Sabtu, 27 Juni 2015

Kegiatan Kepelabuhanan Belawan Terancam (ANALISA)



Kegiatan Kepelabuhanan Belawan Terancam
(Harian Analisa Medan 4 Juni 2015)
Oleh : Junaidi Albab Setiawan

Perencanaan dan kegiatan kepelabuhanan di pebuhan Belawan terancam berantakan. Akibatnya program “Poros Maritim” yang dicanangkan pemerintah Jokowi-JK  dalam Nawa Cita untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional,  akan terkendala dan sulit untuk dilaksanakan.
Kita tentu masih ingat pidato Presiden Joko Widodo belum lama ini di Kuala Tanjung  yang menargetkan operasional kawasan terpadu Kuala Tanjung–Sei Mangkei dilaksanakan dalam dua tahun mendatang. Dan menurut pasal 8 Peraturan Menteri Perhubungan No. 21 tahun 2012, Rencana Induk Pengembangan Pelabuhan Belawan (RIPPB),  Pelabuhan Kuala Tanjung adalah pelabuhan pendukung dari pelabuhan Belawan.
Kata Jokowi, “Saya tidak ingin mundur lagi,” proyek itu merupakan yang pertama dan sangat ambisius namun realistis untuk diwujudkan dengan dikerjakan secara bersama-sama dan gotong royong”.
Namun ironisnya, belum lagi pencanangan proyek oleh Presiden  ini seumur jagung. Rencana mulia itu  harus menghadapi kenyataan pahit  berupa eksekusi lahan pelabuhan oleh Pengadilan Negeri Medan. Masyarakat Sumatera Utara dan sekitarnya barang kali belum begitu mahfum dan faham terhadap ancaman serius yang mengancam kegiatan kepelabuhanan di Pelabuhan Belawan tersebut.
Pada tanggal 6 Mei 2015, Pengadilan Negeri Medan telah mengirimkan juru sitanya untuk melakukan eksekusi putusan pengadilan yang salah satu amarnya menyatakan tidak sah dan tidak berlaku  sertifikat HPL milik PT. Pelindo I di lahan pelabuhan Belawan seluas 278,15 Hektar.
Pengembangan pelabuhan Belawan diatur dalam suatu  Rencana Induk Pengembangan Pelabuhan (RIPPB) yang menjadi pedoman dalam melakukan pembangunan dan pengembangan Pelabuhan Belawan yang mencakup keseluruhan kebutuhan dan penggunaan daratan serta perairan untuk kegiatan kepelabuhanan dan kegiatan penunjang pelabuhan dengan mempertimbangkan aspek-aspek teknis, pertahanan keamanan, sosial budaya serta aspek-aspek terkait lainnya
Menurut Pasal 2 RIPPB diatur bahwa  “Untuk menyelenggarakan kegiatan kepelabuhanan pada pelabuhan Belawan  yang meliputi pelayanan jasa  kepelabuhanan, pelaksanaan kegiatan ekonomi dan pemerintahan lainnya serta pengembangannya sesuai rencana induk pada Pelabuhan Belawan, dibutuhkan areal daratan seluas 785 Ha serta areal perairan  seluas 29,411,37 ha.
Sehingga dapatlah kita bayangkan jika sertifikat lahan seluas 273,15 Ha yang merupakan lahan strategis pelabuhan Belawan,  yang berperan sebagai  pintu keluar dan masuk bahan pokok hidup dan keperluan pembangunan infrastruktur serta kebutuhan BBM ke wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya tersebut dieksekusi oleh Pengadilan, lalu sebagian diserahkan kepada pihak swasta. Maka yang akan terjadi adalah konsep perencanaan pengembangan pelabuhan yang terintegrasi akan mengalami kekacauan.
Eksekusi ini adalah akibat dari putusan Kasasi Mahkamah Agung dalam perkara perdata No. 2843-K/Pdt/2013 Juncto No. 375/Pdt/2012/PT.Mdn juncto  No. 561/Pdt.G.Int/2011/PN.Mdn, yang merupakan putusan pengadilan yang dinilai tidak adil dan tidak berpihak kepada kepentingan umum dan pembangunan.
Pengadilan telah memutuskan bahwa Sertifikat  Hak Pengelolaan Lahan (HPL) seluas 273,15 Ha, No. 1/Belawan I atas nama PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero), tidak sah dan tidak berlaku. Dengan amar putusan selengkapnya adalah sebagai berikut : “Menyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum sertifikat Hak Pengelolaan Lahan No. 1/Belawan I atas nama Tergugat I (Pelindo 1) yang diterbitkan oleh Tergugat 2 (Kantor Pertanahan Medan) tanggal 3 Maret 1993”. 

Pelabuhan  Belawan dan Poros Maritim
Kita, khususnya masyarakat Sumatera Utara perlu memahami niat luhur pemerintah dalam mencanangkan program pembangunan poros maritim yang menjadi salah satu program unggulan pemerintah dan perlu juga  memahami dimanakah posisi palabuhan Belawan dalam hal itu. Poros maritim adalah program realistis yang berangkat dari kenyataan bahwa Indonesia adalah negara maritim kepulauan yang 2/3 wilayahnya berupa lautan. Ini konsep keunggulan geo strategis berbasis kekayaan bahari, dengan semboyan “Jalesveva jayamahe” yang berarti di laut kita jaya.
Indonesia adalah  negara maritim terbesar di dunia,  dimana sektor kelautan bisa menghasilkan seperempat APBN setara lima ratus triliun, namun belum dikelola dengan baik dan optimal. Untuk mewujudkannya harus dibangun armada dan keterampilan serta sentra industri pengolahan dan perdagangan berbasis komunitas kelautan di sedikitnya sepuluh wilayah (zona) maritim.    
Dalam poros maritim pelabuhan bukan sekedar berfungsi sebagai fasilitas transportasi laut namun sekaligus menanggung fungsi ekonomi politik sosial dan budaya serta pertahanan dan keamanan (epolisosbudhankam). Karena di pelabuhah juga terdapat instrumen lain yang bertugas untuk mewujudkan komitmen memperkuat kapasitas dan kemampuan deteksi serta penindakan di lautan untuk menegakkan kedaulatan maritim - memberantas aksi perompak, pencurian ikan, perusakan terumbu karang, wisata bahari liar, illegal logging dan human trafficking hingga penyelundupan yang setiap tahun telah merugikan negara hingga 300 triliun. Mari kita bayangkan, apa yang akan terjadi jika fungsi strategis lahan pelabuhan  ini setelah eksekusi oleh pengadilan sebagian selanjutnya diserahkan dan  dikuasai oleh pihak swasta.
Konsep poros maritim Jokowi adalah konsep realistis yang   menjadikan Indonesia sebagai simpul utama distribusi asia pasifik. sebagaimana singapura yang menjadi pusat perdagangan, transportasi dan telekomunikasi. Kita punya kesempatan mengambil alih peran itu dengan mengubah dominasi supply chain yang diciptakan dari dalam negeri dengan komoditas dan kekuatan pasar sendiri yang saling mencukupi. Di era globalisasi, Indonesia harus menjadi tuan di negeri sendiri.
Upaya mewujudkan Poros Maritim tidak main-main dan  telah di tetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.  RPJMN 2015-2019 mengedepankan masyarakat sebagai prioritas dalam pembangunannya.  Fokus pada kemaritiman pada pemerintah Jokowi juga terlihat menjadi prioritas pembangunan infrastruktur dasar. Target tahun 2019 akan menambah jumlah pelabuhan menjadi 450 atau meningkat sebanyak 60 persen dengan rata-rata-rata penambahan 34 pelabuhan setahun. Pembangunan kelautan tersebut akan signifikan membantu mengatasi sejumlah persoalan bangsa, baik kemiskinan maupun disparitas pembangunan antar wilayah.

Posisi Pelabuhan Belawan Dalam Kontek Poros Maritim
Pelabuhan Belawan merupakan salah satu pelabuhan utama di Indonesia yang memiliki lokasi yang sangat strategis karena karena letaknya di pintu masuk selat Malaka, hanya berjarak 13,5 km dari jalur pelayaran internasional. Pengembangan pelabuhan Belawan sangat berarti karena menegaskan posisi geoekonomi Indonesia yang sangat strategis di tengah lintasan perdagangan dunia. Dengan posisinya tersebut maka 45 persen dari seluruh komoditas dan produk yang diperdagangkan di dunia dengan nilai 1.500 trilyun dolar AS/tahun dikapalkan melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Keunggulan letak itu sejauh ini belum mampu dimanfaatkan secara maksimal, jauh tertinggal dibanding pelabuhan Port Klang di Malaysia, pelabuhan Singapore dan  sekarang disusul pelabuhan Tanjung Pelepas di Malaysia
Pelabuhan ini terletak di sebuah daratan semenanjung yang merupakan muara pertemuan dua sungai yaitu sungai belawan dan sungai Deli, secara adminitratif kewilayahan berada di kawasan daerah Pemerintah Kota Medan. Upaya peningkatan kemampuan seperti optimalisasi lahan yang ada untuk peningkatan fasilitas pelabuhan dan penambahan eksesebilitas, namun memiliki keterbatasan  ketersediaan lahan dan aksesebilitas ke daerah belakang (pendukung). Lahan yang ada hanya dapat mengakomodasi pengembangan pelabuhan sampai kapasitas tertentu, dengan kata lain pengembangan pelabuhan belawan hanya sampai pada kapasitas tertentu pula, sehingga sangatlah nyata bahwa lahan menjadi factor utama/penentu dalam pengembangan pelabuhan Belawan.
Pasal 2 RIPPB, mengatur bahwa untuk menyelenggarakan kegiatan kepelabuhanan pada pelabuhan Belawan  yang meliputi pelayanan jasa  kepelabuhanan, pelaksanaan kegiatan ekonomi dan pemerintahan lainnya serta pengembangannya sesuai rencana induk pada Pelabuhan Belawan dibutuhkan areal daratan seluas 785 Ha serta areal perairan  seluas 29,411,37 Ha.
PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang jasa kepelabuhanan yang mengoperasikan pelabuhan-pelabuhan di 4 (empat) propinsi antara lain NAD, Sumatera Utara, Riau dan Kepulauan Riau.
Di Pelabuhan Belawan, Pelindo I telah mengoperasikan pelabuhan sejak zaman Hindia Belanda berdasarkan : a). Haven Bedriff, pada masa Pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan tahun 1945; b). Jawatan Pelabuhan dari tahun 1945 sampai dengan tahun 1950; c). Perusahaan Negara Pelabuhan (PN Pelabuhan) dari tahun 1960 sampai dengan tahun 1969 berdasarkan Undang-undang No. 19 Prp. tahun 1960; d). Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP) dari tahun 1969 sampai dengan tahun 1983 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 18 Tahun 1969 tentang Pembubaran Perusahaan Negara Pelabuhan dan Pengalihan Pembinaannya Kedalam Organisasi Pembinaan Pelabuhan; e). Perusahaan Umum Pelabuhan I dari tahun 1983 sampai dengan tahun 1991 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 14 Tahun 1983 tanggal 30 April 1983 jo. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1985 tanggal 5 Pebruari 1985 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pelabuhan I ; f). PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 1991 tanggal 19 Oktober 1991 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Pelabuhan I menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
Mengingat pentingnya lahan dalam kegiatan kepelabuhanan. Pelindo I telah memperoleh  sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Belawan I tanggal 03 Maret 1993 seluas 278,15 Ha di Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan Kota Medan berdasarkan: a). Staatsblad No. 99 Tahun 1918 (Lembaran Negara NEDERLANDSCH INDIE) telah ditetapkan batas-batas tanah pelabuhan Belawan. b). Surat Keputusan Bersama Menteri Perhubungan Menteri Dalam Negeri No.191Tahun 1969 dan No. SK.83/0/1969 tanggal 27 Desember 1969 tentang penyediaan penggunaan tanah untuk kepentingan pelabuhan. c). Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perhubungan No. 14 Tahun 1982 No. KM.70/Ac/01/PHB.82 tanggal 14 Januari 1982 ditetapkan kembali batas-batas daerah lingkungan kerja pelabuhan Belawan. d). Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Pusat No. 41/HPL/BPN/1991 telah menetapkan Pemberian Hak Pengelolaan atas tanah kepada Perum Pelabuhan I. Dengan demikian, Pelindo I adalah badan hukum yang menguasai pelabuhan secara sah, factual menguasai fisik tanah secara terus menerus dan memanfaatkannya secara efective untuk kepentingan umum dan kepentingan negara (epoleksosbudhankam).  

Akibat Eksekusi
Bahwa Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor : 2843 K/Pdt/2013, tanggal 19 Maret 2014 sudah pasti akan menimbulkan kekacauan hukum, dengan dibatalkannya HPL atas nama PT. Pelindo I seluas 278,15 Ha berarti tanah tersebut sepenuhnya tidak bertuan, menjadi kawasan liar dan membuka peluang kepada para mafia tanah untuk menjarah tanah yang sejak zaman Hindia Belanda telah dikuasai PT. PELINDO I (Persero) tersebut.

Putusan Kasasi juga  memicu munculnya gugatan baru dari  pihak yang dimenangkan pengadilan untuk mengajukan gugatan baru dengan mencari lokasi-lokasi yang dianggap kosong. Serta pihak lain yang sekarang sedang menguasai fisik tanah karena sewa, pinjam pakai dll, dengan cara mengklaim  tanah tersebut adalah miliknya.

Putusan Kasasi tersebut juga menimbulkan kekacauan hukum karena mengakibatkan segala kegiatan hukum dan kerjasama pemanfaatan lahan untuk kepentingan usaha kepelabuhanan yang telah dibuat oleh PT. Pelindo I dengan pihak ketiga, diantaranya Pertamina dan Lahan penampungan Peti Kemas dll, menjadi batal demi hukum, sehingga PT. Pelindo I (Persero) menjadi kehilangan haknya untuk mengelola tanah pelabuhan Belawan tersebut untuk pemasukan Negara dan selanjutnya tanah akan beralih kepada swasta tanpa terkendali.

Dari segi perencanaan, maka akan terjadi kekacauan dan masuknya pihak swasta yang akan ikut campur tangan dalam menentukan kebijakan pengembangan pelabuhan yang terintegrasi secara ipoleksosbud. Hal hal demikian semestinya dipahami oleh seluruh warga Negara termasuk para pemangku kepentingan dan pemerintahan serta aparat hukum dan pertahanan dan pengadilan di Sumatera Utara. Fungsi strategis pelabuhan tidak dapat dilihat dengan kacamata kuda dan sepotong sepotong. Ada kepentingan Negara dan kepentingan umum di sana dan kepentingan itu harus berada di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Maka upaya penolakan eksekusi secara bersama-sama dan gotong royong dan damai dari seluruh masyarakat bukanlah upaya untuk melawan putusan pengadilan namun lebih dimaksudkan untuk untuk menyelamatkan asset BUMN yang merupakan kekayaan Negara, selain juga  untuk mengamankan kepentingan nasional dan program pemerintah.

PT. Pelindo 1 saat ini tidak sedang berupaya menghalangi putusan pengadilan namun sedang mengajukan berbagai upaya hukum termasuk Peninjauan Kembali (PK), untuk menunjukkan kepada masyarakat luas dan khususnya  Mahkamah Agung bahwa putusan Kasasi di atas  ditengarai dibuat secara melawan hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar