KEGELISAHAN DIREKSI BUMN
Direksi BUMN saat ini sedang mengalami kegelisahan yang
teramat sangat. Kerja keras mereka dalam menjalankan bisnis negara bagai
tersandra. Mereka merasa diperlakukan secara tidak adil dan dihadapkan hanya
pada dua pilihan, jika untung mereka disanjung jika buntung mereka di pasung.
Dari segi jumlah sudah terlalu banyak direktur BUMN menjadi
tersangka dalam berbagai perkara korupsi bisnis. Sebut misalnya Direktur
Utama PT. Sang Hyang Sri (Persero), PT. Angkasa
Pura I (Persero), PT, Pos Indonesia
(Persero), PT. Sucofindo (Persero) dan banyak lagi. Fenomena ini harus segera
dikaji oleh Kementerian BUMN untuk mencari
tahu apa yang salah, dan tidak terlalu cepat berujar “serahkan saja kepada
proses hukum”.
Peristiwa pergeseran tanggung jawab korporasi menjadi
tanggung jawab pribadi dan berlanjut menjadi pesakitan tentu menyurutkan gairah
kerja direksi dan berimbas kepada daya saing BUMN. Karenanya, sebelum persepsi semakin salah dan korban
terus bertambah, harus dicari penyebabnya dan menempatkan kegiatan BUMN di mata
hukum dan bisnis secara bijaksana.
Bisnis Itu Lex
Speciailis
Tulisan ini tidak menempatkan BUMN seolah “anak mas” yang kebal hukum, terlebih masih
banyak ditemukan direktur BUMN yang “bermain-main” dengan pekerjaannya. Namun
lebih menyorot kegiatan bisnis yang berkarakter khusus (lex specialis), sehingga dalam
menangani korupsi bisnis harus dilakukan dengan cara khusus pula. Penegak hukum
tidak bisa menilai salah benar suatu kegiatan bisnis dengan pengetahuan yang sempit. Jangan ada penegakan hukum yang melebihi
kompetensi, apalagi menghukum karena dipaksa oleh sistem atau termotivasi oleh euphoria anti korupsi.
Sistem penegakan hukum kita memaksa para penegak hukum dengan
pengetahuan bidang bisnis yang terbatas, harus menentukan benar salahnya tindakan bisnis
yang kompleks. Dalam waktu 1 x 24 jam mereka dituntut menjadi ahli pertambangan, konstruksi,
perbankan, bandara, pelabuhan, perkebunan, dls. Selanjutnya dengan
pengetahuannya itu menjadi penentu nasib direktur yang sudah merintis karir berpuluh
tahun.
Hampir semua direktur BUMN tersangka korupsi bisnis mengklaim
bahwa yang dilakukannya telah sesuai dengan tanggung jawabnya dari perspektif bisnis. Bahkan ada seorang
direktur BUMN seusai diperiksa KPK berani berseloroh, justru negaralah yang semestinya
memberikan penghargaan atas effort yang sudah dia lakukan.
Namun di sisi lain, penegak hukum tetap bekerja dengan
caranya dan memandang tindakan dan
kerugian BUMN sebagai kerugian negara, karenanya tergolong korupsi. Selama ini
untuk menemukan sifat melawan hukum suatu peristiwa, penegak hukum terbiasa bertumpu
kepada formalitas dan mencari pembenar dari bunyi pasal dengan mempadu padankan
peristiwa dengan bunyi unsur-unsur pasal.
Kerugian bisnis sebagai
Kerugian negara
Dalam praktek sering terjadi beda tafsir antara BUMN dengan
penegak hukum soal corporate loss menjadi state loss. Kesenjangan ini harus diatasi tanpa harus menafikan tugas dan wewenang masing masing.
Memang modal BUMN sebagian atau seluruhnya berasal dari
kekayaan negara, namun kekayaan itu telah dipisahkan untuk modal bisnis sesuai tujuan
pendirian BUMN baik sebagai Badan Hukum Perseroan Terbatas (persero) maupun Perusahaan
Umum (Perum). Sehingga keuntungannya harus diterima sebagai keuntungan bisnis
bergitupun ruginya. Tujuan utama BUMN sebagai badan usaha adalah untuk mencari
keuntungan yang pada gilirannya akan menjadi keuntungan negara. Tidak satupun ketentuan
di dunia ini yang mewajibkan berbisnis harus untung, karena untung dan rugi
adalah keniscayaan dalam bisnis.
Dilema Direksi Dan daya
Saing
Direksi adalah salah satu organ perseroan terbatas (PT) selain
Dewan Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Direksi berwenang dan
bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sesuai maksud dan tujuan perseroan. Sehingga direktur
adalah orang yang dianggap cakap dan dapat dipercaya karena berkemampuan melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pengelola
perusahaan. Tindakan dan keputusan direksi, sepanjang berdasarkan prinsip
fiduciary duty dan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, tidak layak untuk
dinilai atau dipertanyakan oleh pihak lain.
Karenanya penting bagi aparat penegak hukum untuk memahami karakter
bisnis ini. Jangan lupa bahwa Perseroan dengan tujuan pendiriannya adalah sebab
dari keberadaan direksi, sehingga tidak mudah untuk membalik tanggung jawab
pengurusan perusahaan menjadi tanggung jawab pribadi.
Direksi juga dituntut mampu memanfaatkan seluruh potensi yang
ada pada perusahaan untuk dalam waktu yang terbatas merebut peluang bisnis demi keuntungan
perusahaan. Direksi harus melakukan
praktik bisnis yang adil dan bersaing dengan cara yang pantas. Tindakan direksi yang kritis dan strategis akan sangat berpengaruh kepada pendapatan maupun
pertumbuhan sebuah perusahaan.
Peluang tidak akan pernah datang dua kali, maka direktur
dituntut untuk mengambil keputusan
bisnis dengan kecepatan dan ketepatan. Tepat karena tindakannya didasari perhitungan sesuai waktu, aturan dan
kelaziman bisnis yang bisa dipertanggung jawabkan. Sehingga tidak mudah menyalahkan
direksi jika tindakannya berujung rugi. Jika BUMN merugi tidak serta merta lalu
dianggap korupsi. Kesenjangan pemahaman inilah yang kini mengakibatkan banyak direktur
BUMN tersungkur diujung pedang para penegak hukum.
Situasi ini membuat direksi BUMN gelisah dan gamang dalam
mengambil keputusan yang berkonsekwensi bisnis dan hukum. Sehingga berakibat
BUMN kurang luwes bertindak, kurang cepat merebut peluang bisnis dan hampir
selalu tertinggal dibanding swasta.
Dalam ilmu hukum bisnis, terhadap direksi dikenal sebuah
doktrin yang disebut Business judgment rule, yang
mengajarkan bahwa pertimbangan bisnis anggota direksi tidak dapat ditantang
atau diganggu gugat atau ditolak oleh pengadilan atau pemegang saham. Para
anggota direksi tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang
timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis oleh anggota direksi
yang bersangkutan sekalipun pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal
tertentu (Sutan Remi Sjahdeni, 2001).
Jalan Tengah
Kesenjangan ini bisa diatasi dengan mendirikan dewan etik dan pertimbangan bisnis
yang bertugas untuk menguji dan mengukur kegiatan bisnis berdasar standar
operasional bisnis. Dewan ini harus independen, bukan pihak terafeliasi, yang
terdiri dari ahli bisnis, ahli hukum dan perguruan tinggi.
Pendapat dewan etik harus
menjadi rujukan ada tidaknya perbuatan melawan hukum dari perpektif korupsi bisnis.
Sebelum menetapkan seorang direktur BUMN sebagai tersangka dalam perkara
korupsi bisnis, penegak hukum harus melewati proses pendahuluan ini (dismissal
proses), untuk memastikan kerugian perusahaan terjadi dalam batas yang wajar
dan lazim, bukan disebabkan oleh karena KKN, kecerobohan dan kurang
professionalnya direksi.
JUNAIDI ALBAB SETIAWAN, Praktisi Hukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar