Sabtu, 27 Juni 2015

UU Migas Merah Putih (KOMPAS)



UU Migas Merah Putih
(Dimuat di KOMPAS 17 Juni 2015)
Oleh : Junaidi Albab Setiawan
Pengamat dan Praktisi Hukum Migas

UU Migas  yang lengkap dan komprehnsip menjadi kebutuhan yang sangat mendesak saat ini. UU Migas No 22 tahun 2001 tidak lagi mampu menjawab kebutuhan bangsa karena secara konseptual dianggap menyimpang dari konstitusi dan secara operasional tidak lagi mampu mengarahkan pemanfaatan migas bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sekaligus mampu melindungi  kepentingan investor.
Di tahun 2015 Rancangan perubahan UU Migas 2001 masuk dalam Program Legeslasi nasional (Prolegnas). Semangatnya adalah mengembalikan UU migas  yang sejalan dengan filosofi dan konstitusi bangsa Indonesia. Presiden RI ke 5 Megawati Soekarno Putri pada acara seminar nasional "Migas untuk Kemandirian Energi" di Gedung Kompleks Parlemen (27/2/2013), mengusulkan UU migas khas Indonesia sebagai UU Migas Merah Putih. 
Keingianan untuk melahirkan UU Merah Putih itu kemudian juga muncul  dalam Visi Misi dan Program Pemerintah Jokowi.  Yaitu pada point 7  “Sembilan Agenda Prioritas”, serta dalam rencana implementasai Tri Sakti,  di angka 3 (2) disebutkan bahwa  “dalam jangka menengah, Pemerintah Jokowi akan merevisi UU Migas Merah Putih yang berkarakter membangun kapasitas nasional yang akan mampu memberikan kepastian hukum secara permanen”. Secara tegas, rezim ini berkomitmen akan mendorong lahirnya UU Migas yang berbasis  pada pasal 33 UUD 1945 dengan ruh TRISAKTI.

Arti penting UU Migas
Mengingat migas adalah salah satu hajat hidup rakyat yang berjumlah terbatas dan tidak terbarukan dan pendapatan dari sektor migas penting untuk menopang pembangunan bangsa, maka UU migas harus mampu menjadi acuan dalam pemanfaatan migas nasional. Undang-undang ini harus bersumber kepada konstitusi yang merupakah arah dan tujuan didirikannya Negara. UU Migas yang tidak sejalan dengan konstitusi akan beresiko mudah berubah (labil), terombang-ombang mengikuti desakan zaman dan itulah yang terjadi pada UU Migas Tahun 2001 yang berlaku saat ini.
Pemanfaatan Migas sangat membutuhkan aturan kuat yang mampu melewati batas rezim. Aturan itu harus mampu menjadi landasan yang kokoh sekaligus payung hukum dalam   aktivitas pemanfaatan migas yang berkarakter jangka panjang. Aturan yang lemah juga akan berakibat kurangnya minat  investasi di bidang Migas yang memiliki karakter unik berbeda dari bisnis lain. Paling tidak ada empat factor yang membuat industri hulu migas unik, karena  (i). lamanya rentang waktu antara saat terjadinya pengeluaran (Expenditure) dengan pendapatan (revenue), (ii). Keputusan yang dibuat berdasarkan risiko dan ketidakpastian tinggi serta melibatkan teknologi canggih, (iii). Sector ini memerlukan biaya capital yang cukup besar, namun (iv). Dibalik semua risiko industri migas juga menjanjikan keuntungan yang cukup tinggi (Benny Lubiantara, 2012).
Faktanya Indonesia menghadapi keterbatasan dalam hal dana dan kemampuan, sehingga membuka ruang bagi investor asing dalam ekplorasi dan ekploitasi migas merupakan keniscayaan.  Sehingga UU Migas harus bersangkutan dengan aturan investasi yang memberikan jaminan kepada investor agar terbebas dari risiko perubahan politik dan peraturan. Sehingga  UU migas  tidak berorientasi local semata, namun harus mampu mengakomodir hadirnya investasi asing yang sudah pasti mensyaratkan suatu kepastian hukum.
Aturan dalam UU Migas  harus juga mengatur struktur kelembagaan dan birokrasi dalam pengelolaan migas yang meliputi pengaturan kebijakan umum, perizinan,  pengawasan serta pengaturan pemanfaatan dan distribusi yang maksimal yang berorientasi bagi sebesar besar kemakmuran rakyat. Diantaranya dengan mendirikan suatu National Oil Company (NOC) yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara, sebagai pelaksana kuasa pertambangan.  
UU Migas juga harus mengatur distribusi yang adil dalam hal pemanfaatan migas secara proporsional. Adil dalam artian sesuai kebutuhan riil yang wajib memperhatikan aspek  pemerataan pembangunan dan karakter giografis Indonesia sebagai negeri kepulauan.

UU Migas Nomor 22 tahun 2001
UU Migas tahun 2001 yang berlaku sekarang adalah produk reformasi yang perumusannya diwarnai oleh pengaruh liberalisme, khususnya IMF sebagai kreditor  yang memiliki agenda khusus. Pada saat itu Indonesia sedang “tersandera” akibat hutang-hutang peninggalan rezim lama, ditambah adanya perampokan uang Negara (BLBI) oleh para penghianat bangsa pada saat ekonomi Indonesia sedang sekarat.  Akibatnya kita tidak cukup bebas untuk bisa mengekpresikan keinginan kita bahkan dalam hal menyesuaikan isi undang-undang dengan bunyi konstitusi sekalipun.
UU Migas sekarang berorientasi pasar yang dalam kosiderannya dengan tegas memposisikan Migas sebagai komoditi. Sebagai komoditi tentu sangat bergantung kepada mekanisme pasar yang bertujuan mencari untung berdasar penawaran dan permintaan. Peran negara menjadi tereduksi atau bahkan cenderung ditiadakan dan akibatnya perlindungan terhadap posisi  migas bagi hajat hidup rakyat  menjadi terabaikan.
Beberapa ketentuan pokok UU Migas 2001 telah dikoreksi oleh putusan MK No. 36/PUU-X/2012-MK, pasal 1 anga 23, pasal 4 (3), pasal 41 (2), Pasal 44, pasal 45, pasal 48 (1), pasal 59 huruf a, pasal 61, pasal 63 serta pasal 11 (1). Dalam putusan ini, yang dibatalkan meliputi aturan-aturan  yang bersifat strategis termasuk aturan kelembagaan hulu migas (BP Migas).  Akibatnya UU Migas yang ada menjadi “centang perenang” dan tidak layak lagi menjadi acuan hukum. Saat ini aturan migas menjadi tambal sulam yang lebih didominasi oleh peraturan-peraturan operasional, sehingga secara essensial pemanfaatan dan  pengelolan migas berjalan tanpa arah dan tujuan jelas.

Revisi UU Migas
Revisi tambal sulam terhadap UU Migas tidaklah cukup, yang dibutuhkan agar masalah migas tidak semakin kronis adalah  dibuat UU Migas yang baru yang lebih berorientasi kepada kepentingan rakyat dan namun tetap disesuikan dengan perkembangan zaman.
UU Migas baru ditantang mampu menghubungkan tataran konsepsional yang “merah putih” agar tidak sekedar slogan, dengan tataran operasional sesuai kebutuhan riil. UU Migas harus mencerminkan kepribadian bangsa yang lebih mengutamakan kepentingan nasional. UU Migas harus kembali kepada paradigma konstitusi, memperjelas keberpihakan kepada kemandirian ekonomi bangsa untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, namun tetap dapat berlaku global karena bisnis migas adalah bisnis global yang sangat dipengaruhi oleh (i). nilai tukar uang karena 40 % prosen kebutuhan operasi hulu migas masih harus dipenuhi dari luar negeri dan (ii). harga minyak dunia. Faktanya, sebagai akibat UU Migas yang lemah, selain perlindungan negara terhadap hajat hidup dasar rakyat melemah, minat investasi migaspun ikut melemah.
Yang dibutuhkan saat ini adalah UU Migas yang kuat secara komprehensip  mengatur kebijakan, kelembagaan dan pengawasan serta pelaksanaan namun tetap berbasis kepada konstitusi sehingga secara konsisten dari waktu ke waktu mampu menjadi acuan dan payung hukum dalam pemanfaatan migas.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar