut juga menimbulkan kekacauan hukum karena mengakibatkan segala
kegiatan hukum dan kerjasama pemanfaatan lahan untuk kepentingan usaha kepelabuhanan
yang telah dibuat oleh PT. Pelindo I dengan pihak ketiga, diantaranya Pertamina
dan Lahan penampungan Peti Kemas dll, menjadi batal demi hukum, sehingga PT.
Pelindo I (Persero) menjadi kehilangan haknya untuk mengelola tanah pelabuhan
Belawan tersebut untuk pemasukan Negara dan selanjutnya tanah akan beralih
kepada swasta tanpa terkendali.
Dari
segi perencanaan, maka akan terjadi kekacauan dan masuknya pihak swasta yang
akan ikut campur tangan dalam menentukan kebijakan pengembangan pelabuhan yang
terintegrasi secara ipoleksosbud. Hal hal demikian semestinya dipahami oleh
seluruh warga Negara termasuk para pemangku kepentingan dan pemerintahan serta
aparat hukum dan pertahanan dan pengadilan di Sumatera Utara. Fungsi strategis
pelabuhan tidak dapat dilihat dengan kacamata kuda dan sepotong sepotong. Ada
kepentingan Negara dan kepentingan umum di sana dan kepentingan itu harus
berada di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Maka
upaya penolakan eksekusi secara bersama-sama dan gotong royong dan damai dari
seluruh masyarakat bukanlah upaya untuk melawan putusan pengadilan namun lebih
dimaksudkan untuk untuk menyelamatkan asset BUMN yang merupakan kekayaan
Negara, selain juga untuk mengamankan
kepentingan nasional dan program pemerintah.
PT.
Pelindo 1 saat ini tidak sedang berupaya menghalangi putusan pengadilan namun sedang
mengajukan berbagai upaya hukum termasuk Peninjauan Kembali (PK), untuk
menunjukkan kepada masyarakat luas dan khususnya Mahkamah Agung bahwa putusan Kasasi di
atas ditengarai dibuat secara melawan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar