Selasa, 30 Juni 2015

DILEMA DIREKSI BUMN


KEGELISAHAN DIREKSI BUMN

Direksi BUMN saat ini sedang mengalami kegelisahan yang teramat sangat. Kerja keras mereka dalam menjalankan bisnis negara bagai tersandra. Mereka merasa diperlakukan secara tidak adil dan dihadapkan hanya pada dua pilihan, jika untung mereka disanjung jika buntung mereka di pasung.

Dari segi jumlah sudah terlalu banyak direktur BUMN menjadi tersangka dalam berbagai perkara korupsi bisnis. Sebut misalnya Direktur Utama  PT. Sang Hyang Sri (Persero), PT. Angkasa Pura I (Persero), PT,  Pos Indonesia (Persero), PT. Sucofindo (Persero) dan banyak lagi. Fenomena ini harus segera dikaji oleh  Kementerian BUMN untuk mencari tahu apa yang salah, dan tidak terlalu cepat berujar “serahkan saja kepada proses hukum”.

Peristiwa pergeseran tanggung jawab korporasi menjadi tanggung jawab pribadi dan berlanjut menjadi pesakitan tentu menyurutkan gairah kerja direksi dan berimbas kepada daya saing BUMN.  Karenanya, sebelum persepsi semakin salah dan korban terus bertambah, harus dicari penyebabnya dan menempatkan kegiatan BUMN di mata hukum dan bisnis secara bijaksana.

 

Bisnis Itu Lex Speciailis

Tulisan ini tidak menempatkan BUMN seolah “anak mas” yang kebal hukum, terlebih masih banyak ditemukan direktur BUMN yang “bermain-main” dengan pekerjaannya. Namun lebih menyorot kegiatan bisnis yang berkarakter  khusus (lex specialis), sehingga dalam menangani korupsi bisnis harus dilakukan dengan cara khusus pula. Penegak hukum tidak bisa menilai salah benar suatu kegiatan bisnis dengan pengetahuan  yang sempit. Jangan ada penegakan hukum yang melebihi kompetensi, apalagi menghukum karena dipaksa oleh sistem atau termotivasi oleh  euphoria anti korupsi.

Sistem penegakan hukum kita memaksa para penegak hukum dengan pengetahuan bidang bisnis yang terbatas,   harus menentukan benar salahnya tindakan bisnis yang kompleks. Dalam waktu 1 x 24 jam mereka dituntut  menjadi ahli pertambangan, konstruksi, perbankan, bandara, pelabuhan, perkebunan, dls. Selanjutnya dengan pengetahuannya itu menjadi penentu nasib  direktur yang sudah merintis karir berpuluh tahun.  

Hampir semua direktur BUMN tersangka korupsi bisnis mengklaim bahwa yang dilakukannya telah sesuai dengan tanggung jawabnya  dari perspektif bisnis. Bahkan ada seorang direktur BUMN seusai diperiksa KPK berani berseloroh, justru negaralah yang semestinya memberikan penghargaan atas effort yang sudah dia lakukan.

Namun di sisi lain, penegak hukum tetap bekerja dengan caranya dan  memandang tindakan dan kerugian BUMN sebagai kerugian negara, karenanya tergolong korupsi. Selama ini untuk menemukan sifat melawan hukum  suatu peristiwa, penegak hukum terbiasa bertumpu kepada formalitas dan mencari pembenar dari bunyi pasal dengan mempadu padankan peristiwa dengan bunyi unsur-unsur pasal.

 

Kerugian bisnis sebagai Kerugian negara

Dalam praktek sering terjadi beda tafsir antara BUMN dengan penegak hukum soal corporate loss menjadi state loss. Kesenjangan ini  harus diatasi  tanpa harus  menafikan tugas dan wewenang masing masing.

Memang modal BUMN sebagian atau seluruhnya berasal dari kekayaan negara, namun kekayaan itu telah dipisahkan untuk modal bisnis sesuai tujuan pendirian BUMN baik sebagai Badan Hukum Perseroan Terbatas (persero) maupun Perusahaan Umum (Perum). Sehingga keuntungannya harus diterima sebagai keuntungan bisnis bergitupun ruginya. Tujuan utama BUMN sebagai badan usaha adalah untuk mencari keuntungan yang pada gilirannya akan menjadi keuntungan negara. Tidak satupun ketentuan di dunia ini yang mewajibkan berbisnis harus untung, karena untung dan rugi adalah keniscayaan dalam bisnis.

 

Dilema Direksi Dan daya Saing

Direksi adalah salah satu organ perseroan terbatas (PT) selain Dewan Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Direksi berwenang dan bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sesuai  maksud dan tujuan perseroan. Sehingga direktur adalah orang yang dianggap cakap dan dapat dipercaya karena berkemampuan  melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pengelola perusahaan. Tindakan dan keputusan direksi, sepanjang berdasarkan prinsip fiduciary duty dan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, tidak layak untuk dinilai atau dipertanyakan oleh pihak lain.    

Karenanya penting bagi aparat penegak hukum untuk memahami karakter bisnis ini. Jangan lupa bahwa Perseroan dengan tujuan pendiriannya adalah sebab dari keberadaan direksi, sehingga tidak mudah untuk membalik tanggung jawab pengurusan perusahaan menjadi tanggung jawab pribadi.   

Direksi juga dituntut mampu memanfaatkan seluruh potensi yang ada pada perusahaan untuk dalam waktu yang terbatas  merebut peluang bisnis demi keuntungan perusahaan. Direksi harus  melakukan praktik bisnis yang adil dan bersaing dengan cara yang pantas.  Tindakan direksi  yang  kritis dan strategis akan  sangat berpengaruh kepada pendapatan maupun pertumbuhan sebuah perusahaan.

Peluang tidak akan pernah datang dua kali, maka direktur dituntut untuk  mengambil keputusan bisnis dengan kecepatan dan ketepatan. Tepat karena  tindakannya  didasari perhitungan sesuai waktu, aturan dan kelaziman bisnis yang bisa dipertanggung jawabkan. Sehingga tidak mudah menyalahkan direksi jika tindakannya berujung rugi. Jika BUMN merugi tidak serta merta lalu dianggap korupsi. Kesenjangan pemahaman inilah yang kini mengakibatkan banyak direktur BUMN tersungkur diujung pedang para penegak hukum.

Situasi ini membuat direksi BUMN gelisah dan gamang dalam mengambil keputusan yang berkonsekwensi bisnis dan hukum. Sehingga berakibat BUMN kurang luwes bertindak, kurang cepat merebut peluang bisnis dan hampir selalu tertinggal dibanding swasta.

Dalam ilmu hukum bisnis, terhadap direksi dikenal sebuah doktrin yang disebut Business judgment rule, yang mengajarkan bahwa pertimbangan bisnis anggota direksi tidak dapat ditantang atau diganggu gugat atau ditolak oleh pengadilan atau pemegang saham. Para anggota direksi tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis oleh anggota direksi yang bersangkutan sekalipun pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu (Sutan Remi Sjahdeni, 2001).

Jalan Tengah

Kesenjangan ini bisa diatasi dengan  mendirikan dewan etik dan pertimbangan bisnis yang bertugas untuk menguji dan mengukur kegiatan bisnis berdasar standar operasional bisnis. Dewan ini harus independen, bukan pihak terafeliasi, yang terdiri dari ahli bisnis, ahli hukum dan perguruan tinggi.

Pendapat  dewan etik harus menjadi rujukan ada tidaknya perbuatan melawan hukum dari perpektif korupsi bisnis. Sebelum menetapkan seorang direktur BUMN sebagai tersangka dalam perkara korupsi bisnis, penegak hukum harus melewati proses pendahuluan ini (dismissal proses), untuk memastikan kerugian perusahaan terjadi dalam batas yang wajar dan lazim, bukan disebabkan oleh karena KKN, kecerobohan dan kurang professionalnya direksi.

 

JUNAIDI ALBAB SETIAWAN, Praktisi Hukum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar